SEKITAR sebulan yang lalu, saya memutuskan untuk membeli sebuah kendaraan dari seorang teman. Sebuah mobil, yang meski bukan baru, saya anggap cukup memadai untuk menunjang aktivitasku sehari-hari, terutama manakala saya harus turni ke daerah-daerah. Lumayan, saya bisa pergi dan pulang kapan saja saya mau, tanpa harus terikat menyesuaikan waktu seperti dulu karena mesti minjam atau nebeng ke kendaraan teman. Juga tidak lagi bergantung pada kendaraan umum, yang jauh dari hitungan nyaman dan aman. Selain memiliki sedikit postur ketika diundang rapat-rapat oleh dinas/instasi lain.
Memiliki mobil ternyata membawa saya kepada kebiasaan baru. Misalnya, saya harus bangun lebih pagi, karena harus memanaskan mesin dan mencuci bodinya agar selalu kelihatan terawat. Padahal sebelumnya, saya paling malas bangun pagi. Tak jarang saya bangun hanya lima belas menit menjelang apel pagi di kantorku yang hanya berjarak 20m dari tempat kosku kini. Untungnya, saya masih seringan ikut apel daripada bolosnya, meski kerap datang dengan tergopoh-gopoh pada detik-detik terakhir. Bila tidak, pasti banyak sindiran dari teman-teman: "Rumah di pinggir kantor kok masih kesiangan juga".
Saya juga mulai banyak belajar tentang mobil. Tentang bagaimana mengetahui kondisi mesin yang baik, cara pemeliharaan sehari-hari, dimana mencari spare part yang murah, bengkel mana yang bagus dan sebagainya. Juga tentang istilah-istilah, seperti tune up, spooring, balancing sampai pada jenis-jenis onderdil. Ini penting, karena saya harus selalu menjaga agar kondisinya selalu prima. Konon menjaga agar mobil tetap dalam kondisi prima jauh lebih baik dan murah daripada memperbaikinya ketika rusak.
Saya juga harus mulai menghapalkan jalan. Semenjak dulu, hal ini adalah kelemahan saya. Entah mengapa, saya sangat sulit mengingat rute jalan. Padahal kota Bandung terkenal memiliki jalan-jalan yang rumit dan hampir serupa. Makanya saya kemudian membeli sebuah peta khusus kota Bandung seharga 15.000 di Gramedia. Lumayan, bisa menjadi penolong ketika malam-malam tersesat di belantara jalan kota Bandung.
Tetapi sebenarnya yang paling menguras perhatianku adalah urusan yang paling utama: bagaimana bisa mengendarainya sendiri. Ya, karena saya memang belum bisa menyetir dengan baik (meski untungnya di negeri ini saya bisa juga mendapatkan SIM). Maka kemudian, hampir setiap hari selesai kantor, terutama di awal-awal, saya tugaskan staf-staf mengajariku menyetir Kebetulan saya memang memiliki staf yang rata-rata bisa menyetir, sehingga saya merasa tidak perlu mengambil kursus.
Ternyata tidak mudah. Saya merasa sangat terbebani dengan hal ini. Barangkali, ini hanya soal mental saja. Saya memang memiliki pengalaman yang buruk dalam setir menyetir. Mobil saya yang pertama dulu, saya jual karena hampir tiap saya bawa, pasti meninggalkan cacat. Saya pernah menubruk sebuah angkot, menyenggol tangga orang yang sedang mengecat di pinggir jalan, hampir meruntuhkan garasi di rumah dan terakhir menghantam pagar kantor sampai penyok. Dus, daripada uang saya habis untuk memperbaiki, lebih baik saya jual kembali. Sejak saat itu saya berkesimpulan dalam hati bahwa saya bukan seorang supir yang baik.
Menyetir memang kompleks. Ini tidak hanya berhubungan dengan keterampilan tangan dan kaki dalam mengendalikan kemudi atau menginjak rem dan gas, tetapi juga dipengaruhi oleh karakter psikologis seseorang. Saya percaya, sifat seseorang dapat tergambar dari caranya menyetir.
Untungya, meski terhitung sangat telat, akhirnya saya sudah mulai berani membawa mobil sendiri, meski terbatas pada tujuan yang dekat, seperti belanja. Untuk ke lokasi-lokasi yang jauh, saya masih sering minta temanin. Dan saya terus berlatih. Mudah-mudahan saja, lebaran nanti saya sudah bisa sampai ke Ciamis sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar