Kemarin, saya tidak ikut Pemilu. Ya. Ketika orang lain berpesta lima taunan itu, saya tidak ikut. Maka jangan heran, di jari tangan kiriku itu kau tak akan melihat bekas tinta penciri yang udah nyoblos. Karena, ya.. saya memang tidak nyoblos.
Saya golput? Tunggu dulu, jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kau tahu, saya bukan seorang idealis tulen, sehingga memutuskan untuk tidak memilih karena merasa tidak ada partai yang memenuhi kriteria. Saya seorang yang sangat realistik (super reralistik malah, orang kadang menanggapku seorang pesimistik). Saya juga bukan termasuk orang yang kecewa terhadap kondisi yang ada. Saya belum apatis dengan nasib negeri ini. Meski diakui banyak kekurangannya, saya masih bisa memaklumi kesulitan-kesulitan yang ada.
Saya tidak memilih semata-mata hanya alasan teknis dan sifat jelek. Ya, hanya itu, tidak ada yang lain. Masalahnya berhubungan dengan statusku sebagai anak kos yang tidak akan lama tinggal di suatu tempat. Ketika dulu petugas RT mendata, saya masih tinggal di Cibiru, sekitar 15 kilo meter dari tempatku tinggal sekarang. Lumayan, menghabiskan waktu sekitar satu jam menuju ke sana. Jadi, ketika orang-orang menerima surat pemberitahuan memilih, saya sendirian tidak dapat. Dan sumpah, saya tidak tahu harus berbuat apa. Maksudnya, bagaimana prosedur untuk orang sepertiku. Kau tahu, KTP-ku dulu juga kan bikinnya nembak, 300 ribu. Tentu saja bukan alamatku yang tertera di sana. Jadi saya kebayang akan banyak urusan bila mencoba hal tersebut.
Tapi sebenarnya, itu hanya disebabkan sifat jelekku saja. Pemalas. Sebenarnya saya bisa saja menanyakannya pada mereka yang berkompeten, atau menyempatkan diri pergi ke Cibiru barang sebentar. Barangkali urusannya pun tidak akan serumit yang saya kira.
Akhirnya di tanggal 5 itu saya tidak pergi ke TPS, yang padahal hanya berjarak 20 meter dari tempat kosku. Ketika berjalan menuju Rumah Makan Padang di seberang jalan, saya melihat banyak orang berkumpul di sana. Tentu saja yang mengantri nyoblos, yang nongton, serta petugas PPSnya sendiri. Dan melakukan sesuatu yang tidak umum, kadang memang risih juga. Seperti yang saya alami hari itu. Kau tahu, satiap bertemu dengan seseorang, di hari itu, hal pertama yang saya lihat adalah jari tangan kirinya. Kadang-kadang berharap ada juga yang tidak memilih seperti saya, biar ada teman.
Yang lebih aneh besoknya, ketika kembali masuk kantor. Memang ternyata bukan hanya saya yang tidak memilih, dengan alasannya masing-masing tentunya. Tetapi ada hal lain yang dirasakan ketika terlibat pembicaraan tentang Pemilu. Perasaan, yang tidak bisa saya gambarkan dengan mudah. Sedih, tidak. Menyesal, tidak. Berdosa, juga tidak. Saya juga tidak berbangga, seperti seorang teman lain yang juga tidak memilih. Tetapi tidak merasakan apa-apa juga tidak. Barangklali perasaan itu sama dengan perasaan ketika kau diajak pesta yang tidak terlalu kau suka oleh seseorang, dan esoknya temanmu itu menceritakan betapa pesta itu sangat menyenangkan. Ya pokoknya gitu lah, biar cepet.
Yang pasti, di hari pencoblosan itu saya sulit mencari makan siang.