APA yang takkan kau lakukan untuk menyenangkan sang pujaan hati? Tak ada. Semua jalan kan ditempuh. Biarpun itu harus mendaki tujuh gunung dan menyeberang tujuh samudera, kata penyair gombal, demi dia, apapun kan diterjang.
Adagium itu, meski tak sepenuhnya, ternyata berlaku juga padaku, kemarin. Sehabis melakukan presentasi untuk keperluan marketing wisata, di sebuah perusahaan leasing di bilangan Mampang, gadis ceria itu mengajakku --kami tepatnya-- untuk mampir ke tempat bermain, sebelum pulang ke Bandung. Tempat yang diusulkan: Dunia Fantasi. "Heh?" aku sempat berkernyit , "Memangnya kita anak SD?". Tapi dia serius. Dan rajukan dari tatapan matanya tak dapat kutanggulangi.
Maka, siang itu, kendaraan kemudian kami belokkan ke arah Priok. Untungnya Jakarta tak terlalu macet, sehingga menjelang Jumatan kami sudah sampai di Ancol. Setelah singgah di sebuah mesjid untuk shalat, kami melanjutkan perjalanan. Setengah dua, kami tiba di gerbang Dunia Fantasi.
Ternyata pintu masuk belum terbuka. Kami harus menunggu setengah jam lagi. Mengantre, berebut tempat dengan serombongan anak dari sebuah SD di Bandung yang sedang berdarmawisata.
Gadis itu bernyanyi riang. Sementara aku sibuk meratapi gerahnya Jakarta dan kakiku yang pegal akibat kelamaan berdiri, selain menyesali uang lunsumku yang habis untuk beli tiket empat orang. "Ini demi kau", desisku.
Sebenarnya aku memang merasa kurang nyaman harus bermain ke tempat aneh ini. Selain sudah bosan (seingatku sudah lebih dari 4 kali aku ke sini), juga selalu ada kengerian ketika membayangkan permainan-permainan yang harus kunaiki, dan itu jauh dari seleraku. Aku takut ketingian, apalagi bila dikombinasikan dengan gerak dan kecepatan, seperti rata-rata jenis permainan yang ada di sini. Tapi demi sang pujaan, aku menguatkan diri.
Dan tanpa harus menunggu lama, ketakutanku langsung diuji. Selepas pintu masuk, sang gadis berlari ke arah Niagara. Aku sempat menolak, tapi tak berdaya. Dengan berdebar gugup, aku naik. Aku baru menyadari, kalau aku kini menjadi lebih penakut dari beberapa tahun lalu.
Perahu itu hanya muat untuk empat orang. Aku memilih tempat paling belakang, meski sang gadis memperingatkan "Justru di belakang, hempasannya makin terasa". Aku tak peduli, yang jelas instingku mengatakan dengan duduk di belakang, aku akan lebih bisa terlindungi . Debarku makin kencang ketika sang perahu mulai menanjak. Dan ketika tiba gilirannya terjun bebas, aku merasa seperti terbang. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tak keluar. Untungnya kengerian itu tak berlangsung lama. Ketika sadar, kepalaku sudah menempel erat di kepala orang di depanku. Tapi aku selamat.
Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Kami tertawa terpingkal-pingkal. "Ayo lagi, kamu membutuhkannya" teriaknya.
Tapi aku menolak setengah mati ketika dia kemudian menujuk Kora-kora, perahu besar berayun-ayun itu. Aku tak bisa membayangkan kengerian ketika tubuhku harus dihempas berkali-kali dari ketinggian hampir 15 meter selama bermenit-menit. Aku menawarkan diri menunggu saja di bawah. Dan kali ini rayuannya tak mempan, dia naik tanpaku.
Gadis itu memang tangguh. Dari bawah aku hanya terheran-heran melihatnya begitu menikmati permainan itu, dan tertawa-tawa melihat ekspresi kengerian penumpang lain.
Tetapi setelah itu aku tertipu juga. Ketika melewati sebuah permainan yang tak kuketahui cara kerjanya, aku setuju untuk naik. Selanjutnya aku hanya bisa memejamkan mata ketika tiba-tiba tubuhku terangkat dan berputar membanting-banting. Teriakannya yang memintaku untuk membuka mata tak kuindahkan sama sekali. Aku hanya bisa menyumpah-nyumpah.
Saat permainan selesai, dia kembali terpingkal. Kami kembali terpingkal. Setelah itu aku menawarkan permainan yang lebih menyenangkan saja, semacam Gajah Bleduk atau Istana Boneka.
Sampai jam empat sore kami bermain. Sebuah telepon dari teman di mobil mengingatkan agar kami segera pulang, menghindari macet di jalan. Aku lega ketika dia setuju untuk berhenti.
Kami pun kembali ke Bandung, sambil terpingkal di mobil.
(Ah gadis, aku tak tahu apa kita kelak kan berjodoh atau tidak. Yang jelas, disampingmu aku selalu bisa tertawa. Barangkali karena itulah aku kini memujamu --seperti juga lelaki yang terus menelponmu sepanjang perjalanan itu.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar