Rabu, November 09, 2005

Saat Tuk Memutuskan

DI sebuah milis, beberapa tahun yang lalu, ada sebuah posting menarik. Judulnya, Cinta dan Perkawinan menurut Plato. Ceritanya kira-kira begini.

Syahdan, suatu ketika Plato muda mendatangi gurunya dan bertanya, "Guru, ceritakan padaku mengenai hakikat percintaan!" Sang guru tersenyum, dan dengan penuh kearifan dia balik bertanya, "Jadi kau ingin mengenal cinta, Anakku?" Plato mengangguk pelan. "Baiklah," sambut sang bijak. "Pergilah kau ke hutan itu, dan ambilkan aku sebuah ranting -- hanya sebuah ranting -- yang kau anggap paling menakjubkan!" katanya. "Tapi ingat, kau hanya boleh berjalan lurus searah dan tidak boleh berbalik."

Tanpa banyak bertanya, Plato pun kemudian melaksanakan sesuai perintah gurunya. Selang berapa lama ia sudah kembali. "Apa yang kau dapat, Ananda?" periksa sang bijak. "Tak ada, Guru, saya tak membawa satu pun" jawab Plato murung. Sang Guru heran. "Mengapa, tak adakah ranting yang menakjubkanmu di sana?" selidiknya. Plato mengggeleng. "Ketika masuk hutan tadi, banyak sekali ranting yang indah dan menakjubkan, Guru. Saya hampir mengambilnya satu. Tetapi saya teringat pesan Guru, bahwa yang harus diambil adalah yang paling indah, maka saya memutuskan mencari lagi barangkali ada yang lebih bagus di depan sana. Demikian terus, hingga kemudian saya sadar ternyata sudah berada di ujung hutan, dan belum membawa satu pun" kenangnya lirih. Sang Guru tertawa, "Itulah perumpamaan Cinta, anakku."

Plato terdiam. Dia belum menangkap apa yang dimaksudkan sang Guru. "Lalu apa bedanya dengan perkawinan?" Plato bertanya lagi. Dia memang murid yang tak mudah menyerah, dan sang guru sangat menyadari itu. "Jika kau ingin tahu tentang perkawinan, Anakku, pergilah kau ke taman itu dan bawakan padaku satu bunga yang menurutmu paling indah. Dan tetap, kau tidak boleh berbalik!" titahnya jelas.

Plato kemudian berlari memenuhi perintah. Tak berapa lama dia sudah kembali dengan sekuntum bunga merah di tangannya. "Aku mendapatkannya, Guru," teriaknya riang. "Ini sebuah bunga yang sangat indah." Tapi sang Guru tak tampak gembira. Dia bahkan seakan meragukan pilihan sang murid. "O ya, tapi apakah kau yakin itu yang terindah di seluruh taman?" tanyanya. Plato kembali terdiam. Dia termenung beberapa saat. "Mungkin tidak, Guru," jawabnya sejurus kemudian. "Saya yakin di depan sana masih banyak bunga yang lebih indah dari ini. Tapi pengalaman di hutan tadi mengajarkan saya untuk cepat memutuskan. Saya tak ingin kembali dengan tangan hampa seperti tadi. Maka ketika ada satu bunga yang saya anggap cukup bagus, minimal tidak terlalu jelek, langsung saya mengambilnya. Dan saya tidak menyesal telah mengambil bunga ini sebagai pilihan saya," lanjut Plato mantap. Wajah sang Guru membinar. "Kini, kau telah mengerti, Anakku. Itulah hakikat perkawinan," katanya tersenyum. Dan Plato mengangguk riang.

***

Saya tak yakin cerita itu otentik. Kuat dugaan itu rekaan orang belaka, dan nama besar Plato hanya dipinjam sebagai tokoh perumpamaan. Mungkin untuk menambah efek "bijak". Judulnya pun barangkali lebih tepat: Cinta dan Perkawinan menurut guru Plato, karena ternyata sang guru yang lebih berpendapat. Tetapi bahkan dari jalan cerita, kita mengetahui bahwa tidak begitu tepat menjadikan tema perbandingan Cinta dan Perkawinan sebagai judul karena dua entitas tersebut sama sekali tak diperbandingkan secara utuh menurut pengertian awam kita. Meskipun begitu, pesannya sangatlah jelas: jangan mencari kesempurnaan dalam cinta!

Pikiran serakah kita selalu menginginkan kesempurnaan dalam berbagai hal, termasuk pasangan hidup. Seorang lelaki normal akan mendambakan wanita yang cantik, baik, kaya, atau apa pun sesuai dengan keinginannya, untuk menjadi istri. Begitupun sebaliknya. Itu manusiawi saja. Tetapi, yang harus disadari adalah ternyata ukuran kesempurnaan itu sangatlah tak berbatas, karena selalu saja ada yang nampak lebih cantik --lebih indah, dari apa yang ada di depan mata. Dan celakanya, di sisi lain, kesempatan untuk mencari dan menyeleksi ternyata sangatlah sempit, sangatlah terbatas. Parahnya lagi, dia bagai jalan lurus yang tak pernah kita bisa berbalik, karena demikianlah memang sang waktu berlaku. Sebuah kesempatan tak pernah datang dua kali, kata orang. Dan itu kerap kali terbukti. Salah-salah, jika kita terlalu mendamba kesempurnaan, alih-alih mendapat yang paling, bisa-bisa malah tak mendapat apa-apa, seperti yang dialami Plato pada kesempatan pertama.

Jadi, ada saat kita harus memutuskan untuk memilih. Saat itu harus tepat, karena terlalu tergesa pun tak baik. Kita pun mesti memiliki cukup waktu untuk menimbang-nimbang -- dan pesan Plato (atau siapapun yang mengarang cerita itu), mikirnya jangan terlalu lama. Karena bisa kebablasan, dalam arti momennya habis. Kapankah saat tepat itu? Kita sendiri yang tahu. Kita sendiri yang menentukan.

Plato memutuskan mengambil satu bunga, manakala melihat ada yang dia anggap cukup mewakili seleranya. Dia tidak ingin mencari yang paling, karena dia pikir itu sia-sia. Dan dia tidak menyesal. Kamu?

Senin, Oktober 24, 2005

Cinta Pabaliut

...kuring bogoh ka embe,
embe bogoh ka kuring...
(Doel Sumbang/Barakatak, Pabaliut)

URUSAN cinta memang ruwet. Polanya tak mudah ditebak. Ada yang lancar-lancar saja, tak banyak tentangan. Ada pula yang teramat sulit, hingga susah sekali untuk bertemu sang pasangan jiwa. Sebagian lain, ada di antara keduanya. Orang bilang itu takdir.

Doel Sumbang pernah juga bikin sebuah lagu sunda yang kocak tentang kisah cinta yang ruwet. Judulnya Cinta Pabaliut. Dia bercerita tentang sekumpulan orang yang cintanya tak saling bersambut, tapi sambung-menyambung membentuk cinta segi banyak. Ada seorang gadis A mencintai pemuda B. Tapi sayang sang pemuda B lebih terarik ke gadis C. Sang C sendiri lebih memilih lelaki D. Namun si D ternyata tergila-gila oleh E. Begitu seterusnya, sampai pada ujung cerita ketika cinta segi banyak tersebut nyambung pada gadis X yang mencintai si Aku (yang nyanyi). Sayang, si Aku terlanjur jatuh cinta sama kambingnya, yang kali ini gayung bersambut, karena sang kambing juga ternyata mencintai si Aku.

Begitulah. Urusan cinta memang bisa jadi pabaliut tak keruan. Tapi juga bisa jadi amat kocak. Ha ha...

Sabtu, Oktober 22, 2005

Gus Dur dan Sebuah Perdebatan Kecil

Tiba-tiba saja saya terjebak dalam sebuah perdebatan kecil. Seorang teman menyerang saya dengan pertanyaan tak asing, "Saya heran, bagaimana bisa seorang intelektual sepertimu mengidolakan orang seperti Gus Dur?", katanya prihatin. Seperti biasa, saya tertawa mendengarnya. Saya jawab ringan, "Justru karena saya merasa sebagai seorang intelektual, maka saya mengagumi beliau".

Teman saya itu adalah seorang Islam formalis. Seorang yang selalu berusaha mempraktekkan Islam dengan segala simbolnya dalam kehidupan sehari-hari, dari celana ngatung sampai janggut, sebagaimana trend yang sedang menggejala pada komunitas-komunitas intelektual muda di kota-kota besar belakangan ini. Orang yang idealis tapi tak cukup radikal. Afiliasi politiknya pun bisa ditebak. Dia adalah seorang simpatisan Partai Keadilan Sejahtera.

Dan saya adalah pengagum Gus Dur. Sebuah kekaguman yang tentunya muncul bukan tanpa sebab. Ini berawal sekitar 6 tahun yang lalu, ketika saya suatu kali singgah di Masjid Raya Makassar dalam perjalanan menuju Malinau, Kalimantan Timur, untuk Praktek Kerja Lapang di sebuah HPH BUMN. Karena kesal menunggu kapal, saya iseng-iseng membeli sebuah buku yang dijual di sana. Judulnya sangat menarik dan provokatif: Tuhan Tak Perlu dibela. Sejak semula, saya memang menyukai sesuatu yang yang berbau kontroversial, sehingga tanpa ragu saya memilih buku itu untuk dibeli, selain memang sempat membaca resensinya di sebuah majalah.

Pada saat itu, Gus Dur sedang menjadi berita, karena baru saja terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Habibie. Sikap dan sepak terjangnya yang nyleneh, banyak diulas media. Dari yang memuji, sampai mencaci maki. Dan julukan beliau sebagai Guru Bangsa, banyak membuat orang muda seperti saya terheran-heran. Mengapa orang aneh ini mendapat julukan sedemikian terhormat? Apa yang sudah beliau perbuat sehingga sebagian orang memujanya begitu rupa?

Dan pertanyaan itu terjawab setelah saya membaca buku itu. Ajaib, karena hampir semua pandangan saya tentang sosial keagamaan dan keindonesiaan, yang selama ini mendekam di kepala, ternyata diterangkan Gus Dur dengan lancar, lugas dan enak dibaca. Gagasannya tentang pribumisasi Islam, sangat mengena pada saya yang sedang jengkel terhadap perilaku beberapa teman yang berubah ber-ana antum ria semenjak mereka menjadi aktivis kampus. Sikap toleransinya yang begitu tinggi --bahkan kadang berlebihan-- terhadap kaum minoritas dan beda agama, sejalan dengan saya yang selalu merasakan empati yang besar terhadap mereka-mereka yang ditindas dan diasingkan. Ketidaksukaannya terhadap segala bentuk formalisme, termasuk formalisme agama, juga selalu saya rasakan. Pandangannya yang jernih dan adil dalam menilai suatu permasalahan --pada zamannya-- begitu mengagumkan. Pendeknya, sejak saat itu saya jatuh cinta pada buku itu, dan tentu saja pada sosok Gus Dur. Sampai sekarang, Tuhan Tak Perlu dibela, menjadi buku wajib saya yang selalu saya baca di kala ada kesempatan.

Sejak saat itu saya pun menjadi seorang, kata beberapa teman, ABG atau Anak Buah Gus Dur. Semua tulisan Gus Dur dan tentang beliau, saya buru --saya baca. Selalu menarik. Dan bisa ditebak, apa yang terjadi pada Gus Dur, terjadi juga pada saya. Saya hampir selalu menjadi antitesis. Saya jadi kerap terlibat perdebatan sengit, dengan beberapa teman yang umumnya sangat kontra. Saya ingat, ketika menjelang impeachment terhadap Gus Dur oleh MPR, saya adalah satu-satunya dari seratus orang penghuni asrama yang tetap membela.

Setelah Gus Dur turun dari presiden, beliau pernah membuat buku juga. Tapi sayang, kualitasnya jauh berbeda. Ide-ide segar dan enak dibaca tak bisa lagi kita dapati. Yang ada adalah tulisan-tulisan membosankan dan penuh apologi. Rupanya Gus Dur memang telah berubah. Tetapi itu tak mengurangi hormat saya pada beliau.

Tentu saja, pandangan saya ini bertabrakan langsung teman PKS tadi. Dan ini kerap menjadi sumber perdebatan antara kami berdua. Tak jarang kami terlibat dalam diskusi yang cukup rame. Tapi jangan salah sangka. Kami tidak melakukan itu dengan otot-ototan. Semua perdebatan itu kami lakukan dengan tertawa riang, --meski tidak jarang pake hati juga ding!

Dan jawaban tadi saya sambung dengan sebuah pernyataan sedikit menantang. "Orang-orang yang bisa memahami Gus Dur hanyalah orang yang memiliki intleketual tinggi, yang bisa memikirkan agama dengan dewasa", serang saya sambil ketawa.

Teman satu ini tentu tak puas. "Dia itu pengacau tau? Dia sering bikin bingung umat dengan omongan-omongannya yang ngawur", serangnya sengit. "Justru dengan begitu, Gus Dur mendidik umat muslim untuk selalu bersikap cerdas dalam memandang persoalan", jawab saya tak kalah seru.

Dia menyiapkan serangan susulan. "Muslim macam apa yang selalu lebih membela orang non muslim ketimbang teman-teman seagamanya? Kau tahu apa yang dia katakan tentang Ahmadiyah? Masa dia mengatakan kalo Ahmadiyah, yang jelas sesat, harus dibela? Kiayi seperti apa itu?". Dia memang menggebu-gebu. Saya katakan, seharusnya kita berbangga apabila ada seorang muslim ternyata banyak dipuja oleh mereka yang lain agama. Bukankah itu memberi gambaran yang positif tentang seorang muslim. Bahwa Gus Dur terkadang keras terhadap muslim lain, saya ibaratkan seperti seorang bapak yang menjewer anaknya yang nakal untuk mendidik. "Cuma si anak, kadang terlalu manja", kata saya. Gus Dur memang selalu memposisikan sebagai pembela bagi mereka yang tertindas, termasuk kaum Ahmadiyah. Saya katakan, persoalan sesat dan tidak sesat biarlah milik Allah. Yang jelas, adalah tidak dibenarkan kita melakukan kekerasan pada yang lemah, bahkan atas nama agama pun. Dan bila ada yang melakukannya, itu harus dikecam, muslim atau bukan.

Dia masih ingin melanjutkan perdebatan. Tapi, tiba-tiba... "Awas!". Sebuah sepeda motor melintas cepat, nyelonong di depan mobil yang sedang kami kendarai.

Minggu, Oktober 09, 2005

Seven Days In Thailand (Last)

Kembali ke Bangkok

Hari Kamis, kami kembali ke Bangkok. Belum berencana pulang, karena kami masih memiliki agenda untuk berkunjung ke beberapa tempat lagi. Selama perjalanan di bis, perasaan sentimentil saya muncul. Mungkin akibat lagu-lagu boysband yang distel keras-keras di bis.

Menjelang siang kami sampai di Bangkok, dan ditempatkan pada sebuah hotel kecil di district Ram Kam Haeng. Namanya Dynasty Hotel. Kami pun dipersilahkan untuk beristirahat sampai setelah lohor di hotel. Mulai saat itu kami dipandu oleh guide baru yang sengaja disewa panitia dari sebuah biro perjalanan wisata. Ada tiga guide, yang dua orang Indonesia dan yang satu guide lokal. Guide Indonesia yang satu bernama Lili. Seorang wanita paruh baya berbadan bulat dengan selera humor yang kasar. Seorang lagi bernama Lukman. Masih muda. Dia bertugas mengurus membantu Lili mengurus-ngurus adminstrasi. Yang ketiga adalah seorang guide lokal. Namanya Citra. Dia seorang muslim Thailand yang sewaktu mahasiswa pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta sehingga bahasa Indonesianya sangat fasih. Rambutnya kriting gondrong, dengan kumis tak terurus. Sekilas penampilannya seperti preman, tetapi rupanya dia cukup pandai bercerita.

Kami tak sempat berisitirahat lama, karena siang itu kami diagendakan untuk mengunjungi Wath Arun, sebuah situs sejarah kerajaan Thailand yang terletak di pinggiran kota Bangkok. Untuk sampai ke sana, kami membutuhkan hampir 2 jam perjalanan. Bangkok ternyata memiliki penyakit yang hampir sama dengan kota-kota besar lainnya: Macet. Untungnya, Pak Cit (si Guide lokal), bercerita sepanjang perjalanan.

Bangkok, Kota yang Besar

Bangkok adalah sebuah kota yang sangat besar. Luasnya konon hampir 3 kali Jakarta (bila tidak menggunakan konsep megapolitan). Penduduknya 8 juta dan sekitar 1,5 juta diantaranya adalah orang asing. Mereka datang dari negara-negara sekitar Thailand seperti Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam, untuk mengadu nasib di Bangkok. Diantara mereka orang Myanmar-lah yang paling banyak, dan mereka terkenal kasar. Kata Pak Cit, ini disebabkan kehidupan mereka yang sulit di negerinya.

Mayoritas orang Thai, beragama Buddha Hinayana. Orang Islam ada juga, terutama mereka berasal dari provinsi-provinsi di daerah selatan, yaitu yang terpengaruh budaya melayu. Konon, dari 70 lebih provinsi kota di Thailand, sekitar 15 dari mereka sangat berbau melayu, karena pernah dijajah oleh Sriwijaya. Di Bangkok, banyak juga kompleks-kompleks pemukiman muslim. Selama di di sana kami membeli makan di kompleks-kompleks tersebut.

Perkembangan ekonomi Thailand sangat mengagumkan. Kami tak tahu angka pastinya, tetapi apa yang kami lihat di Bangkok sangat menggambarkan itu. Infrastruktur jalan dibangun dengan lebar dan bertingkat-tingkat. Gedung-gedung menjulang tinggi diseling taman-taman kota yang menghijau. Kendaraan-kendaraan tahun terbaru lalu lalang (saya bayangkan di sini, Jimny Katana-ku mungkin udah jari barang rongsokan). Kemacetan memang menjadi permasalahan utama. Untuk itu, pemerintah kini sedang mengembangkan subway MRT selain juga skytrain. Ciri-ciri negara maju sudah tampak di Bangkok.

Kota Yang Bersih

Bangkok juga sangat bersih. Menurut Pak Cit, Bangkok terbebas dari permasalahan sampah dan banjir mulai sekitar 15 tahun yang lalu. Ini mengagumkan, karena dulu, keadaannya sampir serupa, bahkan mungkin lebih parah, dari Jakarta. Ketika kami tanyakan bagaimana caranya, Pak Cit menjawab: mudah. Hal yang harus dilakukan pertama-tama adalah membersihkan saluran-saluran air dari sampah, katanya. Untuk ini, Pemerintah Kota memiliki kiat tersendiri. Mereka mengerahkan para narapidana untuk melakukan hal tersebut untuk menghemat angaran. Para napi yang berkelakuan baik, ditugaskan untuk membersihkan kota Bangkok dengan imbalan berbagai fasilitas, dari pengurangan hukuman sampai diizinkan untuk berkumpul dengan istri mereka beberapa hari dalam sebulan. "Baru setelah hampir 2 tahun, Bangkok terbebas sama sekali dari sampah", kata Pak Cit.

Setelah itu dilakukan manajemen sampah, yaitu pemisahan sampah menurut jenisnya. Ini dilakukan sampai pada tingkat rumah tangga. Untuk mengkampanyekan ini, dilakukan pendekatan melalui anak-anak TK. "Orang tua akan malu apabila diajari oleh anak TK," lanjut Pak Cit. Sampah-sampah tersebut kemudian diolah. Yang memungkinkan dilakukan daur-ulang, sedang yang organik diolah menjadi kompos. Sehingga sampah, di Thailand, bukan menjadi barang yang menjijikan, tetapi menjadi sumber pendapatan dan lapangan kerja. Kami hanya mengangguk-angguk.

Bensin 6000 rupiah seliter

Yang mengagumkan juga adalah soal BBM. Thailand adalah pengimpor seratus persen minyak, sehingga komoditi itu dilepas pada mekanisme pasar. Harga bensin di Bangkok saat itu adalah sekitar 6000 rupiah. Dengan melambungnya harga minyak dunia, kemungkinan harganya bisa mencapai 8000 - 10.000. Taksi-taksi di banyak yang menggunakan bahan bajar LPG, karena lebih murah.

Tetapi pemerintah memberikan kompensasi yang adil dan mendidik. Biaya kesehatan sangat-sangat murah. Untuk berobat, penyakit apapun dan berapa lamapun, mereka hanya dikenai biaya 30 Baht (sekitar 7500 rupiah). Pendidikan sampai SMA juga ditanggung oleh Pemerintah. Hal tersebut menyebabkan persoalan BBM tidak menjadi sesuatu yang terlalu sensitif seperti di Indonesia. Saya jadi berfikir, jika sebelumnya hal yang sama diterapkan di Indonesia, barangkali juga menjadi positif. Yaitu munculnya generasi muda yang sehat dan berpendidikan, tetap hemat. Bukannya generasi boros dan konsumtif, tetapi otaknya dodol!

Raja yang dicintai Rakyat

Ada satu lagi kelebihan Thailand, yaitu mereka memiliki pemimpin terakhir yang sangat disegani: Raja. Raja Bhumibol barangkali adalah satu-satunya raja di Dunia yang kharisma dan wibawa di rakyatnya masih sangat tinggi. Dimana-mana, di setiap sudut kota, fotonya dan atau foto Ratu, dipajang. Ini membuktikan kecintaan dan penghargaan rakyat yang tinggi pada raja. Suatu hal yang mengagumkan di era modern.

Kecintaan tersebut disebabkan oleh perilaku raja yang memang patut diacungi jempol. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan bijaksana. Raja Bumibhol memang pandai menempatkan diri. Sebagai seorang raja di era modern, dia tidak lagi bisa berbuat sesukanya. Tetapi harus pandai-pandai mengambil hati rakyat, agar kehdirannya sebagai seorang pemimpin memang berarti di rakyatnya. Hartanya konon habis digunakan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek kepentingan publik. "Rakyat Thailand bukan takut pada raja, tetapi malu," kata Pak Cit. Ditambahkannya, bahwa Thailand sering mengalami ketegangan politik, tetapi tidak pernah pecah menjadi chaos, karena mereka memiliki pempimpin terakhir yang dipatuhi oleh semua pihak. Ketika raja sudah memutuskan, maka semua pihak akan menerima dengan lapang dada. Pernah suatu kali Thailand berkonflik dengan negara tetanga, sehingga sudah hampir menyiapkan angkatan perang. Melihat kondisi yang sudah sedemikian gawat, Raja pun turun tangan. Dengan sebuah perkataan, rakyat kembali tenang. "Cuma, beliau tidak pernah sembarang ngomong. Dia bicara ketika suasana sudah gawat," kata Pak Cit. Hal tersebut memang harus dilakukan untuk menjaga kewibawaan.

Wath Arun

Image hosted by Photobucket.comWath arun adalah sebuah candi, mungkin sebandng dengan Borobudur di kita. Terletak di tepi sebuah sungai (saya lupa namanya), menjadikan Wath Arun terlihat eksotis. Konon dulunya ini adalah pusat pemerintahan kerajaan Thailand sebelum pindah ke Bangkok pada abad XVIII, akibat seringnya diserang oleh bangsa Myanmar. Bangsa Myanmar di masa lalu memang sangat ingin menguasai Thailand yang subur, karena di negerinya yang dataran tinggi tidak baik untuk bercocok tanam. "Di masa lalu kami hampir 400 kali berperang dengan bangsa Myamnar," kata pak Cit.

Karena keindahannya Wath Arun menjadi salah satu objek wisata wajib di Bangkok. Turis Indonesia juga banyak yang sering ke sini. Tetapi, tambahnya, umumnya tujuan mereka lain. Bukannya melihat keindahan candi, tetapi untuk belanja di pasar murah pinggir kompleks candi. Dan terbukti, kami memang akhirnya tak sempat masuk, karena waktu habis untuk berbelanja.

Pulangnya kami mengunjungi sebuah toko penjualan permata. Thailand, konon, memang terkenal dengan kerajinan permatanya. Di sana kami dapat melihat berbagai batu mulia seperti diamond, shapir, giok dan lain-lain. Beberapa orang berbelanja di sana, tetapi tidak banyak. Kemarin, sebelum ke Bangkok, kami sempat juga diajak ke toko serupa oleh Lex, sehingga banyak diantara kami yang sudah membeli. Saya sendiri tak terlalu tertarik. Saya pikir, saya belum membutuhkannya. Hari itu kegiatan hanya sampai di situ. Kami kemudian pulang menuju hotel. Saya sudah mulai lelah.

Ke Pusat Penelitian Pertanian Organik

Jumat, kami diagendakan untuk mengunjungi sebuah pusat penelitian dan pengembangan pertanian terpadu organik di sebuah provinsi yang tidak bisa saya ingat namanya. Letaknya cukup jauh dari Bangkok, sekitar 3 jam. Tak banyak yang kami dapat di sana, selain keterpaduan antara peternakan (sebagai sumber pupuk kandang), pertanian, dan perikanan. Saya cukup tertarik dengan pemeliharaan ikan secara organik, yang tidak membutuhkan lahan yang luas. Selain dari itu, pengelolaannya tak beda jauh dengan di Indonesia.

Pulang dari sana, kami sempat mampir di sebuah pasar buah --salah satu dari 4 pasar buah terbesar di Bangkok. Sayangnya hujan turun sangat deras, menghalangi kita untuk turun. Akhirnya perjalanan diteruskan ke showroom sutra milik keluarga Shinawatra. Rupanya, sang Perdana Menteri adalah pengusaha sutera juga. Kata Dadung, "Alus keneh nu urang di Pangalengan". Setelah itu, sempat pula singgah di sebuah pusat penjualan kulit. Tetapi tak terlalu menarik.

Malamnya adalah malam terakhir kami bisa bejalan-jalan di Bangkok, karena besok kami harus pulang ke Jakarta. Maka saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar hotel, melihat-lihat para pedagang kaki lima yang banyak mangkal di sana. Bangkok, ternyata sangat aman. Tak ada preman atau orang mabuk berkeliaran di jalanan. Bahkan lokasi pedagang kaki lima pun sangat bersih, tidak kumuh. Sesekali saya mampir pura-pura mau beli bila melihat pedagangnya cantik.

Tersesat di Chatuchak

Esoknya, guide mengajak kami mengunjungi penangkaran ular. Ada bermacam-macam ular di sana, dan tentunya yang paling terkenal adalah King Cobra. Ada sedikit atraksi disana, namun ujung-ujungnya kami ditawarin berbagai obat dari ular. Rombongan, yang kebanyakan uangnya sudah habis, malah pada kabur.

Lepas dari sana, kami dibebaskan menetukan tujuan. Beberapa orang memilih Chatuchak, sebuah pasar tradisional terbesar di Bangkok. Sebenarnya pilihan ini sempat menimbulkan polemik di antara rombongan. Entah mengapa, guide kami sepertinya sangat keberatan dengan tujuan ini. Mereka menakut-nakuti bahwa keamanan di sana tak terjamin karena banyak copetnya. Tentu saja sebagian rombongan menjadi takut. Tetapi sebagian lain tetap ngotot. Malam sebelum berangkat, kebetulan Lex datang ke Hotel, dan kami menayakan hal tersebut kepadanya. Lex mengatakan, "Copet itu ada di mana-mana, di negara anda maupun di negara kami. Tinggal bagaimana kewaspadaan kita. Pegang dompet anda erat-erat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya dari anda. Jangan khawatir, saya setiap minggu ke sana, dan tak pernah ada masalah". Maka akhirnya kami pun sepakat ke Chatuchak.

Chatuchak adalah sebuah pasar yang besar. Mungkin sebanding dengan Tanah Abang di Jakarta. Di sini dijual apa saja, termasuk cendera mata. Makanya banyak juga turis-turis yang berkunjung. Kami diberi waktu 2 jam di pasar itu. Semula, saya bertiga dengan Dadung dan Saepudin. Tadinya bermaksud membeli oleh-oleh yang dirasa belum cukup. Karena keasyikan, saya masuk terlalu dalam dan terpisah dari rombongan. Terpikir pulangnya akan mudah, dengan menelusuri jalan ketika masuk. Tetapi celaka, ketika mencari jalan pulang, saya tersesat. Mencoba bertanya, tetapi tak banyak yang mengerti bahasa Inggris di sana. Saya mulai panik karena sudah lewat dari waktu yang diberikan oleh guide. Untung sempat ngirim sms terakhir ke Dadung --Urang nyasar, dagoan tong ditinggalkeun! Hampir saya menyerah. Untungnya ada seorang polantas yang mengerti apa yang saya katakan. Dia lantas membantu menstopkan sebuah taksi.

Tiba di bus, semua orang mengomel, "Dari mana aja kamu?". Saya hanya nyengir.

Tujuan terakhir adalah Ma Bung Krong (MBK). Sebuah pusat perbelanjaan modern di Bangkok, mungkin sekelas Blok M. Karena tak ingin tersesat lagi, saya tak masuk terlalu jauh. Tetapi sempat membeli sebuah baju khas Thailand seperti yang sering dipake Lex, dengan Baht yang tersisa.

Pulang

Image hosted by Photobucket.com Setelah sempat naik MRT, pukul 5 sore kami menuju Dong Muang. Saya mulai kembali dicekam perasaan takut terbang. Beberapa orang ternyata membawa banyak sekali oleh-oleh. Pak Rudi bahkan membawa berdus-dus. Ketika saya tanyakan isinya, ternyata adalah anggrek. "Untuk dijual di Indonesia," katanya. Pak Rudi memang petani anggrek.

Kami take off tepat pukul delapan malam. Bersama dengan rombongan kami ada juga rombongan TKI yang mudik dari Dubai. Mereka masih muda dan nampak polos. Yang menyedihkan saya adalah kebanyakan mereka orang Sunda. Umumnya dari Cianjur dan Indramayu. Seorang duduk disamping Saepudin. Dia seorang janda satu anak dari Indramayu. Menjadi TKI adalah pilihan terbaik, katanya. Karena pilihan yang tersisa cuma jadi PSK!

Saya semakin sedih, ketika mengingat betapa kerja keras dan pengorbanan mereka sering menjadi lahan pemerasan oleh oknum-oknum bangsa kita juga. Oleh oknum Depnaker, PJTKI, bahkan para sopir dan calo. Saya sedih, betapa bangsa kita dengan mudah kehilangan hati, hanya karena kesulitan hidup yang mendera.

Pukul 24.00 kami sampai kembali di Jakarta.

Kamis, September 29, 2005

Seven Days In Thailand (Part III)

Nong Nooch Tropical Garden

Ini hari ketiga, dan merupakan hari terakhir kami di konferensi. Nanti malam acara akan ditutup secara resmi. Dan agenda kami hari ini adalah mengunjungi --menurut Lex-- tempat terindah di Thailand: Nong Nooch Tropical Garden.

Nong Nooch adalah semacam taman bunga. Terletak di Provinsi Chonburi, sekitar satu senegah jam dari hotel tempat kami menginap. Suasana agak gerimis ketika kami tiba di sana. Untungnya tidak lama, kembali cerah.

Image hosted by Photobucket.com Dan Nong Nooch memang indah. Taman-taman ditata sedemikian rupa, mengkombinasikan bunga-bunga yang dibentuk menyerupai berbagai mahluk (terutama gajah), dengan batu-batu besar dan licin, membuat kami berdecak kagum. Saya yakin biaya perawatannya tentu sangat mahal. Ada juga susunan batu semacam batu jam di Inggris yang terkenal itu. Di tengah perjalanan kami berhenti, untuk memberi kesempatan pengunjung berfoto-foto.

Pusat Nong Noch adalah sebuah gedung pertunjukan. Di sekelilingnya banyak juga gerai-gerai yang menjual cendera mata. Kami diarahkan untuk langsung masuk ke gedung pertunjukan. Gedung itu tidak terlalu mewah, tetapi cukup artistik. Menampung sekitar 300 penonton yang dibikin setengah melingkar dan bertingkat-tingkat. Semuanya memusat ke sebuah panggung yang terdiri dari dua tingkat.

Image hosted by Photobucket.comPertunjukan dimulai dengan tari-tarian di panggung atas. Belasan gadis (atau bencong?), menari-nari diiringi musik terdisional Thai. Alat-alat musiknya nampak aneh bentuknya. Pada beberapa adegan, tarian dan musiknya tersebut mirip dengan tampilan pada saat pembukaan konferensi.

Kemudian dilanjutkan dengan atraksi kickboxing dengan ikat kepala khas yang dipake para pemainnya. Namun dilakukan dengan skenario yang dibuat sedikit lucu. Seperti ketika salah seorang kickboxer memukul wasit dan beberapa adegan lain. Ada juga atraksi simulasi pertarungan beladiri tradisional dengan menggunakan senjata. Puncak pertunjukan adalah sendratari yang mengisahkan peperangan kerajaan-kerajaan jaman dulu, yang melibatkan gajah-gajah besar dan kecil. Cukup menghibur. Thailand pemang pandai mengemas sisi-sisi etniknya menjadi sebuah pertunjukan yang bernilai komersial.

Image hosted by Photobucket.comObyek di Nong Nooch tidak berhenti sampai itu. Kami lantas di"giring" ke belakang gedung, untuk memasuki arena pertunjukan gajah. Tak salah bila Thailand disebut negeri gajah putih. Gajah, di negeri ini, adalah binatang istimewa yang memiliki ikatan hubungan yang erat dengan penduduknya. Dimana-mana kita dapat dengan mudah melihat gajah. Bahkan di jalan-jalan kota Bangkok, kadang kami lihat merka berjalan-jalan santai, tentu saja diiringi sang pawang. Dan di sini kami diajak untuk melihat berbagai atraksi yang dilakukan oleh gajah-gajah yang sudah terlatih. Ada pertunjukan main bola, main basket, menari holahop, naik sepeda bahkan melukis. Konon pertunjukan gajah di Way Kambas pun mencontoh atraksi di sini.

Dipeluk Bencong

Puas melihat gajah, kami berjalan-jalan sekitar gedung. Ada juga jasa foto dengan ular, monyet dan macan. Kita cukup mebayar 50 Baht. Saya tidak tertarik. Tetapi ketika melewati sebuah jasa foto dengan seorang gadis cantik berpakaian ala ratu dengan latar belakang istana-istanaan, saya kepingin mencoba. Setelah berkonsultasi dengan Erwin, saya membeli 2 tiket. Tentu saja untuk kami berdua.

Image hosted by Photobucket.comErwin mendapat giliran pertama. Dia duduk disamping sang "ratu", yang memeluknya manja. Beres. Tiba giliran saya. Saya mendekat ke samping sang ratu, dan duduk sedikit menempel. Tetapi tiba-tiba dengan agresif, si cantik merapat. Memeluk erat. Jauh lebih erat dari pada pelukan ke Erwin. Detik itu saya baru sadar, ternyata dia adalah seorang boygirl (bencong). Tangannya mecoba meraba lebih jauh, tapi saya tahan dengan tangan sambil berbisik, "No.. no". Beres satu jepretan kamera, si cantik rupanya belum puas, "Once more," katanya. Saya jadi keder. Erwin yang memegang kamera tertawa. Dia kembali mengambil gambar. Sesaat setelah itu, saya langsung manghambur. Meski si cantik memanggil-manggil dengan suara tertahan, "Money..money", tetapi saya tak peduli. Saya kabur secepat-sepatnya.

Lepas dari "cengkraman" bencong kami tertawa terbahak. Apalagi ketika diceritakan kepada teman lain. "Dia tahu kalo kamu masih bujangan," seloroh Pak Camat. Setelah berfoto-foto di taman, kami kemudian menuju bis yang akan membawa kami pulang ke Pattaya. Peristiwa "benconggate" juga dibahas sepanjang perjalanan.

Gadis-gadis IFYE

Meski bertemakan pemuda, tetapi peserta konferensi tidak semuanya orang muda. Dari India bahkan aki-aki dan nini-nini. Delegasi Korea rata-rata berusia paruh baya. Begitu pula dengan Taiwan dan Thailand, meski umumnya relatif lebih muda-muda. Tetapi karena wajah-wajah mereka agak susah dibedakan, saya tak terlalu dapat mengingat mereka. Yang agak mencolok barangkali adalah peserta (lagi-lagi) Philipina. Mungkin karena wajah mereka relatif mirip dengan wajah Indonesia Kebanyakan mereka masih berusia muda, mungkin di bawah 30 tahunan. Indonesia sendiri relatif seimbang antara jumlah yang muda dan yang tua. Tetapi yang paling muda, dan single, barangkali cuma saya. Eh nggak ding, ada dua orang lagi. Yang satu orang laki-laki, cucunya seorang panitia senior IFYE. Dia nampaknya cuma ikut piknik saja. Yang satu lagi seorang gadis. Tetapi dia terlalu pendiam.

Dan berbicara tentang gadis, ada juga beberapa gadis yang sempat menarik perhatian saya di konferensi. Pertama adalah seorang Korea, namanya Lee Da Hi. Dia seorang gadis yang ramah, riang dan cepat akrab. Usianya masih 25. Saya mengenalnya ketika tiba-tiba dia nyelonong ikut berfoto pada saat saya berpose di depan sebuah kuil kecil di perkebunan Perawat. Kami lebih menjadi akrab ketika upacara penutupan, karena kebetulan berdiri berdampingan. Tetapi bahasa Ingrisnya payah juga. Pelafalannya susah dimengerti. Dia rupanya sedang mengikuti program farm stay di Thailand.

Image hosted by Photobucket.comAda juga Shahara. Seorang gadis muslim yang cantik dan putih --cuma agak gemuk-- dari Philiphina. Bagi peserta Indonesia dia dapat dibilang yang paling mendapat perhatian selama IFYE. Wajah cantiknya menjadi pavorit untuk dijadikan teman berpose. Dia memang ramah dan baik hati. Tidak pernah menolak ketika diajak berfoto. Saya sendiri sempat tiga kali diambil gambar berdua bersama dia. Dua kali di Nong Nooch dan satu saat malam penutupan.

Tetapi sebenarnya saya lebih tertarik pada gadis Philipina yang satunya. Dia agak pendiam dan nampaknya cukup pemalu. Saya melihatnya pertama kali ketika Group Discussion. Kami satu group. Dan jujur saja, selama diskusi, mungkin saya lebih banyak memperhatikan wajah manisnya (pada saat itu dia berkaca mata) dari pada moderator. He he. Wajahnya tidak terlalu istimewa, tetapi memang menarik. Buktinya Pak Rudi dan beberapa peserta lain, di hari pertama itu, sudah antri minta kartu namanya. Sikap pendiamnya membikin saya penasaran. Tetapi, seperti biasa, saya tak langsung agresif. Saya menunggu waktu yang tepat untuk berkenalan, dan tentu saja dengan target berfoto bersama.

Dan seperti biasa juga, waktu yang tepat bagi saya adalah selalu saat-saat terakhir. Kesempatan itu datang pada saat malam penutupan.

Malam itu saya memakai batik. Sudah siap dengan kamera digital pinjaman dari Pak Adm. Handycame saya titipkan ke Haji Fathoni. Sejak mengantri makan, mata saya sudah berkeliling mencari si pendiam. Tetapi tak juga ketemu. Sementara di panggung diadakan pertunjukan musik kecapi tradisional Thai. Sampai selesai makan pun, saya belum melihatnya. Saya mulai khawatir. Tetapi syukurlah, beberapa saat kemudian dia muncul. Ternyata dia duduk dengan sekelompok Philipina lain tidak jauh dari tempat meja kami. Saya kemudian menunggu momen.

Dan momen itu tiba sesaat setelah itu. Karena sadar malam itu adalah malam terakhir, para peserta memanfaatkannya untuk berfoto-foto dengan delegasi lain dan saling bertukar kartu nama. Mula-mula serombongan Philiphina dengan heboh berkeliling dari meja ke meja untuk berfoto yang kemudian diikuti oleh peserta lain. Saya mengajak Erwin dan Haji Karno untuk melakukan hal serupa. Mereka setuju. Kami bertiga berkeliling untuk mengajak berfoto bersama. Mula-mula dengan petinggi IFYE, kemudian Korea, Australia, India, Taiwan, Thailand dan Philipina. Saya lihat si pendiam juga sedang berkeliling dengan rombongannya. Sempat beberapa kali kami berfoto rame-rame. Tetapi target berkenalan dan foto berdua belum kesampaian.

Image hosted by Photobucket.comSampai akhirnya di suatu saat kami berdekatan langsung. Saya sapa dia dengan sedikit nekad, "Hello, can I take your picture?" kata saya. Dia terkejut dan salah tingkah. Tetapi dia menangguk. Mukanya manisnya memerah ketika teman-temannya menggodanya. "Smile... Look at her face!" teriak teman-temannya ketika kami berpose berdua. Dan haji Karno kemudian menunaikan tugasnya dengan baik. "I,ll send the picture by e-mail," bisik saya setelah itu. "Can I get your name card?" susul saya kemudian. Masih dengan kikuk, dia mencari-cari kartu nama di tas hitamnya dan menyerahkannya sesaat setelah ketemu. "Thank you, and this is mine," balas saya sambil menyerahkan kartu Patuha Resort saya. Setelah itu, saya pamit dan kembali ke meja dengan langkah gagah sambil tangan mengepal: Yes.. yes. Erwin cemberut. Sekilas kartu nama itu saya baca. Namanya Abigail. Si pendiam itu ternyata seorang perawat. Di kartu itu juga terdapat nomor hp dan alamat e mailnya.

(Beberapa hari setelah sampai di Indonesia, sebagaimana janji pada si pendiam, foto itu saya kirim lewat e-mail. Sayangnya tak ada jawaban. Saya coba cari namanya di frienster, juga tak terdaftar. Yang ada malah Shahara dan Hashim. Keduanya saya invite dan membalas beberapa hari kemudian. Saya hampir melupakannya. Tetapi pada minggu kedua, saya mendapat kejutan. Abigail menginvite saya di frienster. Rupanya dia menggunakan alamat e-mail lain. Sayangnya di frienster fotonya kok jelek banget ya, he he.)

Upacara Penutupan

Akhirnya tiba upacara penutupan. Kami berbaris per negara. Kemudian kami diminta menghadap ke arah lain, dan berpegangan tangan dengan teman sebelahnya sehingga tidak ada peserta senegara yang berdampingan langsung, dan masuk ke ruangan sebelah. Di pintu masuk masing-masing diberi satu buah lilin. Kami berdiri melingkar di sekeliling ruangan. Tiba-tiba lampu dipadamkan, sehingga keadaan menjadi gelap gulita.

Image hosted by Photobucket.comSeseorang kemudian mengucapkan kata-kata perpisahan dalam bahasa Inggris yang diiringi juga anjuran untuk lebih saling mengikat persahabatan diantara negara IFYE. Lilin pun dinyalakan. Pertama-tama oleh Mr. Lu, presiden IFYE. Kemudian ditularkan ke yang lain dengan cara menyulut lilin di pada teman sebelahnya, sampai semua menyala. Ini konon melambangkan proses terjadinya saling tukar pengetahuan dan keterampilan diantara anggota IFYE. Suasana cukup hidmat juga. Kami pun dipandu bernyayi, sebuah lagu perpisahan bahsa inggris yang cukup terkenal (saya tak tahu judulnya). Setelah beberapa saat, lilin Mr. Lu kembali dpadamkan, yang diikuti oleh yang lain hingga habis. Baru lampu kembali dinyalakan. Acara penutupan diakhir dengan saling bersalam-salaman, persis lebaran. Ketika bersalaman dengan si Pendiam, saya kembali berbisik, "I,ll send the picture soon" .

(to be continued)