Sabtu, Oktober 22, 2005

Gus Dur dan Sebuah Perdebatan Kecil

Tiba-tiba saja saya terjebak dalam sebuah perdebatan kecil. Seorang teman menyerang saya dengan pertanyaan tak asing, "Saya heran, bagaimana bisa seorang intelektual sepertimu mengidolakan orang seperti Gus Dur?", katanya prihatin. Seperti biasa, saya tertawa mendengarnya. Saya jawab ringan, "Justru karena saya merasa sebagai seorang intelektual, maka saya mengagumi beliau".

Teman saya itu adalah seorang Islam formalis. Seorang yang selalu berusaha mempraktekkan Islam dengan segala simbolnya dalam kehidupan sehari-hari, dari celana ngatung sampai janggut, sebagaimana trend yang sedang menggejala pada komunitas-komunitas intelektual muda di kota-kota besar belakangan ini. Orang yang idealis tapi tak cukup radikal. Afiliasi politiknya pun bisa ditebak. Dia adalah seorang simpatisan Partai Keadilan Sejahtera.

Dan saya adalah pengagum Gus Dur. Sebuah kekaguman yang tentunya muncul bukan tanpa sebab. Ini berawal sekitar 6 tahun yang lalu, ketika saya suatu kali singgah di Masjid Raya Makassar dalam perjalanan menuju Malinau, Kalimantan Timur, untuk Praktek Kerja Lapang di sebuah HPH BUMN. Karena kesal menunggu kapal, saya iseng-iseng membeli sebuah buku yang dijual di sana. Judulnya sangat menarik dan provokatif: Tuhan Tak Perlu dibela. Sejak semula, saya memang menyukai sesuatu yang yang berbau kontroversial, sehingga tanpa ragu saya memilih buku itu untuk dibeli, selain memang sempat membaca resensinya di sebuah majalah.

Pada saat itu, Gus Dur sedang menjadi berita, karena baru saja terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Habibie. Sikap dan sepak terjangnya yang nyleneh, banyak diulas media. Dari yang memuji, sampai mencaci maki. Dan julukan beliau sebagai Guru Bangsa, banyak membuat orang muda seperti saya terheran-heran. Mengapa orang aneh ini mendapat julukan sedemikian terhormat? Apa yang sudah beliau perbuat sehingga sebagian orang memujanya begitu rupa?

Dan pertanyaan itu terjawab setelah saya membaca buku itu. Ajaib, karena hampir semua pandangan saya tentang sosial keagamaan dan keindonesiaan, yang selama ini mendekam di kepala, ternyata diterangkan Gus Dur dengan lancar, lugas dan enak dibaca. Gagasannya tentang pribumisasi Islam, sangat mengena pada saya yang sedang jengkel terhadap perilaku beberapa teman yang berubah ber-ana antum ria semenjak mereka menjadi aktivis kampus. Sikap toleransinya yang begitu tinggi --bahkan kadang berlebihan-- terhadap kaum minoritas dan beda agama, sejalan dengan saya yang selalu merasakan empati yang besar terhadap mereka-mereka yang ditindas dan diasingkan. Ketidaksukaannya terhadap segala bentuk formalisme, termasuk formalisme agama, juga selalu saya rasakan. Pandangannya yang jernih dan adil dalam menilai suatu permasalahan --pada zamannya-- begitu mengagumkan. Pendeknya, sejak saat itu saya jatuh cinta pada buku itu, dan tentu saja pada sosok Gus Dur. Sampai sekarang, Tuhan Tak Perlu dibela, menjadi buku wajib saya yang selalu saya baca di kala ada kesempatan.

Sejak saat itu saya pun menjadi seorang, kata beberapa teman, ABG atau Anak Buah Gus Dur. Semua tulisan Gus Dur dan tentang beliau, saya buru --saya baca. Selalu menarik. Dan bisa ditebak, apa yang terjadi pada Gus Dur, terjadi juga pada saya. Saya hampir selalu menjadi antitesis. Saya jadi kerap terlibat perdebatan sengit, dengan beberapa teman yang umumnya sangat kontra. Saya ingat, ketika menjelang impeachment terhadap Gus Dur oleh MPR, saya adalah satu-satunya dari seratus orang penghuni asrama yang tetap membela.

Setelah Gus Dur turun dari presiden, beliau pernah membuat buku juga. Tapi sayang, kualitasnya jauh berbeda. Ide-ide segar dan enak dibaca tak bisa lagi kita dapati. Yang ada adalah tulisan-tulisan membosankan dan penuh apologi. Rupanya Gus Dur memang telah berubah. Tetapi itu tak mengurangi hormat saya pada beliau.

Tentu saja, pandangan saya ini bertabrakan langsung teman PKS tadi. Dan ini kerap menjadi sumber perdebatan antara kami berdua. Tak jarang kami terlibat dalam diskusi yang cukup rame. Tapi jangan salah sangka. Kami tidak melakukan itu dengan otot-ototan. Semua perdebatan itu kami lakukan dengan tertawa riang, --meski tidak jarang pake hati juga ding!

Dan jawaban tadi saya sambung dengan sebuah pernyataan sedikit menantang. "Orang-orang yang bisa memahami Gus Dur hanyalah orang yang memiliki intleketual tinggi, yang bisa memikirkan agama dengan dewasa", serang saya sambil ketawa.

Teman satu ini tentu tak puas. "Dia itu pengacau tau? Dia sering bikin bingung umat dengan omongan-omongannya yang ngawur", serangnya sengit. "Justru dengan begitu, Gus Dur mendidik umat muslim untuk selalu bersikap cerdas dalam memandang persoalan", jawab saya tak kalah seru.

Dia menyiapkan serangan susulan. "Muslim macam apa yang selalu lebih membela orang non muslim ketimbang teman-teman seagamanya? Kau tahu apa yang dia katakan tentang Ahmadiyah? Masa dia mengatakan kalo Ahmadiyah, yang jelas sesat, harus dibela? Kiayi seperti apa itu?". Dia memang menggebu-gebu. Saya katakan, seharusnya kita berbangga apabila ada seorang muslim ternyata banyak dipuja oleh mereka yang lain agama. Bukankah itu memberi gambaran yang positif tentang seorang muslim. Bahwa Gus Dur terkadang keras terhadap muslim lain, saya ibaratkan seperti seorang bapak yang menjewer anaknya yang nakal untuk mendidik. "Cuma si anak, kadang terlalu manja", kata saya. Gus Dur memang selalu memposisikan sebagai pembela bagi mereka yang tertindas, termasuk kaum Ahmadiyah. Saya katakan, persoalan sesat dan tidak sesat biarlah milik Allah. Yang jelas, adalah tidak dibenarkan kita melakukan kekerasan pada yang lemah, bahkan atas nama agama pun. Dan bila ada yang melakukannya, itu harus dikecam, muslim atau bukan.

Dia masih ingin melanjutkan perdebatan. Tapi, tiba-tiba... "Awas!". Sebuah sepeda motor melintas cepat, nyelonong di depan mobil yang sedang kami kendarai.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Apa maksud pribumisasi islam?

Kalau maksudnya seperti yg Gus Dur pernah bilang bahwa assalamualaikum wr wb dapat digantikan dengan SELAMAT PAGI ya jelas nggak sama dong!

Pada ucapan assalamualaikum wr wb kan terkandung sebuah doa yg tidak dapat kita jumpai pada ucapan selamat pagi..:)

Salam kenal..thanks udah mampir ke blog saya

Dr Rosalina

http://keluargazulkarnain.blogspot.com

Anonim mengatakan...

wahh iya juga sihhh yang harus dikoreksi juga diri sendiri yang masih banyak kekurangan. Jangan bersikap menghakimi, itu authoritynya Tuhan.
Keren keren
salam kenal dari niken

Anonim mengatakan...

Gus dur terlibat sex sama cewek nggak mau tanggung jwab...sialan..