Jumat, Maret 16, 2007

C i n t a

KONON ada dua metode untuk membangkitkan motivasi seseorang sehingga dapat bekerja 'lebih', yaitu dengan: 'menakut-nakuti' dan 'mengiming-imingi'. Bahasa kerennya: Stick and Carrot System atau Reward and Punishment System, seperti yang mulai digandrungi Perhutani sekarang-sekarang ini. Menakut-nakuti artinya membuat seseorang takut bila tak dapat melakukan atau mencapai target sesuai yang ditetapkan si pemberi perintah. Contohnya, seorang boss mengancam akan memecat sales-nya bila tak dapat mencapai target pejualan tertentu. Ketakutan akan ancaman itu akan membuat si sales mengerahkan segenap daya upaya yang dimilikinya untuk mencapai target yang ditetapkan tersebut.

Menakut-nakuti mungkin adalah metoda pembangkit motivasi paling primitif dan efektif yang dikenal manusia. Pernah dengar anekdot tentang seseorang yang tiba-tiba bisa melompati sungai yang sangat lebar, hanya karena ngeri dikejar anjing? Atau pernah nonton film Forrest Gump, si lumpuh yang tiba-tiba bisa berlari kencang karena takut dijailin teman-temannya? Itu bukti keampuhan metode ini. Mengapa begitu ampuh? Karena dia merangsang bangkitnya potensi paling besar dalam diri manusia yang kerap tersembunyi: daya untuk survive. Tak ada yang lebih keras pada manusia selain upayanya dalam bertahan hidup. Makanya, meski kuno, teknik ini masih banyak dianut dalam ilmu manajemen modern.

Tetapi ada kekurangan dalam metode ini. Karena sifatnya yang menekan maka selalu ada perasaan terpaksa mengiringi pelaksanaannya. Ini akan berimplikasi pada beberapa kemungkinan. Misalnya: hanya efektif bila dilakukan pengawasan ketat. Bila tidak diawasi, maka dia akan berlaku seperti semula, atau malah lebih parah. Persis bunyi iklan: Patuh Karena Ada yang Lihat. Pada kasus lain bisa terjadi keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan semu. Karena menghindari sanksi yang menakutkan, maka dilakukan rekayasa sedemikian rupa sehingga seakan-akan target benar-benar berhasil diraih. Yang penting selamat pada saat dilakukan pemeriksaan. Ketika sang pemeriksa pulang, baru kelihatan aslinya yang ancur-ancuran. Kondisi tertekan, pada satu titik, juga bisa menimbulkan sikap antipati, lebih jauhnya bisa menimbulkan perasaan dendam, sehingga tidak bagus untuk hubungan antar personal. Serta kekurangan-kekurangan lain yang bisa diidentifikasi lebih lanjut.

Karena itu para ahli kemudian menyarankan untuk lebih mengedepankan metode kedua (meskipun dengan tidak harus meninggalkan yang pertama), yaitu dengan 'mengiming-imingi'. Dia tidak memaksa, tetapi berusaha membuat seseorang menginginkannya. Pada dasarnya, dia mengeksploitasi sifat manusia yang tak pernah puas. Agar seseorang tergugah motivasinya, maka ditawarkan atau dijanjikan bermacam-macam imbalan, baik berupa materil maupun yang sifatnya honouristic, bila dapat mencapai apa yang ditetapkan. Jadi lebih bersifat positif.

Meski kekuatannya kadang tak sedahsyat yang pertama (karena tak ada konsekwensi yang menakutkan meski tak tercapai) tetapi metode mengiming-imingi ini juga efektif untuk membangkitkan motivasi dan terutama yang ini relatif lebih 'manusiawi'. Pernah menonton film mengharukan karya sutradara Iran Abbas Kiarostami yang mengisahkan perjuangan seorang anak untuk memenangi sebuah perlombaan lari karena menginginkan hadiah sepasang sepatu buat adiknya yang ia hilangkan? Iming-iming ternyata juga memiliki kekuatan tersendiri untuk mengerakkan potensi tersembunyi seseorang.

Tapi metode ini juga tak lepas dari kekurangan. Selain kurang 'dahsyat' (lari seseorang yang mengejar hadiah seratus ribu perak tentu kalah cepat dari lari seseorang yang dikejar anjing, misalnya), teknik ini juga menyimpan potensi masalah. Misalnya: persaingan untuk mendapatkan penghargaan/imbalan menjadi rawan konflik dan menjadi arena sikut-sikutan. Apalagi bila ternyata parameternya tak jelas dan quotanya yang sangat terbatas. Orientasi imbalan, juga bisa mendidik orang menjadi lebih materialistis dan pamrih. Bila tak ada iming-iming hilanglah motivasi kerja. Maka timbul kasus-kasus dimana orang enggan melaksanakan tugas hanya karena tak ada uangnya, dsb.dsb.

Namun demikian, meski masing-masing memiliki kekurangan dan menyimpan potensi problem, metode atau sistem 'menakut-nakuti dan mengiming-imingi' ini banyak diterapkan dalam manajemen perusahaan modern. Ini dikarenakan efektifitasnya yang teruji dalam mencapai tujuan serta dampak positif lain yang dihasilkannya, seperti terpenuhinya rasa keadilan dimana orang yang bekerja baik tentu saja penghargaannya tidak boleh disamakan dengan yang bekerja asal-asalan, dapat merangsang kreativitas karyawan dsb. Untuk mengurangi efek negatifnya biasanya dilakukan berbagai variasi dan kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan.

Maka ketika Perhutani menyatakan akan (dan sudah mulai) menerapkan sistem Reward and Punishment (terutama Reward-nya) secara konsisten dan konsekwen, ini tentu saja adalah langkah maju, dan karenanya patut didukung. Ini artinya Perhutani sudah mulai menyadari akan pentingnya upaya melakukan 'manajemen motivasi' dalam menunjang kinerja perusahaan, yaitu dengan mendorong karyawannya untuk mau bekerja lebih. Dan dampaknya sudah cukup kelihatan, minimal itu saya lihat di lingkungan kecil kerja saya. Dalam bidang tanaman, misalnya. Semenjak di terapkan sistem Reward-Punishment, para mandor nampak lebih serius dalam memperhatikan lokasi tanamannya, meski juga sedikit menjadi lebih sensitif. Mereka juga bersuka cita ketika mendapatkan uang reward, meski nilainya tak terlalu besar. Nampak jelas, mereka kini merasa kerja kerasnya lebih dihargai.

Namun cukupkah semua itu memperbaiki keadaan? Cukupkah dia menggerakan motivasi segenap komponen rimbawan sehingga dapat menghasilkan daya juang yang dibutuhkan untuk membangun kembali hutan seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulu kita dulu? Mungkin belum. Ada satu hal yang nampaknya tidak kita miliki dibanding kakek-nenek kita dulu. Satu hal yang sangat mendasar dan merupakan penggugah motivasi paling dahsyat, tanpa pamrih dan zonder paksaan. Apakah itu: Cinta. Ya, Cinta. Apapun tak kan berhasil tanpa Cinta, ujar Morihei Ueshiba. Dengan Cinta, kita akan tetap bekerja lebih meski tanpa diawasi. Tetap mencurahkan segenap kemampuan meski tanpa imbalan yang tinggi. Tetap antusias meski di tengah segala keterbatasan.

Dan Cinta itu tlah lama hilang. Ketika Bang Mus (Dr. Muslimin Nasution) berpesan jadilah Rimbawan Mujtahid, Mujaddid dan Mujahid dalam acara Mubes Sekar di Madiun kemarin, sebenarnya beliau mengingatkan kita akan hal ini, meski dengan bahasa lebih religius. Ikhlaslah, serunya, karena kita adalah yang terpilih sebagai pemegang amanah menyangga kehidupan manusia untuk generasi sekarang dan generasi mendatang, kita adalah Khalifatullah Fil'ardh itu.

Kita membutuhkan Cinta. Sayang, kita hidup di sebuah zaman yang tak ramah untuk spesies yang satu ini. Terjangan angin materialisme dan kerasnya persaingan hidup telah menggebah mereka entah kemana. Dan kini, di hari-hari ini, di setiap kertas yang kita tulis, setiap bibit yang kita tanam, setiap gram getah yang kita sadap, kita pun bertanya-tanya: dimana dia... dimana dia...

[Tulisan dibuat untuk majalah Duta Rimba, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Perum Perhutani, namun barangkali bermanfaat juga bila dipajang di sini :)]

Tidak ada komentar: