Selasa, April 27, 2004

Bencana Alam dan Kegamangan Seorang Rimbawan

- Sebuah Catatan dari Bencana Longsor Cililin

BERITA itu sungguh terlalu mengejutkan. Kamis pagi, sewaktu Apel, sebuah kabar duka dipermaklumkan. Malam tadi (21 April 2004), sekitar pukul 21.00, telah terjadi bencana alam tanah longsor wilayah BKPH Cililin. Bisik-bisik pak KTU mengatakan kalau jumlah korban meninggal adalah 15 orang. Innalilahi! Pada kondisi sulit sekarang ini, derita memang seakan tiada bosan berkunjung. Ketika posisi kami masih belum terlepas dari opini publik negatif yang kadung berkembang, sebuah bencana dengan belasan korban jiwa, adalah sebuah pukulan yang terasa terlalu berat. Maka yang terbayang di benak saya saat itu adalah, tekanan di hari-hari kami ke depan akan semakin menyesakkan. Padahal, permasalahan minggu-minggu kemarin pun belum kami tuntaskan dengan baik.

Memang sulit bagi orang yang kadung berpredikat jelek. Semua menjadi serba salah. Serba tak nyaman. Berkaitan dengan bencana alam seperti ini, kami selalu menghadapi dilema. Menyatakan bahwa itu memang diakibatkan oleh hutan yang rusak, tentunya adalah sebuah upaya bunuh diri. Meski diback up oleh argumentasi yang faktuil, bahwa rusaknya hutan adalah akibat interaksi negatif dari masyarakat sekitar, sebagai konsekwensi tidak meratanya kesejahteraan ekonomi dan sosial, ini tidak menolong banyak. Tetap saja, yang mengemuka adalah ketidakmampuan kami dalam mengelola hutan dengan baik, yang menyebabkan masyarakat dengan bebas bisa mengintervensi hutan yang seharusnya terlindungi itu. Atau kebobrokkan oknum-oknum petugas kami yang korup dan kerap tutup mata atas segala yang terjadi. Padahal, di era titik balik ini, ketika yang dulu ditakuti sekarang menjadi takut, ketika dulu penguasa kini dikuasai, ketidakmampuan itu sangatlah dapat dimaklumi. Boro-boro hutan yang tidak dipagar, toko-toko di kota saja bisa kena dijarah. Kami, meminjam istilah seorang teman, kini hanyalah tinggal koboi-koboi yang tak berpeluru, siapa yang akan takut? Dan, ngomong-ngomong, siapa sih di negeri ini yang tidak korup?

Tetapi menyatakan bahwa itu sama sekali tidak disebabkan oleh rusaknya hutan, juga rasanya tidak nyes. Serasa menjilat ludah sendiri. Sudah jelas, ketika kami melakukan penyuluhan di desa-desa, itulah yang selalu kami jadikan tema. Bahwa apabila hutan gundul, akan terjadi longsor dan banjir. Bahwa untuk mencegah itu masyarakat hendaknya tidak mencuri kayu atau merambah hutan. Bahwa masyarakat juga harus ikut menjaga hutan, dsb. Nah ketika sekarang kebuktian, kok malah kami sendiri yang buru-buru menyangkalnya: bahwa bencana itu bukan disebabkan kondisi hutannya, tetapi semata-mata oleh hujan yang teramat deras, atau tanahnya yang labil. Kan lucu.

Tetapi, bagaimana lagi? Menghadapi hal semacam tadi kami memang selalu terposisikan bersikap ambivalen seperti itu. Sebuah hal yang wajar, karena ketika seseorang terpojokkan, maka yang terlintas pertama kali adalah upaya menyelamatkan diri. Apalagi dengan pengalaman buruk kami di Mandalawangi Garut beberapa waktu yang lalu, yang membuat kami harus membayar ganti rugi bermilyar-milyar rupiah, sebuah jumlah yang tidak sedikit di saat kondisi keuangan perusahaan yang kembang kempis seperti sekarang ini. Kami menjadi sedikit traumatik. Maka sangat logis bila yang pertama-tama kami lakukan adalah mencari jalan selamat. Toh, bukan hanya kami yang melakukannya.

Namun tentu saja tidak hanya itu yang kami lakukan. Kami sadar sepenuhnya, tidak ada masalah yang selesai hanya dengan tuding menuding dan saling cari jalan selamat. Tiada sedikit pun maksud kami untuk cuci tangan. Kami maklum bahwa segala argumentasi dan dalih yang kami ajukan, tidak akan menutupi kenyataan bahwa kondisi hutan yang kami kelola memang tidak bagus. Dan itu tentunya sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi lingkungan yang ada, termasuk bencana kemarin, dan juga bencana-bencana sebelumnya. Itu harus kami akui dengan fair. Anda benar, kami harus ikut bertanggung jawab. Ini terlepas dari faktor yang menjadi penyebab utama sebenarnya bencana longsor kemarin, menurut hasil penelitian yang nanti akan dilakukan.

Cuma saja, seperti juga yang lain, kami pun tidak ingin memikul beban itu sendirian. Seakan-akan kamilah yang telah membunuhi, dan memang bermaksud membunuhi, belasan orang-orang itu, dan menafikkan sama sekali upaya-upaya yang sudah kami lakukan. Yang kami harapkan adalah penilaian yang juga fair. Karena sedikit banyak, mesti diakui kami telah berusaha. Bahwa tetap saja terjadi bencana, itu tentu saja di luar kemampuan kami. Dan percayalah kami pun tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Semua tahu. Bahwa mengurus hutan, kini, bukanlah semata berhubungan dengan hal ihwal tanam menanam atau tebang-menebang, tetapi juga sangat berkait-kelindan dengan masalah-masalah lain yang lebih pelik dan mendasar, dari politik, ekonomi sampai sosial. Dan itu tidak mudah. Bayangkan, untuk mengelola hutan dengan baik di zaman ini, setiap dari kami dituntut bisa berlaku seperti seorang Menko Polsoskam (jabatan SBY dulu), Menko Kesra dan Menhut-nya sekaligus. Mana bisa, kalau sendirian? Padahal kondisi kami sekarang sedang tidak baik. Babak belur malah, dan terus terang saja, kami belum terlatih untuk menghadapi persoalan-persoalan seperti itu dengan elegan. Kami membutuhkan banyak teman dan pengalaman.

Seberat itukah pergulatan yang terjadi? Barangkali tidak sedramatis yang saya lukiskan. Di banyak tempat toh kami telah melakukannya dengan baik, meski mungkin belum seideal yang diharapkan. Yang jelas, harapan akan terciptanya masa depan lingkungan yang lebih baik, di sana, mudah-mudahan bukan lagi hanya impian. Kami bersama-sama telah mencoba merintisnya.

Tetapi bekerja di tengah cibiran orang memang tidak mengenakkan. Seakan-akan apa yang telah kami lakukan tidak ada artinya sama sekali. Bila tidak arif-arif menyikapinya, salah-salah bisa frustasi. Alih-alih terjadi inovasi atau revitalisasi, yang muncul malah apatisme. Kan susah.

Namun barangkali ini adalah salah satu fase kehidupan yang memang harus dilalui. Kami telah mengalami zaman keemasan di masa lalu, yang sayangnya, tidak sempat saya alami. Dan kini, sudah saatnya kami memasuki masa sulit, masa berjuang.

Salah sendiri lahir belakangan!

: turut berduka cita bagi para korban, semoga tabah bagi yang ditinggalkan.

Sabtu, April 10, 2004

A j i p

TIDAK banyak orang seperti Ajip (Rosidi). Bukan hanya karena karya-karya dan prestasinya yang cemerlang dan mengagumkan, serta pergaulannya yang luas baik di dalam dan luar negeri, tetapi terutama juga pada label identitas yang selalu melekat pada dirinya: Ajip adalah seorang Sunda.

Dan Ajip adalah prototipe manusia Sunda yang sangat langka. Langka, karena pada dirinya menyatu dua ciri yang biasanya jarang bisa sekaligus dimiliki oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Dia adalah seorang yang memiliki prestasi besar dengan pergaulan yang luas, baik di nasional maupun internasional, tetapi posisinya itu tidak membuatnya berpaling dari identitas keetnisannya. Bahkan, dia mempunyai kedudukan yang sangat penting pada perkembangan kebudayaan Sunda.

Ada banyak orang Sunda yang berprestasi besar, sehingga mengangkatnya ke pergaulan nasional atau internasional, tetapi jarang yang "berani" dan "tega" menunjukkan label kesundaannya, secara konsisten dan konsekwen, pada dirinya maupun pada keluarganya. Seorang Sunda yang berkenalan dan hidup di lingkungan pergaulan nasional atau internasional biasanya cenderung mengubah diri, dan keluarganya --bermetamorfosa, dari "Manusia Sunda" menjadi "Manusia Indonesia" atau "Manusia Dunia". Kesundaan menjadi masa lalu baginya. Atau paling pol, dia masih merasa Sunda, tetapi tak pernah berkeinginan menurunkan identitas tersebut kepada keluarganya. Padahal kita tahu, seorang Sunda, sudah pasti Indonesia dan Dunia, tetapi tidak sebaliknya. Pada kondisi tersebut, maka pada hakekatnya kesundaannya berhenti atau hilang, karena identitas tersebut tidak pernah disadari atau dipraktiskannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka saya heran, dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, orang semacam Paramitha Rushadi, yang teu bisa ngomong sunda-sunda acan, misalnya, masih disebut sebagai orang Sunda.

Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berkiprah dan berpengaruh dalam kesundaan jarang yang memiliki pergaulan yang mengglobal. Bahkan yang menasional pun bisa dihitung dengan jari. Jangkauan dan pengaruhnya sebatas pada komunitas lokal Sunda saja. Itu pun bagi yang masih setia memperhatikannya.

Jarang ada orang Sunda yang memiliki kedua predikat itu sekaligus. Seakan-akan pilihannya cuma satu. Mengglobal dan berhenti jadi orang Sunda, atau jadi orang sunda, dan jangan bermimpi bisa mengglobal.

Tetapi pada diri Ajip gejala tersebut tersebut tidak berlaku sama sekali. Pergaulannya dengan "dunia lain", tidak menggoyahkan kecintaannya kepada kesundaan. Prestasi besarnya tidak membuat dia memutuskan untuk bermetamorposa. Bahkan posisinya tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk mengembangkan budaya leluhurnya tersebut dalam arti sebenar-benarnya. Ajip bukan hanya selalu berusaha menampilkan kesundaannya di ranah komunitas "dunia lain" tersebut, tetapi juga melakukan upaya-upaya yang nyata yang dibarengi dengan kesadaran dan dedikasi yang seutuhnya untuk mendorong perkembangan budaya leluhurnya itu. Hal yang kemudian mendudukannya ke dalam posisi yang sangat penting dalam perkembangan budaya dan sastra Sunda. Kalau dibuat pebandingan, kira-kira posisinya hampir serupa dengan Jasin dalam jagad kesusastraan Indonesia. Bahkan sebenarnya cakupan Ajip lebih luas, karena bukan hanya pada kesusastraan.

Bukti kecintaan tersebut sangat jelas. Selain banyak menulis dalam bahasa Sunda, dia juga sangat memperhatikan perkembangan sastra Sunda. Ajip nampaknya memposisikan diri sebagai "pengawal" perkembangan sastra Sunda, yang memang sangat memerlukan kehadirannya. Dan dalam melakukan ini Ajip tidak pernah setengah-setengah. Integritas dan ketelitiannya sulit dicari tandingannya. Posisi dan integritasnya inilah yang kemudian mengingatkan kita kepada peran Jasin dalam kesusastraan Indonesia.

Ajip juga berupaya dan berfikir keras untuk membangun atmosfer yang mendukung perkembangan sastra sunda. Sejak tahun 1989, atas prakarsanya sendiri, dia memberi Hadiah Sastra Rancage, sebagai upaya untuk merangsang para pengarang sunda untuk berkarya, sekaligus juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadapnya. Bahkan selanjutnya penghargaan tersebut juga diberikan kepada kebudayaan daerah lain yaitu Jawa dan Bali. Suatu hal yang sangat luar biasa sebenarnya, karena Ajip-lah (baca: orang Sunda) yang pertama-tama melakukan hal tersebut di nusantara ini, di tengah ketidakkacuhan pemerintah daerahnya masing-masing.

Meski kemudian lama bermukim di luar negeri, itu tidak menyebabkan kiprahnya terhenti. Perhatiannya terhadap kesundaan tidak pernah berkurang. Karya-karyanya tetap merul. Bahkan seperti yang dikatakannya hidup di luar negeri memberikannya banyak kesempatan untuk menulis. Dus, kecintaan Ajip terhadap kesundaan tidak perlu dipertanyakan lagi. Seakan-akan kesundaan adalah tujuan hidupnya.

Tetapi kecintaannya tersebut tidak membuatnya menahan diri untuk bersikap kritis. Bahkan justru dilandasi rasa cinta dan tanggung jawabnya yang besar itulah, maka kemudian dia menjadi sangat kritis. Ajip dikenal kerap melontarkan kritik pada setiap hal, dan pada siapa pun, yang menurutnya perlu dikoreksi. Ajip sadar bahwa selain kuantitas, kualitas sangat penting dalam perkembangan kesundaan, karena kualitas menentukan postur, yang pada gilirannya akan mempengaruhi apresiasi orang terhadapnya. Dan untuk memelihara kualitas tersebut, kritik adalah sesuatu hal yang wajib.

Ajiplah yang pertama kali memperkenalkan seni kritik dalam jagat sastra sunda. Meski kritik adalah suatu hal yang lumrah dan perlu dalam dunia sastra, tetapi dalam prakteknya hal tersebut tidak langsung diterima dengan baik. Kita masih ingat, di tahun 50-an, ketika Ajip mulai mengungkapkan kritik-kritiknya, dia banyak menuai tentangan, terutama dari golongan tua, yang memang banyak menjadi sasaran kritiknya. Nampaknya, hal itu disebabkan masih kuatnya budaya unggah-ungguh dalam budaya Sunda. Mengkritik orang yang lebih tua apalagi tokoh, masih dianggap kurang ajar, cucungah.

Tetapi barangkali juga hal itu disebabkan oleh gaya bahasa Ajip yang memang sangat lugas dan cenderung sarkastik. Bagi yang pernah membaca bukunya yang berjudul Beber Layar, yang berisi kumpulan kritiknya dalam bahasa Sunda, akan dengan cepat akan merasakan bahwa "serangan-serangan" Ajip memang nyelekit dan tanpa tedeng aling-aling. Boro-boro malapah gedang. Dan diakui atau tidak, itulah yang yang menjadi ciri khas Ajip. Nampaknya hal ini dipengaruhi oleh watak egaliternya, yang menurutnya adalah watak asli orang Sunda. Di setiap kesempatan Ajip selalu mengatakan bahwa Undak Usuk Basa, yang membedakan bahasa menurut tingkatan, adalah bukan budaya asli Sunda, tetapi itu adalah warisan Mataram.

Maka tak heran apabila beberapa hari kemarin muncul tanggapan kritisnya tentang buku Sejarah Tatar Sunda (STS) jilid I dan II di Pikiran Rakyat dalam versi Indonesia dan Mangle dalam versi Sunda. Dan tulisannya itu masih sangat ber-khas Ajip: keras, tanpa basa-basi dan detil. Karuan saja ini sempat menyebabkan Nina Lubis dan kawan-kawan yang menulisnya blingsatan. Meski dalam berbagai pernyataannya Nina selalu menegaskan bahwa dia, dan kawan-kawannya, tidak merasa tersinggung dan bahkan mengucapkan terima kasih atas kritik tersebut, tetap saja itu tidak menyembunyikan rasa tidak nyamannya atas tulisan Ajip.

Ketidak nyamanan yang sebenarnya dapat dimengerti. (Juga) Berangkat dari kecintaan dan rasa tanggungjawabnya terhadap kesundaan-lah, maka Nina dan kawan-kawan, kemudian berpayah-payah menyusun buku tersebut. Dan tentunya kerja itu bukan sesuatu yang gampang, dan gratis, tetapi membutuhkan upaya yang keras baik tenaga maupun fikiran. Maka setelah kini semua telah terwujud, mereka berharap hasil kerja kerasnya tersebut akan diterima dan dihargai oleh semua pihak. Dan kritik keras semacam dari Ajip nampaknya tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.

Untungnya Nina dan kawan-kawannya bukanlah orang belikan. Kritik tersebut mereka terima dan respons dengan baik. Konon dalam cetakan terbaru, akan dilakukan perbaikan sesuai dengan koreksi dari Ajip.

Tetapi lepas dari itu, kita sesungguhnya mesti berbahagia bahwa semangat dan vitalitas Ajip terbukti masih tinggi. Di usianya yang kini sudah tidak muda lagi, Ajip masih produktif berkarya untuk kesundaan. Dan kiprah Ajip memang masih sangat diperlukan bagi perkembangan kesundaan, yang nampaknya sudah mulai bangun kembali, meski masih tertatih ini. Kemarin, Ajip juga berhasil menghimpun orang-orang Sunda yang berhasil menjadi "orang" dalam Apa Siapa Orang Sunda, yang tentunya ditujukan untuk membangun kepercayaan diri orang-orang Sunda pada umumnya, meski untuk beberapa tokoh saya masih merasa banyak yang dipaksakan masuk.

Semangat dan vitalitasnya tersebut, terus terang saja, membuat generasi muda Sunda seperti saya, menjadi merasa sangat malu.

Rabu, April 07, 2004

Saya Tidak Ikut Pemilu

Kemarin, saya tidak ikut Pemilu. Ya. Ketika orang lain berpesta lima taunan itu, saya tidak ikut. Maka jangan heran, di jari tangan kiriku itu kau tak akan melihat bekas tinta penciri yang udah nyoblos. Karena, ya.. saya memang tidak nyoblos.

Saya golput? Tunggu dulu, jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kau tahu, saya bukan seorang idealis tulen, sehingga memutuskan untuk tidak memilih karena merasa tidak ada partai yang memenuhi kriteria. Saya seorang yang sangat realistik (super reralistik malah, orang kadang menanggapku seorang pesimistik). Saya juga bukan termasuk orang yang kecewa terhadap kondisi yang ada. Saya belum apatis dengan nasib negeri ini. Meski diakui banyak kekurangannya, saya masih bisa memaklumi kesulitan-kesulitan yang ada.

Saya tidak memilih semata-mata hanya alasan teknis dan sifat jelek. Ya, hanya itu, tidak ada yang lain. Masalahnya berhubungan dengan statusku sebagai anak kos yang tidak akan lama tinggal di suatu tempat. Ketika dulu petugas RT mendata, saya masih tinggal di Cibiru, sekitar 15 kilo meter dari tempatku tinggal sekarang. Lumayan, menghabiskan waktu sekitar satu jam menuju ke sana. Jadi, ketika orang-orang menerima surat pemberitahuan memilih, saya sendirian tidak dapat. Dan sumpah, saya tidak tahu harus berbuat apa. Maksudnya, bagaimana prosedur untuk orang sepertiku. Kau tahu, KTP-ku dulu juga kan bikinnya nembak, 300 ribu. Tentu saja bukan alamatku yang tertera di sana. Jadi saya kebayang akan banyak urusan bila mencoba hal tersebut.

Tapi sebenarnya, itu hanya disebabkan sifat jelekku saja. Pemalas. Sebenarnya saya bisa saja menanyakannya pada mereka yang berkompeten, atau menyempatkan diri pergi ke Cibiru barang sebentar. Barangkali urusannya pun tidak akan serumit yang saya kira.

Akhirnya di tanggal 5 itu saya tidak pergi ke TPS, yang padahal hanya berjarak 20 meter dari tempat kosku. Ketika berjalan menuju Rumah Makan Padang di seberang jalan, saya melihat banyak orang berkumpul di sana. Tentu saja yang mengantri nyoblos, yang nongton, serta petugas PPSnya sendiri. Dan melakukan sesuatu yang tidak umum, kadang memang risih juga. Seperti yang saya alami hari itu. Kau tahu, satiap bertemu dengan seseorang, di hari itu, hal pertama yang saya lihat adalah jari tangan kirinya. Kadang-kadang berharap ada juga yang tidak memilih seperti saya, biar ada teman.

Yang lebih aneh besoknya, ketika kembali masuk kantor. Memang ternyata bukan hanya saya yang tidak memilih, dengan alasannya masing-masing tentunya. Tetapi ada hal lain yang dirasakan ketika terlibat pembicaraan tentang Pemilu. Perasaan, yang tidak bisa saya gambarkan dengan mudah. Sedih, tidak. Menyesal, tidak. Berdosa, juga tidak. Saya juga tidak berbangga, seperti seorang teman lain yang juga tidak memilih. Tetapi tidak merasakan apa-apa juga tidak. Barangklali perasaan itu sama dengan perasaan ketika kau diajak pesta yang tidak terlalu kau suka oleh seseorang, dan esoknya temanmu itu menceritakan betapa pesta itu sangat menyenangkan. Ya pokoknya gitu lah, biar cepet.

Yang pasti, di hari pencoblosan itu saya sulit mencari makan siang.

Rabu, Maret 24, 2004

Cerita Dari Masa Silam

ADA banyak hal yang tidak kita ketahui, yang diakibatkan keterbatasan kita sebagai manusia. Keterbatasan ruang dan waktu. Meski kini teknologi sudah sedemikian maju, tetapi tetap saja interaksi dari dunia luar dengan kita, hanya dapat melalui indera yang lima itu. Tanpa keadaan yang istimewa, kita tidak bisa mengetahui apa yang tidak kita respon melaluinya.

Tetapi sebagian dari kita sebenarnya mampu, atau diberi kemampuan, untuk menerobos batas-batas itu. Saya ingat kakek pernah bercerita bahwa semasa muda beliau dapat untuk mengetahui hal-hal yang terjadi jauh di tempat dia berada, serta meramal apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Hal tersebut dapat dilakukan setelah beliau melakoni semacam lelaku selama sepuluh tahun. Kita lazim menyebutnya sebagai elmu (ilmu). Ketika saya tanya, bagaimana cara beliau mengetahuinya, dia menjawab, "Kau lihat TV itu?, kakek bisa melihatnya sebagaimana kau melihat gambar yang ada di televisi itu". Tapi itu dulu. Kini kakekku sudah tua. Umurnya hampir 80 tahun. Dan ia tidak lagi memiliki kemampuan tersebut. "Sudah dicabut oleh Mama Guru, bertahun-tahun yang lalu", katanya. Saya yakin kakek saya tidak sedang membual.

Barangkali ini sulit dipercaya. Tapi harus diakui, bahwa hal-hal gaib atau metafisika memang mungkin ada. Bahkan konon filsuf sekelas Nietszche pun tidak menafikannya. Kata filsuf atheis itu, "Dunia metafisika itu barangkali memang ada. Kehadirannya sulit untuk dibantah. Tapi kemampuan kita untuk memahaminya tidak mencukupi. Mungkin bahkan dunia itu memiliki kasualitas-kasualitas yang negatif, sehingga pengetahuan kita terhadapnya tidak berguna sama sekali. Sama tidak bergunanya seperti pengetahuan rumus-rumus kimia air bagi nahkoda yang kapalnya hendak tengelam.". Dalam agama pun kita diajarkan tentang hal-hal gaib. Tentang surga, neraka, malaikat, syaitan, jin, bidadari dan bahkan Tuhan sendiri. Kesemuanya adalah hal-hal gaib, yang mesti diimani. Dus, dunia ini memang ada, meski mungkin tidak semua dari kita bisa memasukinya.

Dan hal-hal gaib selalu menarik untuk disibak. Tidak heran di Televisi kini marak tayangan yang menampilkan hal tersebut. Konon ratingnya sangat tinggi. Ada yang bilang ini merupakan gejala pelarian dari masyarakatnya atas kesulitan hidup yang dihadapi. Ketika logika sudah tidak lagi bisa menjawab, maka dunia metafisik menjadi jalan pelarian.

Barangkali memang begitu, tapi lepas dari hal-hal demikian saya ingin menceritakan apa yang beberapa hari kemarin dialami.

Seorang teman kebetulan datang dari Jakarta. Dia adalah seseorang dari sebagian kecil orang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia gaib tersebut. Dia bisa menghadirkan tokoh-tokoh di masa lalu untuk diajak berkomunikasi tentang apa saja. Dulu kami pernah melakukannya sekali. Dan kini saya ingin mengulanginya. Sebagai teman berbagi rasa takut, saya ajak Trisna untuk menemani saya melakukannya.

Temanku itu memulainya sekitar pukul 10 malam. Sambil duduk di atas ranjang, sementara kami berdua di bawah, dia mulai melakukan ritualnya. Bersila. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Kedua tangannya disimpan di masing-masing pahanya. Nampaknya dia sedang berkonsentrasi. Beberapa kejap kemudian, yang diundang pun hadirlah. Tangan temanku mulai bergerak, sedikit kaku. Matanya tetap terpejam, tapi kepalanya mulai terangkat. Mulutnya runya-renyu, dan roman mukanya menampilkan berbagai ekspresi yang tidak jelas. Setelah tangannya melakukan beberapa gerakan seperti tarian, dia kembali pada posisi seperti semula. Kedua tangan disimpan di di kedua pahanya, dengan gaya seorang raja masa lalu. Tiba-tiba tangan kanannya terangkat dan menujuk ke arah kami, dan mulutnya merapal sesuatu yang tidak saya kenal. Mungkin semacam salam. Suaranya gemuruh, seakan keluar dari kerongkongan. Kami degdegan juga. "Aya naon?", katanya.

Oya, saya belum mengatakan siapa yang saya undang. Kau tahu, saya sangat suka sejarah, terutama sejarah Sunda. Maka yang diundang adalah tokoh legendaris di Sunda: Prabu Siliwangi. Raja Pajajaran terbesar. Tetapi rupanya yang datang kali ini bukan beliau, tetapi wakilnya. Dia memperkenalkan diri sebagai Sapujagat. Ketika saya tanyakan lebih lanjut, itu adalah jabatan setingkat Patih. Sang Prabu, katanya, sedang ada kepentingan terlebih dahulu, dan akan datang menyusul.

Sang Sapujagat pada jaman dulunya konon adalah penguasa daerah tersebut. Dia menyebutnya Kuta Kancana, yang termasuk ke dalam kerajaan Galuh. Disebutkannya juga beberapa kerajaan lain yang ada, seperti Pajajaran, Lumajang, Sindangkasih, Saunggalah dll. Dia menjawab seluruh yang kami tanyakan, walau terkadang pertanyaan tersebut harus diperjelas, karena ternyata tidak semua kata-kata yang kami ucapkan dimengertinya.

Saya banyak bertanya, sementara Trisna hanya sesekali.

Banyak hal yang kami obrolkan, tentang sejarah, tentang kehidupan masa lalu, tentang kerajaan-kerajaan dan lokasinya, tentang unsur budaya seperti pakaian dan keraton, juga tentang kesaktian. Iseng-iseng saya bertanya, "Eyang, tolong ramalkan jodoh saya dong?". Dia ternyata ketawa, sambil berkata, "Manusia memang tidak akan lepas dari jodoh". "Jodohmu berasal dari kota anu, kini ada di sebelah sana (sambil nujuk ke kejauhan), namanya anu, cirinya anu", lanjutnya. Ketika saya tanya lebih lanjut, dia menolak, katanya "Maaf nak, saya tidak diberi ijin untuk itu". (???). Si Trisna penasaran, "Kalo saya eyang?" "Sia mah enggeus boga", jawabnya tegas. Trisna memang sudah punya anak dua.

Setelah hampir tiga perempat jam bercerita, tiba-tiba dia mohon pamit. "Tugas saya sudah selesai, tunggu akan ada yang datang lagi" katanya. Kemudian teman saya tadi diam menunduk. Sama seperti keadatangan yang pertama tadi, setelah beberapa saat, ada tamu yang datang lagi. Suaranya lebih gemuruh dan lebih berwibawa. Dengan gaya duduk seorang raja, dia bertanya "Aya naon? "

Ternyata yang datang adalah Prabu Siliwangi, yang kami tunggu. Sudah lama sebenarnya saya ingin mencocokkan yang kami ketahui dari buku sejarah tentang beliau. Dan hari itu memang saya mendapatkan sesuatu yang berbeda. Pertama tentang siapa itu Siliwangi. Umum disepakati oleh para sejarawan, Siliwangi identik dengan Sribaduga Maharaja yang sewaktu muda bernama Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dan cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana. Padahal menurut yang kami undang, Siliwangi adalah Prabu Surawisesa atau putra dari Prabu Jayadewata yang membuat prasasti batu tulis di Bogor, yang berkuasa di tahun 1522-1534.

Di tanah Sunda memang banyak berkembang cerita rakyat tentang raja ini, yang menceritakan perjalanannya ketika lari dikejar-kejar sang anak bernama Kean Santang, yang akan mengislamkannya. Dalam akhir perjalanannya, beliau ngahiang atau tilem (menghilang). Tilemnya Prabu Siliwangi, juga diikuti oleh seluruh kerajaan dan pengikut-pengikutnya. Dalam kitab Waruga Jagat yang ditulis sekitar abad XVII, diceritakan tentang Wangsit Siliwangi, yang menuturkan pesan terakhir sang Raja yang mengharukan di hadapan pengikut-pengikutnya. Kini, di berbagai tempat muncul petilasan-petilasannya, dengan berbagai versi tentunya.

Hal ini sangat berbeda dengan sejarah formal yang banyak didasarkan pada kitab Carita Parahiyangan, sebuah naskah kuno yang ditulis sekitar keruntuhan kerajaan Pajajaran (abad XVI) menyatakan bahwa setelah Prabu Surawisesa wafat, masih terdapat beberapa raja, yang meskipun sudah sangat lemah, masih memiliki kekuasaan sebelum akhirnya ditembus pasukan Banten, di akhir abad ke enam belas.

Seakan menguatkan cerita tutur, Sang Prabu meceritakan bagaimana kekalahannya di beberapa peperangan melawan "tentara bodas" dari Demak (Selam/Islam) yang jumlahnya demikian banyak, sehingga akhirnya dia harus lari sampai ke daerah pantai utara. Dan sesampainya di tepi laut, dia mendapatkan petunjuk untuk melompat ke dalam. Sampai saat ini menurutnya, beliau masih masih hidup, dan menjadi raja di sana. Ketika Trisna bertanya tentang hubungan dengan Nyi Roro Kidul, beliau menjawab dengan sebuah ajakan, "kalau kau percaya, mari ikut aku ke sana, akan kutunjukan dia, dia adalah putriku" katanya. Hii, ngeri.

Banyak lagi yang diceritakan, yang menurutnya semua sudah menjadi kehendak hyang widhi. Benarkah apa yang diceritakan? Entahlah. Yang jelas saya melihat masih terdapat sifat-sifat manusia padanya. Seperti tiba-tiba lupa, atau berfikir sejenak ketika saya bertanya tentang sesuatu hal.

Tetapi kemudian, ketika kami sudah kehabisan bahan pertanyaan, dia menunjuk ke arahku. "Aku tahu apa yang sedang kau fikirkan saat ini" katanya. Aku kaget, spontan bertanya, "Apa coba?". Ajaib, dia mengetahui benar apa yang memang hari-hari ini berada dalam fikiranku (terus terang hal tersebut merupakan hal yang sangat rahasia, bahkan kedua temanku pun tak mengetahuinya sama sekali). Nah, lo!.

Di akhir, setelah kami mengatakan tidak ada lagi yang akan kami tanyakan, dia pamit. Namun sebelum pulang, sekali lagi dia menunjuk ke arahku. "Aku pamit sekarang, namun pada suatu hari nanti, aku akan datang lagi kepadamu, untuk memberikan sesuatu barang yang sangat penting. Kau tahu, di sini, hanya kau yang memiliki trah kerajaan meski sedikit" katanya. Walah...!

Pukul setengah duabelas, pertunjukan selesai. Trisna langsung pulang. Sedang temanku dari jakarta itu menginap di kamarku.

Malam itu saya tidak bisa tidur.

Rabu, Maret 03, 2004

Kekhasan dan Kehormatan

--Untuk Saudaraku, yang merisaukan aku

APAKAH yang dapat menyejukkan kerisauan hati, selain sebuah nasihat tulus seorang sahabat? Maka dari itu Bagja, saya merasa beruntung bahwa di hari ini saya telah mendapatkannya darimu. Terimakasih. Kau memang selalu tampil menjadi sahabat dalam arti sebenar-benarnya.

Dari dulu saya selalu kagum padamu. Pada keluasan pengetahuanmu. Pada kearifan pikiranmu. Pada keberanianmu berpikir bebas. Dan terutama, pada kemampuanmu mengungkapkan hal-hal tersebut dalam rangkaian kata-kata yang indah dan mengesankan. Maka Ja, saya sangat tersanjung, ketika kau menyajikan kerisauan hatiku sebagai topik dalam blogmu yang kukunjungi setiap minggu itu. Saya merasa kembali mendapatkan teman berdialektika yang telah lama hilang.

Dan saya memang sedang risau, sobat. Kau tahu, kerisauan ini muncul bukan baru kali ini, tetapi sejak lama, bahkan jauh sebelum kita bertemu. Barangkali hanya sebuah kerisauan khas anak muda yang merasa eksistensinya terancam. Meskipun yang terjadi padaku adalah varian yang nampaknya jarang ditemui.

Bagja, kau benar ketika mengatakan bahwa barangkali bahkan orang Sunda sendiri pada mulanya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai Sunda. Mungkin itu memang hanya pada mulanya sebutan orang saja. Sebutan yang tentunya tidak muncul tanpa sebab. Suatu komunitas memiliki identitas ketika dia memiliki kekhasan. Dan kekhasan hanya bisa dilihat ketika kita membandingkannya dengan komunitas lain. Maka lahirlah bangsa dan suku.

Kita tahu bahwa kekhasan yang memberikan identitas tersebut tidak hanya kita dapatkan dari ciri-ciri fisik, seperti warna kulit dan ukuran hidung, tetapi juga terutama pada daya kreatif mereka untuk tetap hidup (survive) dan berkembang (grow), yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sejarah yang menunjang kehidupannya. Dan kita menyebutnya sebagai Budaya, paling tidak Koentjaraningrat pernah mendefinisikannya demikian. Dus, selain ciri fisik, sebuah bangsa atau suku dibedakan terutama oleh kekhasan budayanya. Ketika dia tidak lagi memiliki budaya yang khas maka hilanglah identitasnya. Ciri fisik saja tidak menentukan. Makanya di awal tulisan kemarin saya menegaskan bahwa saya tidak berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi sebuah entitas budaya.

Inilah yang selama ini saya risaukan: hilangnya kekhasan budaya Sunda, yang juga berarti hilangnya identitas itu. Sedang Sunda telah kadung menjadi salah satu bagian identitasku. Saya menganggap kesundaanku sebagai identitas utama, yang sudah sepatutnya selalu saya tampilkan. Sunda adalah kehormatan dan harga diriku (pikiran nakalku kadang mengatakan bahwa bahkan saya Islam pun mungkin karena saya seorang Sunda). Dan gejala hilangnya kekhasan tersebut nyata sekali sedang terjadi. Parameter yang paling mudah dilihat tentunya adalah bahasa. Sedang bahasa adalah rohnya budaya.

Tapi bukankah budaya itu senantiasa berubah? Bukankah ketika budaya berubah, maka identitas yang dibawanya akan pula berubah? Jadi haruskah kita mempertahankan hal yang sebenarnya pasti berubah? Dalam Dangiang Edisi I (1999), Prof Saini KM membantu kita menjawabnya. Menurutnya, merujuk kepada Koentjaraningrat tadi, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi identitas sebuah kebudayaan: Kreativitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dengan tepat, ruang atau interaksi ragawi dan jiwani antara komunitas dan lingkungan pendukungnya, serta waktu atau sejarahnya.

Maka lanjut Saini, identitas kesundaan bisa hilang apabila pada orang sunda sekarang ketiga hal tadi hilang, yaitu hilangnya kreativitas, atau hilangnya kemampuannya orang Sunda untuk mengatasi permasalahannya secara tepat, atau hilangnya interaksi ragawi dan jiwani antara orang Sunda dengan lingkungannya akibat bencana alam dan sejenisnya, atau manakala orang Sunda hilang kesadaran akan sejarahnya. Identitas budaya Sunda, simpulnya, ada pada benang merah kemiripan antara sosok budaya dari generasi paling tua Sunda dengan generasi paling mutakhir yang hidup dewasa ini. Dus, meskipun budaya senantiasa berubah, identitas tersebut sangat mungkin untuk dapat dipertahankan dengan batasan-batasan tertentu. Tapi Ja, kesundaan juga sangat mungkin untuk punah, seperti punahnya dinosaurus. Konsepsi ini mungkin agak sulit dipahami. Yang jelas, kembali kepada pendapat diawal, saya berpendapat bahwa rohnya budaya adalah bahasa. Selama bahasa Sunda masih dipergunakan, maka budaya sunda masih ada. Dan sebaliknya.

Permasalahannya tentunya kembali kepada orang sunda sendiri. Apakah dia sepakat untuk mempertahankan identitas kesundaannya atau tidak. Bila ya, maka harus dilakukan upaya-upaya penyelamatan, dan bila tidak, ya diam saja. Atau dorong sekalian. Dan kau tahu, saya telah memproklamirkan diri menjadi yang terdepan pada pilihan pertama. Ini, seperti yang pernah saya katakan, didasarkan kepada kesadaran bahwa dalam hidup kita tidak hanya membutuhkan satu identitas. Saya rindu keberagaman. Selain juga masalah kehormatan dan harga diri.

Untuk itu saya kemudian melemparkan isu Menampilkan Sunda dengan Lebih Terhormat di PR beberapa waktu lalu, justru karena melihat bahwa, Sunda kini telah berlaku hanya sebagai "pelengkap perayaan atau obyek nostalgia orang-orang romantik" atau dalam istilahmu "terhenti sebatas panggung". Bukan sebagai identitas diri yang sepatutnya ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebagai sumber inspirasi dalam mengungkapkan kreativitas. Bukan sebagai budaya orang Sunda lagi.

Kini memang masih terjadi di kota, yang kau sebut sebagai lanskap besar yang selalu menampilkan kesunyian dan keterpencilan dari identitas asalnya. Tetapi sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun, atau seabad yang akan datang, ketika semua sudah menjadi "kota" atau jarak kota dan desa sudah sedemikian tipis, saya khawatir bahwa orang Sunda hanyalah terdiri dari komunitas aneh yang hidup terpencil di gunung-gunung. Orang Sunda hanya dikenal sebagai bangsa kelas pembantu dan gelandangan di sudut-sudut kota. Orang Sunda adalah bangsa yang kalah (dalam pandanganku, Kota adalah lanskap kekalahan bagi orang-orang Sunda).

Jadi Ja, obsesiku sebenarnya sederhana saja. Yaitu bagaimana bahasa Sunda digunakan orang sebanyak-banyaknya dan dalam rentang waktu selama-lamanya (saya pun merasa aneh kenapa kita tidak memakai bahasa Sunda di sini). Dan itu hanya akan terjadi apabila Sunda disadari sebagai sebuah identitas diri (yang membanggakan) dan sebagai sumber inspirasi dalam berkreasi (kau benar, saya harus tertantang). Sunda pun harus termodernisasi, dengan arah yang tetap mempertahankan kekhasannya. Kitalah yang harus mengarahkannya.

Dan untuk mengarahkan itulah kita membutuhkan ekslusifitas, gaya, dan bungkus, selain tentu saja isinya.

Barangkali ini akan mengecewakan bagi orang-orang romantik sepertimu. Tapi sayangnya ini harus dilakukan, bila kita masih ingin melihat Sunda hidup, atau paling tidak, mengenangnya sebagai sebuah (suku) bangsa yang bermartabat.