Sabtu, Februari 21, 2004

Ke Jogja II

Jogja masih saja seperti dulu.

Kota ini memang bukanlah kota asing. Paling tidak, sudah empat atau lima kali saya berkunjung ke sini. Pertama kali, saat masih kelas dua SMA. Waktu itu kami berenam berdesak-desakan naik kereta ekonomi dari Ciamis, dengan tujuan mendaki gunung Merbabu. Dan untuk mencapai Magelang, kami turun di stasiun ini. Pada saat itulah pertama mengenal Malioboro. Selanjutnya, semasa pratugas di Madiun, saya sering juga ke Jogja. Nginap di rumah teman di Kasihan, Bantul, atau sekedar menengok adik yang kuliah di sana.

Dan kini saya kembali melangkah di kota ini. Kota yang pernah menjadi pusat kerajaan yang dulu menjajah nenek moyang saya, semasa masih bernama Mataram.

Setelah solat di mushola stasiun, kucari penginapan. Dapat di hotel Trim. 80 ribu perak semalam, lumayan, cuma sehari ini. Sayangnya charger hp lupa dibawa, jadi tak bisa menghubungi siapa-siapa.

Pukul 9 pagi sehabis sarapan soto di depan hotel, saya pergi ke tempat seminar. Ternyata tepat di depan Jalan Malioboro. Hotel Garuda lantai 2.

Sesampai disana, acara belum lagi dimulai. Tetapi Komar sudah datang. Sambil cungar-cengir dia menyambut. Ada pula Joko. Justru si mahluk item, tinggi, kriting dan hidup ini yang pertama kali terlihat. Oya, judul seminarnya adalah Restrukturisasi Pengelolaan Hutan Di Pulau Jawa. Diselenggarakan oleh sebuah lembaga, Bintara namanya. Didirikan oleh orang yang sudah sangat dikenal dalam kancah percaturan kehutanan di Jawa: Hasanu Simon.

Dan baru hari ini saya bisa langsung bertemu muka dengan dosen kehutanan Gajah Mada yang legendaris itu.

Ternyata orangnya memang menarik. Umurnya sudah lumayan tua, nampaknya, tetapi masih terlihat sehat. Dengan memakai peci haji dan baju koko, dia tampil menjadi pembawa makalah utama, dan ditanggapi oleh empat panelis: Ir. Bambang Aji, Ir. Tejo Rumekso, Ir. Sadharjo dan Ir. Hariadi Kartodiharjo. Yang tiga pertama adalah orang-orang Perhutani, sedangkan yang terakhir dikenal sebagai pakar kehutanan IPB yang memiliki pemikiran cukup cemerlang.

Seperti biasa, makalahnya dimulai dengan sejarah pengelolaan Jati di Jawa. Katanya, sebenarnya dalam beberapa hal kita harus berterima kasih kepada Belanda, karena selama penjajahannya, bangsa itu sudah menerapkan dasar-dasar sistem ekonomi yang bagus. Diantaranya ya, sistem pengelolaan kehutanan.

Yang menarik adalah ulasannya tentang Deandless. Kita mungkin lebih mengenalnya sebagai Gubernur Jendral yang memerintahkan membuat jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi. Menurut Simon, Deandless ke Indonesia sebenarnya dibekali dengan satu tugas khusus dari Ratu Belanda, yaitu membangun kembali hutan Jati di Jawa, yang pada saat rusak parah akibat timber exctraction yang berlebihan oleh VOC. Kerusakan hutan pada saat itu, katanya, dapat disamakan dengan kerusakan yang terjadi di hari ini. Walaupun tentunya situasinya berbeda.

Dalam melakukan tugasnya, Deandless memiliki empat Visi: tanaman yang bagus, mengatur tebangan, organisasi yang profesional serta wacara kelestarian hasil. Sayang orang tua ini tidak lama menjadi Gubernur Jendral. Tapi, kepemimpinannya telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pembangunan hutan jati di Jawa.

Selanjutnya disebutkan tentang adanya Tim yang dipimpin Mollier, seorang ahli kehutanan Jerman, disebut Tim Mollier (1845 - 1890), yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda untuk merumuskan kebijakan pembangunan hutan di Jawa. Dan Tim ini berhasil dengan baik. Paling tidak ada tiga hal yang mendasarinya, yaitu tim ini dipimpin oleh forester yang memahami masalah, adanya kebebasan dalam merumuskan pemikiran serta jangka waktu yang tidak terbatas. Dari dasar yang dibuat Tim inilah kemudian muncul Djatibedrifts (1890 - 1942), semacam BUMN yang mengelola hutan, sebagai cikal bakal Perhutani. Sampai saat ini, Djatibedrifts dianggap sebagai pengelola hutan yang paling berhasil di Jawa.

Makanya dalam rekomendasinya, Simon menyatakan bahwa sebaiknya pengelola hutan tetap berbentuk BUMN, dan dualisme antara BUMN-Dinas sebaiknya dihilangkan karena kontra produktif. Tetapi beliau juga sepakat bahwa dibutuhkan sebuah restrukturisasi yang menyeluruh pada pengelolaan saat ini. Baik dalam hal organisasi Perhutani maupun dalam sistem perencanaan hutannya. Dan menurut beliau sebaiknya, ini dirumuskan oleh suatu Tim semacam Tim Mollier tadi.

Sayangnya, paparan Simon masih terbatas pada Jati. Padahal masalah Perhutani sebenarnya tidak disana. Secara teknis, masalah Perhutani lebih kepada hutan Rimba, dimana sebagai sebuah Perusahaan, institusi renta ini, dituntut untuk merumuskan sistem perencanaan yang dapat menghasilkan manfaat finansial, sosial sekaligus ekologil. Jadi wacananya tidak hanya kepada manfaat kayu, tetapi lebih kepada optimalisasi dan komersialisasi hasil-hasil hutan non kayu. Dus, inilah yang seharusnya digali oleh para rimbawan ke depan.

Tanggapan dari para panelis, tidak terlalu saya simak. Saya dan Komar lebih sibuk menggoda pak Joko yang baru satu bulan menikah. Tapi pada umumnya mereka sepakat dengan diperlukannya sebuah perumusan baru dalam pengelolaan hutan, tetapi dengan penekanan yang berbeda-beda, sesuai kesukaannya masing-masing.

Pukul 17.00 acara selesai. Para peserta pulang. Saya menuju hotel Ibis, dimana pak Ananda dan Komar menginap. Sempat juga merasakan gerahnya sauna di sana. Setelah membeli dua potong baju batik di Malioboro, pukul 21.00 saya pulang kembali ke Bandung, karena kemarin pak Ajun sms: "Minggu pukul 8, kamu ditunggu pak Adm di kantor, siapkan bahan". Busyeet!

Jumat, Februari 20, 2004

Ke Jogja I

JUMAT siang, sekira pukul 2, Siti dari Umum, menyampaikan: Besok jam 9 pagi, Pak Avid harus sudah ada di Jogja, ada seminar. Lakadalah... Padahal baru setengah jam yang lalu, saya janjian dengan seseorang, besok di hari Valentine itu, kami akan berjumpa di Gegerkalong.

Apa boleh buat, ini tugas negara Bung!

Langsung kontak Komarudin di Kuningan, jawabnya: "Beliin tiket kereta, saya tunggu di Cirebon". "Ok". Lantas, saya tugaskan seorang staf untuk pesan tiket Bandung - Jogja 2 buah.

Pukul 16.45 saya sudah bengong di gerbong 7 kursi 11C Mutiara Selatan. Iseng-iseng tanya ke tetangga sebelah: "Ini kereta nyampai di Cirebon jam berapa ya, Pak?" "Wah, gak akan nyampai De, ini lewat selatan".

Jadol, si Komar!

Setelah konsultasi dengan petugas loket, akhirnya setengah uang tiket terselamatkan juga. Tapi, saya naik kereta jadi sendirian. Sebenarnya agak malas bepergian naik kendaraan renta yang satu ini, terutama karena berita-berita miring tentangnya. Dari pelayanan yang tidak nyaman sampai seringnya terjadi kecelakaan. Saya lebih suka naik bis saja.

Pukul 17.00, kereta berangkat. Di samping, duduk seorang pemuda tanggung, berpenampilan ngampung. Sambil senyam-senyum gumasep, dia nanya, "Mau ke Surabaya Mas?" "Ke Jogja" Jawabku.

Ternyata dia orang Madura. Tinggal di Bandung baru empat bulan, katanya. Ngikut kakak iparnya, jualan soto di Jl. Sunda. Hari itu dia akan pulang ke Sampang, karena di telpun bapaknya.

Ketika kutanya penghasilannya, sambil malu-malu dia menyebutkan "Ya, sehari bersihnya bisa dapet 170 ribu, Mas".

Busyeeet, hampir 3 kali gaji Adm!

Uang sebesar itu, katanya, semua dikirimkan ke Orangtuanya di Sampang. Dia hanya mengambil sedikit buat keperluan sehari-hari. Makanya dia belum bisa beli hp atau motor seperti teman seperantauannya di Bandung. "Lagian, aku kan belum lama jualan, Mas", belanya. "Anak baik", jawabku sambil merem.

Saya jadi teringat seorang teman. Dia lulusan PTN terkenal di Bandung, bekerja di sebuah restoran fast food di Jakarta dengan gaji kotor 1 juta perak per bulan. Dan setiap minggu dia mengeluh: tentang biaya hidupnya yang tinggi, tentang bos asingnya yang pelit, tentang kerjanya yang capek, tentang masa depannya yang tidak pasti. Teman yang lain malah lebih sial lagi, karena banyak yang bahkan belum mendapat kerja. Atau ada yang dapat, harus merantau jauh ke seberang, dengan gaji yang juga tidak besar-besar amat. Saya sendiri sedikit lebih beruntung, sudah memiliki pekerjaan, di Bandung, dengan jabatan yang lumayan tinggi, meskipun penghasilannya tetap saja jauh dibawahnya. Tapi ini anak, yang mungkin SMA aja gak lulus, penghasilannya nyaris 5 juta sebulan. Kerja sendiri lagi. Cuma jualan soto lagi. Di Bandung lagi.

Saya jadi heran. Di ini jaman, ketika uang adalah segala-galanya, ketika penghasilan 5 juta sebulan potensial bisa diraih, ketika tidak harus menjadi bawahan, ketika kita bebas menentukan, mengapa apa yang dilakukan oleh anak itu tidak pernah terlintas dalam rencana hidup kita? Mengapa kita, yang memiliki pemikiran relatif lebih "canggih", minimal lebih berpendidikan, tidak bisa menjadikan itu sebagai pilihan jalan hidup? Dimana logikanya?

Masalah modal? Saya kira tidak. Menurut dia, modal awalnya tidak lebih dari 900 ribu perak. (Bayangkan, untuk menjadi pegawai Pemda, dengan gaji pasti dibawah sejuta sebulan, orang-orang tua rela membayar 20 - 30 juta!). Keahlian? Juga tidak. Dia tidak harus kursus berbulan-bulan dengan biaya jutaan untuk bisa meracik bumbu sotonya. Saya yakin, rasanya pun gak istimewa-istimewa amat. Koneksi? Ah gila, masa jualan soto saja harus punya koneksi. Dukun? Ngaco! Tapi apa?

Barangkali, karena jualannya. Atau karena sotonya. Atau karena kerjaannya yang tidak pakai dasi. Tidak pake seragam. Tidak usah mikir. Tidak di kantoran. Tidak ada meja kerja dengan tumpukan map. Tidak musti bertelpon-telpon. Tidak ada sekretaris yang bahenol.

Karena tidak ada gengsinya.

Tapi dia dapat 5 juta sebulan.

Saya teringat tulisan Prof. MT Zein di Kompas beberapa tahun lalu. Dia mengatakan satu hal yang jarang disadari orang. Katanya setiap kerja, apapun itu asal halal, adalah mulia. Kita kadang menganggap rendah suatu pekerjaan hanya karena penampilan. Pikiran kita terbelenggu. Kita tidak bisa berpikir bahwa masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk hidup, tanpa harus kerja di kantoran. Tanpa jadi pegawai negeri. Tanpa harus nyogok. Tanpa harus melipat orang. Tanpa harus stres. Tanpa harus berpikir rumit.

Sederhana saja. Karena semua kerja adalah mulia.

Pukul, 1.33 dini hari, saya terbangun. Kereta sudah berhenti. Jogja.

Minggu, Februari 15, 2004

M a s i h

Wuiih, susah sekali mengubah kebiasaan. Tadinya saya berharap bisa sesering mungkin menulis. Tapi kenyataannya sampai hampir tiga minggu saya belum mengeposkan satu pun.

O ya, sebenarnya, minggu kemarin saya menghasilkan satu tulisan, yang tadinya saya kirim kembali ke Pikiran Rakyat, karena merupakan sambungan yang lalu. Tapi kayaknya gak dimuat tuh. Daripada itu ide menguap begitu saja, mendingan saya pajangin di sini aja ya?

MENJADIKAN SUNDA SEBAGAI KEBUTUHAN DAN GAYA HIDUP
-- Sebuah Gagasan tentang Visi Pengembangan Budaya Sunda

Sayup-sayup kita mendengar hadirnya sebuah lembaga bernama Kalang Budaya Jawa Barat. Konon, lembaga ini berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan, beranggotakan pakar-pakar kebudayaan yang pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tentang kebudayaan di Jawa Barat, diminta atau tidak diminta. Meski tidak secara eksplisit, saya yakin bahwa budaya yang dimaksud di sini tentunya adalah Budaya Sunda.

Namun sayang, sampai kini peran mereka belum terlihat sama sekali. Padahal kita sangat berharap banyak terhadap munculnya pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan energik tentang upaya-upaya penyelamatan budaya Sunda – yang keadaannya semakin mengkhawatirkan saja, yang seharusnya bisa dihasilkan dari lembaga semacam itu. Hingga detik ini, kita pun masih menunggu peran nyata pemerintah daerah Jawa Barat dalam upaya memajukan budaya Sunda, secara serius (sejuta rius kalau perlu!) dan penuh dedikasi, bukan hanya keprihatinan lipstick dan tema klise penggugah simpati di setiap sambutan dan perayaan.

Tetapi lepas dari hal-hal tersebut, saya ingin menyajikan tulisan ini, yang saya harap dapat menjadi sebuah sudut pandang baru bagi kita dalam memandang budaya Sunda. Budaya dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan penuh kesadaran, bahwa dia adalah sesuatu yang selalu dan akan selalu kita hidupkan sehari-hari, dan bukan hanya berlaku sebagai pelengkap perayaan atau objek nostalgia orang-orang romantik. Sehingga barangkali dapat dijadikan pertimbangan bagi orang-orang seperti yang duduk di Kalang Budaya dalam menyusun langkah kerjanya (bila ada tentunya).

***

Bahwa kebudayaan Sunda di hari ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sudah banyak diulas orang. Masalah ini hampir menjadi topik bahasan wajib di setiap forum diskusi tentang Sunda dan kesundaan. Namun sebegitu jauh, saya belum melihat munculnya sebuah ide yang demikian cemerlang dan orisinal, yang disertai dengan langkah-langkah efektif dan strategif sehingga dapat memperbaiki kondisi tersebut. Belum nampak adanya sebuah visi bersama, yang bisa menyatukan gerak langkah potensi-potensi besar elemen kesundaan, sehingga dapat mensublimkan energi yang tersimpan menjadi sebuah kekuatan masif yang mampu mengubah keadaan. Saya kurang tahu apakah hal semacam ini sudah dirumuskan atau belum, tetapi kenyataan yang ada mengindikasikan perlunya kembali kita untuk memperhatikan hal tersebut.

Visi ini sangat penting, agar apa yang dilakukan oleh masing-masing dari kita, baik dari elemen masyarakat awam, pemerintahan formal maupun dari kalangan budayawan swasta, akan dapat menuju ke arah yang sama, sehingga terjadi sebuah sinergitas langkah. Dan untuk dapat merumuskan visi ini tentunya diperlukan sebuah kesepahaman dan objektivitas tentang permasalahan yang ada.

Dan dalam hal ini saya berbeda dengan kang Ajip. Bila beliau sering menyatakan bahwa Undak Usuk Basa adalah faktor yang paling mempengaruhi keengganan kaum muda dalam menggunakan bahasa Sunda, saya melihatnya bukan itu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kesulitan akibat "ketakutan berbicara tak pantas" sebagai konsekwensi dari adanya tingkatan bahasa tersebut, kerap membuat kita lebih memilih bahasa lain (Bahasa Indonesia) ketika berbicara terutama di suasana formil. Tetapi tidak dalam pembicaraan sehari-hari.

Enggannya kaum muda Bandung dalam berbahasa Sunda lebih disebabkan karena mereka memang tidak diajarkan menggunakan bahasa tersebut sejak awal, yang diakibatkan oleh persepsi yang rendah orang-orang tua mereka terhadap bahasa Sunda itu sendiri. Mereka tidak dikondisikan untuk mempunyai kebanggaan untuk berbahasa Sunda – kebanggaan menjadi orang Sunda, bahkan mereka sejak lahir. Sehinggga mereka merasa Sunda bukanlah bahasanya, tetapi hanya bahasa ibu-bapak dan kakek-neneknya. Terlebih, lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka sehari-hari, seperti televisi, sekolah, majalah dan mode, pun tidak pernah menampilkan atau tampil sebagai Sunda.

Beberapa waktu yang lalu, ketika ngetop-ngetopnya opera sabun Meteor Garden, kita sering melihat anak-anak muda dengan bangganya mengucapkan kata-kata mandarin, yang sebenarnya jauh lebih sulit dipelajari (secara lingkungan) daripada bahasa Sunda.

Dus, bukan sulit tidaknya, tetapi ngetrend tidaknya.

Selain alasan kebanggaan, adalah alasan kebutuhan. Mempelajari bahasa Inggris misalnya, jelas lebih menjanjikan "hidup yang lebih baik" dari pada ngagugulung bahasa Sunda. Di hari ini, bahasa Inggris dianggap salah satu "tiket mutlak" untuk memperoleh kesuksesan. Maka orang-orang tua akan merasa lebih rugi anaknya tidak bisa berbahasa Inggris dari pada tidak bisa berbahasa Sunda. Bila perlu, mereka akan mengeluarkan uang ekstra dengan memasukkannya ke kursus. Sementara orang merasa tak perlu lagi bisa berbahasa Sunda, karena bila tidak pun tidak membikin mereka mati.

Kedua permasalahan pokok itulah yang harus menjadi perhatian. Dan ini mesti dilihat sebagai suatu konsekwensi logis yang terjadi karena sampai saat ini Ki Sunda belum bisa menjawabnya. Jadi bukanlah sesuatu yang harus disesalkan atau dicemooh, tetapi diterima secara kesatria.

Inferiorisme orang-orang Sunda hendaknya disadari sebagai suatu bukti ketidakmampuan tokoh-tokohnya untuk mempertahankan identitas dan kehormatan dirinya dalam mengikuti panah zaman yang serba cepat dan senantiasa berkembang. Dan gejala ini akan terus berlangsung dan semakin parah sampai di suatu saat akan "membunuh" nya, bila di era dunia tak berbatas ini, dimana serbuan budaya-budaya asing yang lebih indah dan mengasyikkan banyak menjanjikan pilihan, ki Sunda tetap tak mampu membuktikan diri bahwa dengan menjadi dirinya sendiri, mereka bisa " tetap hidup" dan "menjadi terhormat". Itulah sejatinya visi yang harus dicapai oleh ki Sunda –oleh Kita. Saya merumuskannya dalam satu kalimat, yang dijadikan sebagai judul artikel ini: Menjadikan Sunda Sebagai Kebutuhan dan Gaya Hidup.

Kebutuhan dan gaya hidup? Seperti iklan HP saja.

Tetapi kenyataan membuktikan bahwa di hari ini memang handphone saja lebih dianggap penting dan membanggakan dari sekedar identitas kesundaan. Maka, sederhananya, bila ki Sunda juga berlaku sebagaimana HP: dibutuhkan untuk memperlancar segala urusan hidup, sekaligus memberikan tingkatan apresiasi tertentu bagi para penggunanya, maka tak perlu lagi ada kekhawatiran sunda akan dilupakan orang. Malahan akan dicari dan ditunggu.

Nah, bila visinya sudah ketemu, tinggal strateginya.

Tentunya banyak hal yang bisa dilakukan. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004), yang sayangnya tidak banyak mencuri perhatian. Dengan melemparkan isu tersebut sebenarnya saya ingin membuka sebuah topik diskusi baru mengenai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Sunda. Bila sebelumnya diskusi selalu perpusar pada identitas unsur kebudayaan itu sendiri, seperti jenis, asal mula, "aturan main", serta hal lainnya, dan biasanya diakhiri oleh keprihatinan sang budayawan mengenai rendahnya apresiasi dari masyarakat sekarang, maka ke depan saya ingin kita juga lebih memperhatikan "kemasan" (packaging) dari unsur budaya tersebut, sehingga masyarakat akan menyukai mereka dengan sendirinya.

Maka bila dalam Majalah Cupumanik edisi dua minggu kemarin, Kang Nano S menulis tentang perkembangan Tembang Sunda, seharusnya tidak berhenti kepada kepada jenis-jenis dan asal-muasal tembang, tetapi juga dilanjutkan kepada upaya-upaya agar pertunjukan tersebut dapat ditonton orang. Saya tidak meragukan ketinggian mutu dari seni tembang Cianjuran atau Degung, tetapi tetap saja akan membosankan (terutama bagi orang-orang muda yang progresif) apabila tidak dikemas dalam sebuah pertunjukan yang menarik. Satu misal adalah dengan merancangnya menjadi lebih komunikatif dan apresiatif, dengan menyelipkan dialog-dialog cerdas dan akrab antara penembang dengan audiens tentang latar belakang suatu lagu, seperti juga yang sering dilakukan penyenyi-penyanyi bule di televisi. Dengan adanya interpretasi dan dialog, maka audiens akan mengerti tentang apa yang disajikan dan merasa ikut terlibat dalam pertunjukan. Sehingga lagu degung pun nantinya dapat dinikmati sebagai sajian utama, tidak hanya befungsi sebagai lagu pengiring acara parasmanan dalam sebuah upacara hajatan.

Unsur-unsur penyajian ini terbukti mampu meningkatkan citra sebuah unsur budaya. Pavarotti atau karya-karya Bethoven saya kira jauh lebih membosankan, tetapi dengan dengan pengemasan yang baik, dan interpretasi yang benar tentang ketinggian mutunya, pertunjukan tersebut menjadi satu hal yang menakjubkan dan memberikan citra ekslusif, sehingga orang rela menghabiskan ribuan dollar untuk dapat menghadirinya. Upaya-upaya semacam itulah yang seharusnya lebih dieksplorasi dan dielaborasi para pekerja budaya. Sunda harus ditampilkan dengan lebih terhormat.

Dan ini memang tidak bisa hanya dipikirkan oleh orang-orang seni, sastrawan atau pekerja budaya lain, tetapi juga perlu melibatkan mereka yang mengerti dan professional tentang itu, yaitu orang-orang yang bisa menciptakan trend. Saya kira, Sunda tidak akan kehabisan stok orang-orang semacam itu. Jadi, orang-orang sunda yang profesional sebagai event organizer juga harus membantu orang-orang semacam Kang Nano untuk menyiapkan konser tunggal, misalnya. (kapan Kang?)

Nah, bila apresiasi masyarakat terhadap budaya sunda sudah meningkat, maka secara otomatis ini akan meningkatkan pula industri yang berbasiskan padanya. Logikanya, apabila lebih banyak orang yang membaca majalah sunda, maka akan banyak bermunculan majalah-majalah sunda lain, yang pasti mebutuhkan pengarang-pengarang sunda yang lain pula. Begitu seterusnya. Sehingga budaya sunda menjadi salah satu penggerak industri yang bisa memberikan kehidupan bagi masyarakatnya. Sunda dapat menjadi salah satu pilihan hidup yang menjanjikan.

Satu hal yang perlu dicatat, adalah kita tidak perlu berandai-andai terlalu jauh, bahwa Ki Sunda akan bisa go internasional, atau akan menjadi unsur yang dominan di komunitas budaya nasional --minimal sekarang-sekarang ini. Ekspansif bukanlah tipe orang Sunda, sejarah mencatatnya. Cukup bahwa kita bisa menjadi tuan di rumah kita sendiri, sehingga setiap orang luar yang masuk harus menyesuaikan diri dengannya, dan bukan sebaliknya, ini sudah kemajuan yang sangat berarti. Kita harus membangun "kerajaan budaya" sendiri, yaitu wilayah-wilayah dimana budaya sunda menjadi gaya hidup masyarakatnya. Wilayah tersebut adalah sebagian besar Jawa Barat dan Banten, dimana etnis Sunda merupakan mayoritas.

Makanya kita harus memiliki corong tersendiri. Dan untuk itu sangat dibutuhkan kehadiran media massa yang representatif, terutama media televisi. Hadirnya sebuah stasiun televisi Sunda yang dikemas secara professional dan modern --tidak seperti TVRI Sta. Bandung sekarang, akan sangat menentukan.

Ada yang sependapat?

Sabtu, Januari 24, 2004

Masalah Sunda dan Kesundaan

Masalah Sunda dan Kesundaan telah menjadi perhatian saya bertahun-tahun. Barangkali hanya keajaiban yang membuat tulisan ini lahir baru di hari-hari ini.

Ini tulisan saya yang dimuat di HU Pikiran Rakyat, edisi Sabtu, 10 Januari 2004

MENAMPILKAN SUNDA DENGAN LEBIH TERHORMAT

SEBELUMNYA, penting dikemukakan bahwa saya tidak akan berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi lebih kepada entitas budaya. Tentunya ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, adalah kenyataan bahwa banyak orang beretnis Sunda pada hari ini sudah tidak lagi berbudaya Sunda maka mengasosiasikan etnis Sunda dengan budaya Sunda menjadi tidak lagi relevan. Kedua, sebaliknya, banyak orang beretnis lain (non-Sunda) yang malah memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya Sunda. Dan ketiga, saya kira dalam era globalisasi ini adalah sangat naif bila kita masih berbicara tentang kemurnian etnis.

Oleh karena itu, di sini saya akan lebih menekankan Sunda sebagai sebuah entitas budaya, yang unikum, yang bisa dibedakan dengan budaya-budaya lain dari negeri ini. Akan tetapi, bahwa tulisan ini saya tujukan lebih kepada orang (beretnis) Sunda adalah sangat wajar. Hal itu disebabkan karena sudah sepatutnya merekalah yang lebih bertanggung jawab dan terpanggil untuk melestarikan budaya Sunda sebagai budayanya sendiri.

Lalu tentang batasan budaya Sunda itu sendiri, saya tidak ingin memusingkan diri dengan definisi yang rumit dan berbelit-belit. Cukup dengan parameter bahwa suatu unsur budaya tersebut dapat mencirikan identitas Sunda maka itulah budaya Sunda yang saya maksud. Bahasa Sunda misalnya. Siapa pun tahu bila ada seseorang menyebut kata "naon", yang terbayang adalah Sunda meski yang berkata belum tentu orang Sunda. Bahasa memang elemen yang paling penting di sini sebab ini merupakan unsur yang dapat menjelaskan identitas budaya secara jelas dan mudah dibedakan.

Bahkan, bahasa merupakan gambaran pencapaian tertinggi suatu bangsa, yang dapat menunjukkan karakteristik dan tinggi rendahnya budaya bangsa tersebut. Pendeknya, saya sepakat dengan pernyataan, bahasa menunjukkan bangsa. Meski tentunya patut pula disadari bahwa budaya Sunda bukanlah hanya bahasa Sunda.

Adapun alasan saya menyajikan tulisan ini adalah kenyataan bahwa di hari ini, kita telah memosisikan Sunda dengan tidak semestinya dan sangat menyedihkan. Sebagai sebuah label identitas, yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi kita di dalam sebuah komunitas yang lebih besar, seharusnya Sunda menduduki posisi yang lebih terhormat dan membanggakan si pengguna label tersebut. Nyatanya, identitas kesundaan, kini, tidak lagi dianggap penting. Tak lagi ada yang peduli, dibiarkan mati.

Ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya. Pertama, ini adalah merupakan efek dari nasionalisme yang begitu kuat, terutama pada saat menjelang dan tahun-tahun pertama kemerdekaan. Pada saat itu bangsa kita memang sedang membutuhkan sebuah identitas baru, yang lebih besar, yang dapat digunakan untuk menghadapi bangsa penjajah. Untuk itu, tidak heran bila nasionalisme pada waktu itu begitu dijunjung tinggi. Hal-hal yang berbau etnis (sukuisme) seakan sebagai sesuatu yang tabu dan dianggap membahayakan persatuan nasional. Hal ini tentu saja memberikan efek yang cukup besar terhadap apresiasi bangsa terhadap etnisitasnya. Meski dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berbhinneka tunggal ika, nyatanya yang terjadi lebih kepada penyeragaman budaya, sesuai dengan kharakterstik budaya penguasa waktu itu.

Kedua adalah mentalitas orang Sunda dan barangkali bangsa Indonesia secara umum, yang memang punya cukup bukti sebagai mentalitas bangsa terjajah. Cirinya adalah dengan selalu menganggap budaya asing (budaya dari luar) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada budaya yang dimilikinya.

Ketika terjadi perkenalan dengan suatu budaya yang baru, alih-alih dilakukan pengayaan budaya, yang terjadi malah mereka kecenderungan untuk mengadopsi budaya baru tersebut bulat-bulat dan melepaskan budaya yang dimilikinya begitu saja. Dalam kasus ini, budaya keindonesiaan saya kategorikan dalam budaya yang asing dan baru bagi budaya Sunda. Dengan begitu, berbahasa Indonesia dirasakan lebih terhormat dari pada berbahasa Sunda, misalnya. Begitu pula, di lingkungan berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris akan lebih dirasakan terhormat daripada berbahasa Indonesia.

Efeknya adalah semakin besarnya orang Sunda yang tidak lagi berbahasa Sunda, bahkan ketika berkomunikasi dengan sesama orang Sunda. Juga semakin banyaknya orang-orang tua yang tidak lagi mengajarkan bahasa Sunda kepada anak-anaknya dan beberapa gejala lain yang semacam. Gejala ini dengan jelas dapat terlihat di kota-kota besar, di mana interaksi budaya Sunda dengan budaya lain relatif lebih besar. Yang lebih menyedihkan adalah proporsi sebab kedua jauh lebih besar daripada sebab pertama.

Lunturnya kebanggaan indentitas kesundaan ini tentunya sangatlah memprihatinkan karena berhubungan erat dengan eksistensi budaya Sunda itu sendiri, yang juga berarti eksistensi orang Sunda sebagai suatu entitas etnis yang unikum, yang berbeda dengan etnis lain. Logikanya, kelak ketika tidak ada lagi yang berbudaya Sunda maka tidak akan ada lagi orang Sunda. Dilihat dari gambaran tersebut maka sudah sepatutnya kita khawatir (atau malah berbangga?) bahwa kita orang Sunda yang hidup hari ini adalah generasi Sunda terakhir yang ada di dunia.

Saya sendiri berharap itu tidak terjadi. Saya berpendapat, identitas kesundaan haruslah tetap dipertahankan sampai kapan pun juga. Itu bukan hanya didasarkan kepada ikatan emosional buta atau romantisme rasistik, tetapi dalam hidup, kita toh tidak cukup dengan hanya satu identitas? Di samping identitas kebangsaan, kita membutuhkan identitas-identitas lain, seperti agama misalnya atau jenis kelamin, atau umur, warna rambut, ukuran baju dan sebagainya, yang satu sama lain tidak bisa dianggap sebagai yang lebih penting secara mutlak, bergantung pada situasi dan kondisi yang membutuhkannya. Dan identitas kesundaan, biarlah tetap terpelihara --di samping identitas lainya-- agar dapat memperkaya identitas kita.

Jika begitu, tampaknya kita pun harus melakukan sesuatu. Akan tetapi, apa yang bisa kita lakukan?

Saya kira, pada mulanya adalah persepsi. Untuk menyelamatkan budaya Sunda seperti yang saya maksudkan tadi, persepsi orang terhadap budaya itu sendiri haruslah diubah. Dari yang tidak membanggakan menjadi membanggakan, dari yang tidak terhormat menjadi terhormat, dari yang tidak penting menjadi penting. Bilamana persepsi orang Sunda terhadap budayanya sudah meningkat, apresiasi mereka akan terbangun dengan sendirinya.

Masalahnya adalah untuk membangun persepsi ini juga ternyata tidak mudah. Dibutuhkan upaya yang keras, dana yang tidak sedikit, serta waktu yang tidak sebentar walaupun tentunya itu bukanlah sesuatu yang mustahil sama sekali. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan. Satu yang ingin saya sampaikan adalah dengan selalu menyajikan Sunda dengan lebih terhormat.

Persepsi yang rendah orang terhadap kesundaan disebabkan karena penampilan kesundaan sendiri yang memang tidak pernah ditampilkan dengan citra yang lebih terhormat. Disadari atau tidak, ketika kita membicarakan Sunda maka yang selalu terbayang adalah masa lalu, orang-orang tua, masyarakat pedesaan, musik tradisional, suasana perkampungan, sawah dan kerbau, si cepot atau si kabayan, Prabu Siliwangi, Majalah Mangle, dengan penampilan tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, mistik dan legenda, atau mungkin Suku Baduy. Bukannya masa kini, budaya pop, masyarakat kota, artis, pejabat, presiden, orang-orang kaya, gadis-gadis cantik, dan teknologi. Seakan-akan Sunda tidak lagi relevan dengan hal-hal tersebut.

Pendeknya, gambaran Sunda yang selalu kita tampilkan adalah yang berupa masa lalu, kolot, orang-orang marginal, kualitas seadanya, tradisional, tidak intelek, dan banyak lagi. Untuk itu, tidak heran bila kita bertanya kepada seorang gadis cantik di Kota Bandung akan merasa lebih pantas dengan, "Mau ke mana, Mbak?" Akan tetapi, bila bertemu kakek-kakek berkopiah lusuh cukup berkata, "Rek ka mana, Ki?"

Saya bermimpi bahwa suatu ketika kita bisa menampilkan citra Sunda sebagai sesuatu yang eksklusif, mahal, penting, modern, popular, intelek, berkualitas tinggi, progresif, dan terhormat! Bisakah? Tentu saja. Sedikitnya ada tiga upaya yang bisa saya tawarkan. Pertama, dengan selalu menampilkan orang-orang penting atau pejabat-pejabat di pemerintahan, di daerah Sunda tentunya, selalu berbudaya Sunda dengan konsekuen dan konsisten. Artinya, selain budaya Sunda ditampilkan dalam kehidupannya sehari-hari, Sunda juga diajarkan kepada seluruh keluarganya. Masyarakat Sunda adalah tipe masyarakat yang selalu mengikuti arus, bergantung pada para pemimpinnya. Bila sang pemimpin mau menampilkan budaya Sunda dengan konsisten, ini akan dengan sendirinya diikuti oleh masyarakat Sunda.

Celakanya, para elite Sundalah sebenarnya yang pertama-tama tidak setia dan sangat mudah berpaling kepada budaya lain. Ada semacam kebiasaan yang sudah membudaya bahwa ketika orang Sunda menjadi elite maka dengan sendirinya mereka akan menanggalkan kesundaannya. Di sini saya kira perlunya peranan pemerintah daerah (gubernur, bupati). Sedikit kebijakan yang agak "memaksa" akan sangat berguna. Kedua, dengan menampilkan orang-orang populer, seperti artis, olah ragawan, ilmuwan, dan lain-lain yang beretnis Sunda, dengan berbudaya Sunda, juga dengan konsisten dan konsekuen. Ini untuk menunjukkan bahwa Sunda pun sebenarnya relevan dengan komunitas-komunitas tersebut sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri orang Sunda yang sempat hilang. Dalam hal ini, diperlukannya peranan media massa yang representatif, baik elektronik maupun cetak. (Saya malah berandai-andai kita memiliki sebuah stasiun televisi murni Sunda yang kualitas, baik gambar maupun acaranya, tak kalah dengan TV swasta lainnya, misalnya).

Ketiga, dengan menampilkan produk-produk yang berbau Sunda dengan heboh, kualitas tinggi, eksklusif, mahal, modern, canggih, dan ilmiah. Majalah Sunda, misalnya. Sudah sepantasnya kita memiliki sebuah majalah yang tampilannya semacam Tempo atau dengan kualitas kertas se-Cosmopolitan. Yang dibahas pun bukanlah hanya sejarah atau mistik, tetapi hal-hal yang populer dan ilmiah dengan bahasa yang tidak kaku. Atau penampilan acara tembang cianjuran yang dikemas dengan komunikatif dan megah semacam konsernya Pavarotti. Ataupun memproduksi film Sunda sepopuler AADC, misalnya (kapan bisa sekelas "The Lord of The Ring"?).

Saya memang tidak pandai membikin contoh, tapi saya kira idenya dapat dengan jelas dipahami.

Beruntung bahwa kini sudah ada sekelompok orang yang sudah memulai kerja itu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa generasi muda Sunda dalam Kusnet (Komunitas Urang Sunda di Internet). Atau pula yang dilakukan oleh sebuah penerbitan dengan mengeluarkan Majalah Cupumanik, dengan berpenampilan sedikit pantas (kapan bisa setebal Intisari dengan iklan yang bejibun?). Juga tentunya yang sudah dilakukan pihak-pihak lain walau itu kita tahu itu belumlah cukup. Perlu dukungan kita semua, yang masih peduli dengan Sunda dan kesundaan.

Mari kita tampilkan Sunda dengan lebih terhormat!***

Mukadimah

Menulis bagi saya bukanlah perkara yang mudah. Bila seorang teman biasa menulis semudah dia berjalan --dengan kualitas selalu di atas rata-rata, saya kadang membutuhkan waktu berminggu-minggu guna mendapatkan ide dan energi untuk sebuah tulisan. Dan selama itu pula saya terjebak dalam gulana. Orang-orang yang mengenal saya dengan baik tentu akan faham betapa saya membenci pekerjaan ini.

Tapi apa boleh buat. Berkaca dari jejak yang ditinggalkan orang-orang besar, dimana menulis hampir merupakan suatu "kewajiban", saya pun harus belajar memulainya. Toh saya pun kerap menikmatinya.

Sesekali timbul pula keajaiban. Kata-kata menghampiri dengan tiba-tiba, meski hanya sepotong-sepotong. Itu terutama terjadi manakala elan romantik menyapa dalam kesendirian.

Barangkali memang begitu adanya. Saya hanya bisa menulis ketika gelisah.

Seperti juga Nietszche, saya hanya bisa menulis dengan darah!