Jumat, Februari 20, 2004

Ke Jogja I

JUMAT siang, sekira pukul 2, Siti dari Umum, menyampaikan: Besok jam 9 pagi, Pak Avid harus sudah ada di Jogja, ada seminar. Lakadalah... Padahal baru setengah jam yang lalu, saya janjian dengan seseorang, besok di hari Valentine itu, kami akan berjumpa di Gegerkalong.

Apa boleh buat, ini tugas negara Bung!

Langsung kontak Komarudin di Kuningan, jawabnya: "Beliin tiket kereta, saya tunggu di Cirebon". "Ok". Lantas, saya tugaskan seorang staf untuk pesan tiket Bandung - Jogja 2 buah.

Pukul 16.45 saya sudah bengong di gerbong 7 kursi 11C Mutiara Selatan. Iseng-iseng tanya ke tetangga sebelah: "Ini kereta nyampai di Cirebon jam berapa ya, Pak?" "Wah, gak akan nyampai De, ini lewat selatan".

Jadol, si Komar!

Setelah konsultasi dengan petugas loket, akhirnya setengah uang tiket terselamatkan juga. Tapi, saya naik kereta jadi sendirian. Sebenarnya agak malas bepergian naik kendaraan renta yang satu ini, terutama karena berita-berita miring tentangnya. Dari pelayanan yang tidak nyaman sampai seringnya terjadi kecelakaan. Saya lebih suka naik bis saja.

Pukul 17.00, kereta berangkat. Di samping, duduk seorang pemuda tanggung, berpenampilan ngampung. Sambil senyam-senyum gumasep, dia nanya, "Mau ke Surabaya Mas?" "Ke Jogja" Jawabku.

Ternyata dia orang Madura. Tinggal di Bandung baru empat bulan, katanya. Ngikut kakak iparnya, jualan soto di Jl. Sunda. Hari itu dia akan pulang ke Sampang, karena di telpun bapaknya.

Ketika kutanya penghasilannya, sambil malu-malu dia menyebutkan "Ya, sehari bersihnya bisa dapet 170 ribu, Mas".

Busyeeet, hampir 3 kali gaji Adm!

Uang sebesar itu, katanya, semua dikirimkan ke Orangtuanya di Sampang. Dia hanya mengambil sedikit buat keperluan sehari-hari. Makanya dia belum bisa beli hp atau motor seperti teman seperantauannya di Bandung. "Lagian, aku kan belum lama jualan, Mas", belanya. "Anak baik", jawabku sambil merem.

Saya jadi teringat seorang teman. Dia lulusan PTN terkenal di Bandung, bekerja di sebuah restoran fast food di Jakarta dengan gaji kotor 1 juta perak per bulan. Dan setiap minggu dia mengeluh: tentang biaya hidupnya yang tinggi, tentang bos asingnya yang pelit, tentang kerjanya yang capek, tentang masa depannya yang tidak pasti. Teman yang lain malah lebih sial lagi, karena banyak yang bahkan belum mendapat kerja. Atau ada yang dapat, harus merantau jauh ke seberang, dengan gaji yang juga tidak besar-besar amat. Saya sendiri sedikit lebih beruntung, sudah memiliki pekerjaan, di Bandung, dengan jabatan yang lumayan tinggi, meskipun penghasilannya tetap saja jauh dibawahnya. Tapi ini anak, yang mungkin SMA aja gak lulus, penghasilannya nyaris 5 juta sebulan. Kerja sendiri lagi. Cuma jualan soto lagi. Di Bandung lagi.

Saya jadi heran. Di ini jaman, ketika uang adalah segala-galanya, ketika penghasilan 5 juta sebulan potensial bisa diraih, ketika tidak harus menjadi bawahan, ketika kita bebas menentukan, mengapa apa yang dilakukan oleh anak itu tidak pernah terlintas dalam rencana hidup kita? Mengapa kita, yang memiliki pemikiran relatif lebih "canggih", minimal lebih berpendidikan, tidak bisa menjadikan itu sebagai pilihan jalan hidup? Dimana logikanya?

Masalah modal? Saya kira tidak. Menurut dia, modal awalnya tidak lebih dari 900 ribu perak. (Bayangkan, untuk menjadi pegawai Pemda, dengan gaji pasti dibawah sejuta sebulan, orang-orang tua rela membayar 20 - 30 juta!). Keahlian? Juga tidak. Dia tidak harus kursus berbulan-bulan dengan biaya jutaan untuk bisa meracik bumbu sotonya. Saya yakin, rasanya pun gak istimewa-istimewa amat. Koneksi? Ah gila, masa jualan soto saja harus punya koneksi. Dukun? Ngaco! Tapi apa?

Barangkali, karena jualannya. Atau karena sotonya. Atau karena kerjaannya yang tidak pakai dasi. Tidak pake seragam. Tidak usah mikir. Tidak di kantoran. Tidak ada meja kerja dengan tumpukan map. Tidak musti bertelpon-telpon. Tidak ada sekretaris yang bahenol.

Karena tidak ada gengsinya.

Tapi dia dapat 5 juta sebulan.

Saya teringat tulisan Prof. MT Zein di Kompas beberapa tahun lalu. Dia mengatakan satu hal yang jarang disadari orang. Katanya setiap kerja, apapun itu asal halal, adalah mulia. Kita kadang menganggap rendah suatu pekerjaan hanya karena penampilan. Pikiran kita terbelenggu. Kita tidak bisa berpikir bahwa masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk hidup, tanpa harus kerja di kantoran. Tanpa jadi pegawai negeri. Tanpa harus nyogok. Tanpa harus melipat orang. Tanpa harus stres. Tanpa harus berpikir rumit.

Sederhana saja. Karena semua kerja adalah mulia.

Pukul, 1.33 dini hari, saya terbangun. Kereta sudah berhenti. Jogja.