Masalah Sunda dan Kesundaan telah menjadi perhatian saya bertahun-tahun. Barangkali hanya keajaiban yang membuat tulisan ini lahir baru di hari-hari ini.
Ini tulisan saya yang dimuat di HU Pikiran Rakyat, edisi Sabtu, 10 Januari 2004
MENAMPILKAN SUNDA DENGAN LEBIH TERHORMAT
SEBELUMNYA, penting dikemukakan bahwa saya tidak akan berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi lebih kepada entitas budaya. Tentunya ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, adalah kenyataan bahwa banyak orang beretnis Sunda pada hari ini sudah tidak lagi berbudaya Sunda maka mengasosiasikan etnis Sunda dengan budaya Sunda menjadi tidak lagi relevan. Kedua, sebaliknya, banyak orang beretnis lain (non-Sunda) yang malah memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya Sunda. Dan ketiga, saya kira dalam era globalisasi ini adalah sangat naif bila kita masih berbicara tentang kemurnian etnis.
Oleh karena itu, di sini saya akan lebih menekankan Sunda sebagai sebuah entitas budaya, yang unikum, yang bisa dibedakan dengan budaya-budaya lain dari negeri ini. Akan tetapi, bahwa tulisan ini saya tujukan lebih kepada orang (beretnis) Sunda adalah sangat wajar. Hal itu disebabkan karena sudah sepatutnya merekalah yang lebih bertanggung jawab dan terpanggil untuk melestarikan budaya Sunda sebagai budayanya sendiri.
Lalu tentang batasan budaya Sunda itu sendiri, saya tidak ingin memusingkan diri dengan definisi yang rumit dan berbelit-belit. Cukup dengan parameter bahwa suatu unsur budaya tersebut dapat mencirikan identitas Sunda maka itulah budaya Sunda yang saya maksud. Bahasa Sunda misalnya. Siapa pun tahu bila ada seseorang menyebut kata "naon", yang terbayang adalah Sunda meski yang berkata belum tentu orang Sunda. Bahasa memang elemen yang paling penting di sini sebab ini merupakan unsur yang dapat menjelaskan identitas budaya secara jelas dan mudah dibedakan.
Bahkan, bahasa merupakan gambaran pencapaian tertinggi suatu bangsa, yang dapat menunjukkan karakteristik dan tinggi rendahnya budaya bangsa tersebut. Pendeknya, saya sepakat dengan pernyataan, bahasa menunjukkan bangsa. Meski tentunya patut pula disadari bahwa budaya Sunda bukanlah hanya bahasa Sunda.
Adapun alasan saya menyajikan tulisan ini adalah kenyataan bahwa di hari ini, kita telah memosisikan Sunda dengan tidak semestinya dan sangat menyedihkan. Sebagai sebuah label identitas, yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi kita di dalam sebuah komunitas yang lebih besar, seharusnya Sunda menduduki posisi yang lebih terhormat dan membanggakan si pengguna label tersebut. Nyatanya, identitas kesundaan, kini, tidak lagi dianggap penting. Tak lagi ada yang peduli, dibiarkan mati.
Ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya. Pertama, ini adalah merupakan efek dari nasionalisme yang begitu kuat, terutama pada saat menjelang dan tahun-tahun pertama kemerdekaan. Pada saat itu bangsa kita memang sedang membutuhkan sebuah identitas baru, yang lebih besar, yang dapat digunakan untuk menghadapi bangsa penjajah. Untuk itu, tidak heran bila nasionalisme pada waktu itu begitu dijunjung tinggi. Hal-hal yang berbau etnis (sukuisme) seakan sebagai sesuatu yang tabu dan dianggap membahayakan persatuan nasional. Hal ini tentu saja memberikan efek yang cukup besar terhadap apresiasi bangsa terhadap etnisitasnya. Meski dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berbhinneka tunggal ika, nyatanya yang terjadi lebih kepada penyeragaman budaya, sesuai dengan kharakterstik budaya penguasa waktu itu.
Kedua adalah mentalitas orang Sunda dan barangkali bangsa Indonesia secara umum, yang memang punya cukup bukti sebagai mentalitas bangsa terjajah. Cirinya adalah dengan selalu menganggap budaya asing (budaya dari luar) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada budaya yang dimilikinya.
Ketika terjadi perkenalan dengan suatu budaya yang baru, alih-alih dilakukan pengayaan budaya, yang terjadi malah mereka kecenderungan untuk mengadopsi budaya baru tersebut bulat-bulat dan melepaskan budaya yang dimilikinya begitu saja. Dalam kasus ini, budaya keindonesiaan saya kategorikan dalam budaya yang asing dan baru bagi budaya Sunda. Dengan begitu, berbahasa Indonesia dirasakan lebih terhormat dari pada berbahasa Sunda, misalnya. Begitu pula, di lingkungan berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris akan lebih dirasakan terhormat daripada berbahasa Indonesia.
Efeknya adalah semakin besarnya orang Sunda yang tidak lagi berbahasa Sunda, bahkan ketika berkomunikasi dengan sesama orang Sunda. Juga semakin banyaknya orang-orang tua yang tidak lagi mengajarkan bahasa Sunda kepada anak-anaknya dan beberapa gejala lain yang semacam. Gejala ini dengan jelas dapat terlihat di kota-kota besar, di mana interaksi budaya Sunda dengan budaya lain relatif lebih besar. Yang lebih menyedihkan adalah proporsi sebab kedua jauh lebih besar daripada sebab pertama.
Lunturnya kebanggaan indentitas kesundaan ini tentunya sangatlah memprihatinkan karena berhubungan erat dengan eksistensi budaya Sunda itu sendiri, yang juga berarti eksistensi orang Sunda sebagai suatu entitas etnis yang unikum, yang berbeda dengan etnis lain. Logikanya, kelak ketika tidak ada lagi yang berbudaya Sunda maka tidak akan ada lagi orang Sunda. Dilihat dari gambaran tersebut maka sudah sepatutnya kita khawatir (atau malah berbangga?) bahwa kita orang Sunda yang hidup hari ini adalah generasi Sunda terakhir yang ada di dunia.
Saya sendiri berharap itu tidak terjadi. Saya berpendapat, identitas kesundaan haruslah tetap dipertahankan sampai kapan pun juga. Itu bukan hanya didasarkan kepada ikatan emosional buta atau romantisme rasistik, tetapi dalam hidup, kita toh tidak cukup dengan hanya satu identitas? Di samping identitas kebangsaan, kita membutuhkan identitas-identitas lain, seperti agama misalnya atau jenis kelamin, atau umur, warna rambut, ukuran baju dan sebagainya, yang satu sama lain tidak bisa dianggap sebagai yang lebih penting secara mutlak, bergantung pada situasi dan kondisi yang membutuhkannya. Dan identitas kesundaan, biarlah tetap terpelihara --di samping identitas lainya-- agar dapat memperkaya identitas kita.
Jika begitu, tampaknya kita pun harus melakukan sesuatu. Akan tetapi, apa yang bisa kita lakukan?
Saya kira, pada mulanya adalah persepsi. Untuk menyelamatkan budaya Sunda seperti yang saya maksudkan tadi, persepsi orang terhadap budaya itu sendiri haruslah diubah. Dari yang tidak membanggakan menjadi membanggakan, dari yang tidak terhormat menjadi terhormat, dari yang tidak penting menjadi penting. Bilamana persepsi orang Sunda terhadap budayanya sudah meningkat, apresiasi mereka akan terbangun dengan sendirinya.
Masalahnya adalah untuk membangun persepsi ini juga ternyata tidak mudah. Dibutuhkan upaya yang keras, dana yang tidak sedikit, serta waktu yang tidak sebentar walaupun tentunya itu bukanlah sesuatu yang mustahil sama sekali. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan. Satu yang ingin saya sampaikan adalah dengan selalu menyajikan Sunda dengan lebih terhormat.
Persepsi yang rendah orang terhadap kesundaan disebabkan karena penampilan kesundaan sendiri yang memang tidak pernah ditampilkan dengan citra yang lebih terhormat. Disadari atau tidak, ketika kita membicarakan Sunda maka yang selalu terbayang adalah masa lalu, orang-orang tua, masyarakat pedesaan, musik tradisional, suasana perkampungan, sawah dan kerbau, si cepot atau si kabayan, Prabu Siliwangi, Majalah Mangle, dengan penampilan tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, mistik dan legenda, atau mungkin Suku Baduy. Bukannya masa kini, budaya pop, masyarakat kota, artis, pejabat, presiden, orang-orang kaya, gadis-gadis cantik, dan teknologi. Seakan-akan Sunda tidak lagi relevan dengan hal-hal tersebut.
Pendeknya, gambaran Sunda yang selalu kita tampilkan adalah yang berupa masa lalu, kolot, orang-orang marginal, kualitas seadanya, tradisional, tidak intelek, dan banyak lagi. Untuk itu, tidak heran bila kita bertanya kepada seorang gadis cantik di Kota Bandung akan merasa lebih pantas dengan, "Mau ke mana, Mbak?" Akan tetapi, bila bertemu kakek-kakek berkopiah lusuh cukup berkata, "Rek ka mana, Ki?"
Saya bermimpi bahwa suatu ketika kita bisa menampilkan citra Sunda sebagai sesuatu yang eksklusif, mahal, penting, modern, popular, intelek, berkualitas tinggi, progresif, dan terhormat! Bisakah? Tentu saja. Sedikitnya ada tiga upaya yang bisa saya tawarkan. Pertama, dengan selalu menampilkan orang-orang penting atau pejabat-pejabat di pemerintahan, di daerah Sunda tentunya, selalu berbudaya Sunda dengan konsekuen dan konsisten. Artinya, selain budaya Sunda ditampilkan dalam kehidupannya sehari-hari, Sunda juga diajarkan kepada seluruh keluarganya. Masyarakat Sunda adalah tipe masyarakat yang selalu mengikuti arus, bergantung pada para pemimpinnya. Bila sang pemimpin mau menampilkan budaya Sunda dengan konsisten, ini akan dengan sendirinya diikuti oleh masyarakat Sunda.
Celakanya, para elite Sundalah sebenarnya yang pertama-tama tidak setia dan sangat mudah berpaling kepada budaya lain. Ada semacam kebiasaan yang sudah membudaya bahwa ketika orang Sunda menjadi elite maka dengan sendirinya mereka akan menanggalkan kesundaannya. Di sini saya kira perlunya peranan pemerintah daerah (gubernur, bupati). Sedikit kebijakan yang agak "memaksa" akan sangat berguna. Kedua, dengan menampilkan orang-orang populer, seperti artis, olah ragawan, ilmuwan, dan lain-lain yang beretnis Sunda, dengan berbudaya Sunda, juga dengan konsisten dan konsekuen. Ini untuk menunjukkan bahwa Sunda pun sebenarnya relevan dengan komunitas-komunitas tersebut sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri orang Sunda yang sempat hilang. Dalam hal ini, diperlukannya peranan media massa yang representatif, baik elektronik maupun cetak. (Saya malah berandai-andai kita memiliki sebuah stasiun televisi murni Sunda yang kualitas, baik gambar maupun acaranya, tak kalah dengan TV swasta lainnya, misalnya).
Ketiga, dengan menampilkan produk-produk yang berbau Sunda dengan heboh, kualitas tinggi, eksklusif, mahal, modern, canggih, dan ilmiah. Majalah Sunda, misalnya. Sudah sepantasnya kita memiliki sebuah majalah yang tampilannya semacam Tempo atau dengan kualitas kertas se-Cosmopolitan. Yang dibahas pun bukanlah hanya sejarah atau mistik, tetapi hal-hal yang populer dan ilmiah dengan bahasa yang tidak kaku. Atau penampilan acara tembang cianjuran yang dikemas dengan komunikatif dan megah semacam konsernya Pavarotti. Ataupun memproduksi film Sunda sepopuler AADC, misalnya (kapan bisa sekelas "The Lord of The Ring"?).
Saya memang tidak pandai membikin contoh, tapi saya kira idenya dapat dengan jelas dipahami.
Beruntung bahwa kini sudah ada sekelompok orang yang sudah memulai kerja itu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa generasi muda Sunda dalam Kusnet (Komunitas Urang Sunda di Internet). Atau pula yang dilakukan oleh sebuah penerbitan dengan mengeluarkan Majalah Cupumanik, dengan berpenampilan sedikit pantas (kapan bisa setebal Intisari dengan iklan yang bejibun?). Juga tentunya yang sudah dilakukan pihak-pihak lain walau itu kita tahu itu belumlah cukup. Perlu dukungan kita semua, yang masih peduli dengan Sunda dan kesundaan.
Mari kita tampilkan Sunda dengan lebih terhormat!***
Ini tulisan saya yang dimuat di HU Pikiran Rakyat, edisi Sabtu, 10 Januari 2004
MENAMPILKAN SUNDA DENGAN LEBIH TERHORMAT
SEBELUMNYA, penting dikemukakan bahwa saya tidak akan berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi lebih kepada entitas budaya. Tentunya ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, adalah kenyataan bahwa banyak orang beretnis Sunda pada hari ini sudah tidak lagi berbudaya Sunda maka mengasosiasikan etnis Sunda dengan budaya Sunda menjadi tidak lagi relevan. Kedua, sebaliknya, banyak orang beretnis lain (non-Sunda) yang malah memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya Sunda. Dan ketiga, saya kira dalam era globalisasi ini adalah sangat naif bila kita masih berbicara tentang kemurnian etnis.
Oleh karena itu, di sini saya akan lebih menekankan Sunda sebagai sebuah entitas budaya, yang unikum, yang bisa dibedakan dengan budaya-budaya lain dari negeri ini. Akan tetapi, bahwa tulisan ini saya tujukan lebih kepada orang (beretnis) Sunda adalah sangat wajar. Hal itu disebabkan karena sudah sepatutnya merekalah yang lebih bertanggung jawab dan terpanggil untuk melestarikan budaya Sunda sebagai budayanya sendiri.
Lalu tentang batasan budaya Sunda itu sendiri, saya tidak ingin memusingkan diri dengan definisi yang rumit dan berbelit-belit. Cukup dengan parameter bahwa suatu unsur budaya tersebut dapat mencirikan identitas Sunda maka itulah budaya Sunda yang saya maksud. Bahasa Sunda misalnya. Siapa pun tahu bila ada seseorang menyebut kata "naon", yang terbayang adalah Sunda meski yang berkata belum tentu orang Sunda. Bahasa memang elemen yang paling penting di sini sebab ini merupakan unsur yang dapat menjelaskan identitas budaya secara jelas dan mudah dibedakan.
Bahkan, bahasa merupakan gambaran pencapaian tertinggi suatu bangsa, yang dapat menunjukkan karakteristik dan tinggi rendahnya budaya bangsa tersebut. Pendeknya, saya sepakat dengan pernyataan, bahasa menunjukkan bangsa. Meski tentunya patut pula disadari bahwa budaya Sunda bukanlah hanya bahasa Sunda.
Adapun alasan saya menyajikan tulisan ini adalah kenyataan bahwa di hari ini, kita telah memosisikan Sunda dengan tidak semestinya dan sangat menyedihkan. Sebagai sebuah label identitas, yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi kita di dalam sebuah komunitas yang lebih besar, seharusnya Sunda menduduki posisi yang lebih terhormat dan membanggakan si pengguna label tersebut. Nyatanya, identitas kesundaan, kini, tidak lagi dianggap penting. Tak lagi ada yang peduli, dibiarkan mati.
Ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya. Pertama, ini adalah merupakan efek dari nasionalisme yang begitu kuat, terutama pada saat menjelang dan tahun-tahun pertama kemerdekaan. Pada saat itu bangsa kita memang sedang membutuhkan sebuah identitas baru, yang lebih besar, yang dapat digunakan untuk menghadapi bangsa penjajah. Untuk itu, tidak heran bila nasionalisme pada waktu itu begitu dijunjung tinggi. Hal-hal yang berbau etnis (sukuisme) seakan sebagai sesuatu yang tabu dan dianggap membahayakan persatuan nasional. Hal ini tentu saja memberikan efek yang cukup besar terhadap apresiasi bangsa terhadap etnisitasnya. Meski dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berbhinneka tunggal ika, nyatanya yang terjadi lebih kepada penyeragaman budaya, sesuai dengan kharakterstik budaya penguasa waktu itu.
Kedua adalah mentalitas orang Sunda dan barangkali bangsa Indonesia secara umum, yang memang punya cukup bukti sebagai mentalitas bangsa terjajah. Cirinya adalah dengan selalu menganggap budaya asing (budaya dari luar) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada budaya yang dimilikinya.
Ketika terjadi perkenalan dengan suatu budaya yang baru, alih-alih dilakukan pengayaan budaya, yang terjadi malah mereka kecenderungan untuk mengadopsi budaya baru tersebut bulat-bulat dan melepaskan budaya yang dimilikinya begitu saja. Dalam kasus ini, budaya keindonesiaan saya kategorikan dalam budaya yang asing dan baru bagi budaya Sunda. Dengan begitu, berbahasa Indonesia dirasakan lebih terhormat dari pada berbahasa Sunda, misalnya. Begitu pula, di lingkungan berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris akan lebih dirasakan terhormat daripada berbahasa Indonesia.
Efeknya adalah semakin besarnya orang Sunda yang tidak lagi berbahasa Sunda, bahkan ketika berkomunikasi dengan sesama orang Sunda. Juga semakin banyaknya orang-orang tua yang tidak lagi mengajarkan bahasa Sunda kepada anak-anaknya dan beberapa gejala lain yang semacam. Gejala ini dengan jelas dapat terlihat di kota-kota besar, di mana interaksi budaya Sunda dengan budaya lain relatif lebih besar. Yang lebih menyedihkan adalah proporsi sebab kedua jauh lebih besar daripada sebab pertama.
Lunturnya kebanggaan indentitas kesundaan ini tentunya sangatlah memprihatinkan karena berhubungan erat dengan eksistensi budaya Sunda itu sendiri, yang juga berarti eksistensi orang Sunda sebagai suatu entitas etnis yang unikum, yang berbeda dengan etnis lain. Logikanya, kelak ketika tidak ada lagi yang berbudaya Sunda maka tidak akan ada lagi orang Sunda. Dilihat dari gambaran tersebut maka sudah sepatutnya kita khawatir (atau malah berbangga?) bahwa kita orang Sunda yang hidup hari ini adalah generasi Sunda terakhir yang ada di dunia.
Saya sendiri berharap itu tidak terjadi. Saya berpendapat, identitas kesundaan haruslah tetap dipertahankan sampai kapan pun juga. Itu bukan hanya didasarkan kepada ikatan emosional buta atau romantisme rasistik, tetapi dalam hidup, kita toh tidak cukup dengan hanya satu identitas? Di samping identitas kebangsaan, kita membutuhkan identitas-identitas lain, seperti agama misalnya atau jenis kelamin, atau umur, warna rambut, ukuran baju dan sebagainya, yang satu sama lain tidak bisa dianggap sebagai yang lebih penting secara mutlak, bergantung pada situasi dan kondisi yang membutuhkannya. Dan identitas kesundaan, biarlah tetap terpelihara --di samping identitas lainya-- agar dapat memperkaya identitas kita.
Jika begitu, tampaknya kita pun harus melakukan sesuatu. Akan tetapi, apa yang bisa kita lakukan?
Saya kira, pada mulanya adalah persepsi. Untuk menyelamatkan budaya Sunda seperti yang saya maksudkan tadi, persepsi orang terhadap budaya itu sendiri haruslah diubah. Dari yang tidak membanggakan menjadi membanggakan, dari yang tidak terhormat menjadi terhormat, dari yang tidak penting menjadi penting. Bilamana persepsi orang Sunda terhadap budayanya sudah meningkat, apresiasi mereka akan terbangun dengan sendirinya.
Masalahnya adalah untuk membangun persepsi ini juga ternyata tidak mudah. Dibutuhkan upaya yang keras, dana yang tidak sedikit, serta waktu yang tidak sebentar walaupun tentunya itu bukanlah sesuatu yang mustahil sama sekali. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan. Satu yang ingin saya sampaikan adalah dengan selalu menyajikan Sunda dengan lebih terhormat.
Persepsi yang rendah orang terhadap kesundaan disebabkan karena penampilan kesundaan sendiri yang memang tidak pernah ditampilkan dengan citra yang lebih terhormat. Disadari atau tidak, ketika kita membicarakan Sunda maka yang selalu terbayang adalah masa lalu, orang-orang tua, masyarakat pedesaan, musik tradisional, suasana perkampungan, sawah dan kerbau, si cepot atau si kabayan, Prabu Siliwangi, Majalah Mangle, dengan penampilan tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, mistik dan legenda, atau mungkin Suku Baduy. Bukannya masa kini, budaya pop, masyarakat kota, artis, pejabat, presiden, orang-orang kaya, gadis-gadis cantik, dan teknologi. Seakan-akan Sunda tidak lagi relevan dengan hal-hal tersebut.
Pendeknya, gambaran Sunda yang selalu kita tampilkan adalah yang berupa masa lalu, kolot, orang-orang marginal, kualitas seadanya, tradisional, tidak intelek, dan banyak lagi. Untuk itu, tidak heran bila kita bertanya kepada seorang gadis cantik di Kota Bandung akan merasa lebih pantas dengan, "Mau ke mana, Mbak?" Akan tetapi, bila bertemu kakek-kakek berkopiah lusuh cukup berkata, "Rek ka mana, Ki?"
Saya bermimpi bahwa suatu ketika kita bisa menampilkan citra Sunda sebagai sesuatu yang eksklusif, mahal, penting, modern, popular, intelek, berkualitas tinggi, progresif, dan terhormat! Bisakah? Tentu saja. Sedikitnya ada tiga upaya yang bisa saya tawarkan. Pertama, dengan selalu menampilkan orang-orang penting atau pejabat-pejabat di pemerintahan, di daerah Sunda tentunya, selalu berbudaya Sunda dengan konsekuen dan konsisten. Artinya, selain budaya Sunda ditampilkan dalam kehidupannya sehari-hari, Sunda juga diajarkan kepada seluruh keluarganya. Masyarakat Sunda adalah tipe masyarakat yang selalu mengikuti arus, bergantung pada para pemimpinnya. Bila sang pemimpin mau menampilkan budaya Sunda dengan konsisten, ini akan dengan sendirinya diikuti oleh masyarakat Sunda.
Celakanya, para elite Sundalah sebenarnya yang pertama-tama tidak setia dan sangat mudah berpaling kepada budaya lain. Ada semacam kebiasaan yang sudah membudaya bahwa ketika orang Sunda menjadi elite maka dengan sendirinya mereka akan menanggalkan kesundaannya. Di sini saya kira perlunya peranan pemerintah daerah (gubernur, bupati). Sedikit kebijakan yang agak "memaksa" akan sangat berguna. Kedua, dengan menampilkan orang-orang populer, seperti artis, olah ragawan, ilmuwan, dan lain-lain yang beretnis Sunda, dengan berbudaya Sunda, juga dengan konsisten dan konsekuen. Ini untuk menunjukkan bahwa Sunda pun sebenarnya relevan dengan komunitas-komunitas tersebut sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri orang Sunda yang sempat hilang. Dalam hal ini, diperlukannya peranan media massa yang representatif, baik elektronik maupun cetak. (Saya malah berandai-andai kita memiliki sebuah stasiun televisi murni Sunda yang kualitas, baik gambar maupun acaranya, tak kalah dengan TV swasta lainnya, misalnya).
Ketiga, dengan menampilkan produk-produk yang berbau Sunda dengan heboh, kualitas tinggi, eksklusif, mahal, modern, canggih, dan ilmiah. Majalah Sunda, misalnya. Sudah sepantasnya kita memiliki sebuah majalah yang tampilannya semacam Tempo atau dengan kualitas kertas se-Cosmopolitan. Yang dibahas pun bukanlah hanya sejarah atau mistik, tetapi hal-hal yang populer dan ilmiah dengan bahasa yang tidak kaku. Atau penampilan acara tembang cianjuran yang dikemas dengan komunikatif dan megah semacam konsernya Pavarotti. Ataupun memproduksi film Sunda sepopuler AADC, misalnya (kapan bisa sekelas "The Lord of The Ring"?).
Saya memang tidak pandai membikin contoh, tapi saya kira idenya dapat dengan jelas dipahami.
Beruntung bahwa kini sudah ada sekelompok orang yang sudah memulai kerja itu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa generasi muda Sunda dalam Kusnet (Komunitas Urang Sunda di Internet). Atau pula yang dilakukan oleh sebuah penerbitan dengan mengeluarkan Majalah Cupumanik, dengan berpenampilan sedikit pantas (kapan bisa setebal Intisari dengan iklan yang bejibun?). Juga tentunya yang sudah dilakukan pihak-pihak lain walau itu kita tahu itu belumlah cukup. Perlu dukungan kita semua, yang masih peduli dengan Sunda dan kesundaan.
Mari kita tampilkan Sunda dengan lebih terhormat!***