Minggu, Juli 17, 2005

G i e

...Aku besertamu orang-orang malang
(Soe Hok Gie)

TIBA-tiba saja namanya kembali disebut-sebut, setelah sekian lama hampir terlupakan. Ya, Soe Hok Gie, nama lengkap lelaki kecil itu, kini kembali diperbincangkan orang, semenjak kisah hidupnya yang dramatis diangkat ke layar perak oleh Mira Lesmana dan Riri Riza, dalam Gie, yang didukung oleh promosi yang gencar dan bintang-bintang muda tenar.

Maka kita pun kembali teringat pada diri Gie. Pada perjuangan-perjuangannya. Pada kegigihannya membela nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Pada ide-idenya tentang perubahan. Pada kritik-kritiknya yang lugas tapi menusuk. Pada kegelisahan-kegelisahannya akan nasib bangsa yang amat dicintainya. Pada keberpihakannya pada rakyat kecil dan tersisihkan. Pada pusi-puisinya yang impresif. Pada kecintaannya mendaki gunung. Dan pada kematiannya yang tragis di kala usia masih sangat muda.

Gie memang mati muda. Dia meninggal tepat satu hari sebelum ulang tahunnya ke-27 di puncak Semeru. Tapi bukan berarti tidak banyak yang ia lakukan. Di usianya yang pendek itu, Gie telah mengisi hidupnya dengan benderang. Sejarah mencatat bahwa pengaruh dan karya-karyanya tak sependek umurnya. Semangatnya, idealismenya terus menjadi inspirasi perjuangan generasi-generasi selanjutnya, yang merindu keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Gie pun menjadi legenda. Sebagian orang membandingkannya dengan Che Ghuevara, yang sohor dan sama-sama mati muda itu. Sebagian yang lain menyesali kematiannya yang begitu cepat. Sebagian lagi, memujanya sebagai pejuang yang tetap konsisten dan lurus hingga akhir hayatnya.

Kita berharap, akan masih banyak Gie-Gie baru yang lahir dan bertumbuh di negeri ini.

Selasa, Juni 14, 2005

B a l i


Image hosted by Photobucket.com AKHIRNYA, saya ke Bali juga. Sebuah tempat yang, di masyarakat kita, diam-diam ternyata memberikan citra tersendiri bagi orang yang pernah berkunjung ke sana: bisa menimbulkan kebanggaan dan gengsi. Bangga karena memiliki pengalaman lebih dari tetangga atau teman (tentu saja yang belum bisa ke sana). Gengsi karena dapat menunjukkan bahwa kita memiliki uang yang lebih sehingga dapat berwisata sejauh itu (saya tinggal di tempat yang dalam pandangan saya cukup jauh dari Bali). Bisa juga agar tidak kehilangan gengsi karena kita tidak terlalu ketinggalan dari tetangga (yang selalu menyombongkan diri karena pernah ke sana). Atau yang lain-lain. Yang jelas, kadang-kadang saya membutuhkan juga salah satu dari alasan-alasan tersebut.

Tapi Bali memang eksotis, dan lain. Kesan saya, dari kunjungan singkat itu, mengatakan bahwa memang pantas bila Bali menjadi tujuan wisata nomor wahid di negeri ini, baik bagi pelancong lokal maupun asing. Ini disebabkan karena Bali memang memiliki beberapa keunikan yang jarang ditemui di tempat lain.

Pertama, eksotisme alamnya. Perpaduan antara udara tropis dan pantai-pantainya yang indah, menjadi surga bagi para pelancong asing --meski, mungkin, bagi kita tidak terlalu aneh. Lanskap pedesaannya yang dicirikan oleh bangunan-bangunan khas diseling pesawahan yang menghamparhijau teratur, menambah eksotisme Bali.

Kedua, karena tradisinya yang memang unik. Tradisi yang mengakar dari sisa-sisa budaya Hindu yang beratus tahun lalu pernah berjaya berabad-abad di nusantara ini, dan kini menjadi barang yang "aneh". Banyak di tempat lain yang menjadi "masa silam", ternyata masih hidup di Bali. Bangunan-bangunan batu, ukiran, agama Hindu dan tata cara persembahyangannya, gapura-gapura dan patung-patung adalah untuk menyebut beberapa di antaranya. Selain itu tarian, nama, bahasa dan logat serta pakaian adat dan lain-lain juga memberikan kontribusi terhadap identitas unikum Bali.

Ketiga, yang paling menarik, adalah karena kesetiaan masyarakatnya memegang erat tradisi tersebut sampai kini. Bahkan itu terjadi di tengah-tengah pergaulannya dengan budaya-budaya global yang dibawa para pelancong asing. Religiusitas mereka mengagumkan saya. Di mana-mana selalu terlihat semangat mereka meng-"hadir"-kan Tuhan, dengan membangun tempat-tempat pemujaan. Di rumah, kantor, sekolah, toko, sawah atau gunung, dengan bentuk-bentuk yang artistik. Dan yang menarik adalah mereka selalu menempatkan tempat pemujaan itu di depan, seakan-akan merupakan bagian utama dari sebuah bangunan. (Bandingkan dengan bila kita membuat mushola, biasanya berupa ruangan sisa, sempit dan terletak di paling belakang. Seakan-akan itu aksesoris belaka).

Ditambah hal keempat, yaitu karena Bali hanyalah sebuah pulau, pulau yang kecil, maka menjadikannya menjadi istimewa. Akan lain halnya juga bila Bali sebesar Pulau Jawa misalnya. Keunikannya tidak akan terlalu kentara. Barangkali hal-hal unik itulah yang membuat Bali menjadi menarik.

Yang unik memang selalu menarik. Tapi yang penting adalah, kini bila ada orang yang bertanya: "Sudah pernah ke Bali?". Saya akan dengan mantap menjawab: "Sudah, gitu loks!".

Minggu, Juni 05, 2005

S O S

BASUKI, si pelawak pencela, barangkali tak pernah menyangka apa yang dilakukannya kepada grup SOS dalam ajang kontes lawak di TPI beberapa waktu lalu, malah memberi berkah bagi grup asal Bandung tersebut. Hampir di setiap komentarnya, bila komdian yang pernah tergabung bersama Timbul dan Kadir dalam grup BATIK kebetulan menjadi Tim Pencela, Basuki selalu mencela dalam arti sebenar-benarnya kepada Sule dan kawan-kawan. Padalah biasanya anggota tim Pencela lain malah memuji habis-habisan.

Basuki mencela SOS karena Sule, Oni dan Ogi selalu menampilkan ciri khas Sunda dalam setiap penampilannya. Kita mengingat Sule karena lengkingan khas sinden jaipongnya yang cempreng atau Oni yang disebut-sebut penerus Kang Ibing dengan setelan Kabayan-nya. Dan itu nampaknya membuat gusar Basuki. "Aku enek dengan kalian, acara ini bukan hanya ditujukan untuk orang Sunda saja", sergahnya. Padalah banyak tim lain, bahkan Basuki sendiri, yang berkali-kali berbicara dalam bahasa Jawa, dan tidak dipermasalahkannya. Bahkan di lain waktu tanpa tedeng aling-aling dia mempertanyakan, "Mana ada grup lawak Sunda yang lestari?". Basuki barangkali gusar karena jagoannya, grup dari Jawa Timur itu, kalah lucu.

Tentu saja hal tersebut mendapat reaksi, paling tidak dari Kang Ibing, yang kebetulan juga sering ditunjuk sebagai tim Pencela. "Jangan takut meniru", katanya. "Kita hidup toh juga meniru orang-orang tua kita" belanya bijak. Celaan Basuki juga telah menggugah orang-orang Sunda untuk terus mendukung satu-satunya Grup lawak dari Jawa Barat yang menjadi peserta API pertama ini. Terbukti kemudian Polling SMS-nya jauh melesat, dan membuatnya merebut juara. Selain tentu saja itu disebabkan penampilannya yang memang nampak lebih matang dari grup-grup lain.

Simpati tidak saja datang dari orang Sunda. Seseorang bahkan menulis ke Surat Pembaca PR, "Saya orang Jawa, tapi mendengar celaan Basuki, saya tahu saya harus membela orang Sunda" katanya.

Kita tahu SOS kemudian menjadi Juara. Ada yang mengatakan ini salah satunya berkat ulah Basuki tersebut. Oleh karenanya, dari kacamata positif, orang Sunda yang mendukung SOS sudah selayaknya berterima kasih kepada pemeran Mas Karyo itu. Basuki benar ketika mengatakan bahwa tidak ada grup lawak Sanda yang lestari. Setelah era D'Bodor dan D'Kabayan di tahun 80-an, memang tak ada lagi grup lawak Sunda yang berpengaruh. Di televisi, dunia lawak selalu didominasi oleh warna Jawa atau betawi. Jarang yang bernuansa Sanda. Ini ironis, karena orang Sunda dikenal sangat menyukai humor (heureuy). Seharusnya, Sunda melahirkan komedian-komedian yang besar di tingkat nasional. Dan Basuki mengingatkan hal itu.

Maka munculnya SOS ke pentas nasional, bersama komedian-komedian Sunda lain seperti trio Aming, Ronald dan Tike dalam Extravaganza, patut di syukuri. Mereka adalah generasi baru pelawak Sunda, yang mudah-mudahan saja bisa me-nasionalkan Sunda melalui jalur komedi. Selamat buat SOS!

Selasa, Maret 15, 2005

Mencari Kharakter Sunda yang Hilang

: untuk seorang teman yang merindu progresivitas

ORANG Sunda, umumnya, dikenal sebagai bangsa yang toleran dan cenderung tidak menyukai konflik (baca: pengalah).

Dalam menghadapi sebuah perbedaan (konfrontasi), alih-alih melakukan ngotot-ngototan, mereka lebih senang mencari jalan tengah, atau mengalah.

Sambil berusaha menikmati konsekwensi kemengalahan tersebut, dan sering dengan segala pembenaran terhadap keputusannya tersebut.

Dus, bangsa yang "manis, baik hati dan tidak sombong", selain pandai menghibur diri.

Inilah juga yang konon menyebabkan tidak banyaknya muncul pahlawan nasional dari orang Sunda dulu (dibandingkan dengan orang Jawa misalnya). Karena orang Sunda memang tidak menyukai konflik.

Para pemimpin Sunda jaman kolonial, umumnya memilih ber-"baik-baik saja" dengan penjajah, dibanding harus berkonfrontasi.

Alasanya: melawan dengan kekuatan senjata, selain sulit menang, juga pada akhirnya malah akan lebih menyengsarakan rakyat sendiri, karena akan timbul banyak korban.

Oleh karena itu sikap kooperatif (mengalah dan patuh) dirasa lebih baik, sambil berupaya agar tidak terlalu menyengsarakan rakyat.

Konon, pemerintah kolonial dulu memang relatif lebih menyukai bupati-bupati Sunda, dari pada daerah lain, karena mereka pandai memuaskan keinginan pemerintah kolonial.

Mereka pun digaji dengan nominal yang jauh lebih tinggi dibanding bupati-bupati daerah lain. Istimewanya adalah, bupati-bupati Sunda umumnya juga dapat melindungi rakyatnya dari kesengsaraan yang lebih, meskipun di waktu yang sama harus melayani sang penjajah.

Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin Sunda memang pandai dalam menjalankan posisi nengah seperti itu, tanpa harus berpusing-pusing berkonflik.

Pilihan yang rasional sebenarnya, meskipun kadang ditafsirkan sebagai pengecut dan kurang peduli dengan kebebasan dan harga diri.

Kini pun demikian. Masyarakat Sunda jarang terdengar berkonflik.

Di tempat asalnya, wilayah Pasundan, masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan sopan terhadap pendatang, meskipun kemudian pada akhirnya sang tamu ternyata lebih berhasil memanfaatkan sumber daya dari wilayah tersebut dibanding sang pribumi.

Tidak pernah terjaaadi kecemburuan yang kemudian menimbulkan konflik tajam. Juga di perantauan. Jarang terdengar konflik sosial yang melibatkan orang Sunda.

Pada umumnya mereka diterima dengan baik, karena selain tidak pernah berlaku aneh-aneh, mereka juga dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Hal ini, di satu sisi, tentunya positif saja, terutama dipandang dari kepentingan pemeliharaan stabilitas nasional. 

Provinsi Jawa Barat, sebagai tempatnya orang Sunda, relatif selalu aman dan nyaris tanpa gejolak. Bila pun ada, itu disebabkan hal-hal yang memang sangat sensitif, seperti isu agama, yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu yang silam.

Tetapi di sisi lain, apabila kita telaah lebih jauh, hal ini juga ternyata mengimplikasikan sesuatu yang sangat menghawatirkan dan memprihatinkan, terutama berhubungan dengan eksistensi mereka sebagai sebuah (suku) bangsa.

Sering, karena saking toleran dan tidak mau ada konflik -nya, - atau juga cenderung karena minder (?), keadaan menjadi terbalik-balik.

Dalam hubungan bertetangga misalnya, ketika berkomunikasi dengan tetangga yang bukan sunda, apalagi bila tetangga tersebut memiliki tingkatan sosial yang tinggi, orang Sunda akan cenderung menyesuaikan diri dengan gaya dan bahasa mereka, dan bukan memunculkan kharakter sendiri.

Jadi, alih-alih tetangga, yang nota bene pendatanglah, yang menyesuaikan diri, malahan sang pribumi yang berubah terlebih dahulu. Begitu seterusnya.

Walhasil, jadinya pabaliut. Akhirnya tidak jelas mana yang pribumi mana yang tamu. Apalagi ketika pendatang tersebut semakin membanyak, seperti yang terjadi di kota-kota besar.

Orang Sunda, sebagai pribumi, kian terdesak, di segala bidang, baik politik, ekonomi maupun budaya. Jati kasilih ku Junti. Di bidang politik, posisi orang Sunda sebagai "penguasa" di daaerah sendiri makin terancam.

Pengalaman komposisi Sunda non Sunda di DPRD Jawa Barat periode lalu yang berbanding terbalik seperti sering diributkan orang, membuktikannya. Di bidang ekonomi apalagi. Sejak lama, orang sunda terpinggirkan oleh ekspansi para pendatang, yang ternyata memiliki kemampuan dan daya juang yang lebih tinggi.

Yang menyedihkan juga adalah kekalahan di bidang budaya. Orang-orang Sunda perlahan namun pasti semakin tercerabut dari akar budayanya. Banyak dari mereka yang bahkan telah menanggalkan identitas kesundaannya, karena diangap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan begitu, mereka sebenarnya telah memutus rantai identitas yang diwariskan leluhurnya, yang selama berabad-abad telah membuatnya berbeda dari bangsa lain. Dan ini sungguh mnemperihatinkan.

Separah itukah yang terjadi? Barangkali terlalu didramatisir. Namun sulit dipungkiri bahwa kharakter sunda yang "terlalu toleran" dan "cenderung pengalah" tersebut memang telah memberi andil yang besar terhadap inferioritas dan inferiorisme orang sunda seperti yang terjadi saat ini.

Saya jadi teringat sebuah "teori" dari seorang teman yang menyatakan bahwa sebenarnya ada kharakter lain yang pernah menonjol dan dominan pada diri orang-orang Sunda.

Yaitu kharakter yang kuat, tegas dan berani dalam membela hak dan harga diri. Paling tidak, hal itu tercermin dari persitiwa sejarah Pasunda Bubat. Ketika saang Prabu Maharaja Linggabuwanawisesa, beserta pengiringnya, memutuskan untuk melawan dengan gagah berani, dan mati dengan terhormat di medan perang Bubat, ketimbang harus mengaku tunduk kepada kekuasaan dan ambisi sang Gajah Mada.

Tentunya kharakter Sunda yang kuat inilah juga yang telah memungkinkan Kerajaan Sunda waktu itu mampu bertahan, dan mejadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak dapat dijamah oleh bala tentara Majapahit yang terkenal dahsyat.

Yang membuat Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit yang perkasa, menjadi frustasi, sehingga merasa perlu menjalankan siasat licik untuk menggenapkan sumpahnya menguasai seluruh nusantara itu. Karakter kuat inilah yang pastinya kemudian membawa Kerajaan Sunda (Pajajaran, setelah peristiwa itu, mencapai puncak keemasan, sampai paro abad XVI.

Lalu kemana kharakter itu kini? mengapa seakan hilang tak berbekas? Telah berubahkah orang Sunda?

Teman saya tadi mengatakan bahwa huru-hara menjelang runtuhnya kerajaan Pajajaran di tiga perempat akhir abad XVI-lah yang menjadi pangkal penyebabnya.

Perang, telah megabiskan mereka yang memiliki karakter kuat, baik karena gugur di medan perang, maupun yang kemudian mengasingkan diri karena tidak sudi hidup terjajah.

Dan menyisakan hanya mereka yang berkharakter lemah, yang tunduk dan bersedia hidup di bawah kangkangan bangsa lain. Karakter itulah yang kemudian kita warisi, dan terpelihara sampai kini. Kharakter yang kalah dan terjajah.

Pertanyaannya adalah: akankah kita terus menjadi yang kalah dan terjajah?

Minggu, Maret 06, 2005

Kita dan Sejarah

BARANGKALI kita memang terlalu under estimate dengan kemampuan sendiri. Ada anggapan selama ini kalau kesadaran bersejarah bangsa kita baru tumbuh belakangan, yaitu sekitar awal abad 20, terutama setelah pergaulan beberapa orang terpelajar kita dengan orang asing (barat). Yang saya maksudkan kesadaran bersejarah adalah kesadaran akan pentingnya sejarah, sehingga kemudian merasa perlu untuk melakukan perumusan dan penyusunan sejarah dengan didasarkan kepada data-data dan penelitian yang cukup, serta menuliskannya ke dalam sebuah manuskrip berupa naskah sejarah.

Memang banyak juga diketahui karya-karya historiografi nenek moyang kita yang sering dijadikan rujukan penyusunan sejarah oleh para ahli, tetapi bentuknya lebih pantas disebut karya sastra, bukan naskah sejarah, seperti babad, hikayat, carita dsb. Kalau ada yang mirip-mirip, barangkali adalah kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada zaman Majapahit, sehingga beliau konon dianggap sebagai sejarawan pertama di nusantara. Karya-karya anak bangsa yang bisa disebut sebagai naskah sejarah, baru kita temui awal tahun 1900-an.

Tidak banyak yang tahu, dan percaya, bahwa ternyata kesadaran bersejarah bangsa kita sudah tumbuh jauh sebelum itu, dan dengan taraf yang mengejutkan. Adalah pangeran Wangsakerta, seorang bangsawan Cirebon yang hidup di pertengahan abad 17, yang telah menyusun sebuah naskah sejarah yang lengkap tentang perkembangan raja-raja di Nusantara. Jumlah naskah tersebut juga tak tanggung-tanggung, konon mencapai 25 judul dengan masing-masing judul setebal 200 halaman! Sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran bersejarah kita paling tidak telah muncul hampir 4 abad yang lalu, lewat seorang tokoh dengan nama Wangsakerta.

Isu itu disebarkan oleh Ayatrohaedi dalam bukunya Sundakala (terbitan Januari 2005), yang minggu lalu saya beli di Gramedia. Dan isu ini bukan hal baru. Paling tidak sejak awal tahun 1980-an, Ayat sudah mulai mensosialisaikan penemuan tersebut setelah menerima kopian hasil alih bahasa naskah-naskah dari Aca, koleganya --seorang filolog yang banyak bergelut dalam penelitian naskah-naskah sejarah sunda, yang pertama kali menemukan naskah wangsakerta. Sudah pasti menghebohkan. Banyak yang menyambut gembira, tetapi tidak sedikit yang meragukan. Bahkan ada yang langsung memvonis sebagai naskah palsu.

Pasalnya adalah, karya itu dianggap terlalu maju untuk kondisi saat itu. "Terlalu sejarah", dalam bahasa Ayat. Selain juga ada petunjuk kuat yang mengindikasikan bahwa sang penulis pernah membaca hasil penelitian para sarjana barat, karena yang disajikan seolah dengan tepat membenarkan tesis-tesis mereka. Kedua pasal keberatan itu dibantah oleh Ayat. Katanya, mungkin saja kesadaran itu sudah tumbuh sejak lama. Apalagi dikabarkan bahwa sang Pangeran memang seorang yang "gila sejarah". Dan barangkali mungkin terbalik, bahwa para sarjana baratlah yang pernah membaca naskah terlebih dahulu, baru berteori, karena apa yang disajikan di naskah ternyata lebih lengkap dan detil. Sayangnya pada waktu itu belum dilakukan penelitian ilmiah mengenai umur media yang digunakan untuk menulis, sehingga perdebatan itu tidak bisa diputuskan. Saya kurang tahu apakah sekarang sudah dilaksanakan atau tidak, yang jelas apabila ternyata belum, adalah sebuah hal yang amat memeprihatinkan.

Tetapi lepas dari itu, naskah itu memang menarik. Banyak hal-hal yang mengejutkan terungkap. Misalnya, bahwa pengetahuan bangsa kita tentang zaman purbakala ternyata telah cukup maju. Sudah dilakukan upaya periodisasi sejarah. Dikatakan bahwa pada masa 1 juta - 500 ribu tahun sebelum tarikh Saka, di Jawa dihuni oleh mahluk berwujud manusia setengah kera, yang kemudian punah setelah kalah oleh orang-orang yang datang dari utara.

Selain itu periode sejarah kita pun menjadi lebih awal. Apabila dulu kita diajarkan bahwa sejarah kita berawal sejak abad ke 4 masehi ketika ditemukan prasasti di Kutai, dan seakan-akan mereka muncul dengan tiba-tiba, maka hal tersebut perlu direvisi. Sejarah kita sudah dimulai bahkan sejak abad pertama masehi. Konon pada tahun 130 sudah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang terletak di Jawa Barat bagian barat, dan sudah ramai dengan para pelaut asing yang berniaga. Mozaik-mozaik sejarah yang selama ini seakan tak berhubungan, seperti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilengkapi dan dirangkai oleh naskah.

Yang lebih menarik lagi adalah metode penyusunan naskah. Konon, Wangsakerta perlu mengundang para ahli sejarah dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara tetangga, yang jumlahnya puluhan, selain juga mengirimkan para pembantunya untuk mencari pustaka-pustaka ke berbagai daerah. Untuk membantu penyusunan, beliau membentuk sebuah kepanitiaan, yang disebut Panitia Wangsakerta. Para ahli yang saat itu hadir dibagi kedalam beberapa kelompok kerja yang bertugas menyusun sejarah daerah masing-masing. Hasilnya kemudian diplenokan dalam sebuah loka karya. Lumayan modern. Proses penyusunan seluruh naskah sendiri konon membutuhkan waktu 21 tahun. Sayangnya sebagian besar dari naskah-naskah tersebut kini tak tahu dimana rimbanya.

Mengherankan? Barangkali. Saya sendiri sulit untuk mempercayai bahwa ada juga tokoh masa lalu bangsa kita --bahkan kini, yang memiliki visi sehebat sang pangeran. Tetapi itulah kenyataannya. Seperti yang saya katakan di awal, barangkali kita memang terlalu under estimate pada sejarah kita. Oleh karenanya, kita harus mengoreksi total cara pandang kita terhadap sejarah. Hal itu dapat dimulai dengan mengubah metode pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang hanya identik dengan menghapal angka tahun dan nama tokoh. Karena kesadaran bersejarah anak bangsa sangat penting, agar mereka dapat mencintai bangsa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Seperti kata Bung karno: Jangan sampai kita melupakan sejarah!