Rabu, November 11, 2015

Menilik Kisah Cinta Sang Kembang Mangkunegaran

Pada tanggal 10 Nopember 2015 kemarin, Gusti Nurul, sang kembang Mangkunegaran meninggal dunia di Bandung pada usia 94 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Astana Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Astana Girilayu merupakan pemakaman dari keluarga besar trah Mangkunegaran. Siapakah tokoh yang pernah menarik hati para tokoh-tokoh besar negeri ini tersebut?

Gusti Nurul yang cantik dan cerdas ini memang cukup menarik untuk disimak. Beliau dilahirkan pada 1921 oleh GKR Timur Mursudariyah (putri sultan Jogja Hamengkubuwono VII), yang merupakan permaisuri HRH Mangkunegoro VII.

Saat lahir orangtuanya memberinya nama Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Meski tumbuh dibalik tembok keraton, sang putri yang disekolahkan di sekolah Belanda, memiliki gaya dan pandangan hidup yang terhitung amat modern untuk masanya.

Selain itu sebagai seorang putri keraton yang anggun, beliau tentu mahir menari. Tahun 1937, Gusti Nurul diundang ke Belanda untuk menari di pernikahan Putri Juliana yang dilakukan secara teleconference, yaitu musik gamelan Kanjut Mesem dimainkan di Solo sedangkan Gusti Nurul mendengarkan alunan gamelan melalui telepon dan menari dihadapan tamu undangan pernikahan.

Karena sambungan telepon pada masa itu masih belum sebaik sekarang maka sang Ibu masih memberikan aba-aba secara langsung berupa ketukan-ketukan. Ratu Wilhelmina yang kagum pada Gusti Nurul memberinya gelar de bloem van Mangkunegaran atau kembang dari Mangkunegara.

Dengan segenap kelebihan tersebut, tak heran Gusti Nurul menjadi bunga gemerlap. Tak cuma orang kebanyakan yang takjub. Sedikitnya, ada empat figur top yang menjadi penggemar Gusti Nurul bahkan mereka juga berlomba memperebutkannya. Mereka adalah Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir dan Kolonel GPH Djatikusumo. Pada saat itu Soekarno orang nomor satu di republik, Sultan HB IX orang nomor satu di Jogja, Sutan Sjahrir perdana menteri dan Djatikusumo adalah panglima tentara (KSAD).

Begitu kagumnya pada Gusti Nurul, suatu ketika Soekarno mengundangnya ke Istana Cipanas, begitu revolusi usai. Pada saat yang sama, Soekarno juga memanggil pelukis naturalis kesayangannya, Basuki Abdullah. Basuki dimintanya melukis Gusti Nurul. Setelah jadi, lukisan itu pun dipajang di kamar kerja Presiden Soekarno di Cipanas.

Pada setiap rapat kabinet yang digelar di Yogyakarta pada tahun 1946, Sutan Sjahrir selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, untuk secara khusus mengantarkan kado yang dibelinya dari Jakarta. Bersama kado tersebut, ia juga lampirkan sepucuk surat tulisan tangan dari Sjahrir.

Hubungan kisah cinta Sutan Sjahrir dengan Gusti Nurul lebih banyak melalui korespondensi. Menurut Gusti Nurul sendiri, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran.

Tetapi karena ia menentang pernikahan poligami, Gusti Nurul secara halus menampik semua uluran cinta kasih dari Soekarno, Sultan HB IX, Djatikusumo dan juga tentunya Sutan Sjahrir. Mungkin pengalaman hidup di Istana, dimana ayahnya punya banyak istri membuatnya pantang dimadu.

Konon karena cintanya terhadap Gusti Nurul yang bertepuk sebelah tangan, Sri Sultan HB IX memutuskan untuk tidak memiliki permaisuri, hanya selir saja. Karena beliau menginginkan yang menjadi permaisurinya adalah Gusti Nurul. Dan penerusnya, Sri Sultan HB X adalah putra dari selir ke dua beliau.

Namun bagaimanapun juga, Gusti Nurul tetap menghormati sosok-sosok yang pernah menaruh hati padanya.Demi menentukan pilihan yang diyakininya, Gusti Nurul pun sanggup membujang hingga umur 30 tahun. Usia gadis yang akan bikin orang geleng-geleng kepala ketika itu. Beliau berjuang untuk apa yang beliau yakini terbaik untuk dirinya.

Hebatnya, beliau tak peduli apa kata orang. Baru pada tahun 1951, Gusti Nurul menikah. Yang dipilihnya pun bukan nama besar dengan figur mentereng. Gusti Nurul memilih sepupunya sendiri, Soerjo Soejarso, seorang kolonel militer.   Walau lulusan KMA Breda (lulus 1939), Kolonel Soejarso bukanlah sosok menonjol dalam tubuh TNI. Ia hanya perwira di belakang meja yang diparkir Nasution di detasemen Kavaleri.

Karakternya lembut, dengan tutur kata sopan, khas didikan keluarga aristokrat. Tapi mungkin memang bukan karir yang dicari Gusti Nurul. Toh terbukti, kehidupan keluarganya aman dan damai, sampai akhirnya mereka menjalani hari tua di kota Bandung, kota dimana Soejarso pernah menghabiskan waktu menjadi guru bagi Nasution dan Simatupang, menjadi instruktur pada KMA Bandung.

Saat ini, tak susah untuk menyusuri jejak keayuan masa lalu Gusti Nurul. Datang saja ke Ullen Sentalu yang terletak di lereng Merapi, utara Kota Yogyakarta sebelum Kaliurang. Di museum itu ada ruangan khusus bertajuk Ruang Putri Dambaan yang berisi berbagai memorabilia wanita yang ayu dan kuat tersebut. Hanya sayang, orang tak dibolehkan menjepret ulang foto ayu sang putri. Ruangan ini diresmikan sendiri oleh Gusti Nurul pada hari ulang tahunnya yang ke 81.

Sumber: Semarang Tempo Dulu