: untuk seorang teman yang merindu progresivitas
ORANG Sunda, umumnya, dikenal sebagai bangsa yang toleran dan cenderung tidak menyukai konflik (baca: pengalah).
Dalam menghadapi sebuah perbedaan (konfrontasi), alih-alih melakukan ngotot-ngototan, mereka lebih senang mencari jalan tengah, atau mengalah.
Sambil berusaha menikmati konsekwensi kemengalahan tersebut, dan sering dengan segala pembenaran terhadap keputusannya tersebut.
Dus, bangsa yang "manis, baik hati dan tidak sombong", selain pandai menghibur diri.
Inilah juga yang konon menyebabkan tidak banyaknya muncul pahlawan nasional dari orang Sunda dulu (dibandingkan dengan orang Jawa misalnya). Karena orang Sunda memang tidak menyukai konflik.
Para pemimpin Sunda jaman kolonial, umumnya memilih ber-"baik-baik saja" dengan penjajah, dibanding harus berkonfrontasi.
Alasanya: melawan dengan kekuatan senjata, selain sulit menang, juga pada akhirnya malah akan lebih menyengsarakan rakyat sendiri, karena akan timbul banyak korban.
Oleh karena itu sikap kooperatif (mengalah dan patuh) dirasa lebih baik, sambil berupaya agar tidak terlalu menyengsarakan rakyat.
Konon, pemerintah kolonial dulu memang relatif lebih menyukai bupati-bupati Sunda, dari pada daerah lain, karena mereka pandai memuaskan keinginan pemerintah kolonial.
Mereka pun digaji dengan nominal yang jauh lebih tinggi dibanding bupati-bupati daerah lain. Istimewanya adalah, bupati-bupati Sunda umumnya juga dapat melindungi rakyatnya dari kesengsaraan yang lebih, meskipun di waktu yang sama harus melayani sang penjajah.
Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin Sunda memang pandai dalam menjalankan posisi nengah seperti itu, tanpa harus berpusing-pusing berkonflik.
Pilihan yang rasional sebenarnya, meskipun kadang ditafsirkan sebagai pengecut dan kurang peduli dengan kebebasan dan harga diri.
Kini pun demikian. Masyarakat Sunda jarang terdengar berkonflik.
Di tempat asalnya,
wilayah Pasundan, masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan sopan terhadap pendatang, meskipun kemudian pada akhirnya sang tamu ternyata lebih berhasil memanfaatkan sumber daya dari wilayah tersebut dibanding sang pribumi.
Tidak pernah terjaaadi kecemburuan yang kemudian menimbulkan konflik tajam. Juga di perantauan. Jarang terdengar konflik sosial yang melibatkan orang Sunda.
Pada umumnya mereka diterima dengan baik, karena selain tidak pernah berlaku aneh-aneh, mereka juga dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat.
Hal ini, di satu sisi, tentunya positif saja, terutama dipandang dari kepentingan pemeliharaan stabilitas nasional.
Provinsi Jawa Barat, sebagai tempatnya orang Sunda, relatif selalu aman dan nyaris tanpa gejolak. Bila pun ada, itu disebabkan hal-hal yang memang sangat sensitif, seperti isu agama, yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu yang silam.
Tetapi di sisi lain, apabila kita telaah lebih jauh, hal ini juga ternyata mengimplikasikan sesuatu yang sangat menghawatirkan dan memprihatinkan, terutama berhubungan dengan eksistensi mereka sebagai sebuah (suku) bangsa.
Sering, karena saking toleran dan tidak mau ada konflik -nya, - atau juga cenderung karena minder (?), keadaan menjadi terbalik-balik.
Dalam hubungan bertetangga misalnya, ketika berkomunikasi dengan tetangga yang bukan sunda, apalagi bila tetangga tersebut memiliki tingkatan sosial yang tinggi, orang Sunda akan cenderung menyesuaikan diri dengan gaya dan bahasa mereka, dan bukan memunculkan kharakter sendiri.
Jadi, alih-alih tetangga, yang nota bene pendatanglah, yang menyesuaikan diri, malahan sang pribumi yang berubah terlebih dahulu. Begitu seterusnya.
Walhasil, jadinya pabaliut. Akhirnya tidak jelas mana yang pribumi mana yang tamu. Apalagi ketika pendatang tersebut semakin membanyak, seperti yang terjadi di kota-kota besar.
Orang Sunda, sebagai pribumi, kian terdesak, di segala bidang, baik politik, ekonomi maupun budaya. Jati kasilih ku Junti. Di bidang politik, posisi orang Sunda sebagai "penguasa" di daaerah sendiri makin terancam.
Pengalaman komposisi Sunda non Sunda di DPRD Jawa Barat periode lalu yang berbanding terbalik seperti sering diributkan orang, membuktikannya. Di bidang ekonomi apalagi. Sejak lama, orang sunda terpinggirkan oleh ekspansi para pendatang, yang ternyata memiliki kemampuan dan daya juang yang lebih tinggi.
Yang menyedihkan juga adalah kekalahan di bidang budaya. Orang-orang Sunda perlahan namun pasti semakin tercerabut dari akar budayanya. Banyak dari mereka yang bahkan telah menanggalkan identitas kesundaannya, karena diangap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan begitu, mereka sebenarnya telah memutus rantai identitas yang diwariskan leluhurnya, yang selama berabad-abad telah membuatnya berbeda dari bangsa lain. Dan ini sungguh mnemperihatinkan.
Separah itukah yang terjadi? Barangkali terlalu didramatisir. Namun sulit dipungkiri bahwa kharakter sunda yang "terlalu toleran" dan "cenderung pengalah" tersebut memang telah memberi andil yang besar terhadap inferioritas dan inferiorisme orang sunda seperti yang terjadi saat ini.
Saya jadi teringat sebuah "teori" dari seorang teman yang menyatakan bahwa sebenarnya ada kharakter lain yang pernah menonjol dan dominan pada diri orang-orang Sunda.
Yaitu kharakter yang kuat, tegas dan berani dalam membela hak dan harga diri. Paling tidak, hal itu tercermin dari persitiwa sejarah Pasunda Bubat. Ketika saang Prabu Maharaja Linggabuwanawisesa, beserta pengiringnya, memutuskan untuk melawan dengan gagah berani, dan mati dengan terhormat di medan perang Bubat, ketimbang harus mengaku tunduk kepada kekuasaan dan ambisi sang Gajah Mada.
Tentunya kharakter Sunda yang kuat inilah juga yang telah memungkinkan Kerajaan Sunda waktu itu mampu bertahan, dan mejadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak dapat dijamah oleh bala tentara Majapahit yang terkenal dahsyat.
Yang membuat Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit yang perkasa, menjadi frustasi, sehingga merasa perlu menjalankan siasat licik untuk menggenapkan sumpahnya menguasai seluruh nusantara itu. Karakter kuat inilah yang pastinya kemudian membawa Kerajaan Sunda (Pajajaran, setelah peristiwa itu, mencapai puncak keemasan, sampai paro abad XVI.
Lalu kemana kharakter itu kini? mengapa seakan hilang tak berbekas? Telah berubahkah orang Sunda?
Teman saya tadi mengatakan bahwa huru-hara menjelang runtuhnya kerajaan Pajajaran di tiga perempat akhir abad XVI-lah yang menjadi pangkal penyebabnya.
Perang, telah megabiskan mereka yang memiliki karakter kuat, baik karena gugur di medan perang, maupun yang kemudian mengasingkan diri karena tidak sudi hidup terjajah.
Dan menyisakan hanya mereka yang berkharakter lemah, yang tunduk dan bersedia hidup di bawah kangkangan bangsa lain. Karakter itulah yang kemudian kita warisi, dan terpelihara sampai kini. Kharakter yang kalah dan terjajah.
Pertanyaannya adalah: akankah kita terus menjadi yang kalah dan terjajah?