Rabu, Maret 03, 2004

Kekhasan dan Kehormatan

--Untuk Saudaraku, yang merisaukan aku

APAKAH yang dapat menyejukkan kerisauan hati, selain sebuah nasihat tulus seorang sahabat? Maka dari itu Bagja, saya merasa beruntung bahwa di hari ini saya telah mendapatkannya darimu. Terimakasih. Kau memang selalu tampil menjadi sahabat dalam arti sebenar-benarnya.

Dari dulu saya selalu kagum padamu. Pada keluasan pengetahuanmu. Pada kearifan pikiranmu. Pada keberanianmu berpikir bebas. Dan terutama, pada kemampuanmu mengungkapkan hal-hal tersebut dalam rangkaian kata-kata yang indah dan mengesankan. Maka Ja, saya sangat tersanjung, ketika kau menyajikan kerisauan hatiku sebagai topik dalam blogmu yang kukunjungi setiap minggu itu. Saya merasa kembali mendapatkan teman berdialektika yang telah lama hilang.

Dan saya memang sedang risau, sobat. Kau tahu, kerisauan ini muncul bukan baru kali ini, tetapi sejak lama, bahkan jauh sebelum kita bertemu. Barangkali hanya sebuah kerisauan khas anak muda yang merasa eksistensinya terancam. Meskipun yang terjadi padaku adalah varian yang nampaknya jarang ditemui.

Bagja, kau benar ketika mengatakan bahwa barangkali bahkan orang Sunda sendiri pada mulanya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai Sunda. Mungkin itu memang hanya pada mulanya sebutan orang saja. Sebutan yang tentunya tidak muncul tanpa sebab. Suatu komunitas memiliki identitas ketika dia memiliki kekhasan. Dan kekhasan hanya bisa dilihat ketika kita membandingkannya dengan komunitas lain. Maka lahirlah bangsa dan suku.

Kita tahu bahwa kekhasan yang memberikan identitas tersebut tidak hanya kita dapatkan dari ciri-ciri fisik, seperti warna kulit dan ukuran hidung, tetapi juga terutama pada daya kreatif mereka untuk tetap hidup (survive) dan berkembang (grow), yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sejarah yang menunjang kehidupannya. Dan kita menyebutnya sebagai Budaya, paling tidak Koentjaraningrat pernah mendefinisikannya demikian. Dus, selain ciri fisik, sebuah bangsa atau suku dibedakan terutama oleh kekhasan budayanya. Ketika dia tidak lagi memiliki budaya yang khas maka hilanglah identitasnya. Ciri fisik saja tidak menentukan. Makanya di awal tulisan kemarin saya menegaskan bahwa saya tidak berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi sebuah entitas budaya.

Inilah yang selama ini saya risaukan: hilangnya kekhasan budaya Sunda, yang juga berarti hilangnya identitas itu. Sedang Sunda telah kadung menjadi salah satu bagian identitasku. Saya menganggap kesundaanku sebagai identitas utama, yang sudah sepatutnya selalu saya tampilkan. Sunda adalah kehormatan dan harga diriku (pikiran nakalku kadang mengatakan bahwa bahkan saya Islam pun mungkin karena saya seorang Sunda). Dan gejala hilangnya kekhasan tersebut nyata sekali sedang terjadi. Parameter yang paling mudah dilihat tentunya adalah bahasa. Sedang bahasa adalah rohnya budaya.

Tapi bukankah budaya itu senantiasa berubah? Bukankah ketika budaya berubah, maka identitas yang dibawanya akan pula berubah? Jadi haruskah kita mempertahankan hal yang sebenarnya pasti berubah? Dalam Dangiang Edisi I (1999), Prof Saini KM membantu kita menjawabnya. Menurutnya, merujuk kepada Koentjaraningrat tadi, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi identitas sebuah kebudayaan: Kreativitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dengan tepat, ruang atau interaksi ragawi dan jiwani antara komunitas dan lingkungan pendukungnya, serta waktu atau sejarahnya.

Maka lanjut Saini, identitas kesundaan bisa hilang apabila pada orang sunda sekarang ketiga hal tadi hilang, yaitu hilangnya kreativitas, atau hilangnya kemampuannya orang Sunda untuk mengatasi permasalahannya secara tepat, atau hilangnya interaksi ragawi dan jiwani antara orang Sunda dengan lingkungannya akibat bencana alam dan sejenisnya, atau manakala orang Sunda hilang kesadaran akan sejarahnya. Identitas budaya Sunda, simpulnya, ada pada benang merah kemiripan antara sosok budaya dari generasi paling tua Sunda dengan generasi paling mutakhir yang hidup dewasa ini. Dus, meskipun budaya senantiasa berubah, identitas tersebut sangat mungkin untuk dapat dipertahankan dengan batasan-batasan tertentu. Tapi Ja, kesundaan juga sangat mungkin untuk punah, seperti punahnya dinosaurus. Konsepsi ini mungkin agak sulit dipahami. Yang jelas, kembali kepada pendapat diawal, saya berpendapat bahwa rohnya budaya adalah bahasa. Selama bahasa Sunda masih dipergunakan, maka budaya sunda masih ada. Dan sebaliknya.

Permasalahannya tentunya kembali kepada orang sunda sendiri. Apakah dia sepakat untuk mempertahankan identitas kesundaannya atau tidak. Bila ya, maka harus dilakukan upaya-upaya penyelamatan, dan bila tidak, ya diam saja. Atau dorong sekalian. Dan kau tahu, saya telah memproklamirkan diri menjadi yang terdepan pada pilihan pertama. Ini, seperti yang pernah saya katakan, didasarkan kepada kesadaran bahwa dalam hidup kita tidak hanya membutuhkan satu identitas. Saya rindu keberagaman. Selain juga masalah kehormatan dan harga diri.

Untuk itu saya kemudian melemparkan isu Menampilkan Sunda dengan Lebih Terhormat di PR beberapa waktu lalu, justru karena melihat bahwa, Sunda kini telah berlaku hanya sebagai "pelengkap perayaan atau obyek nostalgia orang-orang romantik" atau dalam istilahmu "terhenti sebatas panggung". Bukan sebagai identitas diri yang sepatutnya ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebagai sumber inspirasi dalam mengungkapkan kreativitas. Bukan sebagai budaya orang Sunda lagi.

Kini memang masih terjadi di kota, yang kau sebut sebagai lanskap besar yang selalu menampilkan kesunyian dan keterpencilan dari identitas asalnya. Tetapi sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun, atau seabad yang akan datang, ketika semua sudah menjadi "kota" atau jarak kota dan desa sudah sedemikian tipis, saya khawatir bahwa orang Sunda hanyalah terdiri dari komunitas aneh yang hidup terpencil di gunung-gunung. Orang Sunda hanya dikenal sebagai bangsa kelas pembantu dan gelandangan di sudut-sudut kota. Orang Sunda adalah bangsa yang kalah (dalam pandanganku, Kota adalah lanskap kekalahan bagi orang-orang Sunda).

Jadi Ja, obsesiku sebenarnya sederhana saja. Yaitu bagaimana bahasa Sunda digunakan orang sebanyak-banyaknya dan dalam rentang waktu selama-lamanya (saya pun merasa aneh kenapa kita tidak memakai bahasa Sunda di sini). Dan itu hanya akan terjadi apabila Sunda disadari sebagai sebuah identitas diri (yang membanggakan) dan sebagai sumber inspirasi dalam berkreasi (kau benar, saya harus tertantang). Sunda pun harus termodernisasi, dengan arah yang tetap mempertahankan kekhasannya. Kitalah yang harus mengarahkannya.

Dan untuk mengarahkan itulah kita membutuhkan ekslusifitas, gaya, dan bungkus, selain tentu saja isinya.

Barangkali ini akan mengecewakan bagi orang-orang romantik sepertimu. Tapi sayangnya ini harus dilakukan, bila kita masih ingin melihat Sunda hidup, atau paling tidak, mengenangnya sebagai sebuah (suku) bangsa yang bermartabat.