BARANGKALI kita memang terlalu under estimate dengan kemampuan sendiri. Ada anggapan selama ini kalau kesadaran bersejarah bangsa kita baru tumbuh belakangan, yaitu sekitar awal abad 20, terutama setelah pergaulan beberapa orang terpelajar kita dengan orang asing (barat). Yang saya maksudkan kesadaran bersejarah adalah kesadaran akan pentingnya sejarah, sehingga kemudian merasa perlu untuk melakukan perumusan dan penyusunan sejarah dengan didasarkan kepada data-data dan penelitian yang cukup, serta menuliskannya ke dalam sebuah manuskrip berupa naskah sejarah.
Memang banyak juga diketahui karya-karya historiografi nenek moyang kita yang sering dijadikan rujukan penyusunan sejarah oleh para ahli, tetapi bentuknya lebih pantas disebut karya sastra, bukan naskah sejarah, seperti babad, hikayat, carita dsb. Kalau ada yang mirip-mirip, barangkali adalah kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada zaman Majapahit, sehingga beliau konon dianggap sebagai sejarawan pertama di nusantara. Karya-karya anak bangsa yang bisa disebut sebagai naskah sejarah, baru kita temui awal tahun 1900-an.
Tidak banyak yang tahu, dan percaya, bahwa ternyata kesadaran bersejarah bangsa kita sudah tumbuh jauh sebelum itu, dan dengan taraf yang mengejutkan. Adalah pangeran Wangsakerta, seorang bangsawan Cirebon yang hidup di pertengahan abad 17, yang telah menyusun sebuah naskah sejarah yang lengkap tentang perkembangan raja-raja di Nusantara. Jumlah naskah tersebut juga tak tanggung-tanggung, konon mencapai 25 judul dengan masing-masing judul setebal 200 halaman! Sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran bersejarah kita paling tidak telah muncul hampir 4 abad yang lalu, lewat seorang tokoh dengan nama Wangsakerta.
Isu itu disebarkan oleh Ayatrohaedi dalam bukunya Sundakala (terbitan Januari 2005), yang minggu lalu saya beli di Gramedia. Dan isu ini bukan hal baru. Paling tidak sejak awal tahun 1980-an, Ayat sudah mulai mensosialisaikan penemuan tersebut setelah menerima kopian hasil alih bahasa naskah-naskah dari Aca, koleganya --seorang filolog yang banyak bergelut dalam penelitian naskah-naskah sejarah sunda, yang pertama kali menemukan naskah wangsakerta. Sudah pasti menghebohkan. Banyak yang menyambut gembira, tetapi tidak sedikit yang meragukan. Bahkan ada yang langsung memvonis sebagai naskah palsu.
Pasalnya adalah, karya itu dianggap terlalu maju untuk kondisi saat itu. "Terlalu sejarah", dalam bahasa Ayat. Selain juga ada petunjuk kuat yang mengindikasikan bahwa sang penulis pernah membaca hasil penelitian para sarjana barat, karena yang disajikan seolah dengan tepat membenarkan tesis-tesis mereka. Kedua pasal keberatan itu dibantah oleh Ayat. Katanya, mungkin saja kesadaran itu sudah tumbuh sejak lama. Apalagi dikabarkan bahwa sang Pangeran memang seorang yang "gila sejarah". Dan barangkali mungkin terbalik, bahwa para sarjana baratlah yang pernah membaca naskah terlebih dahulu, baru berteori, karena apa yang disajikan di naskah ternyata lebih lengkap dan detil. Sayangnya pada waktu itu belum dilakukan penelitian ilmiah mengenai umur media yang digunakan untuk menulis, sehingga perdebatan itu tidak bisa diputuskan. Saya kurang tahu apakah sekarang sudah dilaksanakan atau tidak, yang jelas apabila ternyata belum, adalah sebuah hal yang amat memeprihatinkan.
Tetapi lepas dari itu, naskah itu memang menarik. Banyak hal-hal yang mengejutkan terungkap. Misalnya, bahwa pengetahuan bangsa kita tentang zaman purbakala ternyata telah cukup maju. Sudah dilakukan upaya periodisasi sejarah. Dikatakan bahwa pada masa 1 juta - 500 ribu tahun sebelum tarikh Saka, di Jawa dihuni oleh mahluk berwujud manusia setengah kera, yang kemudian punah setelah kalah oleh orang-orang yang datang dari utara.
Selain itu periode sejarah kita pun menjadi lebih awal. Apabila dulu kita diajarkan bahwa sejarah kita berawal sejak abad ke 4 masehi ketika ditemukan prasasti di Kutai, dan seakan-akan mereka muncul dengan tiba-tiba, maka hal tersebut perlu direvisi. Sejarah kita sudah dimulai bahkan sejak abad pertama masehi. Konon pada tahun 130 sudah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang terletak di Jawa Barat bagian barat, dan sudah ramai dengan para pelaut asing yang berniaga. Mozaik-mozaik sejarah yang selama ini seakan tak berhubungan, seperti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilengkapi dan dirangkai oleh naskah.
Yang lebih menarik lagi adalah metode penyusunan naskah. Konon, Wangsakerta perlu mengundang para ahli sejarah dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara tetangga, yang jumlahnya puluhan, selain juga mengirimkan para pembantunya untuk mencari pustaka-pustaka ke berbagai daerah. Untuk membantu penyusunan, beliau membentuk sebuah kepanitiaan, yang disebut Panitia Wangsakerta. Para ahli yang saat itu hadir dibagi kedalam beberapa kelompok kerja yang bertugas menyusun sejarah daerah masing-masing. Hasilnya kemudian diplenokan dalam sebuah loka karya. Lumayan modern. Proses penyusunan seluruh naskah sendiri konon membutuhkan waktu 21 tahun. Sayangnya sebagian besar dari naskah-naskah tersebut kini tak tahu dimana rimbanya.
Mengherankan? Barangkali. Saya sendiri sulit untuk mempercayai bahwa ada juga tokoh masa lalu bangsa kita --bahkan kini, yang memiliki visi sehebat sang pangeran. Tetapi itulah kenyataannya. Seperti yang saya katakan di awal, barangkali kita memang terlalu under estimate pada sejarah kita. Oleh karenanya, kita harus mengoreksi total cara pandang kita terhadap sejarah. Hal itu dapat dimulai dengan mengubah metode pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang hanya identik dengan menghapal angka tahun dan nama tokoh. Karena kesadaran bersejarah anak bangsa sangat penting, agar mereka dapat mencintai bangsa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Seperti kata Bung karno: Jangan sampai kita melupakan sejarah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar