Senin, Juli 26, 2004

"N"

RABU malam, minggu kemarin, tiba-tiba saya mendapat sebuah sms pendek. "A, saya di Bandung. Di RS. Mau Operasi". Pengirimnya N, adik sepupu saya dari kota C. Hmmm. N yang pendiam, tetapi baik hati dan tidak sombong (juga suka menabung). N kecil, yang sangat dimanja oleh keluarganya. N yang kemudian memutuskan untuk menikah dalam usia sangat muda, 18 tahun. N yang kini telah dewasa.

Ingatan saya langsung tertuju pada kejadian dua tahun silam, ketika suatu malam kami dikejutkan oleh sebuah berita yang tak pernah diharapkan: motor yang dikemudikan, P, suaminya mengalami kecelakaan hebat di daerah Banjar.

Tentu saja kejadian itu mengagetkan kami, dan membuat kami sangat khawatir. Tidak saja pada keselamatan si korban, tetapi juga pada kondisi psikis N. Terlebih, baru sebulan, mereka merayakan kelahiran anaknya yang pertama. Sebagai ibu muda, yang biasa dimanja dan belum terbiasa menghadapi hal-hal buruk, kami khawatir N tidak akan bisa menerima kenyataan yang terjadi dengan tabah.

Dan kecelakaan seperti itu, bukan pertama kali terjadi pada keluarga besar kami. Beberapa waktu sebelumnya, seorang paman saya juga mengalami hal yang sama, yang menyebabkannya harus terbaring di ranjang setahun lamanya. Selang beberapa lama, meski tak terlalu parah, seorang paman lain juga jatuh dari motornya. Kejadian-kejadian tersebut membuat saya, sampai saat ini, tidak berani naik motor sendirian.

Tetapi, syukurlah, sang suami ternyata selamat. Meski kemudian dia harus berbaring di tempat tidur hampir setahun lebih, karena kaki dan tangannya yang patah mesti dipen. Bersyukur juga, meski sempat shock berat, N bisa melalui hal itu dengan baik. Kehidupan mereka setelah itu tetap berjalan normal.

Dan kini, sudah hampir dua tahun. Kiranya sudah tiba saatnya, pen yang dipasang di kaki dan tangan P dibuka. Maka, di hari besoknya, saya menyempatkan diri menengok mereka berdua di Rumah Sakit. Bahkan, di Jumat malamnya, saya bisa menemani ketegangan mereka, menjalani detik-detik operasi.

Yang kemudian membuat saya terharu adalah ketegaran dia menghadapi semua prosesi yang dilalui, meski tetap tak bisa menyembunyikan ketakutan khas kanak-kanak di wajah mudanya. Kesigapannya menyambut panggilan suster yang memintanya membelikan resep-resep yang diberikan dokter, dan kemudian dengan cepat berlari ke apotik. Keluguannya. Kedewasaannya.

Saya jadi teringat pada perjalanan hidup saya, yang juga tidak mudah. Yang bahkan kerap membuat saya iri, ketika melihat mereka-mereka yang bernasib lebih baik. Yang terkadang membuat saya jatuh meratap, menyesali diri. Saya jadi malu melihat ketegaran itu.

Ya. Terkadang hidup memang tidak selalu berjalan seperti yang kita kehendaki. Oleh karenanya, kita harus selalu siap menghadapi segala kesulitan yang mungkin terjadi. Kita tak semestinya takut terluka. Karena luka-luka itu akan memberi kita pelajaran. Luka-luka itu membuat kita dewasa.

Luka-luka yang tidak membunuhmu, kata Nietzsche, bahkan akan membuatmu tumbuh lebih kuat.

Tidak ada komentar: