Tampilkan postingan dengan label Rimba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rimba. Tampilkan semua postingan

Senin, Agustus 18, 2014

Sejarah Perum Perhutani

Hutan Jati Perum Perhutani
Hutan Jati Perum Perhutani
PERUM Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang Kehutanan. Wilayah kerjanya meliputi kawasan hutan Negara, baik hutan produksi maupun hutan lindung, di Pulau Jawa dan Madura.

Perum Perhutani mengemban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek produksi/ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Dalam operasinya, Perum Perhutani berada dalam pengawasan Kementerian BUMN dan bimbingan teknis dari Kementerian Kehutanan.

Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura, secara modern-institusional dimulai pada tahun 1897 dengan dikeluarkannya “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”).

Selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” (disingkat “Dienst Reglement”) yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana dibentuk Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164.

Sejak saat itu, hutan-hutan kayu jati di Jawa mulai diurus dengan baik, dengan dimulainya afbakening (pemancangan), pengukuran, pemetaan dan penataan hutan. Aturan pengelolaan hutan di jaman kolonial kemudian mengalami beberapa kali perubahan.

Pada tahun 1930, pengelolaan hutan Jati diserahkan kepada badan “Djatibedrijf” atau perusahaan hutan Jati dari Pemerintah Kolonial (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan Jati dari “Djatibedrijf” dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan.

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini.”

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 1961, berdiri Badan Pimpinan Umum (BPU) Perusahaan Kehutanan Negara, disingkat ”BPU Perhutani”. Pada tahun 1972, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani.

Melalui serangkaian PP, kemudian PN Perhutani Djawa Timur (Unit II) dan PN Perhutani Djawa Tengah (Unit I), dilebur kedalam Perum Perhutani, dilanjutkan dengan penambahan Unit III Perum Perhutani untuk daerah Jawa Barat.

Dasar Hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001.

Pada tahun 2001, bentuk pengusahaan Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan pada PP Nomor 14 Tahun 2001 tersebut adalah sebuah BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimiliki PT Perhutani, bentuk pengusahaan PT Perhutani tersebut kembali menjadi BUMN dengan bentuk Perum berdasarkan PP Nomor 30 tahun 2003.

Selanjutnya untuk mendukung pembangunanan nasional, Pemerintah menambah tugas dan kegiatan Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan untuk mendukung pengembangan usaha dan kegiatan usaha sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 72 Tahun 2010.

Berdasarkan PP No. 73 tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Perum Perhutani, Perum Perhutani ditetapkan sebagai Induk Holding BUMN Kehutanan membawahi PT. Inhutani I, PT. Inhutani II, PT. Inhutani III, PT. Inhutani IV dan PT. Inhutani V. 

Selasa, Oktober 01, 2013

WIdya Handicraft: Merajut Untung dari Bambu

Menjadi seorang enterpreneur memang mengasyikan.  Memiliki fleksibilitas waktu dan kesempatan berkembang yang lebih luas membuatnya bisa mencurahkan segenap daya dan potensi kreatifitas yang ia miliki.  

ITULAH mungkin yang juga dirasakan oleh Widodo (54 tahun), warga Desa Gintangan Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.  Ia awalnya meniti karir sebagai seorang guru PNS. Di sela-sela kegiatannya mengajar, Widodo tertarik untuk berwirausaha.

Ia melihat besarnya potensi kerajinan anyaman bambu di desanya yang memiliki ciri khas dan tidak dimiliki daerah lain. Ia pun kemudian merintis usaha anyaman bambu pada tahun 1991 dengan mendirikan UD Widya Karya.  

“Pada saat itu, saya dibantu oleh 5 orang tenaga kerja tetap dan 10 orang tenaga tidak tetap,” kisahnya.

Usahanya tak berjalan mulus.  Sebagai pemain baru, berbagai kesulitan Widodo hadapi, terutama pemodalan dan pasar.  Ia pun kemudian mencoba mengakses permodalan melalui program PKBL (dulu namanya masih PUKK) Perum Perhutani.  Pada tahun 1993, ia resmi menjadi mitra binaan Perhutani KPH Banyuwangi Selatan.

Sebagai mitra binaan, Widodo berhak mendapatkan modal pinjaman dengan bunga yang sangat ringan. Selain itu, ia kerap diajak untuk melakukan pameran di berbagai kota, baik tingkat kabupaten, propinsi bahkan nasional, sehingga berkesempatan untuk memperkenalkan produk-produknya ke pasar. Dua hal yang sangat ia butuhkan. Usahanya pun berkembang.  

Dari berbagai pameran yang diikuti, Widodo mendapat banyak pelanggan.  Tidak hanya dari lokal Banyuwangi, tetapi juga dari kota-kota lain Jember, Surabaya, Malang, Jogja dan Bali. Produk-produk buatannya bahkan sudah diekspor ke Malaysia, Eropa dan Amerika.

“Dulu omset usaha anyaman bambu saya hanya 10 juta per bulan, kini sudah mencapai 60 juta,” katanya.  Saat ini Widodo mempekerjakan 12 orang karyawan tetap dan lebih 50 orang yang tidak tetap.

Dengan terus berkembangnya usaha anyaman bambu yang ia bangun, Widodo pun kemudian memutuskan untuk mengajukan pensiun dini dari PNS dua tahun yang lalu.

“Agar saya lebih berkonsentrasi mengembangkan usaha ini. Cita-cita saya ingin terus membuat produk-produk anyaman bambu terbaik bagi semua orang agar nama Desa Gintangan dapat dikenal oleh masyarakat,” ujarnya

Untuk itu ia selalu berinovasi menciptakan kreasi desain produk baru yang bermanfaat bagi konsumen. Ia juga selalu menjaga mutu dan kwalitas produk sebagai tanggung jawab pelayanan terbaik.

Produknya yang ia branding dengan nama Widya Handicraft, adalah berbagai jenis kerajinan yang menggunakan bahan dasar utama bambu. Antara lain tudung saji, tempat koran, keranjang buah, tempat kue, tempat tisu, kap lampu, dan berbagai macam bentuk lain yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat.  Untuk menjaga kwalitas, proses produksinya sebagian besar dikerjakan secara manual (handmade) dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti, pisau potong, pisau irat, gergaji, dll.

“Hal inilah yang menjadikan produk anyaman bambu yang kami buat menarik bagi banyak konsumen baik lokal atau luar daerah maupun wisatawan mancanegara,” ujarnya berpromosi.

Dalam hal bahan baku, Widodo mengaku tidak mendapatkan kesulitan.  Pasokan bambu dengan mudah ia dapatkan dari sekitar.  Melimpahnya bahan baku menjadikannya selalu siap mencukupi permintaan pasar yang datang mendadak.

Untuk memasarkan produk, Widodo membuka showroom yang berada satu lokasi dengan tempat kegiatan produksi, sehingga pengunjung dapat melihat langsung proses produksi pembentukan kerajinan anyaman bambu. Selain itu ia bekerjasama dengan mitra-mitra bisnis yang berada di berbagai daerah untuk menjangkau konsumennya.   Untuk lebih memperluas pasar ia juga memanfaatkan media online seperti media sosial, toko online, forum, dll.

Ke depan Widodo berencana untuk membangun satu lagi showroom produk-produknya di pusat kota Banyuwangi.  Untuk itu ia berharap Perum Perhutani dapat terus memberikan dukungannya dengan memberikan bantuan permodalan.

“Kami sangat berterima kasih kepada Perum Perhutani, karena program PKBL-nya sangat kami rasakan manfaatnya sehingga bisa berkembang seperti ini,” ujarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini

Rabu, September 25, 2013

Lumbung Desa, Kearifan Lokal Masyarakat Dagangan Yang Masih Terjaga

SIANG itu belasan orang berkerumun di sebuah bangunan sederhana, di pinggir jalan aspal yang membelah Dusun Panggung Desa Dagangan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.  Masing-masing dari mereka membawa karung atau wadah lain yang entah berisi apa.

“Mereka sedang setor gabah ke lumbung desa,” jelas Jumali (63), ketua Lembaga Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan (LMPSDH) Wonosalam Desa Dagangan, ketika kami temui di Balai Pertemuan LMPSDH, beberapa waktu lalu.  “Ini kearifan lokal masyarakat yang sudah jarang ditemui tapi masih terpelihara di desa ini,” tambahnya.  Dikatakan Jumali, dari 17 Desa yang ada Kecamatan Dagangan, mungkin hanya Desa Dagangan ini yang masih memiliki Lumbung Desa.   “Saya tidak tahu berapa jumlah yang masih ada di seluruh Kabupaten Madiun, yang jelas sudah sangat jarang,” katanya.


Ini menarik.  Di tengah isu kekhawatiran terancamnya ketahanan pangan dunia yang memaksa pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya, desa ini masih memelihara kearifan lokal kemandirian pangan yang sudah banyak ditinggalkan.

Bagaimana sistemnya? Sederhana saja.  Ketika panen tiba, masyarakat menyetor padi untuk ditabung.  Sementara saat musim tanam, mereka bisa meminjam untuk modal.  Dibayarnya, saat musim panen selanjutnya.  Anggota dikenakan tambahan 20% dari berat gabah yang dipinjam.  “Jika dia meminjam 1 kwintal, maka dia harus membayar 1 kwintal 20 kilo,” jelas Jumali.

Dengan sistem ini maka masyarakat tidak kesulitan untuk memperoleh modal ketika musim tanam tiba, sehingga kelangsungan produksi pangan terus terjaga.  Pun mereka memiliki cadangan pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu apabila panen tidak berhasil atau di masa paceklik.  Dalam tahapan selanjutnya, lembaga ini yang juga berfungsi sebagai alat stabilisasi harga bahan pokok, menjaga permintaan dan persediaan (supply and demand) bahan pangan, fungsi yang kini diperankan oleh BULOG.

Sesungguhnya, lumbung desa merupakan perwujudan karakter gotong-royong dan kesetiakawanan yang telah berakar lama pada masyarakat pedesaan.  Di masa kesultanan Mataram, telah dikenal sistem lumbung sebagai pencegah terjadinya kerawanan pangan di wilayah kerajaan, sekaligus penopang untuk logistik perang.

Hal tersebut pulalah yang mungkin menginspirasi Messman untuk melembagakan secara resmi lumbung desa pada tahun 1902. Messman, orang Belanda yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, Jawa Barat dihinggapi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Maka dia pun menganjurkan dibuatnya sebuah lumbung komunal sebagai tabungan pangan masyarakat desa.  Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Ide Messman kemudian direspon positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif pun kemudian dibentuk, yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda.  Banyak yang menyebut ini adalah cikal bakal pendekatan monetaris yang menyentuh lumbung tradisional rakyat, dan cikal bakal ide tentang KUD.

Setelah merdeka, lumbung desa tetap memperoleh ruang untuk terus berjalan. Bahkan, keberadaannya semakin berkembang dengan dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969.  Setelah itu, lumbung desa banyak bermunculan di berbagai pelosok, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat desa sendiri maupun bantuan pemerintah. Fenomena ini masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes), pada tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa, yang umumnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura. Namun pada akhir 90-an, saat peran BULOG semakin besar, lumbung desa semakin ditinggalkan.

Kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Akses perekonomian di pedesaan sudah semakin maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dengan ragam yang bermacam-macam.  Sistem tabungan berbasis natura seperti lumbung, dipandang tidak praktis lagi dan karenanya semakin ditinggalkan. Kebijakan pemerintah mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai lumbung nasional, semakin menyurutkan peran lumbung desa sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.

Kini, di saat kekhawatiran terhadap ketahanan pangan dunia kembali merebak, banyak pihak yang kembali menganjurkan agar lembaga lumbung desa kembali diaktifkan.  Salah satunya, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri.  Maka, pada tataran ini, masyarakat Dusun Panggung Desa Dagangan bisa berbangga hati dengan masih memelihara kearifan lokal yang ternyata memiliki nilai filosofis yang luhur. Yang mungkin bisa kembali menjadi rujukan konsep pengelolaan kemandiran pangan bagi desa-desa lain di sekitarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini