- Sebuah Catatan dari Bencana Longsor Cililin
BERITA itu sungguh terlalu mengejutkan. Kamis pagi, sewaktu Apel, sebuah kabar duka dipermaklumkan. Malam tadi (21 April 2004), sekitar pukul 21.00, telah terjadi bencana alam tanah longsor wilayah BKPH Cililin. Bisik-bisik pak KTU mengatakan kalau jumlah korban meninggal adalah 15 orang. Innalilahi! Pada kondisi sulit sekarang ini, derita memang seakan tiada bosan berkunjung. Ketika posisi kami masih belum terlepas dari opini publik negatif yang kadung berkembang, sebuah bencana dengan belasan korban jiwa, adalah sebuah pukulan yang terasa terlalu berat. Maka yang terbayang di benak saya saat itu adalah, tekanan di hari-hari kami ke depan akan semakin menyesakkan. Padahal, permasalahan minggu-minggu kemarin pun belum kami tuntaskan dengan baik.
Memang sulit bagi orang yang kadung berpredikat jelek. Semua menjadi serba salah. Serba tak nyaman. Berkaitan dengan bencana alam seperti ini, kami selalu menghadapi dilema. Menyatakan bahwa itu memang diakibatkan oleh hutan yang rusak, tentunya adalah sebuah upaya bunuh diri. Meski diback up oleh argumentasi yang faktuil, bahwa rusaknya hutan adalah akibat interaksi negatif dari masyarakat sekitar, sebagai konsekwensi tidak meratanya kesejahteraan ekonomi dan sosial, ini tidak menolong banyak. Tetap saja, yang mengemuka adalah ketidakmampuan kami dalam mengelola hutan dengan baik, yang menyebabkan masyarakat dengan bebas bisa mengintervensi hutan yang seharusnya terlindungi itu. Atau kebobrokkan oknum-oknum petugas kami yang korup dan kerap tutup mata atas segala yang terjadi. Padahal, di era titik balik ini, ketika yang dulu ditakuti sekarang menjadi takut, ketika dulu penguasa kini dikuasai, ketidakmampuan itu sangatlah dapat dimaklumi. Boro-boro hutan yang tidak dipagar, toko-toko di kota saja bisa kena dijarah. Kami, meminjam istilah seorang teman, kini hanyalah tinggal koboi-koboi yang tak berpeluru, siapa yang akan takut? Dan, ngomong-ngomong, siapa sih di negeri ini yang tidak korup?
Tetapi menyatakan bahwa itu sama sekali tidak disebabkan oleh rusaknya hutan, juga rasanya tidak nyes. Serasa menjilat ludah sendiri. Sudah jelas, ketika kami melakukan penyuluhan di desa-desa, itulah yang selalu kami jadikan tema. Bahwa apabila hutan gundul, akan terjadi longsor dan banjir. Bahwa untuk mencegah itu masyarakat hendaknya tidak mencuri kayu atau merambah hutan. Bahwa masyarakat juga harus ikut menjaga hutan, dsb. Nah ketika sekarang kebuktian, kok malah kami sendiri yang buru-buru menyangkalnya: bahwa bencana itu bukan disebabkan kondisi hutannya, tetapi semata-mata oleh hujan yang teramat deras, atau tanahnya yang labil. Kan lucu.
Tetapi, bagaimana lagi? Menghadapi hal semacam tadi kami memang selalu terposisikan bersikap ambivalen seperti itu. Sebuah hal yang wajar, karena ketika seseorang terpojokkan, maka yang terlintas pertama kali adalah upaya menyelamatkan diri. Apalagi dengan pengalaman buruk kami di Mandalawangi Garut beberapa waktu yang lalu, yang membuat kami harus membayar ganti rugi bermilyar-milyar rupiah, sebuah jumlah yang tidak sedikit di saat kondisi keuangan perusahaan yang kembang kempis seperti sekarang ini. Kami menjadi sedikit traumatik. Maka sangat logis bila yang pertama-tama kami lakukan adalah mencari jalan selamat. Toh, bukan hanya kami yang melakukannya.
Namun tentu saja tidak hanya itu yang kami lakukan. Kami sadar sepenuhnya, tidak ada masalah yang selesai hanya dengan tuding menuding dan saling cari jalan selamat. Tiada sedikit pun maksud kami untuk cuci tangan. Kami maklum bahwa segala argumentasi dan dalih yang kami ajukan, tidak akan menutupi kenyataan bahwa kondisi hutan yang kami kelola memang tidak bagus. Dan itu tentunya sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi lingkungan yang ada, termasuk bencana kemarin, dan juga bencana-bencana sebelumnya. Itu harus kami akui dengan fair. Anda benar, kami harus ikut bertanggung jawab. Ini terlepas dari faktor yang menjadi penyebab utama sebenarnya bencana longsor kemarin, menurut hasil penelitian yang nanti akan dilakukan.
Cuma saja, seperti juga yang lain, kami pun tidak ingin memikul beban itu sendirian. Seakan-akan kamilah yang telah membunuhi, dan memang bermaksud membunuhi, belasan orang-orang itu, dan menafikkan sama sekali upaya-upaya yang sudah kami lakukan. Yang kami harapkan adalah penilaian yang juga fair. Karena sedikit banyak, mesti diakui kami telah berusaha. Bahwa tetap saja terjadi bencana, itu tentu saja di luar kemampuan kami. Dan percayalah kami pun tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.
Semua tahu. Bahwa mengurus hutan, kini, bukanlah semata berhubungan dengan hal ihwal tanam menanam atau tebang-menebang, tetapi juga sangat berkait-kelindan dengan masalah-masalah lain yang lebih pelik dan mendasar, dari politik, ekonomi sampai sosial. Dan itu tidak mudah. Bayangkan, untuk mengelola hutan dengan baik di zaman ini, setiap dari kami dituntut bisa berlaku seperti seorang Menko Polsoskam (jabatan SBY dulu), Menko Kesra dan Menhut-nya sekaligus. Mana bisa, kalau sendirian? Padahal kondisi kami sekarang sedang tidak baik. Babak belur malah, dan terus terang saja, kami belum terlatih untuk menghadapi persoalan-persoalan seperti itu dengan elegan. Kami membutuhkan banyak teman dan pengalaman.
Seberat itukah pergulatan yang terjadi? Barangkali tidak sedramatis yang saya lukiskan. Di banyak tempat toh kami telah melakukannya dengan baik, meski mungkin belum seideal yang diharapkan. Yang jelas, harapan akan terciptanya masa depan lingkungan yang lebih baik, di sana, mudah-mudahan bukan lagi hanya impian. Kami bersama-sama telah mencoba merintisnya.
Tetapi bekerja di tengah cibiran orang memang tidak mengenakkan. Seakan-akan apa yang telah kami lakukan tidak ada artinya sama sekali. Bila tidak arif-arif menyikapinya, salah-salah bisa frustasi. Alih-alih terjadi inovasi atau revitalisasi, yang muncul malah apatisme. Kan susah.
Namun barangkali ini adalah salah satu fase kehidupan yang memang harus dilalui. Kami telah mengalami zaman keemasan di masa lalu, yang sayangnya, tidak sempat saya alami. Dan kini, sudah saatnya kami memasuki masa sulit, masa berjuang.
Salah sendiri lahir belakangan!
: turut berduka cita bagi para korban, semoga tabah bagi yang ditinggalkan.