Minggu, Juni 05, 2005

S O S

BASUKI, si pelawak pencela, barangkali tak pernah menyangka apa yang dilakukannya kepada grup SOS dalam ajang kontes lawak di TPI beberapa waktu lalu, malah memberi berkah bagi grup asal Bandung tersebut. Hampir di setiap komentarnya, bila komdian yang pernah tergabung bersama Timbul dan Kadir dalam grup BATIK kebetulan menjadi Tim Pencela, Basuki selalu mencela dalam arti sebenar-benarnya kepada Sule dan kawan-kawan. Padalah biasanya anggota tim Pencela lain malah memuji habis-habisan.

Basuki mencela SOS karena Sule, Oni dan Ogi selalu menampilkan ciri khas Sunda dalam setiap penampilannya. Kita mengingat Sule karena lengkingan khas sinden jaipongnya yang cempreng atau Oni yang disebut-sebut penerus Kang Ibing dengan setelan Kabayan-nya. Dan itu nampaknya membuat gusar Basuki. "Aku enek dengan kalian, acara ini bukan hanya ditujukan untuk orang Sunda saja", sergahnya. Padalah banyak tim lain, bahkan Basuki sendiri, yang berkali-kali berbicara dalam bahasa Jawa, dan tidak dipermasalahkannya. Bahkan di lain waktu tanpa tedeng aling-aling dia mempertanyakan, "Mana ada grup lawak Sunda yang lestari?". Basuki barangkali gusar karena jagoannya, grup dari Jawa Timur itu, kalah lucu.

Tentu saja hal tersebut mendapat reaksi, paling tidak dari Kang Ibing, yang kebetulan juga sering ditunjuk sebagai tim Pencela. "Jangan takut meniru", katanya. "Kita hidup toh juga meniru orang-orang tua kita" belanya bijak. Celaan Basuki juga telah menggugah orang-orang Sunda untuk terus mendukung satu-satunya Grup lawak dari Jawa Barat yang menjadi peserta API pertama ini. Terbukti kemudian Polling SMS-nya jauh melesat, dan membuatnya merebut juara. Selain tentu saja itu disebabkan penampilannya yang memang nampak lebih matang dari grup-grup lain.

Simpati tidak saja datang dari orang Sunda. Seseorang bahkan menulis ke Surat Pembaca PR, "Saya orang Jawa, tapi mendengar celaan Basuki, saya tahu saya harus membela orang Sunda" katanya.

Kita tahu SOS kemudian menjadi Juara. Ada yang mengatakan ini salah satunya berkat ulah Basuki tersebut. Oleh karenanya, dari kacamata positif, orang Sunda yang mendukung SOS sudah selayaknya berterima kasih kepada pemeran Mas Karyo itu. Basuki benar ketika mengatakan bahwa tidak ada grup lawak Sanda yang lestari. Setelah era D'Bodor dan D'Kabayan di tahun 80-an, memang tak ada lagi grup lawak Sunda yang berpengaruh. Di televisi, dunia lawak selalu didominasi oleh warna Jawa atau betawi. Jarang yang bernuansa Sanda. Ini ironis, karena orang Sunda dikenal sangat menyukai humor (heureuy). Seharusnya, Sunda melahirkan komedian-komedian yang besar di tingkat nasional. Dan Basuki mengingatkan hal itu.

Maka munculnya SOS ke pentas nasional, bersama komedian-komedian Sunda lain seperti trio Aming, Ronald dan Tike dalam Extravaganza, patut di syukuri. Mereka adalah generasi baru pelawak Sunda, yang mudah-mudahan saja bisa me-nasionalkan Sunda melalui jalur komedi. Selamat buat SOS!

Selasa, Maret 15, 2005

Mencari Kharakter Sunda yang Hilang

: untuk seorang teman yang merindu progresivitas

ORANG Sunda, umumnya, dikenal sebagai bangsa yang toleran dan cenderung tidak menyukai konflik (baca: pengalah).

Dalam menghadapi sebuah perbedaan (konfrontasi), alih-alih melakukan ngotot-ngototan, mereka lebih senang mencari jalan tengah, atau mengalah.

Sambil berusaha menikmati konsekwensi kemengalahan tersebut, dan sering dengan segala pembenaran terhadap keputusannya tersebut.

Dus, bangsa yang "manis, baik hati dan tidak sombong", selain pandai menghibur diri.

Inilah juga yang konon menyebabkan tidak banyaknya muncul pahlawan nasional dari orang Sunda dulu (dibandingkan dengan orang Jawa misalnya). Karena orang Sunda memang tidak menyukai konflik.

Para pemimpin Sunda jaman kolonial, umumnya memilih ber-"baik-baik saja" dengan penjajah, dibanding harus berkonfrontasi.

Alasanya: melawan dengan kekuatan senjata, selain sulit menang, juga pada akhirnya malah akan lebih menyengsarakan rakyat sendiri, karena akan timbul banyak korban.

Oleh karena itu sikap kooperatif (mengalah dan patuh) dirasa lebih baik, sambil berupaya agar tidak terlalu menyengsarakan rakyat.

Konon, pemerintah kolonial dulu memang relatif lebih menyukai bupati-bupati Sunda, dari pada daerah lain, karena mereka pandai memuaskan keinginan pemerintah kolonial.

Mereka pun digaji dengan nominal yang jauh lebih tinggi dibanding bupati-bupati daerah lain. Istimewanya adalah, bupati-bupati Sunda umumnya juga dapat melindungi rakyatnya dari kesengsaraan yang lebih, meskipun di waktu yang sama harus melayani sang penjajah.

Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin Sunda memang pandai dalam menjalankan posisi nengah seperti itu, tanpa harus berpusing-pusing berkonflik.

Pilihan yang rasional sebenarnya, meskipun kadang ditafsirkan sebagai pengecut dan kurang peduli dengan kebebasan dan harga diri.

Kini pun demikian. Masyarakat Sunda jarang terdengar berkonflik.

Di tempat asalnya, wilayah Pasundan, masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan sopan terhadap pendatang, meskipun kemudian pada akhirnya sang tamu ternyata lebih berhasil memanfaatkan sumber daya dari wilayah tersebut dibanding sang pribumi.

Tidak pernah terjaaadi kecemburuan yang kemudian menimbulkan konflik tajam. Juga di perantauan. Jarang terdengar konflik sosial yang melibatkan orang Sunda.

Pada umumnya mereka diterima dengan baik, karena selain tidak pernah berlaku aneh-aneh, mereka juga dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Hal ini, di satu sisi, tentunya positif saja, terutama dipandang dari kepentingan pemeliharaan stabilitas nasional. 

Provinsi Jawa Barat, sebagai tempatnya orang Sunda, relatif selalu aman dan nyaris tanpa gejolak. Bila pun ada, itu disebabkan hal-hal yang memang sangat sensitif, seperti isu agama, yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu yang silam.

Tetapi di sisi lain, apabila kita telaah lebih jauh, hal ini juga ternyata mengimplikasikan sesuatu yang sangat menghawatirkan dan memprihatinkan, terutama berhubungan dengan eksistensi mereka sebagai sebuah (suku) bangsa.

Sering, karena saking toleran dan tidak mau ada konflik -nya, - atau juga cenderung karena minder (?), keadaan menjadi terbalik-balik.

Dalam hubungan bertetangga misalnya, ketika berkomunikasi dengan tetangga yang bukan sunda, apalagi bila tetangga tersebut memiliki tingkatan sosial yang tinggi, orang Sunda akan cenderung menyesuaikan diri dengan gaya dan bahasa mereka, dan bukan memunculkan kharakter sendiri.

Jadi, alih-alih tetangga, yang nota bene pendatanglah, yang menyesuaikan diri, malahan sang pribumi yang berubah terlebih dahulu. Begitu seterusnya.

Walhasil, jadinya pabaliut. Akhirnya tidak jelas mana yang pribumi mana yang tamu. Apalagi ketika pendatang tersebut semakin membanyak, seperti yang terjadi di kota-kota besar.

Orang Sunda, sebagai pribumi, kian terdesak, di segala bidang, baik politik, ekonomi maupun budaya. Jati kasilih ku Junti. Di bidang politik, posisi orang Sunda sebagai "penguasa" di daaerah sendiri makin terancam.

Pengalaman komposisi Sunda non Sunda di DPRD Jawa Barat periode lalu yang berbanding terbalik seperti sering diributkan orang, membuktikannya. Di bidang ekonomi apalagi. Sejak lama, orang sunda terpinggirkan oleh ekspansi para pendatang, yang ternyata memiliki kemampuan dan daya juang yang lebih tinggi.

Yang menyedihkan juga adalah kekalahan di bidang budaya. Orang-orang Sunda perlahan namun pasti semakin tercerabut dari akar budayanya. Banyak dari mereka yang bahkan telah menanggalkan identitas kesundaannya, karena diangap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan begitu, mereka sebenarnya telah memutus rantai identitas yang diwariskan leluhurnya, yang selama berabad-abad telah membuatnya berbeda dari bangsa lain. Dan ini sungguh mnemperihatinkan.

Separah itukah yang terjadi? Barangkali terlalu didramatisir. Namun sulit dipungkiri bahwa kharakter sunda yang "terlalu toleran" dan "cenderung pengalah" tersebut memang telah memberi andil yang besar terhadap inferioritas dan inferiorisme orang sunda seperti yang terjadi saat ini.

Saya jadi teringat sebuah "teori" dari seorang teman yang menyatakan bahwa sebenarnya ada kharakter lain yang pernah menonjol dan dominan pada diri orang-orang Sunda.

Yaitu kharakter yang kuat, tegas dan berani dalam membela hak dan harga diri. Paling tidak, hal itu tercermin dari persitiwa sejarah Pasunda Bubat. Ketika saang Prabu Maharaja Linggabuwanawisesa, beserta pengiringnya, memutuskan untuk melawan dengan gagah berani, dan mati dengan terhormat di medan perang Bubat, ketimbang harus mengaku tunduk kepada kekuasaan dan ambisi sang Gajah Mada.

Tentunya kharakter Sunda yang kuat inilah juga yang telah memungkinkan Kerajaan Sunda waktu itu mampu bertahan, dan mejadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak dapat dijamah oleh bala tentara Majapahit yang terkenal dahsyat.

Yang membuat Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit yang perkasa, menjadi frustasi, sehingga merasa perlu menjalankan siasat licik untuk menggenapkan sumpahnya menguasai seluruh nusantara itu. Karakter kuat inilah yang pastinya kemudian membawa Kerajaan Sunda (Pajajaran, setelah peristiwa itu, mencapai puncak keemasan, sampai paro abad XVI.

Lalu kemana kharakter itu kini? mengapa seakan hilang tak berbekas? Telah berubahkah orang Sunda?

Teman saya tadi mengatakan bahwa huru-hara menjelang runtuhnya kerajaan Pajajaran di tiga perempat akhir abad XVI-lah yang menjadi pangkal penyebabnya.

Perang, telah megabiskan mereka yang memiliki karakter kuat, baik karena gugur di medan perang, maupun yang kemudian mengasingkan diri karena tidak sudi hidup terjajah.

Dan menyisakan hanya mereka yang berkharakter lemah, yang tunduk dan bersedia hidup di bawah kangkangan bangsa lain. Karakter itulah yang kemudian kita warisi, dan terpelihara sampai kini. Kharakter yang kalah dan terjajah.

Pertanyaannya adalah: akankah kita terus menjadi yang kalah dan terjajah?

Minggu, Maret 06, 2005

Kita dan Sejarah

BARANGKALI kita memang terlalu under estimate dengan kemampuan sendiri. Ada anggapan selama ini kalau kesadaran bersejarah bangsa kita baru tumbuh belakangan, yaitu sekitar awal abad 20, terutama setelah pergaulan beberapa orang terpelajar kita dengan orang asing (barat). Yang saya maksudkan kesadaran bersejarah adalah kesadaran akan pentingnya sejarah, sehingga kemudian merasa perlu untuk melakukan perumusan dan penyusunan sejarah dengan didasarkan kepada data-data dan penelitian yang cukup, serta menuliskannya ke dalam sebuah manuskrip berupa naskah sejarah.

Memang banyak juga diketahui karya-karya historiografi nenek moyang kita yang sering dijadikan rujukan penyusunan sejarah oleh para ahli, tetapi bentuknya lebih pantas disebut karya sastra, bukan naskah sejarah, seperti babad, hikayat, carita dsb. Kalau ada yang mirip-mirip, barangkali adalah kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada zaman Majapahit, sehingga beliau konon dianggap sebagai sejarawan pertama di nusantara. Karya-karya anak bangsa yang bisa disebut sebagai naskah sejarah, baru kita temui awal tahun 1900-an.

Tidak banyak yang tahu, dan percaya, bahwa ternyata kesadaran bersejarah bangsa kita sudah tumbuh jauh sebelum itu, dan dengan taraf yang mengejutkan. Adalah pangeran Wangsakerta, seorang bangsawan Cirebon yang hidup di pertengahan abad 17, yang telah menyusun sebuah naskah sejarah yang lengkap tentang perkembangan raja-raja di Nusantara. Jumlah naskah tersebut juga tak tanggung-tanggung, konon mencapai 25 judul dengan masing-masing judul setebal 200 halaman! Sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran bersejarah kita paling tidak telah muncul hampir 4 abad yang lalu, lewat seorang tokoh dengan nama Wangsakerta.

Isu itu disebarkan oleh Ayatrohaedi dalam bukunya Sundakala (terbitan Januari 2005), yang minggu lalu saya beli di Gramedia. Dan isu ini bukan hal baru. Paling tidak sejak awal tahun 1980-an, Ayat sudah mulai mensosialisaikan penemuan tersebut setelah menerima kopian hasil alih bahasa naskah-naskah dari Aca, koleganya --seorang filolog yang banyak bergelut dalam penelitian naskah-naskah sejarah sunda, yang pertama kali menemukan naskah wangsakerta. Sudah pasti menghebohkan. Banyak yang menyambut gembira, tetapi tidak sedikit yang meragukan. Bahkan ada yang langsung memvonis sebagai naskah palsu.

Pasalnya adalah, karya itu dianggap terlalu maju untuk kondisi saat itu. "Terlalu sejarah", dalam bahasa Ayat. Selain juga ada petunjuk kuat yang mengindikasikan bahwa sang penulis pernah membaca hasil penelitian para sarjana barat, karena yang disajikan seolah dengan tepat membenarkan tesis-tesis mereka. Kedua pasal keberatan itu dibantah oleh Ayat. Katanya, mungkin saja kesadaran itu sudah tumbuh sejak lama. Apalagi dikabarkan bahwa sang Pangeran memang seorang yang "gila sejarah". Dan barangkali mungkin terbalik, bahwa para sarjana baratlah yang pernah membaca naskah terlebih dahulu, baru berteori, karena apa yang disajikan di naskah ternyata lebih lengkap dan detil. Sayangnya pada waktu itu belum dilakukan penelitian ilmiah mengenai umur media yang digunakan untuk menulis, sehingga perdebatan itu tidak bisa diputuskan. Saya kurang tahu apakah sekarang sudah dilaksanakan atau tidak, yang jelas apabila ternyata belum, adalah sebuah hal yang amat memeprihatinkan.

Tetapi lepas dari itu, naskah itu memang menarik. Banyak hal-hal yang mengejutkan terungkap. Misalnya, bahwa pengetahuan bangsa kita tentang zaman purbakala ternyata telah cukup maju. Sudah dilakukan upaya periodisasi sejarah. Dikatakan bahwa pada masa 1 juta - 500 ribu tahun sebelum tarikh Saka, di Jawa dihuni oleh mahluk berwujud manusia setengah kera, yang kemudian punah setelah kalah oleh orang-orang yang datang dari utara.

Selain itu periode sejarah kita pun menjadi lebih awal. Apabila dulu kita diajarkan bahwa sejarah kita berawal sejak abad ke 4 masehi ketika ditemukan prasasti di Kutai, dan seakan-akan mereka muncul dengan tiba-tiba, maka hal tersebut perlu direvisi. Sejarah kita sudah dimulai bahkan sejak abad pertama masehi. Konon pada tahun 130 sudah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang terletak di Jawa Barat bagian barat, dan sudah ramai dengan para pelaut asing yang berniaga. Mozaik-mozaik sejarah yang selama ini seakan tak berhubungan, seperti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilengkapi dan dirangkai oleh naskah.

Yang lebih menarik lagi adalah metode penyusunan naskah. Konon, Wangsakerta perlu mengundang para ahli sejarah dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara tetangga, yang jumlahnya puluhan, selain juga mengirimkan para pembantunya untuk mencari pustaka-pustaka ke berbagai daerah. Untuk membantu penyusunan, beliau membentuk sebuah kepanitiaan, yang disebut Panitia Wangsakerta. Para ahli yang saat itu hadir dibagi kedalam beberapa kelompok kerja yang bertugas menyusun sejarah daerah masing-masing. Hasilnya kemudian diplenokan dalam sebuah loka karya. Lumayan modern. Proses penyusunan seluruh naskah sendiri konon membutuhkan waktu 21 tahun. Sayangnya sebagian besar dari naskah-naskah tersebut kini tak tahu dimana rimbanya.

Mengherankan? Barangkali. Saya sendiri sulit untuk mempercayai bahwa ada juga tokoh masa lalu bangsa kita --bahkan kini, yang memiliki visi sehebat sang pangeran. Tetapi itulah kenyataannya. Seperti yang saya katakan di awal, barangkali kita memang terlalu under estimate pada sejarah kita. Oleh karenanya, kita harus mengoreksi total cara pandang kita terhadap sejarah. Hal itu dapat dimulai dengan mengubah metode pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang hanya identik dengan menghapal angka tahun dan nama tokoh. Karena kesadaran bersejarah anak bangsa sangat penting, agar mereka dapat mencintai bangsa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Seperti kata Bung karno: Jangan sampai kita melupakan sejarah!

Minggu, Februari 20, 2005

Fantasi Dunia

APA yang takkan kau lakukan untuk menyenangkan sang pujaan hati? Tak ada. Semua jalan kan ditempuh. Biarpun itu harus mendaki tujuh gunung dan menyeberang tujuh samudera, kata penyair gombal, demi dia, apapun kan diterjang.

Adagium itu, meski tak sepenuhnya, ternyata berlaku juga padaku, kemarin. Sehabis melakukan presentasi untuk keperluan marketing wisata, di sebuah perusahaan leasing di bilangan Mampang, gadis ceria itu mengajakku --kami tepatnya-- untuk mampir ke tempat bermain, sebelum pulang ke Bandung. Tempat yang diusulkan: Dunia Fantasi. "Heh?" aku sempat berkernyit , "Memangnya kita anak SD?". Tapi dia serius. Dan rajukan dari tatapan matanya tak dapat kutanggulangi.

Maka, siang itu, kendaraan kemudian kami belokkan ke arah Priok. Untungnya Jakarta tak terlalu macet, sehingga menjelang Jumatan kami sudah sampai di Ancol. Setelah singgah di sebuah mesjid untuk shalat, kami melanjutkan perjalanan. Setengah dua, kami tiba di gerbang Dunia Fantasi.

Ternyata pintu masuk belum terbuka. Kami harus menunggu setengah jam lagi. Mengantre, berebut tempat dengan serombongan anak dari sebuah SD di Bandung yang sedang berdarmawisata.

Gadis itu bernyanyi riang. Sementara aku sibuk meratapi gerahnya Jakarta dan kakiku yang pegal akibat kelamaan berdiri, selain menyesali uang lunsumku yang habis untuk beli tiket empat orang. "Ini demi kau", desisku.

Sebenarnya aku memang merasa kurang nyaman harus bermain ke tempat aneh ini. Selain sudah bosan (seingatku sudah lebih dari 4 kali aku ke sini), juga selalu ada kengerian ketika membayangkan permainan-permainan yang harus kunaiki, dan itu jauh dari seleraku. Aku takut ketingian, apalagi bila dikombinasikan dengan gerak dan kecepatan, seperti rata-rata jenis permainan yang ada di sini. Tapi demi sang pujaan, aku menguatkan diri.

Dan tanpa harus menunggu lama, ketakutanku langsung diuji. Selepas pintu masuk, sang gadis berlari ke arah Niagara. Aku sempat menolak, tapi tak berdaya. Dengan berdebar gugup, aku naik. Aku baru menyadari, kalau aku kini menjadi lebih penakut dari beberapa tahun lalu.

Perahu itu hanya muat untuk empat orang. Aku memilih tempat paling belakang, meski sang gadis memperingatkan "Justru di belakang, hempasannya makin terasa". Aku tak peduli, yang jelas instingku mengatakan dengan duduk di belakang, aku akan lebih bisa terlindungi . Debarku makin kencang ketika sang perahu mulai menanjak. Dan ketika tiba gilirannya terjun bebas, aku merasa seperti terbang. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tak keluar. Untungnya kengerian itu tak berlangsung lama. Ketika sadar, kepalaku sudah menempel erat di kepala orang di depanku. Tapi aku selamat.

Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Kami tertawa terpingkal-pingkal. "Ayo lagi, kamu membutuhkannya" teriaknya.

Tapi aku menolak setengah mati ketika dia kemudian menujuk Kora-kora, perahu besar berayun-ayun itu. Aku tak bisa membayangkan kengerian ketika tubuhku harus dihempas berkali-kali dari ketinggian hampir 15 meter selama bermenit-menit. Aku menawarkan diri menunggu saja di bawah. Dan kali ini rayuannya tak mempan, dia naik tanpaku.

Gadis itu memang tangguh. Dari bawah aku hanya terheran-heran melihatnya begitu menikmati permainan itu, dan tertawa-tawa melihat ekspresi kengerian penumpang lain.

Tetapi setelah itu aku tertipu juga. Ketika melewati sebuah permainan yang tak kuketahui cara kerjanya, aku setuju untuk naik. Selanjutnya aku hanya bisa memejamkan mata ketika tiba-tiba tubuhku terangkat dan berputar membanting-banting. Teriakannya yang memintaku untuk membuka mata tak kuindahkan sama sekali. Aku hanya bisa menyumpah-nyumpah.

Saat permainan selesai, dia kembali terpingkal. Kami kembali terpingkal. Setelah itu aku menawarkan permainan yang lebih menyenangkan saja, semacam Gajah Bleduk atau Istana Boneka.

Sampai jam empat sore kami bermain. Sebuah telepon dari teman di mobil mengingatkan agar kami segera pulang, menghindari macet di jalan. Aku lega ketika dia setuju untuk berhenti.

Kami pun kembali ke Bandung, sambil terpingkal di mobil.

(Ah gadis, aku tak tahu apa kita kelak kan berjodoh atau tidak. Yang jelas, disampingmu aku selalu bisa tertawa. Barangkali karena itulah aku kini memujamu --seperti juga lelaki yang terus menelponmu sepanjang perjalanan itu.)

Minggu, Oktober 31, 2004

Belajar Nyetir

SEKITAR sebulan yang lalu, saya memutuskan untuk membeli sebuah kendaraan dari seorang teman. Sebuah mobil, yang meski bukan baru, saya anggap cukup memadai untuk menunjang aktivitasku sehari-hari, terutama manakala saya harus turni ke daerah-daerah. Lumayan, saya bisa pergi dan pulang kapan saja saya mau, tanpa harus terikat menyesuaikan waktu seperti dulu karena mesti minjam atau nebeng ke kendaraan teman. Juga tidak lagi bergantung pada kendaraan umum, yang jauh dari hitungan nyaman dan aman. Selain memiliki sedikit postur ketika diundang rapat-rapat oleh dinas/instasi lain.

Memiliki mobil ternyata membawa saya kepada kebiasaan baru. Misalnya, saya harus bangun lebih pagi, karena harus memanaskan mesin dan mencuci bodinya agar selalu kelihatan terawat. Padahal sebelumnya, saya paling malas bangun pagi. Tak jarang saya bangun hanya lima belas menit menjelang apel pagi di kantorku yang hanya berjarak 20m dari tempat kosku kini. Untungnya, saya masih seringan ikut apel daripada bolosnya, meski kerap datang dengan tergopoh-gopoh pada detik-detik terakhir. Bila tidak, pasti banyak sindiran dari teman-teman: "Rumah di pinggir kantor kok masih kesiangan juga".

Saya juga mulai banyak belajar tentang mobil. Tentang bagaimana mengetahui kondisi mesin yang baik, cara pemeliharaan sehari-hari, dimana mencari spare part yang murah, bengkel mana yang bagus dan sebagainya. Juga tentang istilah-istilah, seperti tune up, spooring, balancing sampai pada jenis-jenis onderdil. Ini penting, karena saya harus selalu menjaga agar kondisinya selalu prima. Konon menjaga agar mobil tetap dalam kondisi prima jauh lebih baik dan murah daripada memperbaikinya ketika rusak.

Saya juga harus mulai menghapalkan jalan. Semenjak dulu, hal ini adalah kelemahan saya. Entah mengapa, saya sangat sulit mengingat rute jalan. Padahal kota Bandung terkenal memiliki jalan-jalan yang rumit dan hampir serupa. Makanya saya kemudian membeli sebuah peta khusus kota Bandung seharga 15.000 di Gramedia. Lumayan, bisa menjadi penolong ketika malam-malam tersesat di belantara jalan kota Bandung.

Tetapi sebenarnya yang paling menguras perhatianku adalah urusan yang paling utama: bagaimana bisa mengendarainya sendiri. Ya, karena saya memang belum bisa menyetir dengan baik (meski untungnya di negeri ini saya bisa juga mendapatkan SIM). Maka kemudian, hampir setiap hari selesai kantor, terutama di awal-awal, saya tugaskan staf-staf mengajariku menyetir Kebetulan saya memang memiliki staf yang rata-rata bisa menyetir, sehingga saya merasa tidak perlu mengambil kursus.

Ternyata tidak mudah. Saya merasa sangat terbebani dengan hal ini. Barangkali, ini hanya soal mental saja. Saya memang memiliki pengalaman yang buruk dalam setir menyetir. Mobil saya yang pertama dulu, saya jual karena hampir tiap saya bawa, pasti meninggalkan cacat. Saya pernah menubruk sebuah angkot, menyenggol tangga orang yang sedang mengecat di pinggir jalan, hampir meruntuhkan garasi di rumah dan terakhir menghantam pagar kantor sampai penyok. Dus, daripada uang saya habis untuk memperbaiki, lebih baik saya jual kembali. Sejak saat itu saya berkesimpulan dalam hati bahwa saya bukan seorang supir yang baik.
Menyetir memang kompleks. Ini tidak hanya berhubungan dengan keterampilan tangan dan kaki dalam mengendalikan kemudi atau menginjak rem dan gas, tetapi juga dipengaruhi oleh karakter psikologis seseorang. Saya percaya, sifat seseorang dapat tergambar dari caranya menyetir.

Untungya, meski terhitung sangat telat, akhirnya saya sudah mulai berani membawa mobil sendiri, meski terbatas pada tujuan yang dekat, seperti belanja. Untuk ke lokasi-lokasi yang jauh, saya masih sering minta temanin. Dan saya terus berlatih. Mudah-mudahan saja, lebaran nanti saya sudah bisa sampai ke Ciamis sendiri.