AMIEN Rais adalah seorang yang cerdas. Bila tidak, mana mungkin dia bisa sekolah di University of Chicago, meraih gelar professor dan menjadi dosen di UGM. Tidak setiap orang bisa mencapai tingkatan yang demikian. Hanya mereka yang memiliki tingkat intelegensia yang cukup yang bisa melakukannya.
Amien juga dikenal jujur dan bersih. Makanya dia pernah dipercaya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebuah organisasi keagamaan yang tentunya menjunjung tinggi moralitas dalam setiap urusannya. Apalagi tentang kepemimpinan organisasi. Jadi, integritas dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi.
Dan Amien memang berani. Sejarah telah membuktikannya. Sejak tahun 1992, konon dia sudah berani berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, sebuah hal tabu pada masa itu. Kemarin, di saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut penggulingan Soeharto, Amen tampil paling depan. Ketika kemudian situasi menuntutnya untuk ikut terjun ke politik, dia memutuskan untuk mendirikan Partai Amanat Nasional, yang pluraris. Sebuah keberanian yang di satu sisi menjadikannya populer dan mengangkatnya ke pentas jajaran kepemimpinan nasional. Tetapi di sisi lain juga membuatnya dicemooh.
Saya sendiri mengenalnya pertama kali dari tulisan-tulisannya di rubrik Resonansi Republika beberapa tahun silam, terutama tentang kasus Busang yang menghebohkan itu. Pada mulanya, seperti umumnya yang lain, saya agak kurang sreg juga dengan tokoh vokal ini. Di kehidupan kita yang pada masa lalu terbiasa adem ayem, orang seperti Amien memang menjengkelkan. Bahkan di masa kini, ketika semua orang bebas berbicara, bagi sebagian orang dia masih dianggap demikian.
Tetapi perlahan saya mulai menyukai orang ini. Pembawaannya yang tenang, lugas dan apa adanya, membuat saya terpikat. Dalam acara debat capres bersama Wiranto di TV7, dia ditanya apakah akan bertambah kaya atau miskin apabila apabila terpilih menjadi presiden. Dengan tanpa basa basi Amien mengatakan, "saya jelas akan lebih kaya, karena akan digaji 50 juta sebulan yang tidak saya dapatkan sekarang". Padahal Wiranto, dan barangkali juga capres lain, menjawabnya dengan diplomatis, "Saya kira biasa saja, tidak akan banyak berubah;.
Jadi nampaknya saya pertama-tama akan mempertimbangkan orang ini bila harus menentukan siapa yang harus menjadi presiden.
SBY juga menarik. Dia cerdas, santun, selalu tampak tenang, berwibawa dan kharismatik. Penampilannya meyakinkan. Dalam setiap wawancara, dia selalu memukau hadirin dengan jawaban-jawabannya yang elegan dan menentramkan hati. Tak heran bila banyak orang, terutama kaum hawa, terpikat. Meski kadang tampak terlalu hati-hati sehingga kerap menimbulkan kesan seorang peragu, sebenarnya SBY adalah orang yang cukup ideal memimpin Negara ini. Sayang saya agak kurang suka dengan tipe orang seperti dia. Secara tipikal, saya lebih menyukai Amien.
Ada juga Wiranto. Dia banyak dicaci orang, tetapi justru membuat saya menaruh simpati kepadanya. Berbeda dengan SBY yang hati-hati, Wiranto nampak lebih cepat mengambil keputusan. Dan ini yang membuatnya ikut terjerat dalam dosa masa lalu. Kesan saya terhadapnya adalah "The right man on the wrong time". Dia bertanda hitam, karena konsistensi dan tanggung jawab akan tugasnya di masa lalu. Dia sebenarnya adalah seorang kesatria.
Jadi hanya tiga calon yang akan saya pertimbangkan. Dua calon lain tidak terlalu menarik.
Tetapi sebenarnya percuma saja memikirkan itu, karena toh saya tidak termasuk dalam daftar pemilih. Saya terlau malas mengurus hal tersebut, pada saat pendaftaran susulan kemarin. Saya, jadinya, golput saja.
Ada juga pertanyaan dan sms dari beberapa kawan, yang saya jawab: saya pendukung Gus Dur, saya Golput. He he.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar