TIDAK banyak orang seperti Ajip (Rosidi). Bukan hanya karena karya-karya dan prestasinya yang cemerlang dan mengagumkan, serta pergaulannya yang luas baik di dalam dan luar negeri, tetapi terutama juga pada label identitas yang selalu melekat pada dirinya: Ajip adalah seorang Sunda.
Dan Ajip adalah prototipe manusia Sunda yang sangat langka. Langka, karena pada dirinya menyatu dua ciri yang biasanya jarang bisa sekaligus dimiliki oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Dia adalah seorang yang memiliki prestasi besar dengan pergaulan yang luas, baik di nasional maupun internasional, tetapi posisinya itu tidak membuatnya berpaling dari identitas keetnisannya. Bahkan, dia mempunyai kedudukan yang sangat penting pada perkembangan kebudayaan Sunda.
Ada banyak orang Sunda yang berprestasi besar, sehingga mengangkatnya ke pergaulan nasional atau internasional, tetapi jarang yang "berani" dan "tega" menunjukkan label kesundaannya, secara konsisten dan konsekwen, pada dirinya maupun pada keluarganya. Seorang Sunda yang berkenalan dan hidup di lingkungan pergaulan nasional atau internasional biasanya cenderung mengubah diri, dan keluarganya --bermetamorfosa, dari "Manusia Sunda" menjadi "Manusia Indonesia" atau "Manusia Dunia". Kesundaan menjadi masa lalu baginya. Atau paling pol, dia masih merasa Sunda, tetapi tak pernah berkeinginan menurunkan identitas tersebut kepada keluarganya. Padahal kita tahu, seorang Sunda, sudah pasti Indonesia dan Dunia, tetapi tidak sebaliknya. Pada kondisi tersebut, maka pada hakekatnya kesundaannya berhenti atau hilang, karena identitas tersebut tidak pernah disadari atau dipraktiskannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka saya heran, dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, orang semacam Paramitha Rushadi, yang teu bisa ngomong sunda-sunda acan, misalnya, masih disebut sebagai orang Sunda.
Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berkiprah dan berpengaruh dalam kesundaan jarang yang memiliki pergaulan yang mengglobal. Bahkan yang menasional pun bisa dihitung dengan jari. Jangkauan dan pengaruhnya sebatas pada komunitas lokal Sunda saja. Itu pun bagi yang masih setia memperhatikannya.
Jarang ada orang Sunda yang memiliki kedua predikat itu sekaligus. Seakan-akan pilihannya cuma satu. Mengglobal dan berhenti jadi orang Sunda, atau jadi orang sunda, dan jangan bermimpi bisa mengglobal.
Tetapi pada diri Ajip gejala tersebut tersebut tidak berlaku sama sekali. Pergaulannya dengan "dunia lain", tidak menggoyahkan kecintaannya kepada kesundaan. Prestasi besarnya tidak membuat dia memutuskan untuk bermetamorposa. Bahkan posisinya tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk mengembangkan budaya leluhurnya tersebut dalam arti sebenar-benarnya. Ajip bukan hanya selalu berusaha menampilkan kesundaannya di ranah komunitas "dunia lain" tersebut, tetapi juga melakukan upaya-upaya yang nyata yang dibarengi dengan kesadaran dan dedikasi yang seutuhnya untuk mendorong perkembangan budaya leluhurnya itu. Hal yang kemudian mendudukannya ke dalam posisi yang sangat penting dalam perkembangan budaya dan sastra Sunda. Kalau dibuat pebandingan, kira-kira posisinya hampir serupa dengan Jasin dalam jagad kesusastraan Indonesia. Bahkan sebenarnya cakupan Ajip lebih luas, karena bukan hanya pada kesusastraan.
Bukti kecintaan tersebut sangat jelas. Selain banyak menulis dalam bahasa Sunda, dia juga sangat memperhatikan perkembangan sastra Sunda. Ajip nampaknya memposisikan diri sebagai "pengawal" perkembangan sastra Sunda, yang memang sangat memerlukan kehadirannya. Dan dalam melakukan ini Ajip tidak pernah setengah-setengah. Integritas dan ketelitiannya sulit dicari tandingannya. Posisi dan integritasnya inilah yang kemudian mengingatkan kita kepada peran Jasin dalam kesusastraan Indonesia.
Ajip juga berupaya dan berfikir keras untuk membangun atmosfer yang mendukung perkembangan sastra sunda. Sejak tahun 1989, atas prakarsanya sendiri, dia memberi Hadiah Sastra Rancage, sebagai upaya untuk merangsang para pengarang sunda untuk berkarya, sekaligus juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadapnya. Bahkan selanjutnya penghargaan tersebut juga diberikan kepada kebudayaan daerah lain yaitu Jawa dan Bali. Suatu hal yang sangat luar biasa sebenarnya, karena Ajip-lah (baca: orang Sunda) yang pertama-tama melakukan hal tersebut di nusantara ini, di tengah ketidakkacuhan pemerintah daerahnya masing-masing.
Meski kemudian lama bermukim di luar negeri, itu tidak menyebabkan kiprahnya terhenti. Perhatiannya terhadap kesundaan tidak pernah berkurang. Karya-karyanya tetap merul. Bahkan seperti yang dikatakannya hidup di luar negeri memberikannya banyak kesempatan untuk menulis. Dus, kecintaan Ajip terhadap kesundaan tidak perlu dipertanyakan lagi. Seakan-akan kesundaan adalah tujuan hidupnya.
Tetapi kecintaannya tersebut tidak membuatnya menahan diri untuk bersikap kritis. Bahkan justru dilandasi rasa cinta dan tanggung jawabnya yang besar itulah, maka kemudian dia menjadi sangat kritis. Ajip dikenal kerap melontarkan kritik pada setiap hal, dan pada siapa pun, yang menurutnya perlu dikoreksi. Ajip sadar bahwa selain kuantitas, kualitas sangat penting dalam perkembangan kesundaan, karena kualitas menentukan postur, yang pada gilirannya akan mempengaruhi apresiasi orang terhadapnya. Dan untuk memelihara kualitas tersebut, kritik adalah sesuatu hal yang wajib.
Ajiplah yang pertama kali memperkenalkan seni kritik dalam jagat sastra sunda. Meski kritik adalah suatu hal yang lumrah dan perlu dalam dunia sastra, tetapi dalam prakteknya hal tersebut tidak langsung diterima dengan baik. Kita masih ingat, di tahun 50-an, ketika Ajip mulai mengungkapkan kritik-kritiknya, dia banyak menuai tentangan, terutama dari golongan tua, yang memang banyak menjadi sasaran kritiknya. Nampaknya, hal itu disebabkan masih kuatnya budaya unggah-ungguh dalam budaya Sunda. Mengkritik orang yang lebih tua apalagi tokoh, masih dianggap kurang ajar, cucungah.
Tetapi barangkali juga hal itu disebabkan oleh gaya bahasa Ajip yang memang sangat lugas dan cenderung sarkastik. Bagi yang pernah membaca bukunya yang berjudul Beber Layar, yang berisi kumpulan kritiknya dalam bahasa Sunda, akan dengan cepat akan merasakan bahwa "serangan-serangan" Ajip memang nyelekit dan tanpa tedeng aling-aling. Boro-boro malapah gedang. Dan diakui atau tidak, itulah yang yang menjadi ciri khas Ajip. Nampaknya hal ini dipengaruhi oleh watak egaliternya, yang menurutnya adalah watak asli orang Sunda. Di setiap kesempatan Ajip selalu mengatakan bahwa Undak Usuk Basa, yang membedakan bahasa menurut tingkatan, adalah bukan budaya asli Sunda, tetapi itu adalah warisan Mataram.
Maka tak heran apabila beberapa hari kemarin muncul tanggapan kritisnya tentang buku Sejarah Tatar Sunda (STS) jilid I dan II di Pikiran Rakyat dalam versi Indonesia dan Mangle dalam versi Sunda. Dan tulisannya itu masih sangat ber-khas Ajip: keras, tanpa basa-basi dan detil. Karuan saja ini sempat menyebabkan Nina Lubis dan kawan-kawan yang menulisnya blingsatan. Meski dalam berbagai pernyataannya Nina selalu menegaskan bahwa dia, dan kawan-kawannya, tidak merasa tersinggung dan bahkan mengucapkan terima kasih atas kritik tersebut, tetap saja itu tidak menyembunyikan rasa tidak nyamannya atas tulisan Ajip.
Ketidak nyamanan yang sebenarnya dapat dimengerti. (Juga) Berangkat dari kecintaan dan rasa tanggungjawabnya terhadap kesundaan-lah, maka Nina dan kawan-kawan, kemudian berpayah-payah menyusun buku tersebut. Dan tentunya kerja itu bukan sesuatu yang gampang, dan gratis, tetapi membutuhkan upaya yang keras baik tenaga maupun fikiran. Maka setelah kini semua telah terwujud, mereka berharap hasil kerja kerasnya tersebut akan diterima dan dihargai oleh semua pihak. Dan kritik keras semacam dari Ajip nampaknya tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Untungnya Nina dan kawan-kawannya bukanlah orang belikan. Kritik tersebut mereka terima dan respons dengan baik. Konon dalam cetakan terbaru, akan dilakukan perbaikan sesuai dengan koreksi dari Ajip.
Tetapi lepas dari itu, kita sesungguhnya mesti berbahagia bahwa semangat dan vitalitas Ajip terbukti masih tinggi. Di usianya yang kini sudah tidak muda lagi, Ajip masih produktif berkarya untuk kesundaan. Dan kiprah Ajip memang masih sangat diperlukan bagi perkembangan kesundaan, yang nampaknya sudah mulai bangun kembali, meski masih tertatih ini. Kemarin, Ajip juga berhasil menghimpun orang-orang Sunda yang berhasil menjadi "orang" dalam Apa Siapa Orang Sunda, yang tentunya ditujukan untuk membangun kepercayaan diri orang-orang Sunda pada umumnya, meski untuk beberapa tokoh saya masih merasa banyak yang dipaksakan masuk.
Semangat dan vitalitasnya tersebut, terus terang saja, membuat generasi muda Sunda seperti saya, menjadi merasa sangat malu.