SIANG itu belasan orang berkerumun di sebuah bangunan sederhana, di pinggir jalan aspal yang membelah Dusun Panggung Desa Dagangan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun. Masing-masing dari mereka membawa karung atau wadah lain yang entah berisi apa.
“Mereka sedang setor gabah ke lumbung desa,” jelas Jumali (63), ketua Lembaga Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan (LMPSDH) Wonosalam Desa Dagangan, ketika kami temui di Balai Pertemuan LMPSDH, beberapa waktu lalu. “Ini kearifan lokal masyarakat yang sudah jarang ditemui tapi masih terpelihara di desa ini,” tambahnya. Dikatakan Jumali, dari 17 Desa yang ada Kecamatan Dagangan, mungkin hanya Desa Dagangan ini yang masih memiliki Lumbung Desa. “Saya tidak tahu berapa jumlah yang masih ada di seluruh Kabupaten Madiun, yang jelas sudah sangat jarang,” katanya.
Ini menarik. Di tengah isu kekhawatiran terancamnya ketahanan pangan dunia yang memaksa pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya, desa ini masih memelihara kearifan lokal kemandirian pangan yang sudah banyak ditinggalkan.
Bagaimana sistemnya? Sederhana saja. Ketika panen tiba, masyarakat menyetor padi untuk ditabung. Sementara saat musim tanam, mereka bisa meminjam untuk modal. Dibayarnya, saat musim panen selanjutnya. Anggota dikenakan tambahan 20% dari berat gabah yang dipinjam. “Jika dia meminjam 1 kwintal, maka dia harus membayar 1 kwintal 20 kilo,” jelas Jumali.
Dengan sistem ini maka masyarakat tidak kesulitan untuk memperoleh modal ketika musim tanam tiba, sehingga kelangsungan produksi pangan terus terjaga. Pun mereka memiliki cadangan pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu apabila panen tidak berhasil atau di masa paceklik. Dalam tahapan selanjutnya, lembaga ini yang juga berfungsi sebagai alat stabilisasi harga bahan pokok, menjaga permintaan dan persediaan (supply and demand) bahan pangan, fungsi yang kini diperankan oleh BULOG.
Sesungguhnya, lumbung desa merupakan perwujudan karakter gotong-royong dan kesetiakawanan yang telah berakar lama pada masyarakat pedesaan. Di masa kesultanan Mataram, telah dikenal sistem lumbung sebagai pencegah terjadinya kerawanan pangan di wilayah kerajaan, sekaligus penopang untuk logistik perang.
Hal tersebut pulalah yang mungkin menginspirasi Messman untuk melembagakan secara resmi lumbung desa pada tahun 1902. Messman, orang Belanda yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, Jawa Barat dihinggapi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Maka dia pun menganjurkan dibuatnya sebuah lumbung komunal sebagai tabungan pangan masyarakat desa. Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.
Ide Messman kemudian direspon positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif pun kemudian dibentuk, yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda. Banyak yang menyebut ini adalah cikal bakal pendekatan monetaris yang menyentuh lumbung tradisional rakyat, dan cikal bakal ide tentang KUD.
Setelah merdeka, lumbung desa tetap memperoleh ruang untuk terus berjalan. Bahkan, keberadaannya semakin berkembang dengan dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969. Setelah itu, lumbung desa banyak bermunculan di berbagai pelosok, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat desa sendiri maupun bantuan pemerintah. Fenomena ini masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes), pada tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa, yang umumnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura. Namun pada akhir 90-an, saat peran BULOG semakin besar, lumbung desa semakin ditinggalkan.
Kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Akses perekonomian di pedesaan sudah semakin maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dengan ragam yang bermacam-macam. Sistem tabungan berbasis natura seperti lumbung, dipandang tidak praktis lagi dan karenanya semakin ditinggalkan. Kebijakan pemerintah mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai lumbung nasional, semakin menyurutkan peran lumbung desa sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.
Kini, di saat kekhawatiran terhadap ketahanan pangan dunia kembali merebak, banyak pihak yang kembali menganjurkan agar lembaga lumbung desa kembali diaktifkan. Salah satunya, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri. Maka, pada tataran ini, masyarakat Dusun Panggung Desa Dagangan bisa berbangga hati dengan masih memelihara kearifan lokal yang ternyata memiliki nilai filosofis yang luhur. Yang mungkin bisa kembali menjadi rujukan konsep pengelolaan kemandiran pangan bagi desa-desa lain di sekitarnya.
“Mereka sedang setor gabah ke lumbung desa,” jelas Jumali (63), ketua Lembaga Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan (LMPSDH) Wonosalam Desa Dagangan, ketika kami temui di Balai Pertemuan LMPSDH, beberapa waktu lalu. “Ini kearifan lokal masyarakat yang sudah jarang ditemui tapi masih terpelihara di desa ini,” tambahnya. Dikatakan Jumali, dari 17 Desa yang ada Kecamatan Dagangan, mungkin hanya Desa Dagangan ini yang masih memiliki Lumbung Desa. “Saya tidak tahu berapa jumlah yang masih ada di seluruh Kabupaten Madiun, yang jelas sudah sangat jarang,” katanya.
Ini menarik. Di tengah isu kekhawatiran terancamnya ketahanan pangan dunia yang memaksa pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya, desa ini masih memelihara kearifan lokal kemandirian pangan yang sudah banyak ditinggalkan.
Bagaimana sistemnya? Sederhana saja. Ketika panen tiba, masyarakat menyetor padi untuk ditabung. Sementara saat musim tanam, mereka bisa meminjam untuk modal. Dibayarnya, saat musim panen selanjutnya. Anggota dikenakan tambahan 20% dari berat gabah yang dipinjam. “Jika dia meminjam 1 kwintal, maka dia harus membayar 1 kwintal 20 kilo,” jelas Jumali.
Dengan sistem ini maka masyarakat tidak kesulitan untuk memperoleh modal ketika musim tanam tiba, sehingga kelangsungan produksi pangan terus terjaga. Pun mereka memiliki cadangan pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu apabila panen tidak berhasil atau di masa paceklik. Dalam tahapan selanjutnya, lembaga ini yang juga berfungsi sebagai alat stabilisasi harga bahan pokok, menjaga permintaan dan persediaan (supply and demand) bahan pangan, fungsi yang kini diperankan oleh BULOG.
Sesungguhnya, lumbung desa merupakan perwujudan karakter gotong-royong dan kesetiakawanan yang telah berakar lama pada masyarakat pedesaan. Di masa kesultanan Mataram, telah dikenal sistem lumbung sebagai pencegah terjadinya kerawanan pangan di wilayah kerajaan, sekaligus penopang untuk logistik perang.
Hal tersebut pulalah yang mungkin menginspirasi Messman untuk melembagakan secara resmi lumbung desa pada tahun 1902. Messman, orang Belanda yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, Jawa Barat dihinggapi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Maka dia pun menganjurkan dibuatnya sebuah lumbung komunal sebagai tabungan pangan masyarakat desa. Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.
Ide Messman kemudian direspon positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif pun kemudian dibentuk, yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda. Banyak yang menyebut ini adalah cikal bakal pendekatan monetaris yang menyentuh lumbung tradisional rakyat, dan cikal bakal ide tentang KUD.
Setelah merdeka, lumbung desa tetap memperoleh ruang untuk terus berjalan. Bahkan, keberadaannya semakin berkembang dengan dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969. Setelah itu, lumbung desa banyak bermunculan di berbagai pelosok, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat desa sendiri maupun bantuan pemerintah. Fenomena ini masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes), pada tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa, yang umumnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura. Namun pada akhir 90-an, saat peran BULOG semakin besar, lumbung desa semakin ditinggalkan.
Kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Akses perekonomian di pedesaan sudah semakin maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dengan ragam yang bermacam-macam. Sistem tabungan berbasis natura seperti lumbung, dipandang tidak praktis lagi dan karenanya semakin ditinggalkan. Kebijakan pemerintah mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai lumbung nasional, semakin menyurutkan peran lumbung desa sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.
Kini, di saat kekhawatiran terhadap ketahanan pangan dunia kembali merebak, banyak pihak yang kembali menganjurkan agar lembaga lumbung desa kembali diaktifkan. Salah satunya, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri. Maka, pada tataran ini, masyarakat Dusun Panggung Desa Dagangan bisa berbangga hati dengan masih memelihara kearifan lokal yang ternyata memiliki nilai filosofis yang luhur. Yang mungkin bisa kembali menjadi rujukan konsep pengelolaan kemandiran pangan bagi desa-desa lain di sekitarnya.
Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar