Jogja masih saja seperti dulu.
Kota ini memang bukanlah kota asing. Paling tidak, sudah empat atau lima kali saya berkunjung ke sini. Pertama kali, saat masih kelas dua SMA. Waktu itu kami berenam berdesak-desakan naik kereta ekonomi dari Ciamis, dengan tujuan mendaki gunung Merbabu. Dan untuk mencapai Magelang, kami turun di stasiun ini. Pada saat itulah pertama mengenal Malioboro. Selanjutnya, semasa pratugas di Madiun, saya sering juga ke Jogja. Nginap di rumah teman di Kasihan, Bantul, atau sekedar menengok adik yang kuliah di sana.
Dan kini saya kembali melangkah di kota ini. Kota yang pernah menjadi pusat kerajaan yang dulu menjajah nenek moyang saya, semasa masih bernama Mataram.
Setelah solat di mushola stasiun, kucari penginapan. Dapat di hotel Trim. 80 ribu perak semalam, lumayan, cuma sehari ini. Sayangnya charger hp lupa dibawa, jadi tak bisa menghubungi siapa-siapa.
Pukul 9 pagi sehabis sarapan soto di depan hotel, saya pergi ke tempat seminar. Ternyata tepat di depan Jalan Malioboro. Hotel Garuda lantai 2.
Sesampai disana, acara belum lagi dimulai. Tetapi Komar sudah datang. Sambil cungar-cengir dia menyambut. Ada pula Joko. Justru si mahluk item, tinggi, kriting dan hidup ini yang pertama kali terlihat. Oya, judul seminarnya adalah Restrukturisasi Pengelolaan Hutan Di Pulau Jawa. Diselenggarakan oleh sebuah lembaga, Bintara namanya. Didirikan oleh orang yang sudah sangat dikenal dalam kancah percaturan kehutanan di Jawa: Hasanu Simon.
Dan baru hari ini saya bisa langsung bertemu muka dengan dosen kehutanan Gajah Mada yang legendaris itu.
Ternyata orangnya memang menarik. Umurnya sudah lumayan tua, nampaknya, tetapi masih terlihat sehat. Dengan memakai peci haji dan baju koko, dia tampil menjadi pembawa makalah utama, dan ditanggapi oleh empat panelis: Ir. Bambang Aji, Ir. Tejo Rumekso, Ir. Sadharjo dan Ir. Hariadi Kartodiharjo. Yang tiga pertama adalah orang-orang Perhutani, sedangkan yang terakhir dikenal sebagai pakar kehutanan IPB yang memiliki pemikiran cukup cemerlang.
Seperti biasa, makalahnya dimulai dengan sejarah pengelolaan Jati di Jawa. Katanya, sebenarnya dalam beberapa hal kita harus berterima kasih kepada Belanda, karena selama penjajahannya, bangsa itu sudah menerapkan dasar-dasar sistem ekonomi yang bagus. Diantaranya ya, sistem pengelolaan kehutanan.
Yang menarik adalah ulasannya tentang Deandless. Kita mungkin lebih mengenalnya sebagai Gubernur Jendral yang memerintahkan membuat jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi. Menurut Simon, Deandless ke Indonesia sebenarnya dibekali dengan satu tugas khusus dari Ratu Belanda, yaitu membangun kembali hutan Jati di Jawa, yang pada saat rusak parah akibat timber exctraction yang berlebihan oleh VOC. Kerusakan hutan pada saat itu, katanya, dapat disamakan dengan kerusakan yang terjadi di hari ini. Walaupun tentunya situasinya berbeda.
Dalam melakukan tugasnya, Deandless memiliki empat Visi: tanaman yang bagus, mengatur tebangan, organisasi yang profesional serta wacara kelestarian hasil. Sayang orang tua ini tidak lama menjadi Gubernur Jendral. Tapi, kepemimpinannya telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pembangunan hutan jati di Jawa.
Selanjutnya disebutkan tentang adanya Tim yang dipimpin Mollier, seorang ahli kehutanan Jerman, disebut Tim Mollier (1845 - 1890), yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda untuk merumuskan kebijakan pembangunan hutan di Jawa. Dan Tim ini berhasil dengan baik. Paling tidak ada tiga hal yang mendasarinya, yaitu tim ini dipimpin oleh forester yang memahami masalah, adanya kebebasan dalam merumuskan pemikiran serta jangka waktu yang tidak terbatas. Dari dasar yang dibuat Tim inilah kemudian muncul Djatibedrifts (1890 - 1942), semacam BUMN yang mengelola hutan, sebagai cikal bakal Perhutani. Sampai saat ini, Djatibedrifts dianggap sebagai pengelola hutan yang paling berhasil di Jawa.
Makanya dalam rekomendasinya, Simon menyatakan bahwa sebaiknya pengelola hutan tetap berbentuk BUMN, dan dualisme antara BUMN-Dinas sebaiknya dihilangkan karena kontra produktif. Tetapi beliau juga sepakat bahwa dibutuhkan sebuah restrukturisasi yang menyeluruh pada pengelolaan saat ini. Baik dalam hal organisasi Perhutani maupun dalam sistem perencanaan hutannya. Dan menurut beliau sebaiknya, ini dirumuskan oleh suatu Tim semacam Tim Mollier tadi.
Sayangnya, paparan Simon masih terbatas pada Jati. Padahal masalah Perhutani sebenarnya tidak disana. Secara teknis, masalah Perhutani lebih kepada hutan Rimba, dimana sebagai sebuah Perusahaan, institusi renta ini, dituntut untuk merumuskan sistem perencanaan yang dapat menghasilkan manfaat finansial, sosial sekaligus ekologil. Jadi wacananya tidak hanya kepada manfaat kayu, tetapi lebih kepada optimalisasi dan komersialisasi hasil-hasil hutan non kayu. Dus, inilah yang seharusnya digali oleh para rimbawan ke depan.
Tanggapan dari para panelis, tidak terlalu saya simak. Saya dan Komar lebih sibuk menggoda pak Joko yang baru satu bulan menikah. Tapi pada umumnya mereka sepakat dengan diperlukannya sebuah perumusan baru dalam pengelolaan hutan, tetapi dengan penekanan yang berbeda-beda, sesuai kesukaannya masing-masing.
Pukul 17.00 acara selesai. Para peserta pulang. Saya menuju hotel Ibis, dimana pak Ananda dan Komar menginap. Sempat juga merasakan gerahnya sauna di sana. Setelah membeli dua potong baju batik di Malioboro, pukul 21.00 saya pulang kembali ke Bandung, karena kemarin pak Ajun sms: "Minggu pukul 8, kamu ditunggu pak Adm di kantor, siapkan bahan". Busyeet!