Tampilkan postingan dengan label Relax. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Relax. Tampilkan semua postingan

Rabu, Agustus 29, 2007

Dan Ecca pun Pulang

Meski awalnya tak suka, ternyata setelah diperhatikan, program reality show Mamamia di Indosiar seru juga. Kontes menyanyi remaja yang dimanajeri masing-masing ibu tersebut ini tidak hanya menyuguhkan kompetisi dalam hal teknis olah vokal, tetapi juga menyangkut banyak hal, mulai setting panggung, tata busana, gaya koreografi dan terutama –yang paling menarik, adalah keterlibatan emosial di antara para anak-anak dan ibunya. Banyak kejadian-kejadian dramatis yang terjadi, dari pingsannya seorang ibu karena anaknya masuk “zona kritis,” anak-anak yang ngambek (atau sebaliknya) karena ketidaksetujuan konsep, penampilan Fiersha yang membuat Dhani “nderes mili,” komentar-komentar “Dewan Eksekutor” yang pedas plus protes ibu-ibu terhadapnya, sampai pada kejutan-kejutan yang memang dirancang sendiri oleh pembuat acara.

Dan di minggu ini –yang main malam tadi– tersisa lima peserta: Margareth, Mytha, Ajeng, Ecca dan Fiersha. Kelima remaja ini memang bisa dikatakan yang terbaik, karena mereka memiliki keunggulan masing-masing, baik dari segi teknis olah vokal maupun yang menyangkut sisi emosionalitasnya. Margareth dan Mytha misalnya. Keduanya memiliki teknis olah vokal yang sangat prima. Margareth bisa dikatakan terbaik dalam hal ini. Dia bisa membawakan setiap lagu tidak saja dengan sempurna tetapi juga berkharakter. Penampilan sang ibu, Sayidah, juga tak kalah menarik. Tingkahnya yang lugu dan kocak memberi nilai tambah yang signifikan untuk menarik para juri “votelock” memilihnya. Sementara Mytha sangat matang dalam musik jazz. Dalam sebuah komentarnya, Helmi Yahya mengatakan bahwa Andien baru telah lahir. Penampilan Mytha, kharakter vokal maupun wajahnya, memang mengingatkan kita pada penyanyi jazz muda itu. Meski sempat tersandung karena salah memilih lagu pada minggu sebelumnya, posisi Mytha nampaknya akan masih sangat aman, khususnya dari eksekusi para eksekutor. Penampilan sang ibu yang kalem juga memiliki kelebihan tersendiri. Saya bahkan memprediksikan, dari keseluruhan peserta, mungkin hanya kedua anak ini yang akan memiliki karir yang panjang dalam musik Indonesia.

Tiga lainnya juga memiliki daya tarik yang tak kalah, terutama secara emosionalitas. Ada Fiersha yang kerap membuat kita terharu. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki ia bisa tampil dengan tegar dan penuh semangat yang membuat kita sangat terenyuh. Penampilan terbaiknya adalah ketika di hari ulang tahunnya dia menyanyikan lagu Air Mata Ibu dengan sempurna yang membuat para pendengarnya merinding dan berkaca-kaca. Didampingi sang ibu yang nampak sekali sebagai seorang “pejuang,” Fiersha mungkin adalah yang paling peserta yang paling diingat oleh para penonton rumahan. Helmi sendiri berkali-kali mengatakan bila saja kompetisi ini ditentukan dengan format sms besar kemungkinan Fiersha yang akan menang. Sementara Ajeng tak kalah faktor emosionalitas-nya. Latar belakang yang sulit sebagai seorang pengamen jalanan memberi dia tempat tersendiri di hati para penonton. Terlebih karena dengan latar belakang seperti itu dia tampil penuh percaya diri dan ceria. Ajeng seakan-akan mewakili komunitas “orang –orang pinggiran” yang dengan gagah berani menantang gemerlap dunia showbiz yang konon tak berbelas kasihan.

Terakhir adalah Ecca. Dia adalah favorit saya. Penampilannya yang imut dan lucu sungguh menggemaskan. Helmi bilang, bahkan bila Ecca tak nyanyi pun orang sudah akan memilih dirinya karena ia memang memiliki daya tarik yang kuat karena ke-imutan-nya. Penampilan terbaiknya menurut saya adalah ketika ia menyanyikan lagu Apa Kata Bintang membuat besoknya saya langsung mencari kaset Gita Gutawa. Sophia Latjuba mengatakan salah satu keunggulan Ecca adalah karena dia tampil sesuai umurnya. Sayangnya, dengan kharakter seperti itu, seperti yang pernah dikeluhkan ibunya, Ecca tak punya banyak lagu yang selalu cocok dinyanyikan, sehingga di beberapa minggu terakhir terpaksa menjadi dewasa juga dengan menyanyikan lagu cinta. Apalagi kompetisi memang berjalan cukup panjang.

Dan salah satu konsekwensi dari panjangnya kompetisi juga adalah kebosanan. Pada peserta yang lebih menampilkan sisi emosionalitas sebagai keunggulannya sudah mulai mendapatkan dampaknya. Malam tadi, dari kelimanya, hanya Margareth dan Mytha –yang memiliki keunggulan dalam bidang teknis, yang dalam posisi aman. Tiga yang lain, bahkan Fiersha yang biasanya selalu aman, masuk zona kritis. Dan akhirnya Ecca pun harus tersisih. Sedih memang. Namun, apapun, ini adalah konsekwensi dari sebuah kompetisi.

Well, C U Ecca!

Sabtu, Agustus 25, 2007

Yang Terbaru dari Ada

Pasca keluarnya Baim, Ada Band tampil dengan sebuah konsep baru: lebih ngepop, sederhana dan manis. Ini tentu saja disesuaikan dengan karakter vokal Donnie yang memang “tak rumit” di telinga. Dan ternyata berhasil. Bahkan bisa dikatakan konsep baru ini lebih diterima ketimbang ketika masih masih divokali Baim yang cenderung lebih ngerock. Hal ini patut diacungi jempol, karena tidak mudah sebuah band membentuk kembali identitasnya –dan diterima, setelah berganti vokalis, yang tentu saja menjadi sejak awal ciri khas utama band tersebut. Tak banyak yang bisa begitu. Yang terbilang sukses paling hanya Dewa, dari Ari Lasso ke Once.

Dengan konsep baru tersebut, Ada Band kini telah menempati sebuah ruang yang tak tergantikan band-band lain di kalangan pendengarnya. Lagu-lagu mereka menjadi akrab karena memang simpel dan mudah dicerna. Tak berlu berkernyit untuk menikmati nomor-nomor semacam Masih (Sahabatku, Kekasihku), Manja, Jadikan Aku Raja atau Manusia Bodoh. Di kantor saya, single-singel tersebut menjadi sangat favorit untuk dinyanyikan dalam lomba karaoke. Pada awal kemunculannya, lewat album Metamorphosis pada tahun 2003, mereka bahkan mungkin satu-satunya band yang masih menjadi pilihan di tengah kuatnya cengkraman dominasi Peterpan yang sedang puncak-puncaknya --disaat meredupnya pamor band-band dan penyanyi pencetak penjualan lebih satu juta keping: Dewa, Padi, Jamrud, S07 dan Kris Dayanti.

Album-album mereka, meski tak se-spektakuler band-band yang disebut tadi, tetapi juga tak mengecewakan. Mungkin posisinya hampir sama dengan Gigi. Tak sedikit, tetapi juga tak terlalu banyak. Kebetulan dalam hal produktivitas keduanya hampir sama, secara rutin mengeluarkan album bahkan kadang dalam waktu yang relatif cepat.

Ada banyak singel-singel yang mengingatkan kita pada mereka. Metamorphosis menghasilkan single-single akrab seperti Manja dan Masih (Sahabatku Kekasihku). Di album The Best of Discography ada Jadikan Aku Raja dan Dimanakah. Album Heaven of Love mencuatkan Manusia Bodoh dan Setengah Hati. Di Album Roman Raphsody ada Haruskah Ku Mati, selain single jagoan Karena Wanita Ingin Dimengerti.

Di pertengahan tahun ini Ada Band kembali mengeluarkan album baru bertajuk Cinema Story. Kini agak lain karena Album ini merupakan soundtrack dari sebuah film berjudul Selamanya. Menyajikan 6 lagu baru dan 6 lagu lama, Ada Band masih tampil dengan ciri khasnya. Ada best cut Akal Sehat yang dijadikan jago, namun yang lebih ngetop nampaknya adalah Nyawa Hidupku seperti yang diiklankan di TV-TV. Lagu ini memang memiliki refrain yang lumayan enak, tipe-tipenya seperti lagu Haruskah Ku Mati. Meski begitu, di banding album-album sebelumnya, album ini terasa lebih 'sulit'. Dibutuhkan beberapa kali putaran untuk dapat menikmatinya. Alur nada-nadanya lebih susah ditebak –gejala yang sebenarnya sudah hampir terlihat di album terakhir. Walhasil yang ini nampaknya agak susah untuk menjadi favorit lomba karaoke lagi. Tapi untuk menemani kita menyetir, lumayanlah.

Minggu, Agustus 19, 2007

Orang Gila di HP-ku

PERNAH berurusan dengan orang gila? Saya lagi. Ini bener-bener gila dalam arti sebenarnya bukan gila-gilaan. Saya memang kadang suka juga dengan hal-hal yang berbaru “gila”, tapi dalam arti yang lucu-lucuan. Dulu semasa jaman-jaman SD-SMP saya menggandrungi tokoh Wiro Sableng, karangan Bastian Tito, karena tokohnya “gila”. Saya sendiri banyak memiliki kebiasaan aneh, yang kadang di-”gila”-kan oleh temen-temen. Si Iva kerap mengomel ‘Dasar nu gelo!’ pada saya, bila dia sedang kesal karena saya kerjaain.

Tapi yang ini beda. Ini bener-bener gila dalam arti sinting, sakit!

Begini ceritanya:

Kira-kira tiga bulan yang lalu, ketika masih tinggal di Bandung, saya menerima sebuah sms gak nyambung dari sebuah nomor tak dikenal. Semula itu tak saya hiraukan. Meski tak sering, memang satu atau dua kali ada pernah juga saya menerima orang salah sambung atau salah sms. Tapi sms itu ternyata berlanjut dengan sebuah permintaan maaf sudah salah pencet. Anehnya dia kemudian bersikeras menanyakan siapa saya. Saya jawab sekenanya. Saya masih berfikir ini orang salah sambung.

Tapi jawaban saya rupanya membuat orang gila ini bersemangat. Dia terus memberondong saya dengan beberapa pertanyaan susulan. Tak berhasrat untuk bermain-main, saya tak menanggapinya. Tapi rupanya itu membuatnya tambah penasaran. Berkali-kali dia miscall. Ketika saya angkat, langsung diputus. Saya mulai merasa heran dengan maksud orang ini.

Ternyata hal itu berlanjut setiap hari, bahkan sampai saya pindah dari Bandung. Ada saja yang ditanyakannya dan selalu meminta saya menjawab dengan membubuhkan : bls pls di akhir sms-nya. Penasaran, saya tanyakan apakah saya mengenal dia. Dia menjawab tidak dan mengaku bahwa dia benar-benar salah pencet. Tapi saya yakin dia berbohong. Bila tidak, mana mungkin dia mengubungi saya terus. Dia mengenalkan diri sebagai seorang laki-laki, kelas satu SMA. Dia juga mengatakan tinggal di sebuah daerah yang sama denganku. Ketika saya tanyakan maksud terus meng-sms-ku dengan kurang ajar dia menjawab: iseng aja gak ada kerjaan.

Yang mengherankanku adalah cara dia menulis setiap sms-nya. Tulisannya sama sekali tak menunjukan bahwa dia adalah seorang lelaki. Setiap huruf yang diketik dia atur sedemikian rupa besar kecilnya, mirip sms-sms dari teman-teman cewek saya, dengan bahasa gaul khas abg sekarang. Saya sempat menyangka dia seseorang yang lain. Tetapi setelah saya pancing dia dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang homo, keluar juga sifat aslinya. Bahasanya menjadi kasar dan sembrono. Baru saya yakin dia memang seorang batangan. Mungkin bencong, meski berkali-kali mengatakan bahwa dia sudah punya pacar cewek yang bernama Nur. Dugaan saya dia adalah tetangga saya ketika masih di Bandung. Meski saya tak bisa menebak-nebak yang mana.

Tentu saja ini membuat saya terganggu, terutama karena miscall-annya yang tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore bahkan tengah malam. Karena jengkel, sempat pula saya maki-maki dia. Beberapa kali dia terpancing, bahkan pernah berjanji takkan mengganggu saya lagi. Tapi besoknya, miscall lagi. Sms lagi. Lama-lama saya cuekin dia sama sekali.

Tapi itu tak menghentikan dia. Hampir setiap hari dia dengan setia mengirim sms atau memiscall saya. Menanyakan kabar saya di tempat baru atau pura-pura salah mengirim sms, lalu meminta maaf. Pernah juga dia meminta agar saya mengakui bahwa saya-lah yang sering meneror dia dengan nomor tertentu. Tapi tak pernah saya respons. Keinginan untuk memaki-maki atau menyerangnya selalu saya tahan, karena akhirnya saya sadar: ini orang sakit. Dan tak ada gunanya berkomunikasi dengan orang seperti ini. Mungkin dia terkena semacam sindrom yang membuatnya merasa bahwa dia adalah orang yang sangat istimewa sehingga setiap orang tertarik kepadanya.

Lama-lama saya jadi terbiasa. Bahkan kadang aneh juga bila sehari tanpa miscall-an atau sms salah sambungnya. Saya juga coba pernah mengerjainya. Dengan hp anak-anak, saya sms atau miscall dia. Hasilnya, bagaikan penyakit menular. Anak-anak mengeluh karena hampir tiap hari di miscall oleh nomor tersebut. Saya hanya tertawa.

Putus asa karena tak juga berhasil menarik perhatian saya, rupanya dia menggunakan strategi baru. Beberapa hari yang lalu dia mengaku sebagai saudaranya dan mengabarkan bahwa dia terkena kecelakaan dan dalam keadaan koma. Tapi tetap saya cuekin. Dua hari kemudian datang sms yang mengatakan (dia masih mengaku sebagai saudaranya) bahwa dia telah meninggal akibat kecelakaan. Konyolnya, tulisan Innalillahi-nya, seperti biasa, diatur besar kecilnya (digaulkan) sehingga tak mengesankan kesedihan. Juga saya cuekin. Bahkan lega. Saya pikir, kalau dia sudah mengaku meninggal dia tak mungkin punya alasan mengganggu saya lagi.

Ternyata dugaan saya salah. Tiga hari yang lalu datang lagi sms. Kali ini dia mengatakan bahwa hp-nya beberapa hari dipinjam sama orang lain, jadi kabar-kabar mengenai dirinya semua bohong. Lha, hidup lagi ni orang rupanya!

Dan sampai kini, sudah hampir tiga bulan, dia masih setia meng-sms dan memiscall saya hampir setiap hari.

Dasar sakit!

Senin, Mei 07, 2007

Chelseaku Sayang, Chelseaku Malang

PUNAH sudah harapan Chelsea mempertahankan gelar musim ini, setelah tadi malam ditahan imbang Arsenal 1 – 1. Padahal mereka membutuhkan kemenangan untuk menjaga peluang mengejar MU. Terlebih mereka memiliki kesempatan memperkecil jarak Kamis depan, ketika harus menjamu pasukan Alex Ferguson itu di Stamford Bridge, yang digadang-gadang sebagai pertandingan “the real final”. Apa lacur, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Pasukan the Blues mencapai antiklimaks terlalu cepat. Ini seakan melengkapi derita kekalahan adu pinalti dari Liverpool di Liga Champion minggu lalu. Sungguh menyakitkan.

Mestinya memang Mourinho menangisi kepergian Gallas ke Arsenal musim ini. Benar, mereka mendapatkan Ashley Cole, yang dianggap masih terbaik di posisi bek kiri. Tetapi akibatnya Mourinho kehilangan pelapis yang pas untuk Terry dan Carvalho disaat keduanya tak bisa tampil, baik karena cedera maupun akumulasi kartu (dan faktanya memang di musim ini keduanya cukup sering tak bisa tampil justru di saat-saat menentukan). Khalid Boulahrouz yang tadinya dipersiapkan ternyata sungguh mengecewakan (puncaknya adalah blundernya tadi malam). Mourinho malah seringkali harus bereksperimen menarik Essien ke belakang. Meskipun cukup efektif, namun beberapa kali sempat menyebabkan mereka kehilangan angka, terutama di awal-awal ketika Essien harus beradaptasi, yang membuat mereka terus tertinggal poin dari MU. Mundurnya Essien juga menyebabkan mereka kehilangan penggedor dari lini tengah. Jadi PR untuk musim depan pertama adalah: mencari pemain belakang, terutama Stopper, yang tangguh. Kalau bisa yang berkharakter seperti Gallas, yang bisa bermain di segala posisi.

Mourinho pun harus mulai merancang kembali pola permainan yang akan dipakai, terutama disesuaikan dengan kharakter pemain yang ada. Karena yang cukup terasa berkurang di musim ini, dibanding dua musim sebelumnya, adalah produktivitas gol. Banyak orang berpendapat ini akibat mandulnya Sheva, sebagai tandemnya Drogba, yang tadinya sangat diharapkan. Sekilas ini benar. Terbukti memang musim ini “The Blues” sangat bergantung pada Drogba. Tetapi sebenarnya hal ini tidak lepas dari pola permainan yang diterapkan Mourinho.

Masuknya Ballack di sektor tengah, yang malah menjadi salah satu pemain “The Untouchable” Mourinho, menyebabkan berkurangnya jatah satu pemain di gelandang. Ini karena peran Ballack yang cenderung tak jelas. Membantu penyerangan, jelas menjadi tugas yang sejak semula diemban Lampard. Sementara yang berperan sebagai gelandang bertahan lebih tepat bila dilakukan oleh Makalele atau Obi Mikel. Walhasil, peran Ballack hanya menjadi perantara belaka. Membantu penyerangan dan membantu pertahanan. Memang, sektor tengah jadi lebih kuat karenanya, tetapi kharakternya menjadi lebih defensif, karena harus mengorbankan satu posisi di sayap, yang sebenarnya sebelumnya menjadi inti kekuatan Chelsea. Kita tahu di sana ada Joe Cole, Arjen Robben dan Shaum Right-Philip, yang sangat cepat.

Rotasi pemain juga harus mulai sering dilakukan. Ini karena musim depan, selain main di liga Priemer, Chelsea juga harus berlaga di banyak turnamen. Mourinho tak lagi harus bergantung pada beberapa pemain inti, yang bila mereka tak bisa main menyebabkan pola permainan yang kalang kabut. Dalam hal ini Mourinho agaknya harus belajar pada Rafael Benitez, yang sukses menerapkan sistem rotasi di Liverpool, tanpa banyak mengurangi kekuatannya. Pemain-pemain muda harus sering diberi kesempatan, untuk menjaga regenerasi. Yang perlu dipikirkan juga adalah mencari tandem yang lebih tajam buat Drogba. Sheva agaknya kurang bisa diharapkan. Apalagi mengingat usianya yang juga tak lagi muda.

Selain itu, yang juga sangat penting adalah menjaga stabilitas tim. Ketidak-akuran Mourinho dan Abramovich yang sempat mencuat, mau tak mau berpengaruh pula bagi motivasi para pemain. Abramovich harus lebih belajar bersabar, karena tekanan yang berlebih justru juga tak bagus. Terbukti musim ini. Tekanan harus meraih quadruple, malah membuat Terry cs. kerap grogi, sehingga banyak menyia-nyiakan kesempatan. Kini harapan hanya tinggal di piala FA (selain piala Carling yang sudah ditangan tentunya).

Demikianlah, musim ini harus menjadi pelajaran dan introspeksi buat Mourinho dan jajaran The Blues pada umumnya. Biar saja, gelar hilang untuk sementara. Tahun depan kita ambil lagi. Dan yang penting, pertandingan melawan MU Kamis depan dan di final piala FA: harus menang!

Gimana Om Mo?

Rabu, April 04, 2007

Mengenang Chrisye

CHRISYE meninggal. Dan saya terkenang beberapa hal tentang dia.

Meski bukan penggemar fanatiknya, tetapi saya banyak juga menyukai lagu-lagu Chrisye. Saya masih ingat lagu pertama yang saya suka adalah ..ah entah apa judulnya, namun penggalannya seperti ini:

Di malam sesunyi ini
Aku sendiri, tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari, dia telah pergi
Tinggalkan diriku
dst.

Lagu itu cukup terkenal ketika saya masih kecil, mungkin kelas 3 atau 4 SD. Kesan saya adalah, ini penyanyi penampilannya aneh: mirip wanita karena suaranya halus dan rambutnya panjang, gayanya kaku dan hampir tanpa ekspresi, tetapi lagunya enak. Saya sering melihatnya di acara Album Minggu Kita TVRI waktu itu. Dan dari lagu itulah saya mengingat Chrisye sebagai penyanyi. Baru kemudian saya tahu bahwa dia juga lah yang menyanyikan lagu-lagu semacam: Hip-hip Hura-hura, Anak Sekolah dan Lilin-lilin Kecil yang pernah saya dengar sebelumnya di radio.

Saya juga suka pada lagunya yang kemudian. Judulnya ..ah juga tak ingat, tetapi dia menceritakan tentang penyesalan seorang yang jatuh cinta pada pada kekasihnya, tapi sayang dia telah berdua. Liriknya seperti ini:

....
Mengapa ini harus terjadi?
Kita bertemu saat dirimu
Tak lagi sendiri, cobalah engkau sadari
Mana mungkin lagi,
kita berdua kan menyatu?
Dst.

Itu lagu Chrisye yang paling saya suka hingga kini. Entah, mungkin karena liriknya yang kuat, entah karena sering mengalami.. ha ha..

Menjelang saya lulus SD, kalo gak salah, Chrisye membuat album barang Rafika Duri dan Trio Libels dengan hits Hening dan Kidung, yang sempat menjadi lagu wajib remaja-remaja seangkatan kami. Pernah juga, kalo juga gak salah, dia meremark lagu Koes Plus Cintaku Tlah Berlalu, yang kemudian diikuti oleh Kembar Group.

Ketika menjelang kelulusan SMP teman-teman sering menyanyikan lagu ini:

Resah rintik hujan,
Yang terhenti menemani
Sunyinya malam ini
Sejak dirimu jauh dari pelukan
Dst.

Saya baru tahu belakangan kalo lagu itu juga lagunya Chrisye. Ketika dia meluncurkan album lagu-lagu lamanya terutama yang ia buat bersama Eros Djarot, saya juga suka beberapa lagu seperti: Merepih Alam, Merpati Putih dan Malam Pertama. Nada-nadanya indah, dan liriknya kuat.

Pada album-album Chrisye kontemporer saya jatuh cinta pada lagu-lagu: Andai Aku Bisa ciptaan Dani dan Bebi dan Seperti Yang Kamu Minta bikinan Pongky. Tetapi ketika dia membikin Album Dekade yang mendaur ulang lagu-lagu lama terkenal saya tak terlalu mengapresiasinya. Baru ketika Chrisye membuat album dengan musisi-musisi muda seperti Dani Ahmad, Peter Pan dan Ungu saya kembali suka lagu-lagu semacam: Menunggumu dan Jika Surga dan Neraka tak Pernah Ada.

Belakangan, saya juga sedang gandrung dengan lagu lama Chrisye yang dinyanyikan kembali dengan baik oleh Ari Lasso:

...
Kini, semua bukan milikku
Musim itu tlah berlalu
Matahari segera berganti

Badai pasti berlalu..
Badai pasti berlalu...

Hmm... selamat jalan mas Chris!

Senin, Maret 19, 2007

Keajaiban

PERNAH mengalami keajaiban? Saya pernah, beberapa kali. Saya sebut keajaiban karena dia datang tanpa terduga pada saat-saat paling kritis, yang menolong saya bisa selamat dari sesuatu hal. Seakan-akan ada campur tangan Tuhan secara langsung pada saat itu terjadi. Dan dalam hidupku, ada beberapa kejadian yang selalu saya ingat, yang saya merasa itu sebagai keajaiban.

Pertama terjadi beberapa tahun lalu, semasa baru lulus kuliah. Pada saat itu saya hidup dalam kondisi yang sangat prihatin karena belum mendapatkan pekerjaan, sedangkan kiriman orang tua juga sudah terhenti. Untuk menyambung hidup saya melakukan berbagai cara seperti mengikuti proyek-proyek kecil, membantu teman bikin laporan, skripsi atau thesis atau apa pun yang bisa menghasilkan uang. Namun begitu karena hal-hal tersebut tak selalu ada, saya kerap mengalami masa-masa sulit. Bahkan untuk makan pun kadang tak punya sama sekali. Bila sudah begitu biasanya saya menggunakan langkah terakhir yang paling tak saya suka: meminjam ke teman atau mengutang ke warung. Hal itu berlangsung hampir selama delapan bulan, sampai saya kemudian diterima bekerja di tempat yang sekarang ini.

Nah pada masa-masa itulah pada suatu kali ada sebuah momen yang membuat saya sangat takjub. Saya masih ingat peristiwanya terjadi selepas maghrib. Pada saat itu sudah beberapa minggu tak mendapatkan job, sehingga persediaan uang sudah tak bersisa. Mau meminjam uang, bingung pada siapa lagi, karena hampir semua teman yang ‘memungkinkan’ dipinjami sudah saya pinjami. Padahal malam itu saya lapar sekali karena belum makan. Mau mengutang ke warung malu karena sudah terlalu sering. Bingung, lapar dan tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya saya berjalan tak ada tujuan ke arah luar kampus (meski sudah lulus saya masih tinggal di asrama mahasiwa yang terletak di dalam kampus). Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada seseorang yang bisa menolong.

Dan doa saya terkabul. Di tengah perjalanan, di keremangan maghrib yang gerimis dan sepi itu tiba-tiba saya melihat selembar uang tergeletak di jalan yang akan saya lewati, mungkin seribu rupiah. Dengan gembira dan tak sempat memperhatikan lebih detil, lembaran itu saya raih dan langsung dimasukkan ke saku, sekilas terlihat warnanya merah: ternyata sepuluh ribu. Lumayan, cukup untuk tiga hari makan. Tetapi ketika dirasa-rasa kemudian ternyata lembaran itu terbuat dari plastik. Karena penasaran, lembaran itu saya keluarkan kembali dan ternyata: seratus ribu rupiah.

Malam itu saya langsung makan di rumah makan Padang, membayar utang-utang dan membeli mie untuk persediaan. Saya tak tahu uang siapa jatuh pada saat itu. Tetapi siapa pun itu, di sini saya ingin mengucapkan terima kasih, dan memohon keikhlasannya karena telah saya pergunakan. Semoga Tuhan membalasnya dengan berlipat-lipat. :)

Ketika test masuk kerja pun saya merasakan ada keajaiban. Karena beberapa bulan sebelumnya saya menderita sakit yang cukup parah. Saya pikir dengan kondisi seperti itu saya tidak akan lulus test kesehatan. Tenyata satu minggu sebelum test saya pulih dengan ajaib. Padahal saya juga tidak berobat karena tak punya uang.

Terakhir, kemarin. Dalam beberapa bulan terakhir saya merasakan beban finansial yang cukup berat. Entah, selalu saja ada yang harus saya keluarkan. Parahnya, dana yang diinvestasikan pada seorang teman juga macet karena dia terkena musibah. Mau menagih piutang ke beberapa teman dan saudara juga kebayang takkan memperoleh hasil. Mereka selalu menganggap saya jauh dari masalah-masalah seperti ini. Padahal defisit terus memarah. Puncaknya beberapa hari yang lalu ketika saya harus membayar sebuah kewajiban yang cukup besar. Di hari itu saya terasa dunia begitu sesak.

Bingung karena tak tahu harus dari mana mendapatkan uang, saya teringat buku kumpulan doa karangan seorang ustad Haryono. Malam itu saya membuka-bukanya dan mencoba mengamalkan beberapa doa. Besoknya, saya pergi ke ATM, iseng-iseng mengecek honor tulisan dari sebuah majalah. Apa yang terjadi? Ketika melihat saldonya saya hampir berteriak tak percaya: disana tercatat saldo tabungan yang semula hanya beberapa ribu rupiah telah bertambah menjadi beberapa juta. Heran bercampur gembira saya mencoba sekali lagi, ternyata benar. Sampai sekarang saya belum tahu asal uang itu. Dugaan sementara uang berasal itu dari program tabungan jangka panjang yang sempat saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Mungkin karena tak juga terpenuhi saldo minimumnya pihak bank menghentikannya dan mengembalikan ke rekening saya. Tetapi apapun itu, yang jelas saya sangat tertolong, karena dia hadir tepat pada saat yang diperlukan. Saya merasakannya sebagai sebuah keajaiban.

Kejadian-kejadian tersebut membuat saya yakin bahwa hidup memang sudah diatur. Sesuatu bila belum waktunya, takkan bisa bagaimanapun kita berusaha. Sebaliknya, bila memang sudah sampai waktunya, Tuhan akan memberi jalan bagaimanapun caranya.

Hmm... sedikit berbau anti-eksistensialis? Mungkin. Yang jelas saya percaya bahwa adalah kewajiban kita untuk terus berusaha.

Jumat, Maret 16, 2007

C i n t a

KONON ada dua metode untuk membangkitkan motivasi seseorang sehingga dapat bekerja 'lebih', yaitu dengan: 'menakut-nakuti' dan 'mengiming-imingi'. Bahasa kerennya: Stick and Carrot System atau Reward and Punishment System, seperti yang mulai digandrungi Perhutani sekarang-sekarang ini. Menakut-nakuti artinya membuat seseorang takut bila tak dapat melakukan atau mencapai target sesuai yang ditetapkan si pemberi perintah. Contohnya, seorang boss mengancam akan memecat sales-nya bila tak dapat mencapai target pejualan tertentu. Ketakutan akan ancaman itu akan membuat si sales mengerahkan segenap daya upaya yang dimilikinya untuk mencapai target yang ditetapkan tersebut.

Menakut-nakuti mungkin adalah metoda pembangkit motivasi paling primitif dan efektif yang dikenal manusia. Pernah dengar anekdot tentang seseorang yang tiba-tiba bisa melompati sungai yang sangat lebar, hanya karena ngeri dikejar anjing? Atau pernah nonton film Forrest Gump, si lumpuh yang tiba-tiba bisa berlari kencang karena takut dijailin teman-temannya? Itu bukti keampuhan metode ini. Mengapa begitu ampuh? Karena dia merangsang bangkitnya potensi paling besar dalam diri manusia yang kerap tersembunyi: daya untuk survive. Tak ada yang lebih keras pada manusia selain upayanya dalam bertahan hidup. Makanya, meski kuno, teknik ini masih banyak dianut dalam ilmu manajemen modern.

Tetapi ada kekurangan dalam metode ini. Karena sifatnya yang menekan maka selalu ada perasaan terpaksa mengiringi pelaksanaannya. Ini akan berimplikasi pada beberapa kemungkinan. Misalnya: hanya efektif bila dilakukan pengawasan ketat. Bila tidak diawasi, maka dia akan berlaku seperti semula, atau malah lebih parah. Persis bunyi iklan: Patuh Karena Ada yang Lihat. Pada kasus lain bisa terjadi keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan semu. Karena menghindari sanksi yang menakutkan, maka dilakukan rekayasa sedemikian rupa sehingga seakan-akan target benar-benar berhasil diraih. Yang penting selamat pada saat dilakukan pemeriksaan. Ketika sang pemeriksa pulang, baru kelihatan aslinya yang ancur-ancuran. Kondisi tertekan, pada satu titik, juga bisa menimbulkan sikap antipati, lebih jauhnya bisa menimbulkan perasaan dendam, sehingga tidak bagus untuk hubungan antar personal. Serta kekurangan-kekurangan lain yang bisa diidentifikasi lebih lanjut.

Karena itu para ahli kemudian menyarankan untuk lebih mengedepankan metode kedua (meskipun dengan tidak harus meninggalkan yang pertama), yaitu dengan 'mengiming-imingi'. Dia tidak memaksa, tetapi berusaha membuat seseorang menginginkannya. Pada dasarnya, dia mengeksploitasi sifat manusia yang tak pernah puas. Agar seseorang tergugah motivasinya, maka ditawarkan atau dijanjikan bermacam-macam imbalan, baik berupa materil maupun yang sifatnya honouristic, bila dapat mencapai apa yang ditetapkan. Jadi lebih bersifat positif.

Meski kekuatannya kadang tak sedahsyat yang pertama (karena tak ada konsekwensi yang menakutkan meski tak tercapai) tetapi metode mengiming-imingi ini juga efektif untuk membangkitkan motivasi dan terutama yang ini relatif lebih 'manusiawi'. Pernah menonton film mengharukan karya sutradara Iran Abbas Kiarostami yang mengisahkan perjuangan seorang anak untuk memenangi sebuah perlombaan lari karena menginginkan hadiah sepasang sepatu buat adiknya yang ia hilangkan? Iming-iming ternyata juga memiliki kekuatan tersendiri untuk mengerakkan potensi tersembunyi seseorang.

Tapi metode ini juga tak lepas dari kekurangan. Selain kurang 'dahsyat' (lari seseorang yang mengejar hadiah seratus ribu perak tentu kalah cepat dari lari seseorang yang dikejar anjing, misalnya), teknik ini juga menyimpan potensi masalah. Misalnya: persaingan untuk mendapatkan penghargaan/imbalan menjadi rawan konflik dan menjadi arena sikut-sikutan. Apalagi bila ternyata parameternya tak jelas dan quotanya yang sangat terbatas. Orientasi imbalan, juga bisa mendidik orang menjadi lebih materialistis dan pamrih. Bila tak ada iming-iming hilanglah motivasi kerja. Maka timbul kasus-kasus dimana orang enggan melaksanakan tugas hanya karena tak ada uangnya, dsb.dsb.

Namun demikian, meski masing-masing memiliki kekurangan dan menyimpan potensi problem, metode atau sistem 'menakut-nakuti dan mengiming-imingi' ini banyak diterapkan dalam manajemen perusahaan modern. Ini dikarenakan efektifitasnya yang teruji dalam mencapai tujuan serta dampak positif lain yang dihasilkannya, seperti terpenuhinya rasa keadilan dimana orang yang bekerja baik tentu saja penghargaannya tidak boleh disamakan dengan yang bekerja asal-asalan, dapat merangsang kreativitas karyawan dsb. Untuk mengurangi efek negatifnya biasanya dilakukan berbagai variasi dan kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan.

Maka ketika Perhutani menyatakan akan (dan sudah mulai) menerapkan sistem Reward and Punishment (terutama Reward-nya) secara konsisten dan konsekwen, ini tentu saja adalah langkah maju, dan karenanya patut didukung. Ini artinya Perhutani sudah mulai menyadari akan pentingnya upaya melakukan 'manajemen motivasi' dalam menunjang kinerja perusahaan, yaitu dengan mendorong karyawannya untuk mau bekerja lebih. Dan dampaknya sudah cukup kelihatan, minimal itu saya lihat di lingkungan kecil kerja saya. Dalam bidang tanaman, misalnya. Semenjak di terapkan sistem Reward-Punishment, para mandor nampak lebih serius dalam memperhatikan lokasi tanamannya, meski juga sedikit menjadi lebih sensitif. Mereka juga bersuka cita ketika mendapatkan uang reward, meski nilainya tak terlalu besar. Nampak jelas, mereka kini merasa kerja kerasnya lebih dihargai.

Namun cukupkah semua itu memperbaiki keadaan? Cukupkah dia menggerakan motivasi segenap komponen rimbawan sehingga dapat menghasilkan daya juang yang dibutuhkan untuk membangun kembali hutan seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulu kita dulu? Mungkin belum. Ada satu hal yang nampaknya tidak kita miliki dibanding kakek-nenek kita dulu. Satu hal yang sangat mendasar dan merupakan penggugah motivasi paling dahsyat, tanpa pamrih dan zonder paksaan. Apakah itu: Cinta. Ya, Cinta. Apapun tak kan berhasil tanpa Cinta, ujar Morihei Ueshiba. Dengan Cinta, kita akan tetap bekerja lebih meski tanpa diawasi. Tetap mencurahkan segenap kemampuan meski tanpa imbalan yang tinggi. Tetap antusias meski di tengah segala keterbatasan.

Dan Cinta itu tlah lama hilang. Ketika Bang Mus (Dr. Muslimin Nasution) berpesan jadilah Rimbawan Mujtahid, Mujaddid dan Mujahid dalam acara Mubes Sekar di Madiun kemarin, sebenarnya beliau mengingatkan kita akan hal ini, meski dengan bahasa lebih religius. Ikhlaslah, serunya, karena kita adalah yang terpilih sebagai pemegang amanah menyangga kehidupan manusia untuk generasi sekarang dan generasi mendatang, kita adalah Khalifatullah Fil'ardh itu.

Kita membutuhkan Cinta. Sayang, kita hidup di sebuah zaman yang tak ramah untuk spesies yang satu ini. Terjangan angin materialisme dan kerasnya persaingan hidup telah menggebah mereka entah kemana. Dan kini, di hari-hari ini, di setiap kertas yang kita tulis, setiap bibit yang kita tanam, setiap gram getah yang kita sadap, kita pun bertanya-tanya: dimana dia... dimana dia...

[Tulisan dibuat untuk majalah Duta Rimba, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Perum Perhutani, namun barangkali bermanfaat juga bila dipajang di sini :)]

Kamis, Februari 08, 2007

M e j a





+ Untuk tandatangan ini lewat berapa meja pak?
- Maksudnya?
+ Iya, kan kalo di dinas-dinas atau instansi biasanya....
- O, nggak Pak, gak usah. Kami gak gitu. Lengkapi saja syarat-syaratnya, nanti serahkan pada saya. Secepatnya kami proses.
+ O ya makasih kalo begitu Pak, permisi!


[ Selalu ada kebanggaan menjaga sejumput idealisme usang, di tengah beratnya himpitan hidup dan terpaan godaan yang menyerang tak kenal ampun ]

Senin, Januari 15, 2007

Sakit? Ke Dukun Aja

SEORANG teman dirundung musibah. Putri pertamanya yang belum genap dua bulan harus terbaring di rumah sakit. Menurut dokter ususnya bocor sehingga bayi mungil itu mesti dioperasi.

Tentu saja ia sedih dan cemas. Ketika saya temui malam itu, ia dan istrinya juga berceritera tentang mahalnya biaya yang harus ia keluarkan.

"Bayangkan, saya harus mengeluarkan enam puluh ribu setiap kali anak saya BAB untuk membeli plastik khusus," katanya.

Dia juga harus membayar puluhan ribu rupiah tiap kali dokter datang.

"Padahal dia cuma nanya-nanya doang, eh... harus bayar juga," keluhnya. Belum lagi biaya beli obat, sewa ruangan dll. Pendeknya: bikin membuatnya tambah kalut.

Negeri ini memang nampak aneh dan tidak manusiawi dalam hal ini. Rakyat-rakyatnya yang tengah menderita karena sakit, malah dibebani pula dengan biaya pengobatan yang mencekik leher. Konon pernah ada anekdot tentang si Cepot yang marah-marah pada dokter gigi yang menyuntiknya.

"Yang bener aja luh," begitu kira-kira si Cepot meradang. "Lu kan tau gua lagi sakit. Barusan elu nyuntik gua, juga sakit. Eeeh... lu malah minta bayaran lagi!" omelnya lagi sambil ngaleos pergi. Si dokter cuma bengong.

Meski cuma anekdot, tapi apa yang dikatakan si Cepot tadi sebenarnya logis. Seseorang yang sedang dirundung musibah seperti sakit semestinya dibantu, bukan dieksploitasi. Barangkali salah satu kesalahan fundamental para perumus perekonomian negeri ini dulu adalah membiarkan kesehatan, dan juga pendidikan, masuk dalam mekanisme pasar.

Kedua sektor yang berkaitan erat dengan kualitas SDM ini tumbuh menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi sebagian kecil rakyatnya, tetapi menjadi sumber penghisap bagi sebagian besar yang lain. Pemerintah malah memilih untuk mensubsidi BBM, sesuatu yang berhubungan erat dengan konsumsi.

Dalam jangka pendek, sepertinya keputusan itu benar: bukankah makan memang lebih pokok daripada pendidikan atau kesehatan? Tetapi dalam jangka panjang itu sungguh tidak membangun.

Coba bandingkan. Di Thailand, konon (menurut Pak Cit, seorang guide lokal, ketika saya berkunjung ke negeri itu tahun lalu) biaya pengobatan setiap penyakit, apa pun itu dan berapa lama pun itu, biayanya hanya 30 Baht atau sekitar Rp. 7.500,-.

Pendidikan dari SD sampai SMA gratis. Pemerintahnya lebih memilih BBM yang dilepas ke mekanisme pasar dibandingkan dua sektor vital itu. Dan ini menurut saya adalah sebuah kebijakan yang visioner. Bisa dibayangkan generasi yang terbentuk dalam jangka panjang dari kebijakan itu: generasi yang terpelajar, sehat dan efisien. Tidak heran produktivitas SDM-nya sungguh mengagumkan. Dan hal ini berbanding terbalik dengan generasi kita yang terkenal royal, konsumtif tetapi berotak dodol dan kelemar-kelemer.

Negara-negara maju memang juga melepas kedua sektor itu ke dalam mekanisme pasar. Tetapi rakyatnya sudah sangat terpelajar dan cerdas. Apalagi dengan pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi. Besarnya biaya diantisipasi dengan budaya asuransi. Ketika Habibie ditanya kenapa memilih berobat di Jerman dibanding di Indonesia, dia berkata: "Saya berobat di Jerman bukan karena punya banyak uang, tetapi karena di sana saya bisa berobat gratis. Sejak dulu saya bayar asuransi."

Di kita, budaya asuransi baru menyentuh sebagian kecil masyarakat. Itu pun kebanyakan karena dibayarkan perusahaan. Kesadaran untuk merencanakan keuangan untuk kebutuhan insidentil dan masa depan pada masyarakat kita masih rendah. Kampanye tentang pentingnya asuransi oleh pemerintah.juga tidak terdengar. Dus, apa yang kita lakukan adalah setengah-setengah. Tidak kemana-mana.

Jadi jangan heran bila mucul kasus-kasus dimana seseorang ditolak berobat ke rumah sakit karena tak punya biaya, atau pasien-pasien gawat darusat yang tidak segera dilayani karena belum jelas penanggungjawabnya seperti yang ada dalam lagu Iwan Fals. "Modar aku, modar aku!" katanya.

Yang cukup menarik adalah gejala yang muncul kemudian. Yaitu maraknya bisnis-bisnis pengobatan alternatif, dengan embel-embel lebih murah dan cepat. Bentuknya pun macam-macam. Dari yang menggunakan ramu-ramuan, pijat memijat, macam-macam tenaga dalam, sampai yang berupa doa-doa dan ritual.

Dalam beberapa hal, ini cukup membantu masyarakat. Paling tidak menyediakan pilihan tempat berobat yang lebih terjangkau. Apalagi pada beberapa kasus, efektivitasnya juga cukup teruji. Dalam acara-acara pengobatan tradisonal di televisi, saya selalu melihat testimoni-testimoni dari para mantan pasiennya yang sembuh. Meski tentu saja masyarakat juga harus pandai milih-milih, karena banyak pula yang menipu.

Namun tentu saja hal ini bukan merupakan solusi permanen. Pemerintah tetap harus memikirkan agar masalah pelayanan kesehatan ini menjadi lebih terjangkau. Karena hal ini merupakan hak seluruh warga negara, baik yang kaya maupun yang bukan.

Trus... kalo menghilangkan jerawat kemana ya?

Eh...

Selasa, Desember 26, 2006

Krisis Chelsea

MUSIM ini Chelsea tampil mengecewakan. Tak seperti dua musim sebelumnya yang tampil amat perkasa, khususnya di EPL, musim ini The Blues mesti berjalan tertatih-tatih. Meski masih bertengger di urutan kedua klasemen sementara dengan selisih 1 poin (setelah ditahan imbang Reading tadi malam, dengan selisih satu pertandingan dengan MU), permainan Chelsea jauh dari memuaskan. Kemenangan-kemenangan yang diraih pun jarang yang telak. Beberapa malah berbau keberuntungan, seperti ketika mengalahkan Wigan dan Everton minggu kemarin. Ketika melawan Arsenal dan MU pun mestinya mereka kalah. Mereka hanya diselamatkan oleh dewa keberuntungan di menit-menit akhir. Entah apa yang terjadi. Mourinho seperti telah kehilangan sihirnya.

Sebaliknya MU justru tampil cukup perkasa. Meski musim ini mereka tak banyak belanja pemain, setelah ditinggal Van Nielstelroy ke Madrid, di luar dugaan mereka bermain cukup stabil. Nampaknya Alex Ferguson sudah kembali menemukan jati dirinya, setelah dua tahun bertutut-turut dipecundangi Morinho. Beruntung Arsenal dan Liverpool (dua klub lain yang dianggap setara dengan MU dan Chelsea), juga tampil tak terlalu baik. Keduanya malah sempat terseok-seok di papan tengah, meski kini perlahan-lahan naik ke urutan 3 dan 4.

Di awal musim, optimisme memang sempat menggaung di Stamford Bridge. Maklum, mereka sukses menggaet dua bintang: Ballack yang dicuri dari Muenchen dan Sheva dari Milan --sebuah pembelian yang agak mengherankan, sebenarnya, karena jauh dari kebiasaan Mourinho yang kurang suka dengan pemain bintang. Tetapi Sheva tampil tak seperti yang diharapkan. Mencetak gol di awal-awal, selanjutnya mandul. Mungkin dia terbebani dengan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapnya --setinggi biaya yang dikeluarkan Abramovich untuk menggaetnya, sementara gaya permainan Inggris jauh berbeda dengan Italia. Mourinho pun kecewa, meski masih berbaik hati dengan masih sering menampilkannya sebagai starter.

Ballack pun ternyata tak terlalu istimewa. Meski tampil lebih baik dari Sheva, tetapi mestinya ia dapat berbuat lebih dari itu. Banyak yang berpendapat ini disebabkan kharakternya hampir sama dengan Frank Lampard, sehingga seakan-akan terdapat dualisme kepemimpinan di lapangan tengah. Mungkin tadinya Mourinho ingin lapangan tengahnya lebih dahsyat dengan adanya kapten Timnas Jerman ini. Tapi jadinya ia kerap melupakan peran sayap, terutama kiri, yang sempat jadi kekuatan utama Chelsea, dengan memiliki Robben, Joe Cole dan Duff yang lantas dijual ke Newcastle.

Lampard pun tak seeksplosif dua musim lalu. Mungkin akibat tumpang tindih peran antara dia dengan Ballack: ia kini tak sebebas dulu berkreasi. Masih untung Drogba tampil cukup stabil. Entah apa jadinya Mourinho tanpa si hitam dari Pantai Gading ini. Dari keseluruhan memang hanya Drogba yang tampil stabil dan selalu ngotot. Gol-golnya selalu menjadi penyelamat, di kala teman-temannya tak kunjung beruntung. Michael Essien juga menjadi pemain yang cukup menonjol musim ini. Ketenangannya dalam menghadapi krisis kerap tampil menjadi penyelamat, seperti ketika dia mencetak gol sensasional ke Arsenal tiga minggu lalu.

Di gawang, musim ini memang paling sial buat Chelsea. Dua kiper utamanya cedera parah secara bersamaan, sehingga mereka mesti berjalan dengan kiper ketiga. Masih untung Hilario tampil tak begitu mengecewakan. Namun tetap saja, Carvalho dan Terry akan lebih tenang bila di belakangnya berdiri seorang Peter Checzh. Dibelinya Ashley Cole dari Arsenal juga cukup memberi warna. Sayang, keputusan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya Gallas, bek yang bisa main baik di segala posisi, dan tidak berkembangnya Wayne Bridge karena kerap tak diberi kesempatan.

Tapi mungkin masalah utama The Blues musim ini adalah masalah mental. Mereka mengalami krisis kepercayaan diri. Pernyataan Mourinho tentang para pemain yang termasuk the untouchables malah menunjukkan musim ini si mulut besar memang tak terlalu PD. Dia seakan-akan lebih bergantung pada orang, dan bukan pola permainan yang dikembangkan. Ketidak PD-an sang manajer ini nampaknya menjalar ke lapangan. Para pemain kerap tampil grogi ketika diserang lawan dan gampang putus asa ketika gol tak kunjung tiba. Pada sejumlah permainan terakhir nampak jelas bahwa para pemain sangat sulit untuk mencetak gol (hingga menunggu beberapa keberuntungan) dan mudah sekali kebobolan (ini terutama setelah Terry cedera dan Mourinho memaksakan Bohlarouz). Masalah krisis ini yang harus segera diatasi oleh Mourinho.

Akankah musim ini Chelsea harus melepas gelar? Belum tentu memang. Liga masih panjang. Kita tunggu saja apakah Mourinho bisa membalik keadaan atau tidak.

Yang jelas, EPL memang liga paling menarik saat ini.

Sabtu, Juli 08, 2006

Is It You?



Photobucket - Video and Image Hosting

It Might Be You - Stephen Bishop

Time, I've been passing time watching trains go by
All of my life
Lying on the sand watching seabirds fly
Wishing there could be someone waiting home for me

Something's telling me it might be you
It's telling me it might be you
All of my life

Looking back as lovers go walking past
All of my life
Wondering how they met and what makes it last
If I found the place would I recognize the face

Something's telling me it might be you
It's telling me it might be you

So many quiet walks to take
So many dreams to wake
And there's so much love to make

I think we're gonna need some time
Maybe all we need is time
And it's telling me it might be you
All of my life

I've been saving love songs and lullabies
And there's so much more
No one's ever heard before

Something's telling me it might be you
Yeah, it's telling me it must be you
And I'm feeling it'll just be you
All of my life

It's you, it's you I've been waiting for all of my life
Maybe it's you
Maybe it's you
I've been waiting for all of my life


[ .... Is it you? ]

Minggu, Juni 18, 2006

Si Merah Ngadat



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting


Photobucket - Video and Image Hosting


Kalo si Merah sudah mau ngadat, memang kadang tak mengenal waktu dan tempat. Pulang dari hutan, tiba-tiba per-nya patah. Tidak tahu kalau itu sudah sore. Tidak tahu kalau di sana jauh dari bengkel. Tidak tahu kalo tuannya sudah ada janji. Juga tidak tahu kalau tuannya lagi boke. Maka terpaksa manggil tukang dan di-operasi di pinggir jalan. Untung saja ngadatnya jarang-jarang. Duh, Merah...

Jumat, Mei 12, 2006

Men are from Mars Women are from Venus

DAHULU kala, orang Mars berjumpa dengan orang Venus. Mereka lalu jatuh cinta dan menjalin hubungan yang membahagiakan karena mereka saling menghormati dan menerima perbedaan-perbedaan antar mereka. Kemudian mereka tiba di Bumi dan mulai menderita amnesia. Mereka lupa bahwa mereka berasal dari planet yang belainan.

Begitu John Gray berkisah dalam serial bukunya yang cukup populer: Men are from Mars Women are from Venus. Sejak awal, kata Gray, pria dan wanita memang memiliki akar yang berbeda, sehingga memiliki sifat-sifat yang, tidak saja berlainan, tetapi juga sering bertolak belakang, khususnya berkaitan dengan perilaku mereka dalam berkomunikasi dan menjalin relasi.

Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, repotnya, jarang dipahami oleh para pria dan wanita dan kerap menimbulkan konsekwensi yang tidak menyenangkan bagi hubungan antar mereka. Yaitu sering terjadi penangkapan maksud yang tidak tepat, alias salah paham, yang bisa berujung pada terjadinya perselisihan dan pertengkaran, bahkan perpisahan. Oleh karenanya, Gray menekankan agar kita perlu untuk memahami perilaku dan sifat-sifat dari pasangan masing-masing agar dapat menjaga keutuhan cinta dan keharmonisan hubungan.

Pria diibaratkan sebagai orang Mars, planetnya si Dewa Perang. Maka nilai-nilai kehidupan yang mereka anut pun tidak jauh dari itu. Pria menghargai kekuasaan, keterampilan, efisiensi dan prestasi. Mereka senantiasa melakukan apapun untuk membuktikan diri dan mengembangkan kemampuan serta keterampilan mereka. Harga diri dirumuskan melalui kemampuan mereka dalam mencapai hasil-hasil. Mereka mengalami kepuasan terutama melalui sukses dan prestasi.

Maka jangan heran bila pria cenderung tidak suka dikoreksi atau diberitahu apa yang harus dilakukannya. Itu akan sangat melukai harga dirinya. Menawarkan nasihat yang tidak diminta kepada seorang pria berarti menganggap ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau bahwa ia tak dapat melakukannya sendiri.

Ini berbeda dengan wanita, si orang Venus, planetnya Dewi Kecantikan. Kehidupan mereka selalu dipenuhi dengan penghargaan atas cinta, komunikasi dan hubungan. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk memberi dukungan, menolong dan saling melayani. Makna diri mereka ditentukan melalui perasaan dan mutu hubungan-hubungan mereka. Mereka mengalami kepuasan karena berbagi dan berhubungan.

Makanya tak aneh bila wanita lebih senang berkumpul, membangun kebersamaan, bermasyarakat dan bekerjasama penuh cinta. Hubungan-hubungan itu dianggap lebih penting dari pada pekerjaan dan teknologi. Komunikasi merupakan kebutuhan utama. Berbagi perasaan pribadi jauh lebih penting daripada mencapai sasaran-sasaran dan keberhasilan. Berbicara dan berhubungan satu dengan yang lain merupakan sumber rasa puas yang luar biasa.

Perbedaan-perbedaan sifat tersebut kerap merepotkan. Misalnya, karena kebiasaan di Mars yang menjunjung tinggi efisiensi, para pria secara naluriah menawarkan pemecahan masalah apabila wanita membicarakan kesulitan-kesulitannya. Bila wanita membagi perasaan-perasaan kecewanya atau membicarakan kesulitan-kesulitannya, secara keliru pria menganggap wanita sedang mencari nasihat ahli. Maka si pria menjalankan perannya sebagai pemecah masalah dan mulai memberi nasihat. Inilah cara mereka memperlihatkan cinta dan usaha untuk menolong.

Ia ingin menolong si wanita supaya dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitannya. Si pria ingin dirinya bermanfaat bagi si wanita. Pria merasa ia dapat dihargai dan kemudian layak mendapatkan cinta si wanita bila kemampuan-kemampuannya digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah si wanita. Gray mengistilahkan pria sebagai: Tuan Pemberes Masalah.

Padahal sang wanita tidak membutuhkan itu. Bercerita, berbagi perasaan adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang Venus. Dan itu tidak dilakukannnya untuk mencari pemecahan masalah, tetapi lebih kepada mencari dukungan. Yang dibutuhkan si wanita adalah seseorang yang dapat mendengarkan keluh kesahnya secara empati dan penuh minat. Dan bisa ditebak, si pria akhirnya kecewa dan terpukul karena pemecahan-pemecahan yang ditawarkannya tidak membuat si wanita lebih baik.

Begitupun dengan wanita. Orang-orang Venus dikenal sangat intuitif. Memberi nasihat dan saran-saran merupakan tanda kasih sayang. Naluri mereka ialah ingin memperbaiki segala sesuatu. Apabila mereka menaruh perhatian kepada seseorang, dengan leluasa mereka menunjukkan apa yang dapat diperbaiki dan menyarankan bagaimana melakukannya. Menawarkan nasihat dan kritik secara membangun merupakan tindakan cinta kasih. Gray menyebut wanita sebagai: Panitia Perbaikan Rumah.

Maka ketika seorang wanita bertemu dengan pria yang menjadi pasangannya, ia akan selalu mencoba untuk memberi nasihat untuk memperbaiki apa-apa yang dirasakannya kurang. Dan ini kerap tidak diterima oleh si pria. Orang-orang Mars menangkap nasihat sebagai ungkapan bahwa dirinya adalah sesuatu yang rusak dan tidak baik, sehingga harus dibetulkan. Sesuatu yang memukul perasaan dan harga dirinya.

Bila mendapatkan masalah atau kekecewaan, pria biasanya berhenti berbicara. Ia membutuhkan waktu dan tempat untuk menyendiri, istilah Gray masuk gua, sampai dia mendapatkan alternatif-alternatif pemecahan masalahnya. Wanita, sering merasa bersalah dan diabaikan ketika pria berlaku demikian. Dia ingin membantu, berbagi rasa, tetapi si pria tidak menyukainya.

Sementara wanita sebaliknya. Dia akan mencari teman bicara yang dapat mendengarkan keluh-kesahnya yang kemudian dapat membuat dirinya merasa lebih nyaman. Parahnya lagi, teryata para pria dan wanita memiliki bahasa yang berbeda. Tepatnya, meski kata yang bisa diungkapkan persis sama namun memiliki pengertian yang jauh berbeda. Untuk dapat mengungkapkan perasaan-perasaannya secara utuh, wanita menggunakan berbagai macam superlatif, metafor dan generalisasi. Sementara pria biasanya memahami kata-kata itu secara harfiah, sehingga akan menanggapi dengan cara yang tidak mendukung.

Hal-hal seperti ini kerap menimbulkan ketidak enakan dalam hubungan pria-wanita. Padahal bila masing-masing memahami apa yang terjadi, hal tersebut sangat bisa dihindarkan.

Gray juga mengatakan bahwa pria memiliki sifat unik, yaitu itu seperti karet gelang. Secara berkala dia akan merasa perlu menarik diri sebelum dapat lebih mendekat. Hal itu dapat terjadi sama sekali tanpa alasan. Itu sudah menjadi daur alami para pria.

Pria menarik diri untuk memuaskan kebutuhan akan kebebasan atau otonomi. Setelah mulur, secara tiba-tiba ia akan berbalik kembali dengan cinta dan kehangatan yang sama tingkatannya dengan jarak ketika dia menarik diri.

Sementara wanita seperti gelombang. Harga diri wanita naik-turun seperti gelombang. Saat mereka senang, ia akan mencapai puncak, tapi suasana hatinya bisa berubah dengan tiba-tiba dan gelombangnya akan terhempas turun. Sebuah penurunan yang bersifat sementara, karena setelah mencapai dasar, tiba-tiba suasana hatinya berubah lagi dan ia kembali merasa senang akan dirinya.

Saat gelombang naik, wanita merasa mempunyai cinta yang melimpah untuk diberikan. Tetapi bila gelombang turun, ia merasa kosong hatinya dan harus diisi dengan cinta. Begitu terus. Konon siklus tersebut berlangsung selama 28 harian, atau mengikuti siklus menstruasi.

Perselisihan dapat terjadi ketika si wanita tidak memahami kenapa tiba-tiba si pria menarik diri. Pun terjadi ketika si pria merasa tak dihargai ketika tak mendapat respon yang diinginkan dari si wanita yang sedang berada dalam dasar gelombang. Masing-masing merasa bersalah dan menganggap merekalah penyebab terjadinya hal tersebut. Padahal, kata Gray, kondisi-kondisi tersebut sangat alami, dan tidak selalu disebabkan oleh perilaku pasangan masing-masing, sehinggat tidak perlu ada prasangka yang berlebihan yang bahkan akan menambah keruh suasana.

Gray juga mengatakan ada dua belas jenis cinta yang diperlukan pria dan wanita. Masing-masing memiliki enam yang primer. Wanita memerlukan jenis cinta berupa: perhatian, pengertian, hormat, kesetiaan, penegasan dan jaminan. Sementara pria membutuhkan: kepercayaan, penerimaan, penghargaan, kekaguman, persetujuan dan dorongan.

Tanpa kesadaran mengenai apa yang penting bagi lawa jenisna, pria daan wanita tidak tahu seberapa jauh mereka melukai pasangannya. Pria dan wanita terutama terluka bila tidak memperoleh jenis cinta primer yang mereka butuhkan. Gray mengatakan, umumnya wanita tidak menyadari cara-cara komunikasi mereka tidak mendukung dan menyakitkan hati pria. Mungkin ia mencoba peka terhadap perasaan-perasaan pria, tetapi karena kebutuhan cinta primer pria berbeda dengan wanita, si wanita tidak bisa mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan pria secara naluri.

Para pria selalu membayangkan diri sebagai seorang ksatria berbaju zirah berkilauan yang ingin berhasil dalam melayani dan melindungi wanita yang dicintainya. Bila merasa dipercaya ia sanggup memperlihatkan bagian luhur dari dirinya. Ia jadi penuh perhatian. Tetapi bila tidak merasa dipercaya, ia kehilangan sebagian tenaga dan gairah hidupnya, dan setelah beberapa waktu ia berhenti menyayangi.

Pria juga mesti tahu bahwa wanita tidak biasa meminta dukungan. Di Venus, semboyan mereka adalah "Cinta berarti tak pernah memnta!" Wanita menganggap bila pasangannya mencintainya, ia akan menawarkan dukungannya tanpa diminta. Tetapi pria banyak yang tidak menyadarinya. Karena di Mars, apabila anda menginginkan dukungan, anda harus memintanya. Kaum pria tidak secra naluriah terdorong untuk menawarkan dukungan, mereka harus diminta.

Namun untuk meminta dukungan dari si pria, si wanita juga harus berhati-hati jangan sampai menggunakan cara-cara yang keliru yang dapat mematahkan semangatnya. Contohnya adalah, jangan terkesan menuntut, karena bila itu dilakukan, betapapun manisnya si wanita merumuskan permintaan itu, yang didengar oleh si pria adalah kesan bahwa ia kurang memberi. Si pria akan cenderung semakin mengurangi pemberiannya, sampai si wanita menghargai apa yang terlah diberikannya.

Demikianlah, begitu besar spektrum perbedaan antara pria dan wanita yang dapat mempengaruhi keharmonisan sebuah hubungan. Pertengkaran dan perpisahan pasangan, kata Gray, seringkali bukan dikarenakan susutnya rasa cinta, tetapi banyak disebabkan oleh kegagalan mereka untuk saling memahami. Maka lain kali jika anda merasa kecewa dengan lawan jenis anda, Gray berpesan, ingatlah bahwa pria berasal dari Mars dan wanita dari Venus!

(Sayang, maafkan aku, baru sekarang mengerti segala kecemasan-kecemasanmu, kemarahan-kemarahanmu, keinginan-kinginanmu, harapan-harapanmu --semua rasa cintamu, yang kau sampaikan lewat isyarat-isyarat Venusmu itu. Maafkan aku yang gagal memahaminya saat itu.)

Kamis, April 20, 2006

K e m b a l i


SUDAH lebih empat bulan (sampai dua hari kemarin), blog ini tidak saya update -- bahkan sangat jarang saya kunjungi. Banyak hal yang menghalagi saya online: kesibukan, hilangnya mood hingga sulitnya mengakses internet di tempatku sekarang ini. Untunglah akhirnya semuanya bisa mulai terlampaui. Dan kini saya kembali, mudah-mudahan untuk seterusnya.

Selama empat bulan, tentu saja banyak perubahan yang terjadi. Yang paling terasa adalah kepindahanku ke tempat tugas baru. Setelah tiga tahun lebih bertugas kantor yang terletak di Bandung kota, kini saya berpindah ke daerah, tepatnya ke Rajamandala, sebuah distrik di sebelah barat Bandung kabupaten. Bila sebelumnya saya harus berkutat dengan masalah-masalah administratif di kantor (meski sekali-sekali ke lapangan juga), kini saya lebih bertanggungjawab dalam hal pengelolaan teritorial, yang harus menghadapi langsung problematika ril di lapangan. Sebuah tugas yang, tentu saja tidak makin ringan.

Pindah ke daerah, membawa saya ke kenyataan-kenyataan baru. Dari tempat tinggal, cakupan kerja, rekan sejawat, suasana kerja, kebiasaan dan hal-hal lain, yang harus mulai saya adaptasi kembali. Dan ini, tidak selalu mudah, apalagi bagi saya yang sebenarnya cenderung introvert. Banyak hal lucu juga terjadi. Misalnya, dalam jabatan sekarang, maka saya termasuk ”pejabat publik”. Karenanya saya harus sering berhadapan dengan banyak orang, terutama mereka yang memiliki keperluan berkaitan dengan kehutanan. Banyak yang kecele, karena tidak mengira yang mereka cari ada di depan matanya. ”Kok masih muda?”, begitu biasanya mereka bertanya, seakan tak percaya.

Hal tersebut juga membuat saya harus lebih berhati-hati. Harus lebih pandai menjaga sikap dan perilaku. Karena apa saya lakukan, kini, bisa menjadi perhatian banyak orang. Ini yang cukup merepotkan, karena saya sudah terbiasa hidup di kota, dimana setiap orang bak mahluk-mahluk tak beridentitas yang datang dan pergi setiap hari.

Tetapi saya juga menghadapi kesenangan-kesenangan baru. Misalnya, karena tidak terikat oleh batasan waktu kerja yang relatif ketat, kini saya lebih banyak memiliki waktu, yang sebenarnya memberikan saya untuk lebih berkreatifitas (sayang saya lebih sering malesnya). Suasana kerja pun lebih terasa informal. Tak banyak basa-basi. Sebuah hal yang sangat saya nikmati. Dan yang paling penting adalah: ada seseorang yang manis tiba-tiba hadir di kehidupanku (meski beberapa hari ini lagi ngambek).

Begitulah hidup, selalu berganti. Ada yang menyenangkan, ada yang menyebalkan. Ada yang hilang, ada yang datang. Ada yang bertambah, ada pula yang berkurang.

Semoga saja saya dapat menjalani semuanya dengan baik.

Rabu, November 09, 2005

Saat Tuk Memutuskan

DI sebuah milis, beberapa tahun yang lalu, ada sebuah posting menarik. Judulnya, Cinta dan Perkawinan menurut Plato. Ceritanya kira-kira begini.

Syahdan, suatu ketika Plato muda mendatangi gurunya dan bertanya, "Guru, ceritakan padaku mengenai hakikat percintaan!" Sang guru tersenyum, dan dengan penuh kearifan dia balik bertanya, "Jadi kau ingin mengenal cinta, Anakku?" Plato mengangguk pelan. "Baiklah," sambut sang bijak. "Pergilah kau ke hutan itu, dan ambilkan aku sebuah ranting -- hanya sebuah ranting -- yang kau anggap paling menakjubkan!" katanya. "Tapi ingat, kau hanya boleh berjalan lurus searah dan tidak boleh berbalik."

Tanpa banyak bertanya, Plato pun kemudian melaksanakan sesuai perintah gurunya. Selang berapa lama ia sudah kembali. "Apa yang kau dapat, Ananda?" periksa sang bijak. "Tak ada, Guru, saya tak membawa satu pun" jawab Plato murung. Sang Guru heran. "Mengapa, tak adakah ranting yang menakjubkanmu di sana?" selidiknya. Plato mengggeleng. "Ketika masuk hutan tadi, banyak sekali ranting yang indah dan menakjubkan, Guru. Saya hampir mengambilnya satu. Tetapi saya teringat pesan Guru, bahwa yang harus diambil adalah yang paling indah, maka saya memutuskan mencari lagi barangkali ada yang lebih bagus di depan sana. Demikian terus, hingga kemudian saya sadar ternyata sudah berada di ujung hutan, dan belum membawa satu pun" kenangnya lirih. Sang Guru tertawa, "Itulah perumpamaan Cinta, anakku."

Plato terdiam. Dia belum menangkap apa yang dimaksudkan sang Guru. "Lalu apa bedanya dengan perkawinan?" Plato bertanya lagi. Dia memang murid yang tak mudah menyerah, dan sang guru sangat menyadari itu. "Jika kau ingin tahu tentang perkawinan, Anakku, pergilah kau ke taman itu dan bawakan padaku satu bunga yang menurutmu paling indah. Dan tetap, kau tidak boleh berbalik!" titahnya jelas.

Plato kemudian berlari memenuhi perintah. Tak berapa lama dia sudah kembali dengan sekuntum bunga merah di tangannya. "Aku mendapatkannya, Guru," teriaknya riang. "Ini sebuah bunga yang sangat indah." Tapi sang Guru tak tampak gembira. Dia bahkan seakan meragukan pilihan sang murid. "O ya, tapi apakah kau yakin itu yang terindah di seluruh taman?" tanyanya. Plato kembali terdiam. Dia termenung beberapa saat. "Mungkin tidak, Guru," jawabnya sejurus kemudian. "Saya yakin di depan sana masih banyak bunga yang lebih indah dari ini. Tapi pengalaman di hutan tadi mengajarkan saya untuk cepat memutuskan. Saya tak ingin kembali dengan tangan hampa seperti tadi. Maka ketika ada satu bunga yang saya anggap cukup bagus, minimal tidak terlalu jelek, langsung saya mengambilnya. Dan saya tidak menyesal telah mengambil bunga ini sebagai pilihan saya," lanjut Plato mantap. Wajah sang Guru membinar. "Kini, kau telah mengerti, Anakku. Itulah hakikat perkawinan," katanya tersenyum. Dan Plato mengangguk riang.

***

Saya tak yakin cerita itu otentik. Kuat dugaan itu rekaan orang belaka, dan nama besar Plato hanya dipinjam sebagai tokoh perumpamaan. Mungkin untuk menambah efek "bijak". Judulnya pun barangkali lebih tepat: Cinta dan Perkawinan menurut guru Plato, karena ternyata sang guru yang lebih berpendapat. Tetapi bahkan dari jalan cerita, kita mengetahui bahwa tidak begitu tepat menjadikan tema perbandingan Cinta dan Perkawinan sebagai judul karena dua entitas tersebut sama sekali tak diperbandingkan secara utuh menurut pengertian awam kita. Meskipun begitu, pesannya sangatlah jelas: jangan mencari kesempurnaan dalam cinta!

Pikiran serakah kita selalu menginginkan kesempurnaan dalam berbagai hal, termasuk pasangan hidup. Seorang lelaki normal akan mendambakan wanita yang cantik, baik, kaya, atau apa pun sesuai dengan keinginannya, untuk menjadi istri. Begitupun sebaliknya. Itu manusiawi saja. Tetapi, yang harus disadari adalah ternyata ukuran kesempurnaan itu sangatlah tak berbatas, karena selalu saja ada yang nampak lebih cantik --lebih indah, dari apa yang ada di depan mata. Dan celakanya, di sisi lain, kesempatan untuk mencari dan menyeleksi ternyata sangatlah sempit, sangatlah terbatas. Parahnya lagi, dia bagai jalan lurus yang tak pernah kita bisa berbalik, karena demikianlah memang sang waktu berlaku. Sebuah kesempatan tak pernah datang dua kali, kata orang. Dan itu kerap kali terbukti. Salah-salah, jika kita terlalu mendamba kesempurnaan, alih-alih mendapat yang paling, bisa-bisa malah tak mendapat apa-apa, seperti yang dialami Plato pada kesempatan pertama.

Jadi, ada saat kita harus memutuskan untuk memilih. Saat itu harus tepat, karena terlalu tergesa pun tak baik. Kita pun mesti memiliki cukup waktu untuk menimbang-nimbang -- dan pesan Plato (atau siapapun yang mengarang cerita itu), mikirnya jangan terlalu lama. Karena bisa kebablasan, dalam arti momennya habis. Kapankah saat tepat itu? Kita sendiri yang tahu. Kita sendiri yang menentukan.

Plato memutuskan mengambil satu bunga, manakala melihat ada yang dia anggap cukup mewakili seleranya. Dia tidak ingin mencari yang paling, karena dia pikir itu sia-sia. Dan dia tidak menyesal. Kamu?

Senin, Oktober 24, 2005

Cinta Pabaliut

...kuring bogoh ka embe,
embe bogoh ka kuring...
(Doel Sumbang/Barakatak, Pabaliut)

URUSAN cinta memang ruwet. Polanya tak mudah ditebak. Ada yang lancar-lancar saja, tak banyak tentangan. Ada pula yang teramat sulit, hingga susah sekali untuk bertemu sang pasangan jiwa. Sebagian lain, ada di antara keduanya. Orang bilang itu takdir.

Doel Sumbang pernah juga bikin sebuah lagu sunda yang kocak tentang kisah cinta yang ruwet. Judulnya Cinta Pabaliut. Dia bercerita tentang sekumpulan orang yang cintanya tak saling bersambut, tapi sambung-menyambung membentuk cinta segi banyak. Ada seorang gadis A mencintai pemuda B. Tapi sayang sang pemuda B lebih terarik ke gadis C. Sang C sendiri lebih memilih lelaki D. Namun si D ternyata tergila-gila oleh E. Begitu seterusnya, sampai pada ujung cerita ketika cinta segi banyak tersebut nyambung pada gadis X yang mencintai si Aku (yang nyanyi). Sayang, si Aku terlanjur jatuh cinta sama kambingnya, yang kali ini gayung bersambut, karena sang kambing juga ternyata mencintai si Aku.

Begitulah. Urusan cinta memang bisa jadi pabaliut tak keruan. Tapi juga bisa jadi amat kocak. Ha ha...

Sabtu, Oktober 22, 2005

Gus Dur dan Sebuah Perdebatan Kecil

Tiba-tiba saja saya terjebak dalam sebuah perdebatan kecil. Seorang teman menyerang saya dengan pertanyaan tak asing, "Saya heran, bagaimana bisa seorang intelektual sepertimu mengidolakan orang seperti Gus Dur?", katanya prihatin. Seperti biasa, saya tertawa mendengarnya. Saya jawab ringan, "Justru karena saya merasa sebagai seorang intelektual, maka saya mengagumi beliau".

Teman saya itu adalah seorang Islam formalis. Seorang yang selalu berusaha mempraktekkan Islam dengan segala simbolnya dalam kehidupan sehari-hari, dari celana ngatung sampai janggut, sebagaimana trend yang sedang menggejala pada komunitas-komunitas intelektual muda di kota-kota besar belakangan ini. Orang yang idealis tapi tak cukup radikal. Afiliasi politiknya pun bisa ditebak. Dia adalah seorang simpatisan Partai Keadilan Sejahtera.

Dan saya adalah pengagum Gus Dur. Sebuah kekaguman yang tentunya muncul bukan tanpa sebab. Ini berawal sekitar 6 tahun yang lalu, ketika saya suatu kali singgah di Masjid Raya Makassar dalam perjalanan menuju Malinau, Kalimantan Timur, untuk Praktek Kerja Lapang di sebuah HPH BUMN. Karena kesal menunggu kapal, saya iseng-iseng membeli sebuah buku yang dijual di sana. Judulnya sangat menarik dan provokatif: Tuhan Tak Perlu dibela. Sejak semula, saya memang menyukai sesuatu yang yang berbau kontroversial, sehingga tanpa ragu saya memilih buku itu untuk dibeli, selain memang sempat membaca resensinya di sebuah majalah.

Pada saat itu, Gus Dur sedang menjadi berita, karena baru saja terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Habibie. Sikap dan sepak terjangnya yang nyleneh, banyak diulas media. Dari yang memuji, sampai mencaci maki. Dan julukan beliau sebagai Guru Bangsa, banyak membuat orang muda seperti saya terheran-heran. Mengapa orang aneh ini mendapat julukan sedemikian terhormat? Apa yang sudah beliau perbuat sehingga sebagian orang memujanya begitu rupa?

Dan pertanyaan itu terjawab setelah saya membaca buku itu. Ajaib, karena hampir semua pandangan saya tentang sosial keagamaan dan keindonesiaan, yang selama ini mendekam di kepala, ternyata diterangkan Gus Dur dengan lancar, lugas dan enak dibaca. Gagasannya tentang pribumisasi Islam, sangat mengena pada saya yang sedang jengkel terhadap perilaku beberapa teman yang berubah ber-ana antum ria semenjak mereka menjadi aktivis kampus. Sikap toleransinya yang begitu tinggi --bahkan kadang berlebihan-- terhadap kaum minoritas dan beda agama, sejalan dengan saya yang selalu merasakan empati yang besar terhadap mereka-mereka yang ditindas dan diasingkan. Ketidaksukaannya terhadap segala bentuk formalisme, termasuk formalisme agama, juga selalu saya rasakan. Pandangannya yang jernih dan adil dalam menilai suatu permasalahan --pada zamannya-- begitu mengagumkan. Pendeknya, sejak saat itu saya jatuh cinta pada buku itu, dan tentu saja pada sosok Gus Dur. Sampai sekarang, Tuhan Tak Perlu dibela, menjadi buku wajib saya yang selalu saya baca di kala ada kesempatan.

Sejak saat itu saya pun menjadi seorang, kata beberapa teman, ABG atau Anak Buah Gus Dur. Semua tulisan Gus Dur dan tentang beliau, saya buru --saya baca. Selalu menarik. Dan bisa ditebak, apa yang terjadi pada Gus Dur, terjadi juga pada saya. Saya hampir selalu menjadi antitesis. Saya jadi kerap terlibat perdebatan sengit, dengan beberapa teman yang umumnya sangat kontra. Saya ingat, ketika menjelang impeachment terhadap Gus Dur oleh MPR, saya adalah satu-satunya dari seratus orang penghuni asrama yang tetap membela.

Setelah Gus Dur turun dari presiden, beliau pernah membuat buku juga. Tapi sayang, kualitasnya jauh berbeda. Ide-ide segar dan enak dibaca tak bisa lagi kita dapati. Yang ada adalah tulisan-tulisan membosankan dan penuh apologi. Rupanya Gus Dur memang telah berubah. Tetapi itu tak mengurangi hormat saya pada beliau.

Tentu saja, pandangan saya ini bertabrakan langsung teman PKS tadi. Dan ini kerap menjadi sumber perdebatan antara kami berdua. Tak jarang kami terlibat dalam diskusi yang cukup rame. Tapi jangan salah sangka. Kami tidak melakukan itu dengan otot-ototan. Semua perdebatan itu kami lakukan dengan tertawa riang, --meski tidak jarang pake hati juga ding!

Dan jawaban tadi saya sambung dengan sebuah pernyataan sedikit menantang. "Orang-orang yang bisa memahami Gus Dur hanyalah orang yang memiliki intleketual tinggi, yang bisa memikirkan agama dengan dewasa", serang saya sambil ketawa.

Teman satu ini tentu tak puas. "Dia itu pengacau tau? Dia sering bikin bingung umat dengan omongan-omongannya yang ngawur", serangnya sengit. "Justru dengan begitu, Gus Dur mendidik umat muslim untuk selalu bersikap cerdas dalam memandang persoalan", jawab saya tak kalah seru.

Dia menyiapkan serangan susulan. "Muslim macam apa yang selalu lebih membela orang non muslim ketimbang teman-teman seagamanya? Kau tahu apa yang dia katakan tentang Ahmadiyah? Masa dia mengatakan kalo Ahmadiyah, yang jelas sesat, harus dibela? Kiayi seperti apa itu?". Dia memang menggebu-gebu. Saya katakan, seharusnya kita berbangga apabila ada seorang muslim ternyata banyak dipuja oleh mereka yang lain agama. Bukankah itu memberi gambaran yang positif tentang seorang muslim. Bahwa Gus Dur terkadang keras terhadap muslim lain, saya ibaratkan seperti seorang bapak yang menjewer anaknya yang nakal untuk mendidik. "Cuma si anak, kadang terlalu manja", kata saya. Gus Dur memang selalu memposisikan sebagai pembela bagi mereka yang tertindas, termasuk kaum Ahmadiyah. Saya katakan, persoalan sesat dan tidak sesat biarlah milik Allah. Yang jelas, adalah tidak dibenarkan kita melakukan kekerasan pada yang lemah, bahkan atas nama agama pun. Dan bila ada yang melakukannya, itu harus dikecam, muslim atau bukan.

Dia masih ingin melanjutkan perdebatan. Tapi, tiba-tiba... "Awas!". Sebuah sepeda motor melintas cepat, nyelonong di depan mobil yang sedang kami kendarai.

Minggu, Oktober 09, 2005

Seven Days In Thailand (Last)

Kembali ke Bangkok

Hari Kamis, kami kembali ke Bangkok. Belum berencana pulang, karena kami masih memiliki agenda untuk berkunjung ke beberapa tempat lagi. Selama perjalanan di bis, perasaan sentimentil saya muncul. Mungkin akibat lagu-lagu boysband yang distel keras-keras di bis.

Menjelang siang kami sampai di Bangkok, dan ditempatkan pada sebuah hotel kecil di district Ram Kam Haeng. Namanya Dynasty Hotel. Kami pun dipersilahkan untuk beristirahat sampai setelah lohor di hotel. Mulai saat itu kami dipandu oleh guide baru yang sengaja disewa panitia dari sebuah biro perjalanan wisata. Ada tiga guide, yang dua orang Indonesia dan yang satu guide lokal. Guide Indonesia yang satu bernama Lili. Seorang wanita paruh baya berbadan bulat dengan selera humor yang kasar. Seorang lagi bernama Lukman. Masih muda. Dia bertugas mengurus membantu Lili mengurus-ngurus adminstrasi. Yang ketiga adalah seorang guide lokal. Namanya Citra. Dia seorang muslim Thailand yang sewaktu mahasiswa pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta sehingga bahasa Indonesianya sangat fasih. Rambutnya kriting gondrong, dengan kumis tak terurus. Sekilas penampilannya seperti preman, tetapi rupanya dia cukup pandai bercerita.

Kami tak sempat berisitirahat lama, karena siang itu kami diagendakan untuk mengunjungi Wath Arun, sebuah situs sejarah kerajaan Thailand yang terletak di pinggiran kota Bangkok. Untuk sampai ke sana, kami membutuhkan hampir 2 jam perjalanan. Bangkok ternyata memiliki penyakit yang hampir sama dengan kota-kota besar lainnya: Macet. Untungnya, Pak Cit (si Guide lokal), bercerita sepanjang perjalanan.

Bangkok, Kota yang Besar

Bangkok adalah sebuah kota yang sangat besar. Luasnya konon hampir 3 kali Jakarta (bila tidak menggunakan konsep megapolitan). Penduduknya 8 juta dan sekitar 1,5 juta diantaranya adalah orang asing. Mereka datang dari negara-negara sekitar Thailand seperti Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam, untuk mengadu nasib di Bangkok. Diantara mereka orang Myanmar-lah yang paling banyak, dan mereka terkenal kasar. Kata Pak Cit, ini disebabkan kehidupan mereka yang sulit di negerinya.

Mayoritas orang Thai, beragama Buddha Hinayana. Orang Islam ada juga, terutama mereka berasal dari provinsi-provinsi di daerah selatan, yaitu yang terpengaruh budaya melayu. Konon, dari 70 lebih provinsi kota di Thailand, sekitar 15 dari mereka sangat berbau melayu, karena pernah dijajah oleh Sriwijaya. Di Bangkok, banyak juga kompleks-kompleks pemukiman muslim. Selama di di sana kami membeli makan di kompleks-kompleks tersebut.

Perkembangan ekonomi Thailand sangat mengagumkan. Kami tak tahu angka pastinya, tetapi apa yang kami lihat di Bangkok sangat menggambarkan itu. Infrastruktur jalan dibangun dengan lebar dan bertingkat-tingkat. Gedung-gedung menjulang tinggi diseling taman-taman kota yang menghijau. Kendaraan-kendaraan tahun terbaru lalu lalang (saya bayangkan di sini, Jimny Katana-ku mungkin udah jari barang rongsokan). Kemacetan memang menjadi permasalahan utama. Untuk itu, pemerintah kini sedang mengembangkan subway MRT selain juga skytrain. Ciri-ciri negara maju sudah tampak di Bangkok.

Kota Yang Bersih

Bangkok juga sangat bersih. Menurut Pak Cit, Bangkok terbebas dari permasalahan sampah dan banjir mulai sekitar 15 tahun yang lalu. Ini mengagumkan, karena dulu, keadaannya sampir serupa, bahkan mungkin lebih parah, dari Jakarta. Ketika kami tanyakan bagaimana caranya, Pak Cit menjawab: mudah. Hal yang harus dilakukan pertama-tama adalah membersihkan saluran-saluran air dari sampah, katanya. Untuk ini, Pemerintah Kota memiliki kiat tersendiri. Mereka mengerahkan para narapidana untuk melakukan hal tersebut untuk menghemat angaran. Para napi yang berkelakuan baik, ditugaskan untuk membersihkan kota Bangkok dengan imbalan berbagai fasilitas, dari pengurangan hukuman sampai diizinkan untuk berkumpul dengan istri mereka beberapa hari dalam sebulan. "Baru setelah hampir 2 tahun, Bangkok terbebas sama sekali dari sampah", kata Pak Cit.

Setelah itu dilakukan manajemen sampah, yaitu pemisahan sampah menurut jenisnya. Ini dilakukan sampai pada tingkat rumah tangga. Untuk mengkampanyekan ini, dilakukan pendekatan melalui anak-anak TK. "Orang tua akan malu apabila diajari oleh anak TK," lanjut Pak Cit. Sampah-sampah tersebut kemudian diolah. Yang memungkinkan dilakukan daur-ulang, sedang yang organik diolah menjadi kompos. Sehingga sampah, di Thailand, bukan menjadi barang yang menjijikan, tetapi menjadi sumber pendapatan dan lapangan kerja. Kami hanya mengangguk-angguk.

Bensin 6000 rupiah seliter

Yang mengagumkan juga adalah soal BBM. Thailand adalah pengimpor seratus persen minyak, sehingga komoditi itu dilepas pada mekanisme pasar. Harga bensin di Bangkok saat itu adalah sekitar 6000 rupiah. Dengan melambungnya harga minyak dunia, kemungkinan harganya bisa mencapai 8000 - 10.000. Taksi-taksi di banyak yang menggunakan bahan bajar LPG, karena lebih murah.

Tetapi pemerintah memberikan kompensasi yang adil dan mendidik. Biaya kesehatan sangat-sangat murah. Untuk berobat, penyakit apapun dan berapa lamapun, mereka hanya dikenai biaya 30 Baht (sekitar 7500 rupiah). Pendidikan sampai SMA juga ditanggung oleh Pemerintah. Hal tersebut menyebabkan persoalan BBM tidak menjadi sesuatu yang terlalu sensitif seperti di Indonesia. Saya jadi berfikir, jika sebelumnya hal yang sama diterapkan di Indonesia, barangkali juga menjadi positif. Yaitu munculnya generasi muda yang sehat dan berpendidikan, tetap hemat. Bukannya generasi boros dan konsumtif, tetapi otaknya dodol!

Raja yang dicintai Rakyat

Ada satu lagi kelebihan Thailand, yaitu mereka memiliki pemimpin terakhir yang sangat disegani: Raja. Raja Bhumibol barangkali adalah satu-satunya raja di Dunia yang kharisma dan wibawa di rakyatnya masih sangat tinggi. Dimana-mana, di setiap sudut kota, fotonya dan atau foto Ratu, dipajang. Ini membuktikan kecintaan dan penghargaan rakyat yang tinggi pada raja. Suatu hal yang mengagumkan di era modern.

Kecintaan tersebut disebabkan oleh perilaku raja yang memang patut diacungi jempol. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan bijaksana. Raja Bumibhol memang pandai menempatkan diri. Sebagai seorang raja di era modern, dia tidak lagi bisa berbuat sesukanya. Tetapi harus pandai-pandai mengambil hati rakyat, agar kehdirannya sebagai seorang pemimpin memang berarti di rakyatnya. Hartanya konon habis digunakan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek kepentingan publik. "Rakyat Thailand bukan takut pada raja, tetapi malu," kata Pak Cit. Ditambahkannya, bahwa Thailand sering mengalami ketegangan politik, tetapi tidak pernah pecah menjadi chaos, karena mereka memiliki pempimpin terakhir yang dipatuhi oleh semua pihak. Ketika raja sudah memutuskan, maka semua pihak akan menerima dengan lapang dada. Pernah suatu kali Thailand berkonflik dengan negara tetanga, sehingga sudah hampir menyiapkan angkatan perang. Melihat kondisi yang sudah sedemikian gawat, Raja pun turun tangan. Dengan sebuah perkataan, rakyat kembali tenang. "Cuma, beliau tidak pernah sembarang ngomong. Dia bicara ketika suasana sudah gawat," kata Pak Cit. Hal tersebut memang harus dilakukan untuk menjaga kewibawaan.

Wath Arun

Image hosted by Photobucket.comWath arun adalah sebuah candi, mungkin sebandng dengan Borobudur di kita. Terletak di tepi sebuah sungai (saya lupa namanya), menjadikan Wath Arun terlihat eksotis. Konon dulunya ini adalah pusat pemerintahan kerajaan Thailand sebelum pindah ke Bangkok pada abad XVIII, akibat seringnya diserang oleh bangsa Myanmar. Bangsa Myanmar di masa lalu memang sangat ingin menguasai Thailand yang subur, karena di negerinya yang dataran tinggi tidak baik untuk bercocok tanam. "Di masa lalu kami hampir 400 kali berperang dengan bangsa Myamnar," kata pak Cit.

Karena keindahannya Wath Arun menjadi salah satu objek wisata wajib di Bangkok. Turis Indonesia juga banyak yang sering ke sini. Tetapi, tambahnya, umumnya tujuan mereka lain. Bukannya melihat keindahan candi, tetapi untuk belanja di pasar murah pinggir kompleks candi. Dan terbukti, kami memang akhirnya tak sempat masuk, karena waktu habis untuk berbelanja.

Pulangnya kami mengunjungi sebuah toko penjualan permata. Thailand, konon, memang terkenal dengan kerajinan permatanya. Di sana kami dapat melihat berbagai batu mulia seperti diamond, shapir, giok dan lain-lain. Beberapa orang berbelanja di sana, tetapi tidak banyak. Kemarin, sebelum ke Bangkok, kami sempat juga diajak ke toko serupa oleh Lex, sehingga banyak diantara kami yang sudah membeli. Saya sendiri tak terlalu tertarik. Saya pikir, saya belum membutuhkannya. Hari itu kegiatan hanya sampai di situ. Kami kemudian pulang menuju hotel. Saya sudah mulai lelah.

Ke Pusat Penelitian Pertanian Organik

Jumat, kami diagendakan untuk mengunjungi sebuah pusat penelitian dan pengembangan pertanian terpadu organik di sebuah provinsi yang tidak bisa saya ingat namanya. Letaknya cukup jauh dari Bangkok, sekitar 3 jam. Tak banyak yang kami dapat di sana, selain keterpaduan antara peternakan (sebagai sumber pupuk kandang), pertanian, dan perikanan. Saya cukup tertarik dengan pemeliharaan ikan secara organik, yang tidak membutuhkan lahan yang luas. Selain dari itu, pengelolaannya tak beda jauh dengan di Indonesia.

Pulang dari sana, kami sempat mampir di sebuah pasar buah --salah satu dari 4 pasar buah terbesar di Bangkok. Sayangnya hujan turun sangat deras, menghalangi kita untuk turun. Akhirnya perjalanan diteruskan ke showroom sutra milik keluarga Shinawatra. Rupanya, sang Perdana Menteri adalah pengusaha sutera juga. Kata Dadung, "Alus keneh nu urang di Pangalengan". Setelah itu, sempat pula singgah di sebuah pusat penjualan kulit. Tetapi tak terlalu menarik.

Malamnya adalah malam terakhir kami bisa bejalan-jalan di Bangkok, karena besok kami harus pulang ke Jakarta. Maka saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar hotel, melihat-lihat para pedagang kaki lima yang banyak mangkal di sana. Bangkok, ternyata sangat aman. Tak ada preman atau orang mabuk berkeliaran di jalanan. Bahkan lokasi pedagang kaki lima pun sangat bersih, tidak kumuh. Sesekali saya mampir pura-pura mau beli bila melihat pedagangnya cantik.

Tersesat di Chatuchak

Esoknya, guide mengajak kami mengunjungi penangkaran ular. Ada bermacam-macam ular di sana, dan tentunya yang paling terkenal adalah King Cobra. Ada sedikit atraksi disana, namun ujung-ujungnya kami ditawarin berbagai obat dari ular. Rombongan, yang kebanyakan uangnya sudah habis, malah pada kabur.

Lepas dari sana, kami dibebaskan menetukan tujuan. Beberapa orang memilih Chatuchak, sebuah pasar tradisional terbesar di Bangkok. Sebenarnya pilihan ini sempat menimbulkan polemik di antara rombongan. Entah mengapa, guide kami sepertinya sangat keberatan dengan tujuan ini. Mereka menakut-nakuti bahwa keamanan di sana tak terjamin karena banyak copetnya. Tentu saja sebagian rombongan menjadi takut. Tetapi sebagian lain tetap ngotot. Malam sebelum berangkat, kebetulan Lex datang ke Hotel, dan kami menayakan hal tersebut kepadanya. Lex mengatakan, "Copet itu ada di mana-mana, di negara anda maupun di negara kami. Tinggal bagaimana kewaspadaan kita. Pegang dompet anda erat-erat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya dari anda. Jangan khawatir, saya setiap minggu ke sana, dan tak pernah ada masalah". Maka akhirnya kami pun sepakat ke Chatuchak.

Chatuchak adalah sebuah pasar yang besar. Mungkin sebanding dengan Tanah Abang di Jakarta. Di sini dijual apa saja, termasuk cendera mata. Makanya banyak juga turis-turis yang berkunjung. Kami diberi waktu 2 jam di pasar itu. Semula, saya bertiga dengan Dadung dan Saepudin. Tadinya bermaksud membeli oleh-oleh yang dirasa belum cukup. Karena keasyikan, saya masuk terlalu dalam dan terpisah dari rombongan. Terpikir pulangnya akan mudah, dengan menelusuri jalan ketika masuk. Tetapi celaka, ketika mencari jalan pulang, saya tersesat. Mencoba bertanya, tetapi tak banyak yang mengerti bahasa Inggris di sana. Saya mulai panik karena sudah lewat dari waktu yang diberikan oleh guide. Untung sempat ngirim sms terakhir ke Dadung --Urang nyasar, dagoan tong ditinggalkeun! Hampir saya menyerah. Untungnya ada seorang polantas yang mengerti apa yang saya katakan. Dia lantas membantu menstopkan sebuah taksi.

Tiba di bus, semua orang mengomel, "Dari mana aja kamu?". Saya hanya nyengir.

Tujuan terakhir adalah Ma Bung Krong (MBK). Sebuah pusat perbelanjaan modern di Bangkok, mungkin sekelas Blok M. Karena tak ingin tersesat lagi, saya tak masuk terlalu jauh. Tetapi sempat membeli sebuah baju khas Thailand seperti yang sering dipake Lex, dengan Baht yang tersisa.

Pulang

Image hosted by Photobucket.com Setelah sempat naik MRT, pukul 5 sore kami menuju Dong Muang. Saya mulai kembali dicekam perasaan takut terbang. Beberapa orang ternyata membawa banyak sekali oleh-oleh. Pak Rudi bahkan membawa berdus-dus. Ketika saya tanyakan isinya, ternyata adalah anggrek. "Untuk dijual di Indonesia," katanya. Pak Rudi memang petani anggrek.

Kami take off tepat pukul delapan malam. Bersama dengan rombongan kami ada juga rombongan TKI yang mudik dari Dubai. Mereka masih muda dan nampak polos. Yang menyedihkan saya adalah kebanyakan mereka orang Sunda. Umumnya dari Cianjur dan Indramayu. Seorang duduk disamping Saepudin. Dia seorang janda satu anak dari Indramayu. Menjadi TKI adalah pilihan terbaik, katanya. Karena pilihan yang tersisa cuma jadi PSK!

Saya semakin sedih, ketika mengingat betapa kerja keras dan pengorbanan mereka sering menjadi lahan pemerasan oleh oknum-oknum bangsa kita juga. Oleh oknum Depnaker, PJTKI, bahkan para sopir dan calo. Saya sedih, betapa bangsa kita dengan mudah kehilangan hati, hanya karena kesulitan hidup yang mendera.

Pukul 24.00 kami sampai kembali di Jakarta.