M E N U L I S
MENULIS itu mudah, kata Usep Romli HM ketika saya ajak berbincang di suatu siang yang kering di pojokan Geger Kalong. Bukankah kita melakukannya setiap hari? Dia tak sulit sama sekali. Yang mesti kita lakukan adalah mau mengawalinya dan terus berlatih.
Pantas, gumam saya. Hampir setiap hari kulihat tulisannya di media-media yang kutemui, terutama media Bandung, dari PR, Galamedia sampai Mangle dan Cupumanik. Sungguh beruntung bahwa di hari itu saya bisa berguru pada wartawan senior PR yang dikenal karena tulisan-tulisannya yang khas tentang Palestina dan Timur Tengah itu.
Saya sampaikan juga keheranan saya atas produktivitasnya yang mengagumkan, dengan kualitas karya yang selalu tetap terjaga. Sastrawan bangkotan rendah hati itu tertawa. Saya memang berbakat, katanya. Bakat ku butuh! :)
Tulis saja apa yang kau ingat, kau tahu dan kau rasakan, lanjutnya. Biasakan. Maka makin lama kau akan makin pandai memilih kata. Jangan takut salah, karena setiap orang pun bisa begitu. Bila bagus, saya bisa rekomendasikan tulisanmu ke PR, janjinya.
Siaplah pa Haji!
Selasa, Agustus 31, 2004
Senin, Juli 26, 2004
"N"
RABU malam, minggu kemarin, tiba-tiba saya mendapat sebuah sms pendek. "A, saya di Bandung. Di RS. Mau Operasi". Pengirimnya N, adik sepupu saya dari kota C. Hmmm. N yang pendiam, tetapi baik hati dan tidak sombong (juga suka menabung). N kecil, yang sangat dimanja oleh keluarganya. N yang kemudian memutuskan untuk menikah dalam usia sangat muda, 18 tahun. N yang kini telah dewasa.
Ingatan saya langsung tertuju pada kejadian dua tahun silam, ketika suatu malam kami dikejutkan oleh sebuah berita yang tak pernah diharapkan: motor yang dikemudikan, P, suaminya mengalami kecelakaan hebat di daerah Banjar.
Tentu saja kejadian itu mengagetkan kami, dan membuat kami sangat khawatir. Tidak saja pada keselamatan si korban, tetapi juga pada kondisi psikis N. Terlebih, baru sebulan, mereka merayakan kelahiran anaknya yang pertama. Sebagai ibu muda, yang biasa dimanja dan belum terbiasa menghadapi hal-hal buruk, kami khawatir N tidak akan bisa menerima kenyataan yang terjadi dengan tabah.
Dan kecelakaan seperti itu, bukan pertama kali terjadi pada keluarga besar kami. Beberapa waktu sebelumnya, seorang paman saya juga mengalami hal yang sama, yang menyebabkannya harus terbaring di ranjang setahun lamanya. Selang beberapa lama, meski tak terlalu parah, seorang paman lain juga jatuh dari motornya. Kejadian-kejadian tersebut membuat saya, sampai saat ini, tidak berani naik motor sendirian.
Tetapi, syukurlah, sang suami ternyata selamat. Meski kemudian dia harus berbaring di tempat tidur hampir setahun lebih, karena kaki dan tangannya yang patah mesti dipen. Bersyukur juga, meski sempat shock berat, N bisa melalui hal itu dengan baik. Kehidupan mereka setelah itu tetap berjalan normal.
Dan kini, sudah hampir dua tahun. Kiranya sudah tiba saatnya, pen yang dipasang di kaki dan tangan P dibuka. Maka, di hari besoknya, saya menyempatkan diri menengok mereka berdua di Rumah Sakit. Bahkan, di Jumat malamnya, saya bisa menemani ketegangan mereka, menjalani detik-detik operasi.
Yang kemudian membuat saya terharu adalah ketegaran dia menghadapi semua prosesi yang dilalui, meski tetap tak bisa menyembunyikan ketakutan khas kanak-kanak di wajah mudanya. Kesigapannya menyambut panggilan suster yang memintanya membelikan resep-resep yang diberikan dokter, dan kemudian dengan cepat berlari ke apotik. Keluguannya. Kedewasaannya.
Saya jadi teringat pada perjalanan hidup saya, yang juga tidak mudah. Yang bahkan kerap membuat saya iri, ketika melihat mereka-mereka yang bernasib lebih baik. Yang terkadang membuat saya jatuh meratap, menyesali diri. Saya jadi malu melihat ketegaran itu.
Ya. Terkadang hidup memang tidak selalu berjalan seperti yang kita kehendaki. Oleh karenanya, kita harus selalu siap menghadapi segala kesulitan yang mungkin terjadi. Kita tak semestinya takut terluka. Karena luka-luka itu akan memberi kita pelajaran. Luka-luka itu membuat kita dewasa.
Luka-luka yang tidak membunuhmu, kata Nietzsche, bahkan akan membuatmu tumbuh lebih kuat.
Senin, Juli 05, 2004
Milih Siapa Ya?
AMIEN Rais adalah seorang yang cerdas. Bila tidak, mana mungkin dia bisa sekolah di University of Chicago, meraih gelar professor dan menjadi dosen di UGM. Tidak setiap orang bisa mencapai tingkatan yang demikian. Hanya mereka yang memiliki tingkat intelegensia yang cukup yang bisa melakukannya.
Amien juga dikenal jujur dan bersih. Makanya dia pernah dipercaya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebuah organisasi keagamaan yang tentunya menjunjung tinggi moralitas dalam setiap urusannya. Apalagi tentang kepemimpinan organisasi. Jadi, integritas dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi.
Dan Amien memang berani. Sejarah telah membuktikannya. Sejak tahun 1992, konon dia sudah berani berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, sebuah hal tabu pada masa itu. Kemarin, di saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut penggulingan Soeharto, Amen tampil paling depan. Ketika kemudian situasi menuntutnya untuk ikut terjun ke politik, dia memutuskan untuk mendirikan Partai Amanat Nasional, yang pluraris. Sebuah keberanian yang di satu sisi menjadikannya populer dan mengangkatnya ke pentas jajaran kepemimpinan nasional. Tetapi di sisi lain juga membuatnya dicemooh.
Saya sendiri mengenalnya pertama kali dari tulisan-tulisannya di rubrik Resonansi Republika beberapa tahun silam, terutama tentang kasus Busang yang menghebohkan itu. Pada mulanya, seperti umumnya yang lain, saya agak kurang sreg juga dengan tokoh vokal ini. Di kehidupan kita yang pada masa lalu terbiasa adem ayem, orang seperti Amien memang menjengkelkan. Bahkan di masa kini, ketika semua orang bebas berbicara, bagi sebagian orang dia masih dianggap demikian.
Tetapi perlahan saya mulai menyukai orang ini. Pembawaannya yang tenang, lugas dan apa adanya, membuat saya terpikat. Dalam acara debat capres bersama Wiranto di TV7, dia ditanya apakah akan bertambah kaya atau miskin apabila apabila terpilih menjadi presiden. Dengan tanpa basa basi Amien mengatakan, "saya jelas akan lebih kaya, karena akan digaji 50 juta sebulan yang tidak saya dapatkan sekarang". Padahal Wiranto, dan barangkali juga capres lain, menjawabnya dengan diplomatis, "Saya kira biasa saja, tidak akan banyak berubah;.
Jadi nampaknya saya pertama-tama akan mempertimbangkan orang ini bila harus menentukan siapa yang harus menjadi presiden.
SBY juga menarik. Dia cerdas, santun, selalu tampak tenang, berwibawa dan kharismatik. Penampilannya meyakinkan. Dalam setiap wawancara, dia selalu memukau hadirin dengan jawaban-jawabannya yang elegan dan menentramkan hati. Tak heran bila banyak orang, terutama kaum hawa, terpikat. Meski kadang tampak terlalu hati-hati sehingga kerap menimbulkan kesan seorang peragu, sebenarnya SBY adalah orang yang cukup ideal memimpin Negara ini. Sayang saya agak kurang suka dengan tipe orang seperti dia. Secara tipikal, saya lebih menyukai Amien.
Ada juga Wiranto. Dia banyak dicaci orang, tetapi justru membuat saya menaruh simpati kepadanya. Berbeda dengan SBY yang hati-hati, Wiranto nampak lebih cepat mengambil keputusan. Dan ini yang membuatnya ikut terjerat dalam dosa masa lalu. Kesan saya terhadapnya adalah "The right man on the wrong time". Dia bertanda hitam, karena konsistensi dan tanggung jawab akan tugasnya di masa lalu. Dia sebenarnya adalah seorang kesatria.
Jadi hanya tiga calon yang akan saya pertimbangkan. Dua calon lain tidak terlalu menarik.
Tetapi sebenarnya percuma saja memikirkan itu, karena toh saya tidak termasuk dalam daftar pemilih. Saya terlau malas mengurus hal tersebut, pada saat pendaftaran susulan kemarin. Saya, jadinya, golput saja.
Ada juga pertanyaan dan sms dari beberapa kawan, yang saya jawab: saya pendukung Gus Dur, saya Golput. He he.
Selasa, Juni 29, 2004
S i t i
DARA cantik ini memang sungguh mempesona. Sejak kemunculannya di Indonesia beberapa tahun yang silam, penyanyi asal negeri jiran ini langsung membuat jutaan orang, termasuk saya, jatuh hati. Suaranya yang merdu dengan penampilannya yang sederhana, membikin orang terkagum-kagum. Bahkan sampai kini, sudah sekitar lima tahun berkiprah, kekaguman orang terhadapnya tidaklah berkurang. Malah bertambah. Paling tidak, tayangan konser eksklusifnya di Trans TV kemarin membuktikannya.
Siti bukanlah yang pertama dan satu-satunya penyanyi asal Malaysia yang meraih sukses di negeri ini. Dulu zaman bapak ibu kita, terkenal nama Anita Sarawak yang cukup melegenda. Kemudian, generasi awal 90-an tentu mengenal Search band, dengan ciri khas lengkingan suara Amy, sang vokalis, yang menggebrak blantika musik Indonesia dengan Issabela dan beberapa hits lain, yang sempat menjadi lagu wajib kami. Saat itu saya masih remaja belasan tahun.
Lalu diikuti juga oleh band-band lain sejenis, dari Iklim, Wings, May, Uks sampai Slam, yang kemudian melahirkan genre musik khas: merdu mendayu, nada dasar di minor, dan lirik yang cengeng. Sampai-sampai saya sempat menyangka semua pria Malaysia kerjaannya setiap hari patah hati melulu. Waktu itu di Indonesia juga lagi zaman keemasannya lagu-lagu Deddy Dores, yang hampir serupa. Klop lah.
Tetapi nampaknya genre musik tersebut hanya ngetop pada kalangan menengah ke bawah. Saya masih ingat, pada kuis Gita Remaja di TVRI dulu, Kris Dayanti, kala itu masih imut, tidak dapat menebak lagu Cinta Kita-nya Amy Search dan Inka Kristi yang sedang ngetop-ngetopnya. Padahal, ketika diajukan soal musik barat, yang tidak pernah saya dengar, Kris begitu cepat memencet tombol.
Mereka yang berasal dari kalangan atas, atau yang berlagak atas, barangkali lebih mengenal Sheila Madjid, sang Diva, yang mulai terkenal dengan Antara Anyer dan Jakarta-nya di awal 90-an juga. Atau yang sekarang lagi naik daun, Too Phat, yang berhasil menggandeng Dian Sastro di album barunya.
Jadi cukup banyak penyanyi Malaysia yang terkenal di Indonesia. Tetapi dari kesemua itu, barangkali hanya Siti Nurhaliza yang memiliki kekhasan tersendiri, karena pengemarnya yang bejibun, dan berasal dari semua kalangan. Kaya-miskin, tua-muda, kota-desa, pria-wanita, goblok-pinter. Bahkan dari teman saya yang tidak pernah sembahyang, sampai Aa Gym pun, mengaguminya. Siti benar-benar telah berhasil memikat hati semua orang.
Maka kini Siti pun makin sering tampil di Indonesia. Kabarnya dia memang lebih betah tinggal di sini dari pada di negerinya sana. Bahkan menurut sahibul gosip, Siti juga menginginkan untuk mendapatkan suami orang Indonesia. Tak heran bila kemudian kedua adik saya begitu besemangat mempromosikannya. Berkali-kali mereka mengsms agar saya ikut mendaftar. Ngaco! kata saya, yang membuat keduanya sedikit tersinggung. Kiranya mereka cukup serius dengan proposalnya itu. Gendeng!
Tetapi mengapakah dara ini bisa membuat orang-orang di negeri ini begitu terpikat?
Suaranya memang merdu. Lagu-lagunya juga enak didengar. Wajahnya cantik rupawan. Tetapi semuanya tidak akan menjadi begitu mempesona, tanpa daya tarik yang satu ini: attitude-nya. Kesederhanaan penampilannya, kesantunan cara bicaranya, keluguan sikapnya. Cara berbusananya yang sopan, gaya menarinya yang tidak berlebihan, juga kehidupannya yang jauh dari glamourisme. Siti nampaknya telah dapat mengisi kerinduan orang akan eksotisme gadis timur, yang kini hampir menghilang, terhanyut arus modernisasi. Siti adalah sang Putri dari Timur, yang cantik, baik hati, dan pandai menjaga kehormatan diri. Pada Siti hadir semua hal yang didamba orang-orang di negeri ini.
Yang saya herankan adalah mengapa fenomena ini tidak menimbulkan wabah, seperti fenomena-fenomena lain. Goyang ngebor Inul, sempat begitu mewabah, hingga menghasilkan varian-varian lain, dari goyang patah-patah, goyang kayang sampai goyang ngecor. Heboh F4 telah menyebabkan banyak anak muda bergaya model Dao Ming Se atau Wu Ce Li. Dulu, waktu gaya rambut Demi More dan Keanu Reeves, membikin orang tidak betah memanjangkan rambutnya.
Mengapakah kesederhanaan dan kesantunan Siti tidak membuat gadis-gadis muda kita tergerak untuk mengikutinya?
Sampai saat ini saya tidak bisa menemukan jawabannya.
Sabtu, Juni 19, 2004
Bahasa Sunda Bisa Mati?
TANDA tanya hitam itu dilontarkan Ajip Rosidi pada Majalah Cupumanik 11/2004 (Basa Sunda Bisa Paeh?). Jawabnya? Bisa, tegas sang begawan. Secara teoritis maupun berdasarkan kondisi faktuil yang ada, semuanya mendukung kemungkinan itu. Secara teoritis, menurut Ajip, sebuah bahasa, termasuk tentunya bahasa Sunda, bukanlah sesuatu yang abadi. Dia bisa saja mati. Ketika sudah tak lagi digunakan oleh para penggunanya, maka suatu bahasa dikatakan mati. Berdasarkan penelitian, pada abad 20 kemarin, konon terdapat ribuan bahasa di dunia yang musnah. Dan di abad ke 21 ini diperkirakan setiap 10 hari satu bahasa mengalami hal yang sama. Bukan tidak mungkin, risau Ajip, Bahasa Sunda adalah salah satu yang sedang antri diantara bahasa-bahasa dunia yang akan mati tersebut. Terutama bila kita melihat perkembangan realitas yang ada di masyarakat Sunda sekarang.
Secara faktuil, perkembangan yang terjadi di masyarakat memang sangat mendukung kemungkinan tersebut. Tengoklah di kota-kota besar seperti Bandung dan Bogor, dua kota yang memiliki nilai strategis bagi orang Sunda. Bandung adalah ibukota Jawa Barat, satu-satunya propinsi yang identik dengan etnis Sunda di dunia ini. Maka kota Bandung seharusnya menjadi show room dan tolok ukur perkembangan budaya Sunda, termasuk bahasa Sunda. Demikian juga Bogor, kota yang memiliki nilai historis penting bagi Orang Sunda, karena di sanalah konon letak Kerajaan Sunda dulu. Di kedua kota itu, kini, jumlah pengguna bahasa Sunda semakin lama semakin menyusut. Lihatlah di sekolah-sekolahnya. Di mall, di bioskop, di terminal, di bis, di kompleks-kompleks perumahan, di kantor. Anak-anak kecilnya, gadis-gadis cantiknya. Umumnya sudah jarang terdengar ada yang menggunakan bahasa Sunda, meskipun pastilah mayoritas mereka adalah etnis sunda.
Bila di kedua kota strategis itu saja, bahasa Sunda sudah mulai ditinggalkan para penggunanya, maka kita dapat memperkirakan dengan jelas bahwa masa depan bahasa yang sudah berumur lima abad itu memang sungguh suram. Juga di Tangerang, Bekasi, Depok, tempat-tempat dimana tentunya dulu mayoritas penduduknya adalah pengguna bahasa Sunda. Kini hampir tak terdengar lagi dangiang Sunda di sana.
Gejala ini terus menjalar, seganas penyakit menular, ke kota-kota lain di sekitarnya. Barangkali puluhan tahun yang akan datang, bahasa Sunda bisa jadi hanya dikenal sebagai "bahasa gunung", yang hanya dipergunakan oleh sekelompok komunitas aneh yang tingal di bukit-bukit terpencil, sebelum akhirnya mati tergerus zaman. Sayangnya, belum ada penelitian yang serius tentang ini.
Di kota-kota tadi, bahasa Sunda bukan lagi berlaku sebagai bahasa ibu (mother tounge) bagi anak-anak sunda yang lahir. Anak-anak Sunda pun karenanya tidak lagi berbahasa Sunda, dan mengenalnya hanya sebagai bahasa untuk ayah ibu atau kakek nenek mereka, dan bukan untuknya. Sebuah gejala yang mengimplikasikan putusnya regenerasi para pengguna bahasa Sunda di sana. Padahal regenerasi adalah sebuah hal yang paling penting untuk kelangsungan hidup sebuah komunitas. Dan ketika komunitas berbahasa Sunda tidak lagi bisa berregenerasi, maka hampir dapat dipastikan bahwa bahasa Sunda memang sedang menuju ajal! Tentunya bila tidak ada perkembangan lain yang menolong.
Masalahnya adalah, seberapa pentingkah isu ini bagi kita sehingga Ajip perlu berkali-kali memperingatkannya? Konsekwensi apa memangnya yang akan terjadi pada kita bila bahasa Sunda benar-benar mati?
Kematian Bahasa = Kematian Bangsa
Bahasa, konon, adalah karakter unikum sebuah bangsa. Berbagai sisi unik sebuah bangsa akan tergambar pada bahasanya, karena bahasa terbentuk dari pergulatan berabad-abad sebuah bangsa dengan lingkungan dan kehidupannya, jasmani maupun ruhani. Adanya sisi unik tersebut menyebabkan sebuah bangsa dapat dibedakan dengan yang lain. Maka orang sering menyebut bahasa adalah ciri sebuah bangsa. Jadi adanya bahasa Sunda, adalah ciri adanya (suku) bangsa Sunda.
Maka bila bahasa sunda benar-benar mati, berarti berakhir pulalah sejarah orang-orang Sunda dari atas bumi ini. Karena karakter unik orang sunda yang terwakili pada bahasanya akan hilang. Kematian bahasa Sunda jadinya adalah juga kematian Sunda sebagai entitas etnis. Dus, kematian bahasa Sunda adalah kematian eksistensi kita.
Sebuah kematian yang patut disesali, karena selain belum banyak mewariskan karya besar pada kehidupan dunia, juga tidak melalui sebuah perjuangan mempertahankan diri yang heroik. Sebuah kematian yang tragis, karena justru disebabkan kebodohan dan ketidakpedulian anak-anaknya sendiri. Sebuah kematian pengecut yang kalah. Sebuah kematian konyol, yang sebenarnya bisa dihindari.
Hal ini nampaknya bukan sama sekali tidak pernah disadari oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Tetapi di hari ini, di era konsumerisme bersimaharajalela, di era kebebasan brutal dan hedonistik, di era ketika masalah-masalah kehormatan dan harga diri menjadi nomor ke dua ratus sembilan puluh sembilan, di era ketika masalah-masalah ketinggian ruhani kalah oleh kepuasan jasmaniah sesaat, semua itu menjadi tak lagi berarti. Dan itu, kini, sah-sah saja, selama tidak membunuh orang.
Maka yang harus dilakukan kini adalah berdagang. Kita, yang masih berharap Sunda akan tetap hidup abadi, harus berupaya untuk menampilkannya lebih menarik. Lebih seksi. Sehingga orang lain bisa memilihnya tanpa harus ditumpangi rasa terpaksa. Bahkan mereka akan merasa bangga, dan menikmatinya.
Fenomena Kue Surabi
Dalam hal ini kita harus belajar pada fenomena kue surabi seperti yang digambarkan Hawe Setiawan pada majalah yang sama (Cupumanik, 11/2004, Sorabi Tutung Biritna). Pada beberapa hal, bahasa Sunda memiliki kesamaan dengan kue ini. Sama-sama produk lama, karena sudah ada sejak sebelum kita lahir, sama-sama hasil karya sendiri orang Sunda (meski mungkin pada mulanya dipengaruhi juga dari kebudayaan lan), dan sama-sama memiliki masalah dengan eksistensi.
Seperti produk-produk lokal lain, surabi, kini memiliki banyak saingan berat, dari donat sampai pizza, yang memiliki citra yang lebih tinggi, penampilan lebih menarik dan rasa lebih bervariasi. Popularitas sorabi terancam. Citra yang sudah kadung melekat sebagai makanan kampung, dengan penampilan yang juga kampungan dan rasa yang begitu-begitu saja, sulit membuatnya bersaing. Nampaknya, umur surabi akan berakhir, dan ditinggalkan.
Tapi ternyata tidak semudah itu. Di sebuah tempat di Bandung utara, konon terdapat sebuah warung (kafe) yang menu utamanya adalah kue surabi. Pengunjungnya selalu penuh, dan datang dari kalangan menengah ke atas. Orang kota dalam arti sebenar-benarnya. Tentunya mereka bukan kebetulan mampir. Mereka datang untuk menikmati surabi yang dihidangkan. Dan mereka tidak merasa rikuh menyantap makanan khas kampung tersebut.
Tentu saja tidak sama dengan surabi di kampung-kampung. Dia sudah bermetamorfosa. Dari pelayannya yang cantik dan muda, jenis surabinya yang bervariasi, penampilannya yang lebih modern, rasanya yang macam-macam, sampai harganya yang jauh di atas surabi biasa. Tetapi apapun, namanya tetap surabi.
Sebuah fenomena unik, yang sebenarnya bisa diambil pelajaran.
Menampilkan Sunda Terhormat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004). Di sana saya menyatakan bahwa keengganan orang untuk menampilkan Sunda, adalah disebabkan persepsi orang yang rendah terhadapnya. Diakui atau tidak, orang Sunda kini merasa inferior dengan keadaannya sendiri. Maka jangan heran, bila di Bandung, anda akan lebih sering dipanggil Mas atau Mbak, dari pada dengan Akang atau Teteh, dan disapa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia dianggap lebih dapat menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi penggunanya.
Persepsi yang rendah tersebut disebabkan oleh penampilan Kesundaan yang memang tidak pernah disajikan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu-begitu saja, miskin inovasi. Sehingga kesan yang tercipta adalah kuno, murah, kampungan, tidak intelek, tidak bergengsi dan sejenisnya. Persis kasus kue surabi tadi. Sehingga untuk meningkatkannya, tidak ada jalan lain, penampilannya pun harus diperhatikan.
Jadi buku-buku, majalah Sunda, kesenian dan produk-produk Sunda lain, harus dikemas dengan penampilan lebih menarik, modern, cerdas dan terhormat. Penampilan yang akan membuat seluruh orang Sunda bangga. Bila ini sudah bisa tercapai, saya kira kita tak akan pernah mati, atau bila memang pada akhirnya mati juga, orang akan mengenang kita sebagai bangsa yang besar dan terhormat.
Langganan:
Postingan (Atom)