Minggu, September 12, 2004

Bujangan, Tak Bisa Kaya?

"MENIKAHLAH cepat", kata nenekku, suatu ketika (sebenarnya beliau bukan nenekku asli, cuma memang sudah saya anggap sebagai nenek sendiri, dan keterangan ini menjadi penting untuk bagian akhir tulisan). "Tak ada ceritanya bujangan kaya", lanjutnya serius.

Sejujurnya kata-kata itu bukan hanya sekali ditujukan kepada saya, dan bukan datang dari nenekku saja (kecuali orang tuaku). Biasanya saya menghindar dengan, "Buat menghidupin seorang saja udah pas-pasan, gimana kalo harus nambah ngidupin dua kepala? Saya gak mau bikin sengsara anak orang, nek".

Saya memang bukan tipe orang yang suka berspekulasi (nekad), terutama dalam hal uang (dalam hal ini saya sangat bertolak belakang dengan sifat ayahku), apalagi apabila itu akan berefek pada orang lain. Untuk hal-hal yang kira-kira tidak akan mengenakkan, saya akan lebih suka menjalankannya sendiri daripada mengajak orang lain. Sesungguhnya ini sifat yang baik, meski kadang dicemooh orang dengan: tidak jantan.

Dus, untuk memutuskan menikah saya harus memiliki persiapan yang cukup, terutama dalam hal materi. Minimal, hitung-hitungan bahwa saya akan bisa membahagiakan istri saya (tentu saja bukan hanya soal makan). Saya tidak bisa bertindak seperti beberapa teman yang nekad menikah meski belum punya pekerjaan tetap, dan hidup hanya dari orang tua. Apalagi pada saat itu saya juga masih memiliki tanggungjawab untuk membiayai adik saya kuliah. Saya memang termasuk kategori super realistis dan super rasional dalam hal ini.

Maka, saya pun bertekad untuk mematahkan mitos tadi, bahwa ternyata ada juga bujangan yang bisa kaya. Apalagi saya memiliki modal yang cukup untuk itu: saya termasuk orang yang hemat: tidak merokok, tidak suka keluyuran dan juga bukan termasuk pria metroseksual yang membutuhkan banyak duit. Saya termasuk pria yang super ngirit. Seorang teman bahkan sering meledek, "Ada bedanya antara pelit dan ngirit", katanya.

Tetapi nampaknya apa yang dikatakan nenekku tadi, kini betul-betul saya rasakan. Karena disamping memiliki sifat yang menunjang tadi, saya juga ternyata memiliki kelemahan lain yang cukup parah: saya orang yang tidak tegaan, terutama apabila dihadapkan pada rayuan dan ratapan. Saya selalu mudah terrenyuh. Dan nampaknya orang-orang disekelilingku sangat mengetahui itu dengan baik.

Maka uang yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit tersebut, akhirnya tidak pernah menjadi bukit. Karena di setiap waktu ada saja orang yang datang dan meminta pinjaman, dengan berbagai alasannya masing-masing. Dari uang sekolah anak, anaknya sakit, sedang membikin rumah, kecopetan di tengah jalan, untuk modal usaha dll. Dan saya selalu tak kuasa menolak.

Celakanya, dari sepuluh yang meminjam uang, yang mengembalikan paling cuma satu orang. Sisanya menunggak. Padahal mereka sudah berjanji untuk melunasinya dalam jangka waktu tertentu. Saya tak tahu, apakah mereka berniat membayar atau tidak, karena saya selalu saja tak memiliki perasaan tega untuk menagih. Saya memang selalu berfikiran bahwa setiap orang beritikad baik, bahwa mungkin saja mereka belum mampu membayar pada saat ini. Tapi lama-lama ini membuat saya jadi makan ati juga. Sekali waktu pernah saya memberanikan diri menanyakan, jawabannya: "Nantilah, kamu kan masih bujangan, masih belum terlalu perlu, kan?"

Bukan itu saja. Predikat bujangan juga sering dijadikan alasan teman-teman sekantor untuk minta ditraktir. "Sekali ini saja lah, kamu kan masih bujangan?". Atau, "Masa bujangan pelit, gajimu kan besar?". Belum lagi yang berkenaan dengan urusan keluarga, apalagi saya adalah anak yang paling besar, dari seorang keluarga yang pas-pasan. (Makanya ada tips, jangan mencari jodoh anak sulung dan banyak adiknya, pasti repot. Carilah anak bungsu yang orang tua dan kakak-kakaknya kaya, he he).

Pendeknya, ternyata benar kata nenekku: tidak mudah menjadi seorang bujangan kaya.

Repotnya, saya pun ternyata bukan orang yang zonder keinginan dan ambisi. Saya memiliki impian-impian dan rencana tentang hidup di masa depan, yang harus saya mulai rintis dari sekarang. Misalnya, tuntutan pekerjaan di hari-hari ini mengharuskanku memiliki sebuah kendaraan. Maka saya pun mulai berfikir-fikir untuk membeli sebuah mobil. Sayangnya uang tabunganku tak cukup. Sebenarnya, apabila seluruh piutangku dibayar, kekurangannya tak begitu besar. Cuma saja, nampaknya kasusnya hampir seperti BLBI. Maka mau tak mau saya harus rela menggadaikan SK ke Bank. "Mumpung masih bujangan", pikirku.

Dan akhir-akhir ini saya mulai berfikir, apakah saya harus menikah cepat-cepat, agar manajemen keuanganku bisa efisien. Itu berarti saya harus segera berkunjung dan merayu nenekku tadi, "Nek, saya mau menikah, asal dengan cucumu", he he.

Tidak ada komentar: