Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, November 11, 2015

Menilik Kisah Cinta Sang Kembang Mangkunegaran

Pada tanggal 10 Nopember 2015 kemarin, Gusti Nurul, sang kembang Mangkunegaran meninggal dunia di Bandung pada usia 94 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Astana Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Astana Girilayu merupakan pemakaman dari keluarga besar trah Mangkunegaran. Siapakah tokoh yang pernah menarik hati para tokoh-tokoh besar negeri ini tersebut?

Gusti Nurul yang cantik dan cerdas ini memang cukup menarik untuk disimak. Beliau dilahirkan pada 1921 oleh GKR Timur Mursudariyah (putri sultan Jogja Hamengkubuwono VII), yang merupakan permaisuri HRH Mangkunegoro VII.

Saat lahir orangtuanya memberinya nama Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Meski tumbuh dibalik tembok keraton, sang putri yang disekolahkan di sekolah Belanda, memiliki gaya dan pandangan hidup yang terhitung amat modern untuk masanya.

Selain itu sebagai seorang putri keraton yang anggun, beliau tentu mahir menari. Tahun 1937, Gusti Nurul diundang ke Belanda untuk menari di pernikahan Putri Juliana yang dilakukan secara teleconference, yaitu musik gamelan Kanjut Mesem dimainkan di Solo sedangkan Gusti Nurul mendengarkan alunan gamelan melalui telepon dan menari dihadapan tamu undangan pernikahan.

Karena sambungan telepon pada masa itu masih belum sebaik sekarang maka sang Ibu masih memberikan aba-aba secara langsung berupa ketukan-ketukan. Ratu Wilhelmina yang kagum pada Gusti Nurul memberinya gelar de bloem van Mangkunegaran atau kembang dari Mangkunegara.

Dengan segenap kelebihan tersebut, tak heran Gusti Nurul menjadi bunga gemerlap. Tak cuma orang kebanyakan yang takjub. Sedikitnya, ada empat figur top yang menjadi penggemar Gusti Nurul bahkan mereka juga berlomba memperebutkannya. Mereka adalah Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir dan Kolonel GPH Djatikusumo. Pada saat itu Soekarno orang nomor satu di republik, Sultan HB IX orang nomor satu di Jogja, Sutan Sjahrir perdana menteri dan Djatikusumo adalah panglima tentara (KSAD).

Begitu kagumnya pada Gusti Nurul, suatu ketika Soekarno mengundangnya ke Istana Cipanas, begitu revolusi usai. Pada saat yang sama, Soekarno juga memanggil pelukis naturalis kesayangannya, Basuki Abdullah. Basuki dimintanya melukis Gusti Nurul. Setelah jadi, lukisan itu pun dipajang di kamar kerja Presiden Soekarno di Cipanas.

Pada setiap rapat kabinet yang digelar di Yogyakarta pada tahun 1946, Sutan Sjahrir selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, untuk secara khusus mengantarkan kado yang dibelinya dari Jakarta. Bersama kado tersebut, ia juga lampirkan sepucuk surat tulisan tangan dari Sjahrir.

Hubungan kisah cinta Sutan Sjahrir dengan Gusti Nurul lebih banyak melalui korespondensi. Menurut Gusti Nurul sendiri, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran.

Tetapi karena ia menentang pernikahan poligami, Gusti Nurul secara halus menampik semua uluran cinta kasih dari Soekarno, Sultan HB IX, Djatikusumo dan juga tentunya Sutan Sjahrir. Mungkin pengalaman hidup di Istana, dimana ayahnya punya banyak istri membuatnya pantang dimadu.

Konon karena cintanya terhadap Gusti Nurul yang bertepuk sebelah tangan, Sri Sultan HB IX memutuskan untuk tidak memiliki permaisuri, hanya selir saja. Karena beliau menginginkan yang menjadi permaisurinya adalah Gusti Nurul. Dan penerusnya, Sri Sultan HB X adalah putra dari selir ke dua beliau.

Namun bagaimanapun juga, Gusti Nurul tetap menghormati sosok-sosok yang pernah menaruh hati padanya.Demi menentukan pilihan yang diyakininya, Gusti Nurul pun sanggup membujang hingga umur 30 tahun. Usia gadis yang akan bikin orang geleng-geleng kepala ketika itu. Beliau berjuang untuk apa yang beliau yakini terbaik untuk dirinya.

Hebatnya, beliau tak peduli apa kata orang. Baru pada tahun 1951, Gusti Nurul menikah. Yang dipilihnya pun bukan nama besar dengan figur mentereng. Gusti Nurul memilih sepupunya sendiri, Soerjo Soejarso, seorang kolonel militer.   Walau lulusan KMA Breda (lulus 1939), Kolonel Soejarso bukanlah sosok menonjol dalam tubuh TNI. Ia hanya perwira di belakang meja yang diparkir Nasution di detasemen Kavaleri.

Karakternya lembut, dengan tutur kata sopan, khas didikan keluarga aristokrat. Tapi mungkin memang bukan karir yang dicari Gusti Nurul. Toh terbukti, kehidupan keluarganya aman dan damai, sampai akhirnya mereka menjalani hari tua di kota Bandung, kota dimana Soejarso pernah menghabiskan waktu menjadi guru bagi Nasution dan Simatupang, menjadi instruktur pada KMA Bandung.

Saat ini, tak susah untuk menyusuri jejak keayuan masa lalu Gusti Nurul. Datang saja ke Ullen Sentalu yang terletak di lereng Merapi, utara Kota Yogyakarta sebelum Kaliurang. Di museum itu ada ruangan khusus bertajuk Ruang Putri Dambaan yang berisi berbagai memorabilia wanita yang ayu dan kuat tersebut. Hanya sayang, orang tak dibolehkan menjepret ulang foto ayu sang putri. Ruangan ini diresmikan sendiri oleh Gusti Nurul pada hari ulang tahunnya yang ke 81.

Sumber: Semarang Tempo Dulu


Sabtu, Juni 06, 2015

Apa Hubungan Kerajaan Panjalu Jawa Timur dengan Panjalu Ciamis?

Patung Ken Arok
Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa

Raja pertama dari Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi.

Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah.

Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga.

Kerajaan Panjalu (Kediri) di Jawa Timur

Airlangga

Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).

Berdasarkan Babad Arya Gajah Bali A Sri Airlangga memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri.

Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).

Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.

Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.

Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036. Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman. Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan. Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041. Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.

Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.

Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.

Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.

Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Maharaja Jayabhaya

Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.

Sri Maharaja Kertajaya/Prabu Dandhang Gendis

Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.

Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.

Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)

Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.

Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

Penulis: Yudhi S Suradimadja, Sumber: Salaka Nagara

Selasa, Januari 20, 2015

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang dari Raja Purnawarman.  Pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille, Prasasti Tugu batu dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124.

Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Transkrip Prasasti Tugu:

Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino.

Terjemahannya:

Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang di pepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi.

Nama Candrabhaga diidentikkan dengan kata “Sasibhaga,” yang diterjemahkan secara terbalik menjadi “Bhagasasi”, dan lama kelamaan mengalami perubahan penulisan dan sebutan. Beberapa arsip abad ke-19 sampai awal abad ke-20, menerangkan kata Bekasi dengan “Backassie”, “Backasie”, “Bakassie”, “Bekassie”, “Bekassi”, dan terakhir “Bekasi”.

Senin, Agustus 18, 2014

Sejarah Perum Perhutani

Hutan Jati Perum Perhutani
Hutan Jati Perum Perhutani
PERUM Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang Kehutanan. Wilayah kerjanya meliputi kawasan hutan Negara, baik hutan produksi maupun hutan lindung, di Pulau Jawa dan Madura.

Perum Perhutani mengemban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek produksi/ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Dalam operasinya, Perum Perhutani berada dalam pengawasan Kementerian BUMN dan bimbingan teknis dari Kementerian Kehutanan.

Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura, secara modern-institusional dimulai pada tahun 1897 dengan dikeluarkannya “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”).

Selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” (disingkat “Dienst Reglement”) yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana dibentuk Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164.

Sejak saat itu, hutan-hutan kayu jati di Jawa mulai diurus dengan baik, dengan dimulainya afbakening (pemancangan), pengukuran, pemetaan dan penataan hutan. Aturan pengelolaan hutan di jaman kolonial kemudian mengalami beberapa kali perubahan.

Pada tahun 1930, pengelolaan hutan Jati diserahkan kepada badan “Djatibedrijf” atau perusahaan hutan Jati dari Pemerintah Kolonial (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan Jati dari “Djatibedrijf” dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan.

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini.”

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 1961, berdiri Badan Pimpinan Umum (BPU) Perusahaan Kehutanan Negara, disingkat ”BPU Perhutani”. Pada tahun 1972, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani.

Melalui serangkaian PP, kemudian PN Perhutani Djawa Timur (Unit II) dan PN Perhutani Djawa Tengah (Unit I), dilebur kedalam Perum Perhutani, dilanjutkan dengan penambahan Unit III Perum Perhutani untuk daerah Jawa Barat.

Dasar Hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001.

Pada tahun 2001, bentuk pengusahaan Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan pada PP Nomor 14 Tahun 2001 tersebut adalah sebuah BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimiliki PT Perhutani, bentuk pengusahaan PT Perhutani tersebut kembali menjadi BUMN dengan bentuk Perum berdasarkan PP Nomor 30 tahun 2003.

Selanjutnya untuk mendukung pembangunanan nasional, Pemerintah menambah tugas dan kegiatan Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan untuk mendukung pengembangan usaha dan kegiatan usaha sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 72 Tahun 2010.

Berdasarkan PP No. 73 tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Perum Perhutani, Perum Perhutani ditetapkan sebagai Induk Holding BUMN Kehutanan membawahi PT. Inhutani I, PT. Inhutani II, PT. Inhutani III, PT. Inhutani IV dan PT. Inhutani V. 

Sabtu, November 23, 2013

“Singa” Gunung Babakan

MAKAM itu berada di tempat yang agak tinggi.  Kita harus mendaki jalan setapak untuk mencapainya.  Tapi tak lama, cukup beberapa menit saja sudah sampai. Letaknya di pinggir jalan Siliwangi Kota Banjar, Jawa Barat.  Di sebuah bukit bernama Gunung Babakan yang masuk kawasan hutan Perum Perhutani.  Cirinya sebuah batu besar yang menjorok ke jalan.  Pemerintah kota sengaja tidak membongkarnya ketika jalan tersebut diperlebar.  Mungkin menghormati tokoh yang disemayamkan di atasnya: Kangjeng Dalem Singaperbangsa.

Ada dua makam kuno berjejer, dikelilingi oleh pagar kawat yang rendah.  Makam yang satu nampak lebih besar. Mungkin itu makam Sang Dalem.  Sedang yang lebih kecil entah punya siapa. Bisa jadi istri beliau, sehingga ditempatkan berda mpingan.  Nisannya memang tidak bertulis.  Batu-batu penutupnya sudah berlumut tebal, menandakan makam tersebut  memang sudah sangat tua.  Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang yang tumbuh di sekitarnya menghadirkan kembali suasana masa lalu yang hening dan mistis. 


***

Singaperbangsa adalah seorang tokoh historis. Namanya tercatat dalam beberapa sumber sejarah formal.  Dus, dia bukan sekedar tokoh mitos atau legenda.  Tokoh ini sangat identik dengan kota Karawang, Jawa Barat.  Universitas dan stadion olahraga di kota penghasil beras itu menggunakan namanya.  Ya, karena Singaperbangsa dianggap sebagai pendiri Karawang.  Ia adalah bupati pertama kota itu pada abad XVII, ketika tatar Sunda berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dia dilantik menjadi bupati oleh Sultan Agung pada tahun 1633 dan wafat pada 1677. Makamnya terletak di Desa Manggung Jaya Kacamatan Cilamaya, sekitar 40 km dari pusat kota Karawang.

Lalu mengapa makam Singaperbangsa juga ada di kota Banjar? Bagaimana hubungannya?

Konon, semua berawal dari sebuah tempat bernama Kertabumi, sebuah kerajaan kecil yang berdiri di akhir Abad XVI berlokasi di tatar Galuh, Kabupaten Ciamis sekarang.   Singaperbangsa diduga memiliki kaitan yang erat dengan tempat ini.  Ini terlihat dari gelar yang ia pakai ketika dilantik menjadi Bupati Karawang oleh Sultan Agung, yaitu Adipati Kertabumi IV.

Pasca runtuhnya Kawali (sekarang sebuah kota kecamatan di Ciamis sebelah utara) sebagai ibukota Kerajaan Galuh oleh serangan Cirebon yang dibantu Demak pada 1570 M, beberapa menaknya mendirikan pusat kekuasaan baru yang masih mempertahankan corak Hindu, di Salawe, Cimaragas, sebuah kota kecamatan di Ciamis selatan.  Oleh karenanya nama kerajaannya sering juga disebut Galuh Salawe, dengan rajanya bernama Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta di Galuh.

Pada tahun 1595, pengaruh politik Kesultanan Mataram mulai sampai ke Priangan. Tapi Panembahan Senapati, yang waktu itu masih disibukkan dengan upaya penaklukan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa, belum terlalu menegaskan kekuasannya. Kerajaan-kerajaan di tatar Priangan, termasuk Galuh, masih diakui sebagai kerajaan yang mandiri, belum menjadi bagian langsung pemarentahan Mataram. Hal ini dicirikan dengan para penguasanya yang masih diijinkan menggunakan gelar Prabu atawa Maharaja.

Setelah Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Prabu Cipta Permana, yang selanjutnya memindahkan pusat kekuasaan ke Gara Tengah (sekarang Cineam, Tasikmalaya). Beda dengan ayahnya yang penganut agama leluhur, Cipta Permana sudah beragama Islam, karena dia menikah dengan Tanduran Tanjung, putri maharaja Kawali yang sudah Islam sebelumnya (Kawali saat itu berada di bawah kekuasaan Cirebon). 

Nah, selain Gara Tengah, di wilayah tatar Galuh terdapat juga beberapa pusat kekuasaan daerah (karajaan kecil), diantaranya Kawasen (Banjarsari sekarang) dengan rajanya bernama Sanghyang Permana, putra bungsu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta, dan Kertabumi, dengan rajanya bernama Rangga Permana (putra Prabu Gesan Ulun dari Kerajaan Sumedanglarang, menantu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta) yang bergelar Prabu di Muntur atau Adipati Kertabumi I. Petilasan Kerajaan Kertabumi ini bisa ditemukan di Dusun Bundar Desa Kertabumi kacamatan Cijeungjing, Ciamis.

Ketika Sultan Agung (1613-1645) naik tahta, Kesultanan Mataram mulai mereorganisasi wilayah-wilayah kakuasaannya di Priangan. Kerajaan-kerajaan yang menjadi vassalnya diturunkan derajatnya menjadi hanya setingkat kabupatian. Gelar para penguasanya pun tidak lagi Prabu atau Maharaja, tetapi cukup Tumenggung atau Adipati.

Saat itu yang menjadi penguasa di Galuh adalah Adipati Panaekan (1618-1625), putra Prabu Cipta Permana. Beliau diangkat menjadi Wedana Bupati Mataram di tatar Priangan. Sedangkan yang menjadi bupati di Kertabumi adalah Singaperbangsa (dalam beberapa sumber dikatakan bernama Wiraperbangsa), cucu Prabu di Muntur, dengan gelar Dipati Kertabumi III. Pusat kekuasaannya sudah pindah ke Bojonglopang, Banjar Kolot sekarang.  Oleh karena itu, Kertabumi disebut juga Kabupaten Bojonglopang.

Bila melihat kekerabatan, hubungan Panaekan dengan Singaperbangsa adalah paman-keponakan. Sebab, Singaperbangsa adalah cucu dari Tanduran Ageung, kakak Prabu Cipta Permana, ayah Panaekan. Meski begitu, nampaknya hubungan di antara mereka tidak begitu bagus.  Dalam hal politik, Singaperbangsa lebih berkiblat ke Sumedanglarang, negeri asal sang kakek.

Pada tahun 1625, Sultan Agung mulai bersiap untuk menyerang VOC di Batavia, yang tentunya melibatkan pasukan dari tatar Sunda. Hal ini ternyata menjadi sumber perselisihan antara Panaekan dan Singaperbangsa. Panaekan, menurut beberapa sumber, se-ide dengan Dipati Ukur, yang ingin secepatnya menyerang sebelum VOC semakin kuat. Sedangkan Singaperbangsa menolak.  Ia ingin agar pasukan tatar Sunda memperkuat  logistik terlebih dahulu, sesuai pendapat Rangga Gempol I (Bupati Sumedang, yang juga pamannya).

Entah bagaimana konstelasi politik yang berkembang waktu itu. Yang jelas, perselisihan itu meruncing, sampai akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Panaekan oleh Singaperbangsa. Jenazah sang paman dibuang ke sungai Cimuntur dan ditemukan di Situs Karang Kamuliyan yang oleh para pengikutnya kemudian dimakamkan di sana. Panaekan digantikan oleh putranya yang bernama Dipati Imbanagara (1625-1636).

Serangan pasukan Mataram (yang didalamnya juga termasuk pasukan dari tatar Sunda) ke Batavia jadi dilaksanakan pada taun 1628 dan 1629, yang dua-duanya menemui kegagalan.
***
Nama Singaperbangsa kembali disebut pada tahun 1632. Waktu itu Sultan Agung menugaskan beliau dan 1.000 orang cacah untuk mengamankan daerah Karawang dari gangguan tentara Banten, sekaligus menyiapkan logistik untuk serangan selanjutnya ke Batavia (yang tidak pernah terlaksana sampai wafatnya Sultan Agung). Tugas tersebut ternyata bisa dilaksanakan dengan baik. Pada tahun 1633 Singaperbangsa dipanggil ke Mataram untuk mendapatkan penghargaan berupa keris bernama "karosinjang."

Nah, dalam perjalanan pulang dari Mataram tersebut, Singaperbangsa mampir ke Galuh. Mungkin ia rindu pada tanah kelahiran dan saudara-saudaranya di Kertabumi.  Kehendak Yang Kuasa, Singaperbangsa tidak pernah kembali lagi ke Karawang. Ia jatuh sakit dan tak lama kemudian wafat. Jenazahnya dimakamkan di “Galuh”.  Kekuasaan di Karawang diteruskan oleh putranya yang juga bernama Singaperbangsa, dengan gelar Adipati Kertabumi IV. Dialah yang kemudian dianggap sebagai Bupati Karawang pertama dalam sejarah resmi.

Jadi, apabila melihat uraian cerita di atas, kuat dugaan tokoh yang bersemayam di Gunung Babakan adalah Kangjeng Adipati Singaperbangsa yang wafat di Galuh (Wiraperbangsa) atau Adipati Kertabumi III.  Beliau  adalah ayah dari Singaperbangsa yang menjadi Bupati Karawang pertama (Adipati Kertabumi IV). 

Wallohuallam.

Minggu, Maret 06, 2005

Kita dan Sejarah

BARANGKALI kita memang terlalu under estimate dengan kemampuan sendiri. Ada anggapan selama ini kalau kesadaran bersejarah bangsa kita baru tumbuh belakangan, yaitu sekitar awal abad 20, terutama setelah pergaulan beberapa orang terpelajar kita dengan orang asing (barat). Yang saya maksudkan kesadaran bersejarah adalah kesadaran akan pentingnya sejarah, sehingga kemudian merasa perlu untuk melakukan perumusan dan penyusunan sejarah dengan didasarkan kepada data-data dan penelitian yang cukup, serta menuliskannya ke dalam sebuah manuskrip berupa naskah sejarah.

Memang banyak juga diketahui karya-karya historiografi nenek moyang kita yang sering dijadikan rujukan penyusunan sejarah oleh para ahli, tetapi bentuknya lebih pantas disebut karya sastra, bukan naskah sejarah, seperti babad, hikayat, carita dsb. Kalau ada yang mirip-mirip, barangkali adalah kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada zaman Majapahit, sehingga beliau konon dianggap sebagai sejarawan pertama di nusantara. Karya-karya anak bangsa yang bisa disebut sebagai naskah sejarah, baru kita temui awal tahun 1900-an.

Tidak banyak yang tahu, dan percaya, bahwa ternyata kesadaran bersejarah bangsa kita sudah tumbuh jauh sebelum itu, dan dengan taraf yang mengejutkan. Adalah pangeran Wangsakerta, seorang bangsawan Cirebon yang hidup di pertengahan abad 17, yang telah menyusun sebuah naskah sejarah yang lengkap tentang perkembangan raja-raja di Nusantara. Jumlah naskah tersebut juga tak tanggung-tanggung, konon mencapai 25 judul dengan masing-masing judul setebal 200 halaman! Sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran bersejarah kita paling tidak telah muncul hampir 4 abad yang lalu, lewat seorang tokoh dengan nama Wangsakerta.

Isu itu disebarkan oleh Ayatrohaedi dalam bukunya Sundakala (terbitan Januari 2005), yang minggu lalu saya beli di Gramedia. Dan isu ini bukan hal baru. Paling tidak sejak awal tahun 1980-an, Ayat sudah mulai mensosialisaikan penemuan tersebut setelah menerima kopian hasil alih bahasa naskah-naskah dari Aca, koleganya --seorang filolog yang banyak bergelut dalam penelitian naskah-naskah sejarah sunda, yang pertama kali menemukan naskah wangsakerta. Sudah pasti menghebohkan. Banyak yang menyambut gembira, tetapi tidak sedikit yang meragukan. Bahkan ada yang langsung memvonis sebagai naskah palsu.

Pasalnya adalah, karya itu dianggap terlalu maju untuk kondisi saat itu. "Terlalu sejarah", dalam bahasa Ayat. Selain juga ada petunjuk kuat yang mengindikasikan bahwa sang penulis pernah membaca hasil penelitian para sarjana barat, karena yang disajikan seolah dengan tepat membenarkan tesis-tesis mereka. Kedua pasal keberatan itu dibantah oleh Ayat. Katanya, mungkin saja kesadaran itu sudah tumbuh sejak lama. Apalagi dikabarkan bahwa sang Pangeran memang seorang yang "gila sejarah". Dan barangkali mungkin terbalik, bahwa para sarjana baratlah yang pernah membaca naskah terlebih dahulu, baru berteori, karena apa yang disajikan di naskah ternyata lebih lengkap dan detil. Sayangnya pada waktu itu belum dilakukan penelitian ilmiah mengenai umur media yang digunakan untuk menulis, sehingga perdebatan itu tidak bisa diputuskan. Saya kurang tahu apakah sekarang sudah dilaksanakan atau tidak, yang jelas apabila ternyata belum, adalah sebuah hal yang amat memeprihatinkan.

Tetapi lepas dari itu, naskah itu memang menarik. Banyak hal-hal yang mengejutkan terungkap. Misalnya, bahwa pengetahuan bangsa kita tentang zaman purbakala ternyata telah cukup maju. Sudah dilakukan upaya periodisasi sejarah. Dikatakan bahwa pada masa 1 juta - 500 ribu tahun sebelum tarikh Saka, di Jawa dihuni oleh mahluk berwujud manusia setengah kera, yang kemudian punah setelah kalah oleh orang-orang yang datang dari utara.

Selain itu periode sejarah kita pun menjadi lebih awal. Apabila dulu kita diajarkan bahwa sejarah kita berawal sejak abad ke 4 masehi ketika ditemukan prasasti di Kutai, dan seakan-akan mereka muncul dengan tiba-tiba, maka hal tersebut perlu direvisi. Sejarah kita sudah dimulai bahkan sejak abad pertama masehi. Konon pada tahun 130 sudah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang terletak di Jawa Barat bagian barat, dan sudah ramai dengan para pelaut asing yang berniaga. Mozaik-mozaik sejarah yang selama ini seakan tak berhubungan, seperti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilengkapi dan dirangkai oleh naskah.

Yang lebih menarik lagi adalah metode penyusunan naskah. Konon, Wangsakerta perlu mengundang para ahli sejarah dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara tetangga, yang jumlahnya puluhan, selain juga mengirimkan para pembantunya untuk mencari pustaka-pustaka ke berbagai daerah. Untuk membantu penyusunan, beliau membentuk sebuah kepanitiaan, yang disebut Panitia Wangsakerta. Para ahli yang saat itu hadir dibagi kedalam beberapa kelompok kerja yang bertugas menyusun sejarah daerah masing-masing. Hasilnya kemudian diplenokan dalam sebuah loka karya. Lumayan modern. Proses penyusunan seluruh naskah sendiri konon membutuhkan waktu 21 tahun. Sayangnya sebagian besar dari naskah-naskah tersebut kini tak tahu dimana rimbanya.

Mengherankan? Barangkali. Saya sendiri sulit untuk mempercayai bahwa ada juga tokoh masa lalu bangsa kita --bahkan kini, yang memiliki visi sehebat sang pangeran. Tetapi itulah kenyataannya. Seperti yang saya katakan di awal, barangkali kita memang terlalu under estimate pada sejarah kita. Oleh karenanya, kita harus mengoreksi total cara pandang kita terhadap sejarah. Hal itu dapat dimulai dengan mengubah metode pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang hanya identik dengan menghapal angka tahun dan nama tokoh. Karena kesadaran bersejarah anak bangsa sangat penting, agar mereka dapat mencintai bangsa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Seperti kata Bung karno: Jangan sampai kita melupakan sejarah!