Nong Nooch Tropical Garden
Ini hari ketiga, dan merupakan hari terakhir kami di konferensi. Nanti malam acara akan ditutup secara resmi. Dan agenda kami hari ini adalah mengunjungi --menurut Lex-- tempat terindah di Thailand: Nong Nooch Tropical Garden.
Nong Nooch adalah semacam taman bunga. Terletak di Provinsi Chonburi, sekitar satu senegah jam dari hotel tempat kami menginap. Suasana agak gerimis ketika kami tiba di sana. Untungnya tidak lama, kembali cerah.
Dan Nong Nooch memang indah. Taman-taman ditata sedemikian rupa, mengkombinasikan bunga-bunga yang dibentuk menyerupai berbagai mahluk (terutama gajah), dengan batu-batu besar dan licin, membuat kami berdecak kagum. Saya yakin biaya perawatannya tentu sangat mahal. Ada juga susunan batu semacam batu jam di Inggris yang terkenal itu. Di tengah perjalanan kami berhenti, untuk memberi kesempatan pengunjung berfoto-foto.
Pusat Nong Noch adalah sebuah gedung pertunjukan. Di sekelilingnya banyak juga gerai-gerai yang menjual cendera mata. Kami diarahkan untuk langsung masuk ke gedung pertunjukan. Gedung itu tidak terlalu mewah, tetapi cukup artistik. Menampung sekitar 300 penonton yang dibikin setengah melingkar dan bertingkat-tingkat. Semuanya memusat ke sebuah panggung yang terdiri dari dua tingkat.
Pertunjukan dimulai dengan tari-tarian di panggung atas. Belasan gadis (atau bencong?), menari-nari diiringi musik terdisional Thai. Alat-alat musiknya nampak aneh bentuknya. Pada beberapa adegan, tarian dan musiknya tersebut mirip dengan tampilan pada saat pembukaan konferensi.
Kemudian dilanjutkan dengan atraksi kickboxing dengan ikat kepala khas yang dipake para pemainnya. Namun dilakukan dengan skenario yang dibuat sedikit lucu. Seperti ketika salah seorang kickboxer memukul wasit dan beberapa adegan lain. Ada juga atraksi simulasi pertarungan beladiri tradisional dengan menggunakan senjata. Puncak pertunjukan adalah sendratari yang mengisahkan peperangan kerajaan-kerajaan jaman dulu, yang melibatkan gajah-gajah besar dan kecil. Cukup menghibur. Thailand pemang pandai mengemas sisi-sisi etniknya menjadi sebuah pertunjukan yang bernilai komersial.
Obyek di Nong Nooch tidak berhenti sampai itu. Kami lantas di"giring" ke belakang gedung, untuk memasuki arena pertunjukan gajah. Tak salah bila Thailand disebut negeri gajah putih. Gajah, di negeri ini, adalah binatang istimewa yang memiliki ikatan hubungan yang erat dengan penduduknya. Dimana-mana kita dapat dengan mudah melihat gajah. Bahkan di jalan-jalan kota Bangkok, kadang kami lihat merka berjalan-jalan santai, tentu saja diiringi sang pawang. Dan di sini kami diajak untuk melihat berbagai atraksi yang dilakukan oleh gajah-gajah yang sudah terlatih. Ada pertunjukan main bola, main basket, menari holahop, naik sepeda bahkan melukis. Konon pertunjukan gajah di Way Kambas pun mencontoh atraksi di sini.
Dipeluk Bencong
Puas melihat gajah, kami berjalan-jalan sekitar gedung. Ada juga jasa foto dengan ular, monyet dan macan. Kita cukup mebayar 50 Baht. Saya tidak tertarik. Tetapi ketika melewati sebuah jasa foto dengan seorang gadis cantik berpakaian ala ratu dengan latar belakang istana-istanaan, saya kepingin mencoba. Setelah berkonsultasi dengan Erwin, saya membeli 2 tiket. Tentu saja untuk kami berdua.
Erwin mendapat giliran pertama. Dia duduk disamping sang "ratu", yang memeluknya manja. Beres. Tiba giliran saya. Saya mendekat ke samping sang ratu, dan duduk sedikit menempel. Tetapi tiba-tiba dengan agresif, si cantik merapat. Memeluk erat. Jauh lebih erat dari pada pelukan ke Erwin. Detik itu saya baru sadar, ternyata dia adalah seorang boygirl (bencong). Tangannya mecoba meraba lebih jauh, tapi saya tahan dengan tangan sambil berbisik, "No.. no". Beres satu jepretan kamera, si cantik rupanya belum puas, "Once more," katanya. Saya jadi keder. Erwin yang memegang kamera tertawa. Dia kembali mengambil gambar. Sesaat setelah itu, saya langsung manghambur. Meski si cantik memanggil-manggil dengan suara tertahan, "Money..money", tetapi saya tak peduli. Saya kabur secepat-sepatnya.
Lepas dari "cengkraman" bencong kami tertawa terbahak. Apalagi ketika diceritakan kepada teman lain. "Dia tahu kalo kamu masih bujangan," seloroh Pak Camat. Setelah berfoto-foto di taman, kami kemudian menuju bis yang akan membawa kami pulang ke Pattaya. Peristiwa "benconggate" juga dibahas sepanjang perjalanan.
Gadis-gadis IFYE
Meski bertemakan pemuda, tetapi peserta konferensi tidak semuanya orang muda. Dari India bahkan aki-aki dan nini-nini. Delegasi Korea rata-rata berusia paruh baya. Begitu pula dengan Taiwan dan Thailand, meski umumnya relatif lebih muda-muda. Tetapi karena wajah-wajah mereka agak susah dibedakan, saya tak terlalu dapat mengingat mereka. Yang agak mencolok barangkali adalah peserta (lagi-lagi) Philipina. Mungkin karena wajah mereka relatif mirip dengan wajah Indonesia Kebanyakan mereka masih berusia muda, mungkin di bawah 30 tahunan. Indonesia sendiri relatif seimbang antara jumlah yang muda dan yang tua. Tetapi yang paling muda, dan single, barangkali cuma saya. Eh nggak ding, ada dua orang lagi. Yang satu orang laki-laki, cucunya seorang panitia senior IFYE. Dia nampaknya cuma ikut piknik saja. Yang satu lagi seorang gadis. Tetapi dia terlalu pendiam.
Dan berbicara tentang gadis, ada juga beberapa gadis yang sempat menarik perhatian saya di konferensi. Pertama adalah seorang Korea, namanya Lee Da Hi. Dia seorang gadis yang ramah, riang dan cepat akrab. Usianya masih 25. Saya mengenalnya ketika tiba-tiba dia nyelonong ikut berfoto pada saat saya berpose di depan sebuah kuil kecil di perkebunan Perawat. Kami lebih menjadi akrab ketika upacara penutupan, karena kebetulan berdiri berdampingan. Tetapi bahasa Ingrisnya payah juga. Pelafalannya susah dimengerti. Dia rupanya sedang mengikuti program farm stay di Thailand.
Ada juga Shahara. Seorang gadis muslim yang cantik dan putih --cuma agak gemuk-- dari Philiphina. Bagi peserta Indonesia dia dapat dibilang yang paling mendapat perhatian selama IFYE. Wajah cantiknya menjadi pavorit untuk dijadikan teman berpose. Dia memang ramah dan baik hati. Tidak pernah menolak ketika diajak berfoto. Saya sendiri sempat tiga kali diambil gambar berdua bersama dia. Dua kali di Nong Nooch dan satu saat malam penutupan.
Tetapi sebenarnya saya lebih tertarik pada gadis Philipina yang satunya. Dia agak pendiam dan nampaknya cukup pemalu. Saya melihatnya pertama kali ketika Group Discussion. Kami satu group. Dan jujur saja, selama diskusi, mungkin saya lebih banyak memperhatikan wajah manisnya (pada saat itu dia berkaca mata) dari pada moderator. He he. Wajahnya tidak terlalu istimewa, tetapi memang menarik. Buktinya Pak Rudi dan beberapa peserta lain, di hari pertama itu, sudah antri minta kartu namanya. Sikap pendiamnya membikin saya penasaran. Tetapi, seperti biasa, saya tak langsung agresif. Saya menunggu waktu yang tepat untuk berkenalan, dan tentu saja dengan target berfoto bersama.
Dan seperti biasa juga, waktu yang tepat bagi saya adalah selalu saat-saat terakhir. Kesempatan itu datang pada saat malam penutupan.
Malam itu saya memakai batik. Sudah siap dengan kamera digital pinjaman dari Pak Adm. Handycame saya titipkan ke Haji Fathoni. Sejak mengantri makan, mata saya sudah berkeliling mencari si pendiam. Tetapi tak juga ketemu. Sementara di panggung diadakan pertunjukan musik kecapi tradisional Thai. Sampai selesai makan pun, saya belum melihatnya. Saya mulai khawatir. Tetapi syukurlah, beberapa saat kemudian dia muncul. Ternyata dia duduk dengan sekelompok Philipina lain tidak jauh dari tempat meja kami. Saya kemudian menunggu momen.
Dan momen itu tiba sesaat setelah itu. Karena sadar malam itu adalah malam terakhir, para peserta memanfaatkannya untuk berfoto-foto dengan delegasi lain dan saling bertukar kartu nama. Mula-mula serombongan Philiphina dengan heboh berkeliling dari meja ke meja untuk berfoto yang kemudian diikuti oleh peserta lain. Saya mengajak Erwin dan Haji Karno untuk melakukan hal serupa. Mereka setuju. Kami bertiga berkeliling untuk mengajak berfoto bersama. Mula-mula dengan petinggi IFYE, kemudian Korea, Australia, India, Taiwan, Thailand dan Philipina. Saya lihat si pendiam juga sedang berkeliling dengan rombongannya. Sempat beberapa kali kami berfoto rame-rame. Tetapi target berkenalan dan foto berdua belum kesampaian.
Sampai akhirnya di suatu saat kami berdekatan langsung. Saya sapa dia dengan sedikit nekad, "Hello, can I take your picture?" kata saya. Dia terkejut dan salah tingkah. Tetapi dia menangguk. Mukanya manisnya memerah ketika teman-temannya menggodanya. "Smile... Look at her face!" teriak teman-temannya ketika kami berpose berdua. Dan haji Karno kemudian menunaikan tugasnya dengan baik. "I,ll send the picture by e-mail," bisik saya setelah itu. "Can I get your name card?" susul saya kemudian. Masih dengan kikuk, dia mencari-cari kartu nama di tas hitamnya dan menyerahkannya sesaat setelah ketemu. "Thank you, and this is mine," balas saya sambil menyerahkan kartu Patuha Resort saya. Setelah itu, saya pamit dan kembali ke meja dengan langkah gagah sambil tangan mengepal: Yes.. yes. Erwin cemberut. Sekilas kartu nama itu saya baca. Namanya Abigail. Si pendiam itu ternyata seorang perawat. Di kartu itu juga terdapat nomor hp dan alamat e mailnya.
(Beberapa hari setelah sampai di Indonesia, sebagaimana janji pada si pendiam, foto itu saya kirim lewat e-mail. Sayangnya tak ada jawaban. Saya coba cari namanya di frienster, juga tak terdaftar. Yang ada malah Shahara dan Hashim. Keduanya saya invite dan membalas beberapa hari kemudian. Saya hampir melupakannya. Tetapi pada minggu kedua, saya mendapat kejutan. Abigail menginvite saya di frienster. Rupanya dia menggunakan alamat e-mail lain. Sayangnya di frienster fotonya kok jelek banget ya, he he.)
Upacara Penutupan
Akhirnya tiba upacara penutupan. Kami berbaris per negara. Kemudian kami diminta menghadap ke arah lain, dan berpegangan tangan dengan teman sebelahnya sehingga tidak ada peserta senegara yang berdampingan langsung, dan masuk ke ruangan sebelah. Di pintu masuk masing-masing diberi satu buah lilin. Kami berdiri melingkar di sekeliling ruangan. Tiba-tiba lampu dipadamkan, sehingga keadaan menjadi gelap gulita.
Seseorang kemudian mengucapkan kata-kata perpisahan dalam bahasa Inggris yang diiringi juga anjuran untuk lebih saling mengikat persahabatan diantara negara IFYE. Lilin pun dinyalakan. Pertama-tama oleh Mr. Lu, presiden IFYE. Kemudian ditularkan ke yang lain dengan cara menyulut lilin di pada teman sebelahnya, sampai semua menyala. Ini konon melambangkan proses terjadinya saling tukar pengetahuan dan keterampilan diantara anggota IFYE. Suasana cukup hidmat juga. Kami pun dipandu bernyayi, sebuah lagu perpisahan bahsa inggris yang cukup terkenal (saya tak tahu judulnya). Setelah beberapa saat, lilin Mr. Lu kembali dpadamkan, yang diikuti oleh yang lain hingga habis. Baru lampu kembali dinyalakan. Acara penutupan diakhir dengan saling bersalam-salaman, persis lebaran. Ketika bersalaman dengan si Pendiam, saya kembali berbisik, "I,ll send the picture soon" .
(to be continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar