INSIDEN kekerasan di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tempo hari, seperti dapat diduga sebelumnya, terus membola salju. Dan tentu saja korban yang terlindas pun bertambah banyak. Bukan saja yang terlibat secara langsung, tetapi yang semula tak tahu menahu pun akhirnya harus rela kena getah. Setelah Kapoldanya dipecat sebagai resiko jabatan yang mesti ditanggung (padahal konon dikenal cukup simpatik, bahkan di kalangan mahasiswa sendiri), kini Kapolri, sebagai embahnya Polisi di negeri ini mau tak mau juga kecipratan repot. Dihujat dimana-mana, dituntut mundur sana-sini. Apalagi peristiwa ini juga bukan satu-satunya masalah yang tengah melilit kepolisian belakangan ini, dari kerusuhan Ambon yang kembali pecah, penangkapan kembali Baasyir yang ricuh, sampai kepada meledaknya bom di Riau, yang cukup berhasil menghangatkan kembali suasana negeri, menjelang pemilihan presiden kali ini.
Reaksi pun meluas. Maklum kasus ini menyangkut dua entitas yang sedang sensitif. Pertama, ini menyangkut gerakan mahasisiwa. Semua mafhum, mahluk yang disebut barusan, di negeri ini, adalah pahlawan tanpa cela. Mereka adalah satu-satunya entitas yang dianggap masih murni, bebas dari segala penyakit moral. Gerakan mereka pun kerap disebut sebagai gerakan moral, karena konon tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, kekuasaan, atau anasir-anasir jahat lain. Pure murni dari hati nurani. Maka kekerasan terhadapnya, apalagi di dalam kampus, yang dideklarasikan sebagai tempat terlarang bagi para aparat, adalah suatu tindakan yang tidak dapat dimaafkan. Pelakunya tentu harus dihukum seberat-beratnya. Kalau perlu dipicis, atau disalib sekalian.
Kedua, ini menyangkut institusi yang, juga di negeri ini, sedang disorot habis: Polisi. Mahluk ini, sejak semula, memang dikenal berreputasi jelek. Selain disebut-sebut tidak professional, kerap ringan tangan, juga konon adalah sarangnya KKN. Hampir setiap orang yang saya temui, rata-rata memiliki pengalaman buruk tentangnya. Dan sebagai salah satu elemen penyokong hukum di negara ini, reputasi jelek tersebut tentu saja sungguh sebuah ironi yang menyedihkan, dan menjengkelkan. Bagaimana hukum dapat ditegakkan apabila aparatnya sendiri adalah para pelanggar nomor wahid? Maka wajar saja bila kemudian banyak orang apatis. Bahkan, saking jengkelnya, pernah juga ada yang mengusulkan institusi ini dibubarkan saja. Barangkali dia tidak memikirkan, bagaimana repotnya bila itu benar-benar terjadi.
Maka ketika insiden ini terjadi, kontan saja mengingatkan orang terhadap reputasi buruk tadi. Persepsi yang ada mengarah hanya pada satu kesimpulan, Polisi tidak bernah benar-benar berniat belajar dari kesalahannya.
Urusannya tambah runyam, ketika para anggota dewan yang terhormat, ikut-ikutan berkomentar pedas. Maklum ini lagi musim kampanye. Musimnya mengambil hati rakyat. Isu sebagus ini, tentu saja ladang yang tidak boleh dilewatkan. Mereka sangat faham bahwa rakyat di negeri ini sangat senang mencela dan menghujat. Dan sebagai wakil yang baik dan benar, tentu saja mereka harus merepresentasikan kesenangan itu. Maka tanpa ampun, Jenderal Dai Bahtiar, sang embahnya Polisi, pun lantas dituntut mundur (masih untung tidak dituntut jungkir), setelah sebelumnya diadili habis-habisan.
Demontrasi kembali memarak, mengusung solidaritas kepada mahasiwa yang menjadi korban. Isunya pun melebar, dari pelanggaran HAM, pelecehan kepada dunia pendidikan sampai kepada isu anti militer dan, Golkar (lho?). Tidak hanya di Makasar, tetapi di seluruh negeri. Maklum, yang namanya mahasiswa kan ada dimana-mana. Dan ini tentu saja mengerucutkan kembali imej antitesisme yang kadung terbentuk antara Mahasiwa dan Polisi. Suasana pun menjadi gerah.
Lalu, bagaimana?
Saya tidak akan berbicara tentang kebobrokan polisi, yang sudah terlalu banyak diulas orang. Saya lebih tertarik menyoroti perilaku mahasiswanya, yang harus diakui relatif jarang dikritisi. Entitas ini seakan terlalu mudah mendapatkan excuse terhadap setiap hal yang mereka lakukan, betapapun konyolnya itu. Yang saya maksudkan tentunya adalah perilaku mereka sebatas yang berhubungan dengan kehidupan bernegara secara umum, bukan lain-lain.
Sebagai salah satu elemen yang memiliki peranan penting dalam kehidupan negara, eksistensi mahasiswa sebagai suatu entitas gerakan moral memang sangatlah penting. Entitas ini berperan sebagai salah satu elemen pengontrol dan penyeimbang (check and balance) terhadap kekuasaan yang ada, sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Itu tidak untuk diperdebatkan lagi. Sejarah telah membuktikan betapa besarnya peranan itu.
Tetapi itu hendaknya tidak membuat kita untuk dengan mudah selalu memberikan excuse pada mereka, sehingga menghilangkan kekritisan kita terhadapnya. Sebagaimana elemen kehidupan berbangsa dan bernegara yang lain, mahasiswa pun harus dikritisi, sehingga terbangun sebuah pandangan yang sehat dan obyektif terhadap semua hal. Mahasiswa harus dikoreksi, agar apa yang dilakukan sejalan dengan apa yang mereka perjuangkan. Tidak terlalu banyak berdarah-darah. Tidak kontra-produktif. Dan yang terpenting, agar mahasiswa pun tidak belaku sebagai Tiran.
Apabila kita mengamati kronologis yang terjadi di Makasar kemarin, akan dengan cepat kita melihat bahwa mahasiswa pun memiliki andil yang besar sehingga terjadi bentrok. Harus diakui bahwa kekerasan, lebih banyak dipicu oleh provokasi mahasiwa, yang membuat polisi terpancing emosi.
Kalau boleh berandai-andai, maka saya kira kita setuju bahwa tidak akan terjadi penangkapan 26 mahasiwa seandainya tidak terjadi acara bakar-bakaran atribut orang. Juga tidak akan terjadi penyanderaan (istilah pengamanan menurut saya adalah sebuah apologi usang yang memuakkan) terhadap seorang anggota Polisi yang kebetulan lewat dan percobaan terhadap dua yang lain, jika para mahasiwa yang pulang demo dari kantor KPUD itu, tidak memprovokasi temannya yang juga sedang berdemo di depan kampus. Tidak akan terjadi penyerangan ke dalam kampus, apabila tidak terjadi penyanderaan dan provokasi berlebihan plus lemparan batu kepada polisi.
Tidak akan ada korban apabila mahasiwa sejak semula bersikap efektif dan simpatik dalam berdemo.
Tentu saja banyak kemungkinan yang bisa terjadi, apabila kita berandai-andai. Tetapi kemungkinan yang saya ajukan tadi, harus diakui juga sangat logis terjadi. Saya pun pernah menjadi mahasiswa. Saya pernah ikut berdemo. Saya pernah menyaksikan bentrok. Saya pernah melihat jatuhnya korban. Saya pernah melihat darah terleleh sia-sia.
Dan saya selalu melihat itu berawal dari sebuah provokasi.
Dus, dalam kasus UMI kemarin, secara manusiawi, saya sangat dapat memahami kejengkelan Polisi, sehingga kemudian terpancing emosi. Bahkan bila saya, dan juga anda, berada di sana dan menjadi Polisi, barangkali juga akan berbuat yang sama. Inilah yang harus disadari oleh segenap mahasiswa, di mana saja. Bahwa apapun yang mereka lakukan, betapapun mulianya itu, sebagai kaum intelektual, seharusnya selalu didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan akal sehat. Bukan emosi dan ajang gagah-gagahan.
Mahasiswa harus faham, bahwa setiap provokasi yang dilakukan, tentunya akan mendapatkan reaksi. Dari yang paling halus (persuasif), bila sang polisi (yang juga manusia), masih bisa mengendalikan emosinya. Sampai yang paling kasar (refresif), bila itu sudah berada diluar batas kesabarannya. Dan bila itu terjadi, maka mahasiswa harus rela kena pentung, karena polisi memang punya pentungan.
Tentunya ini bukan berarti juga excuse pada polisi untuk berbuat kekerasan yang lain.