Minggu, September 18, 2005

Seven Days In Thailand (Part I)

: Sebuah catatan perjalanan

Kunjungan tujuh hari di Thailand memberikanku banyak pengalaman baru. Ada yang lucu dan menyenangkan. Ada yang mengesankan, tetapi ada yang pula aneh bahkan mengerikan. Ini adalah catatanku selama perjalanan, sekaligus oleh-oleh bagi yang tidak kebagian kaos dan gantungan kunci :-).

Tentang IFYE

Oya, sebelum saya menceritakan perjalanan, penting dijelaskan maksud kedatangan saya ke Thailand. Menurut informasi awal, saya bertugas untuk mendampingi KTHA (Kontak Tani Hutan Andalan), yaitu semacam asosiasi para petani hutan di Jawa Barat, untuk mengikuti Konferensi Pertukaran Pemuda Tani se Asia Pacfic. Atau dalam bahasa aslinya adalah The Sixth ASPAC IFYE Conference. Sejujurnya, sampai saat keberangkatan saya belum jelas benar dengan apa yang akan saya hadapi dan lakukan di sana. Bahkan tentang IFYE pun saya baru mendengarnya. Pada saat konferensi saya baru tahu bahwa, ternyata ini adalah ajang komunikasi para pemuda tani yang telah mengikuti program pertukaran di antara negara-negara Asia Pasifik, dan juga pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap pengenalan pertanian pada kaum muda.

IFYE sendiri terbentuk pada tahun 1948, ketika beberapa pemuda Amerika pergi belajar ke negara-negara Eropa dan sebaliknya. Mereka yang dikirim adalah umumnya yang tergabung kelompok belajar yang dinamakan klub 4 H (4–H Club-Head, Heart, Hands and Heath). Ketika melihat rekaman kegiatan klub-klub tersebut, saya teringat kepada gerakan Pramuka di Indonesia, hanya saja perhatiannya lebih ditujukan kepada pertanian dan alam. Dan program pertukaran pemuda tersebut dinamakan International Farm Youth Exchange. Program tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Asia. Klub-klub 4-H berkembang di beberapa negara seperti Korea, Taiwan, Philipina dan Thailand. Di negara-negara tersebut, klub 4H didukung penuh oleh pemerintahnya, sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan pertanian nasional. Setiap dua tahunan, IFYE Asia Pasific mengadakan konfrensi, dan yang ini adalah yang keenam. Konfrensi ke lima diadakan di Jakarta tahun 1996, jadi sempat pula terjadi kekosongan sekitar 9 tahun yang disebabkan krisis ekonomi.

Di Indonesia sendiri klub 4H tidak dikenal. Maka yang menjadi utusan adalah para Pemuda Tani yang tergabung dalam KTNA. Dan pada tahun ini pula, KTHA (yang baru terbentuk) mulai diikutkan. Program pertukaran petani yang banyak dilakukan Indonesia adalah dengan Jepang. Namun, yang menjadi peserta konferensi kali ini ternyata bukan yang berasal dari alumnus program pertukaran tersebut. Hal ini cukup menjadi masalah juga pada konfrensi, karena kebanyakan adalah muka-muka baru yang belum mengenal IFYE dan kegiatan-kegiatannya, tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan jarang diantara mereka yang bisa berbahasa inggris.

Perjalanan

Sebelum berangkat, kami berkumpul di Wisma milik Departemen Pertanian. Jumlah delegasi Indonesia adalah 34 orang (1 orang menyusul dua hari kemudian). Terdiri dari utusan berbagai provinsi. Umumnya mereka adalah petani yang tergabung dalam KTNA, sebagian lain pengusaha agribisnis, pagawai pemerintah yang mengurus Pertanian, bahkan ada pula Camat dan Lurah. Saya sendiri, berdua dengan Erwin, bertugas mendampingi tiga orang petani hutan (Dadung, Saepudin dan Haji Fathoni).

Kami terbang ke Bangkok pada Minggu (4/9) dini hari, dengan menumpang Airbusnya Emirate tujuan Dubai. Dan ini adalah pengalaman terbang pertamaku. Sungguh mengerikan. Apalagi sebelumnya banyak dibekali dengan cerita-cerita seram penerbangan. Juga berita kecelakaan heli beberapa hari sebelumnya di Palembang. "Untungnya", berita Mandala sampai ketika saya sudah di Pattaya, bila tidak, mungkin saya akan membutuhkan sepuluh butir antimo untuk memaksaku tidur sepanjang jalan.

Emirates adalah maskapai UAE, oleh karenanya sangat berbau arab. Banyak orang-orang arab yang akan ke Dubai dalam pesawat kami. Diam-diam saya ngeri juga, jangan-jangan ada diantara mereka yang membawa bom, atau membajak pesawat seperti di film-film (ternyata saya sudah terkontaminasi berat agitasi barat). Tetapi ada juga kejadian lucu. Ketika pengumuman prosedur keselamatan yang tentu saja menggunakan bahasa Arab, beberapa teman Indonesia mengangkat kedua tangannya sambil berkata: amin..amin.

Perjalanan ke Bangkok membutuhkan waktu tiga setengah jam, dan selama itu saya terjebak dalam kengerian. Saya tak bisa tidur sama sekali. Dadaku terus berdebar kencang dan keringat dingin deras mengucur. Hiburan televisi mini yang disediakan di setiap kursi penumpang tak menolong banyak. Padahal film-filmnya baru-baru, seperti Mr. and Mrs. Smith, atau filmnya Lindsay Lohan tentang mobil yang bisa bicara itu. Saya terheran-heran bisa-bisanya orang lain tidur nyenyak di situasi seperti itu.

Image hosted by Photobucket.com Menjelang subuh kami tiba di Dong Muang. Konon dalam bahasa Thai, Dong berarti tinggi dan Muang berarti Daratan, jadi artinya adalah Daratan Tinggi. Saya mengucap syukur, bahwa tak ada apa-apa dengan perjalanan kami. Setelah beristirahat sejenak, dan shalat subuh, kami langsung menuju Pattaya dengan bis yang disediakan panitia. Jarak Bangkok dan Pattaya adalah sekitar 3 jam. Karena lelah, saya tertidur, meski tak lena. Ketika bangun, bus sudah berhenti di sebuah peristirahatan untuk makan pagi.

Kami pun membeli sarapan di sebuah restoran muslim, yang ternyata hanya ada satu di lokasi itu. Karuan saja seluruh peserta Indonesia yang berjumlah 33 orang itu tumplek, dan membikin pelayannya sibuk bukan main. Menu yang dihidangkan adalah sejenis sup, kira-kira semacam soto ayam di kita. Karena banyak permintaan, kami pun harus menunggu giliran. Saya bersama rombongan dari Jawa Barat berenam duduk di satu meja. Melihat kami tak juga kebagian hidangan, seorang penerjemah lokal berinisiatif menawarkan sesuatu kepada kami, yang tak pikir panjang kami jawab dengan: yes..yes. Kami pikir dia sedang menjelaskan tentang sup itu. Selanjutnya kami terbengong-bengong ketika ke meja kami dihidangkan enam porsi sejenis nasi kuning (baru kemudian saya tahu bahwa itu namanya nasi Berliani, sejenis nasi Kebuli). Kemudian tertawa ngakak. Akhirnya lima porsi dihabiskan oleh Haji Fathoni, karena yang lainnya tetap menginginkan sup.

Sekitar pukul 10 pagi, kami sampai di Pattaya, dan kami ditempatkan di sebuah hotel, namanya Ambasador City. Hotel itu sangat besar, terdiri dari tiga komplek bangunan yang masing-masing bangunan berlantai 42 dan memiliki lebih dari 1600 kamar. Saya sendiri kebagian di lantai 18, berdua dengan Erwin. Ketika saya perhatikan dari atas hotel, saya menduga ini adalah hotel yang dalam rekaman video di TV terkena tsunami beberapa waktu lalu. Tetapi ketika dikonfirmasikan ke seorang sopir lokal, tenyata bukan. "Pattaya tak terkena tsunami", katanya, "yang anda lihat itu di Puket".

Siang sampai sore, kami habiskan dengan istirahat di Hotel. Saya sempat kebingungan ketika tiba makan siang. Hari itu, ternyata belum termasuk hitungan yang ditanggung panitia, jadi kami harus mencari sendiri. Ketika mengajak Dadung dan Saepudin, mereka malah menawarkan telor asin dan gorengan asin yang dibawanya dari Sumedang. Ternyata Saepudin membawa bekal cukup banyak, selain satu keresek telor asin, juga satu kaleng gorengan ikan asin. Nasinya dibeli tadi ketika makan pagi. Awalnya saya terheran-heran, tetapi akhirnya tawaran mereka saya terima. Ternyata enak juga, bahkan saya nambah.

Welcome Dinner

Malamnya diadakan makan-malam penyambutan, yang diisi oleh hidangan ala standing party dan pergelaran kesenian tradisional Thailand. Belum disediakan hidangan khsusus muslim. Karena ragu-ragu, kami hanya memakan buah-buahan atau kue. Tentu saja tidak cukup mengenyangkan. Meja khusus moslem food baru ada pada acara-acara makan selanjutnya.

Image hosted by Photobucket.com Yang menarik adalah pagelaran kesenian tradisional yang dilakukan oleh anak-anak SD dan SMP. Musik Thai meski monoton tetapi iramanya riang dan menghentak. Sehingga sangat cocok ketika dipadukan dengan tari-tarian. Dan yang menjadi pusat perhatian adalah dua orang anak kecil yang menari penuh semangat dengan gaya goyang kocak. Mirip goyang ngebor Inul. Banyak peserta yang senang dan memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan dan bersuit-suit. Lucunya, sang bocah melakukannya tanpa ekspresi. Seorang peserta yang geregetan bahkan sempat menyelipkan angpau.

Acara itu selesai jam 9 malam. Malam itu acara bebas, dan kami kembali ke kamar masing-masing. Setengah jam kemudian, kami turun untuk jalan-jalan. Setiap delegasi disediakan satu buah mobil angkutan, sejenis preggio, untuk berkeliling. Sayangnya, karena peserta Indonesia kebanyakan, tak semua dari kami, termasuk saya, kebagian. Akhirnya saya dan beberapa teman lain memutuskan untuk berjalan kaki saja. Belum sampai lima menit berjalan, sebuah mobil hotel menyusul dan menawarkan untuk membawa kami jalan-jalan. "300 Baht", katanya, atau sekitar Rp. 75.000 untuk semua (jumlah kami berenam). Tanpa tawar-tawar lagi kami setuju.

Menyusuri Lorong Pattaya

Sopir itu bernama Sing, kami memanggilnya Mr. Sing. Dia asli Pattaya, dan nampaknya sudah terbiasa mengantar turis-turis jalan-jalan. Dan tawaran pertama yang diajukannya adalah, "Do you want to see ladies?". Saya yang bertindak sebagai juru bicara (karena satu-satunya di antara berenam yang bisa berbahasa inggris) langsung mengiyakan, "Yes, can you take us to there?"

Sejak sebelum berangkat, kami banyak diceritakan tentang wisata malam Thailand, disertai pertunjukan-pertunjukan ajaibnya. "Pokoknya kalau tidak sempat menonton, berarti belum ke Thailand", saran seorang teman yang pernah ke sana. Saya sendiri awalnya tak terlalu percaya dengan cerita-cerita itu, tetapi penasaran juga. Maka ketika sang supir menawarkan, kami langsung setuju. Tetapi rupanya kami kecele. yang dia maksud ternyata sebuah panti pijat plus. Kami dihadapkan pada akuarium besar berisi puluhan gadis-gadis cantik berpakaian minim. "Silahkan milih", katanya, "Gak apa-apa, gak pakai, gak perlu bayar". "Harganya 1.200 Baht", tambahnya (kalikan saja, 1 Baht sekitar 250 rupiah). Tapi teman lain malah pada protes terhadap saya, sebagai interpreter. "Bukan yang ginian", kata seseorang. "Nu kieu mah di Bandung ge aya", tambah yang lain. "Minta yang aneh-aneh!:

Saya jadi bingung. Dengan susah payah saya jelaskan keinginan teman-teman pada Mr. Sing. Parahnya sang sopir rupanya bahasa Ingrisnya pas-pasan juga, sementara saya kebingungan menjelaskan apa yang diinginkan. Akhirnya dengan memakai sedikit bahasa Tarzan, kami diantar pada suatu tempat. Rupanya itu adalah pusat kehidupan malam Pattaya. Saya tak sempat menanyakan namanya, yang jelas banyak sekali pub-pub yang berisi perempuan setengah telanjang. Saya melihat banyak sekali bule. Pattaya memang surga bagi bule, yang doyan Sea, Sun dan Sex. Ada yang bilang, industri esek-eseknya menyumbang 40% dari PAD Pattaya.

Setelah melalui lorong-lorong, kami diajak masuk ke sebuah pub kecil. Dan akhirnya kami dapatkan apa yang kami cari. Pub itu temaram. Di dalamnya terdapat tempat-tempat duduk setengah lingkaran dan bertingkat-tingkat, persis seperti ruang pertunjukan biasa. Di ujung sebelah kanan saya melihat rombongan Indonesia lain sudah ada di sana. Tak terbiasa dengan dunia keremangan, saya deg-degan juga. Di tengah-tengah ada panggung, dan beberapa gadis telanjang sedang berlenggak-lenggok. Rupanya pertunjukan sudah setengah jalan.

Saya tak bisa menjelaskan secara detil show itu (baru beberapa hari setelahnya saya tahu nama show itu adalah Top Lady Show). Yang jelas saya menyamakannya dengan kesenian Debus, hanya saja ini dilakukan dengan sangat-sangat ekstrim, karena seluruh atraksi dipusatkan pada kelamin wanita. Ada beberapa macam atraksi, seperti merokok, membuka tutup botol, menyedot air dalam botol dan mengeluarkannya kembali, memasukan hamster dan bola pingpong, memasukan rantai silet, menulis dan terakhir menembak balon dengan sumpitan. Lama satu sesi pertunjukan adalah 1 jam, kemudian dilanjutkan ke sesi selanjutnya dengan pertunjukan yang sama. Untuk semua itu kami hanya membayar 200 Baht (50.000 rupiah) plus gratis minuman. Ketika saya tanyakan kepada Mr. Sing bagaimana mereka bisa melakukan hal tersebut, dia menjawab tidak tahu. "Saya pun baru kali ini menonton", katanya sambil tertawa-tawa.

(to be continued)

Tidak ada komentar: