Rabu, November 09, 2005

Saat Tuk Memutuskan

DI sebuah milis, beberapa tahun yang lalu, ada sebuah posting menarik. Judulnya, Cinta dan Perkawinan menurut Plato. Ceritanya kira-kira begini.

Syahdan, suatu ketika Plato muda mendatangi gurunya dan bertanya, "Guru, ceritakan padaku mengenai hakikat percintaan!" Sang guru tersenyum, dan dengan penuh kearifan dia balik bertanya, "Jadi kau ingin mengenal cinta, Anakku?" Plato mengangguk pelan. "Baiklah," sambut sang bijak. "Pergilah kau ke hutan itu, dan ambilkan aku sebuah ranting -- hanya sebuah ranting -- yang kau anggap paling menakjubkan!" katanya. "Tapi ingat, kau hanya boleh berjalan lurus searah dan tidak boleh berbalik."

Tanpa banyak bertanya, Plato pun kemudian melaksanakan sesuai perintah gurunya. Selang berapa lama ia sudah kembali. "Apa yang kau dapat, Ananda?" periksa sang bijak. "Tak ada, Guru, saya tak membawa satu pun" jawab Plato murung. Sang Guru heran. "Mengapa, tak adakah ranting yang menakjubkanmu di sana?" selidiknya. Plato mengggeleng. "Ketika masuk hutan tadi, banyak sekali ranting yang indah dan menakjubkan, Guru. Saya hampir mengambilnya satu. Tetapi saya teringat pesan Guru, bahwa yang harus diambil adalah yang paling indah, maka saya memutuskan mencari lagi barangkali ada yang lebih bagus di depan sana. Demikian terus, hingga kemudian saya sadar ternyata sudah berada di ujung hutan, dan belum membawa satu pun" kenangnya lirih. Sang Guru tertawa, "Itulah perumpamaan Cinta, anakku."

Plato terdiam. Dia belum menangkap apa yang dimaksudkan sang Guru. "Lalu apa bedanya dengan perkawinan?" Plato bertanya lagi. Dia memang murid yang tak mudah menyerah, dan sang guru sangat menyadari itu. "Jika kau ingin tahu tentang perkawinan, Anakku, pergilah kau ke taman itu dan bawakan padaku satu bunga yang menurutmu paling indah. Dan tetap, kau tidak boleh berbalik!" titahnya jelas.

Plato kemudian berlari memenuhi perintah. Tak berapa lama dia sudah kembali dengan sekuntum bunga merah di tangannya. "Aku mendapatkannya, Guru," teriaknya riang. "Ini sebuah bunga yang sangat indah." Tapi sang Guru tak tampak gembira. Dia bahkan seakan meragukan pilihan sang murid. "O ya, tapi apakah kau yakin itu yang terindah di seluruh taman?" tanyanya. Plato kembali terdiam. Dia termenung beberapa saat. "Mungkin tidak, Guru," jawabnya sejurus kemudian. "Saya yakin di depan sana masih banyak bunga yang lebih indah dari ini. Tapi pengalaman di hutan tadi mengajarkan saya untuk cepat memutuskan. Saya tak ingin kembali dengan tangan hampa seperti tadi. Maka ketika ada satu bunga yang saya anggap cukup bagus, minimal tidak terlalu jelek, langsung saya mengambilnya. Dan saya tidak menyesal telah mengambil bunga ini sebagai pilihan saya," lanjut Plato mantap. Wajah sang Guru membinar. "Kini, kau telah mengerti, Anakku. Itulah hakikat perkawinan," katanya tersenyum. Dan Plato mengangguk riang.

***

Saya tak yakin cerita itu otentik. Kuat dugaan itu rekaan orang belaka, dan nama besar Plato hanya dipinjam sebagai tokoh perumpamaan. Mungkin untuk menambah efek "bijak". Judulnya pun barangkali lebih tepat: Cinta dan Perkawinan menurut guru Plato, karena ternyata sang guru yang lebih berpendapat. Tetapi bahkan dari jalan cerita, kita mengetahui bahwa tidak begitu tepat menjadikan tema perbandingan Cinta dan Perkawinan sebagai judul karena dua entitas tersebut sama sekali tak diperbandingkan secara utuh menurut pengertian awam kita. Meskipun begitu, pesannya sangatlah jelas: jangan mencari kesempurnaan dalam cinta!

Pikiran serakah kita selalu menginginkan kesempurnaan dalam berbagai hal, termasuk pasangan hidup. Seorang lelaki normal akan mendambakan wanita yang cantik, baik, kaya, atau apa pun sesuai dengan keinginannya, untuk menjadi istri. Begitupun sebaliknya. Itu manusiawi saja. Tetapi, yang harus disadari adalah ternyata ukuran kesempurnaan itu sangatlah tak berbatas, karena selalu saja ada yang nampak lebih cantik --lebih indah, dari apa yang ada di depan mata. Dan celakanya, di sisi lain, kesempatan untuk mencari dan menyeleksi ternyata sangatlah sempit, sangatlah terbatas. Parahnya lagi, dia bagai jalan lurus yang tak pernah kita bisa berbalik, karena demikianlah memang sang waktu berlaku. Sebuah kesempatan tak pernah datang dua kali, kata orang. Dan itu kerap kali terbukti. Salah-salah, jika kita terlalu mendamba kesempurnaan, alih-alih mendapat yang paling, bisa-bisa malah tak mendapat apa-apa, seperti yang dialami Plato pada kesempatan pertama.

Jadi, ada saat kita harus memutuskan untuk memilih. Saat itu harus tepat, karena terlalu tergesa pun tak baik. Kita pun mesti memiliki cukup waktu untuk menimbang-nimbang -- dan pesan Plato (atau siapapun yang mengarang cerita itu), mikirnya jangan terlalu lama. Karena bisa kebablasan, dalam arti momennya habis. Kapankah saat tepat itu? Kita sendiri yang tahu. Kita sendiri yang menentukan.

Plato memutuskan mengambil satu bunga, manakala melihat ada yang dia anggap cukup mewakili seleranya. Dia tidak ingin mencari yang paling, karena dia pikir itu sia-sia. Dan dia tidak menyesal. Kamu?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hehe jadi ingat pilih2 tebu eh dapetnya yg jelek.
maap lahir batin juga ya. taqoballohu minna wa minkum taqoaballoh ya kariim.
-maknyak-
http;//serambirumahkita.blogspot.com