Sabtu, Juni 19, 2004

Bahasa Sunda Bisa Mati?

TANDA tanya hitam itu dilontarkan Ajip Rosidi pada Majalah Cupumanik 11/2004 (Basa Sunda Bisa Paeh?). Jawabnya? Bisa, tegas sang begawan. Secara teoritis maupun berdasarkan kondisi faktuil yang ada, semuanya mendukung kemungkinan itu. Secara teoritis, menurut Ajip, sebuah bahasa, termasuk tentunya bahasa Sunda, bukanlah sesuatu yang abadi. Dia bisa saja mati. Ketika sudah tak lagi digunakan oleh para penggunanya, maka suatu bahasa dikatakan mati. Berdasarkan penelitian, pada abad 20 kemarin, konon terdapat ribuan bahasa di dunia yang musnah. Dan di abad ke 21 ini diperkirakan setiap 10 hari satu bahasa mengalami hal yang sama. Bukan tidak mungkin, risau Ajip, Bahasa Sunda adalah salah satu yang sedang antri diantara bahasa-bahasa dunia yang akan mati tersebut. Terutama bila kita melihat perkembangan realitas yang ada di masyarakat Sunda sekarang.

Secara faktuil, perkembangan yang terjadi di masyarakat memang sangat mendukung kemungkinan tersebut. Tengoklah di kota-kota besar seperti Bandung dan Bogor, dua kota yang memiliki nilai strategis bagi orang Sunda. Bandung adalah ibukota Jawa Barat, satu-satunya propinsi yang identik dengan etnis Sunda di dunia ini. Maka kota Bandung seharusnya menjadi show room dan tolok ukur perkembangan budaya Sunda, termasuk bahasa Sunda. Demikian juga Bogor, kota yang memiliki nilai historis penting bagi Orang Sunda, karena di sanalah konon letak Kerajaan Sunda dulu. Di kedua kota itu, kini, jumlah pengguna bahasa Sunda semakin lama semakin menyusut. Lihatlah di sekolah-sekolahnya. Di mall, di bioskop, di terminal, di bis, di kompleks-kompleks perumahan, di kantor. Anak-anak kecilnya, gadis-gadis cantiknya. Umumnya sudah jarang terdengar ada yang menggunakan bahasa Sunda, meskipun pastilah mayoritas mereka adalah etnis sunda.

Bila di kedua kota strategis itu saja, bahasa Sunda sudah mulai ditinggalkan para penggunanya, maka kita dapat memperkirakan dengan jelas bahwa masa depan bahasa yang sudah berumur lima abad itu memang sungguh suram. Juga di Tangerang, Bekasi, Depok, tempat-tempat dimana tentunya dulu mayoritas penduduknya adalah pengguna bahasa Sunda. Kini hampir tak terdengar lagi dangiang Sunda di sana.

Gejala ini terus menjalar, seganas penyakit menular, ke kota-kota lain di sekitarnya. Barangkali puluhan tahun yang akan datang, bahasa Sunda bisa jadi hanya dikenal sebagai "bahasa gunung", yang hanya dipergunakan oleh sekelompok komunitas aneh yang tingal di bukit-bukit terpencil, sebelum akhirnya mati tergerus zaman. Sayangnya, belum ada penelitian yang serius tentang ini.

Di kota-kota tadi, bahasa Sunda bukan lagi berlaku sebagai bahasa ibu (mother tounge) bagi anak-anak sunda yang lahir. Anak-anak Sunda pun karenanya tidak lagi berbahasa Sunda, dan mengenalnya hanya sebagai bahasa untuk ayah ibu atau kakek nenek mereka, dan bukan untuknya. Sebuah gejala yang mengimplikasikan putusnya regenerasi para pengguna bahasa Sunda di sana. Padahal regenerasi adalah sebuah hal yang paling penting untuk kelangsungan hidup sebuah komunitas. Dan ketika komunitas berbahasa Sunda tidak lagi bisa berregenerasi, maka hampir dapat dipastikan bahwa bahasa Sunda memang sedang menuju ajal! Tentunya bila tidak ada perkembangan lain yang menolong.

Masalahnya adalah, seberapa pentingkah isu ini bagi kita sehingga Ajip perlu berkali-kali memperingatkannya? Konsekwensi apa memangnya yang akan terjadi pada kita bila bahasa Sunda benar-benar mati?


Kematian Bahasa = Kematian Bangsa
Bahasa, konon, adalah karakter unikum sebuah bangsa. Berbagai sisi unik sebuah bangsa akan tergambar pada bahasanya, karena bahasa terbentuk dari pergulatan berabad-abad sebuah bangsa dengan lingkungan dan kehidupannya, jasmani maupun ruhani. Adanya sisi unik tersebut menyebabkan sebuah bangsa dapat dibedakan dengan yang lain. Maka orang sering menyebut bahasa adalah ciri sebuah bangsa. Jadi adanya bahasa Sunda, adalah ciri adanya (suku) bangsa Sunda.

Maka bila bahasa sunda benar-benar mati, berarti berakhir pulalah sejarah orang-orang Sunda dari atas bumi ini. Karena karakter unik orang sunda yang terwakili pada bahasanya akan hilang. Kematian bahasa Sunda jadinya adalah juga kematian Sunda sebagai entitas etnis. Dus, kematian bahasa Sunda adalah kematian eksistensi kita.

Sebuah kematian yang patut disesali, karena selain belum banyak mewariskan karya besar pada kehidupan dunia, juga tidak melalui sebuah perjuangan mempertahankan diri yang heroik. Sebuah kematian yang tragis, karena justru disebabkan kebodohan dan ketidakpedulian anak-anaknya sendiri. Sebuah kematian pengecut yang kalah. Sebuah kematian konyol, yang sebenarnya bisa dihindari.

Hal ini nampaknya bukan sama sekali tidak pernah disadari oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Tetapi di hari ini, di era konsumerisme bersimaharajalela, di era kebebasan brutal dan hedonistik, di era ketika masalah-masalah kehormatan dan harga diri menjadi nomor ke dua ratus sembilan puluh sembilan, di era ketika masalah-masalah ketinggian ruhani kalah oleh kepuasan jasmaniah sesaat, semua itu menjadi tak lagi berarti. Dan itu, kini, sah-sah saja, selama tidak membunuh orang.

Maka yang harus dilakukan kini adalah berdagang. Kita, yang masih berharap Sunda akan tetap hidup abadi, harus berupaya untuk menampilkannya lebih menarik. Lebih seksi. Sehingga orang lain bisa memilihnya tanpa harus ditumpangi rasa terpaksa. Bahkan mereka akan merasa bangga, dan menikmatinya.


Fenomena Kue Surabi
Dalam hal ini kita harus belajar pada fenomena kue surabi seperti yang digambarkan Hawe Setiawan pada majalah yang sama (Cupumanik, 11/2004, Sorabi Tutung Biritna). Pada beberapa hal, bahasa Sunda memiliki kesamaan dengan kue ini. Sama-sama produk lama, karena sudah ada sejak sebelum kita lahir, sama-sama hasil karya sendiri orang Sunda (meski mungkin pada mulanya dipengaruhi juga dari kebudayaan lan), dan sama-sama memiliki masalah dengan eksistensi.

Seperti produk-produk lokal lain, surabi, kini memiliki banyak saingan berat, dari donat sampai pizza, yang memiliki citra yang lebih tinggi, penampilan lebih menarik dan rasa lebih bervariasi. Popularitas sorabi terancam. Citra yang sudah kadung melekat sebagai makanan kampung, dengan penampilan yang juga kampungan dan rasa yang begitu-begitu saja, sulit membuatnya bersaing. Nampaknya, umur surabi akan berakhir, dan ditinggalkan.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Di sebuah tempat di Bandung utara, konon terdapat sebuah warung (kafe) yang menu utamanya adalah kue surabi. Pengunjungnya selalu penuh, dan datang dari kalangan menengah ke atas. Orang kota dalam arti sebenar-benarnya. Tentunya mereka bukan kebetulan mampir. Mereka datang untuk menikmati surabi yang dihidangkan. Dan mereka tidak merasa rikuh menyantap makanan khas kampung tersebut.

Tentu saja tidak sama dengan surabi di kampung-kampung. Dia sudah bermetamorfosa. Dari pelayannya yang cantik dan muda, jenis surabinya yang bervariasi, penampilannya yang lebih modern, rasanya yang macam-macam, sampai harganya yang jauh di atas surabi biasa. Tetapi apapun, namanya tetap surabi.

Sebuah fenomena unik, yang sebenarnya bisa diambil pelajaran.


Menampilkan Sunda Terhormat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004). Di sana saya menyatakan bahwa keengganan orang untuk menampilkan Sunda, adalah disebabkan persepsi orang yang rendah terhadapnya. Diakui atau tidak, orang Sunda kini merasa inferior dengan keadaannya sendiri. Maka jangan heran, bila di Bandung, anda akan lebih sering dipanggil Mas atau Mbak, dari pada dengan Akang atau Teteh, dan disapa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia dianggap lebih dapat menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi penggunanya.

Persepsi yang rendah tersebut disebabkan oleh penampilan Kesundaan yang memang tidak pernah disajikan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu-begitu saja, miskin inovasi. Sehingga kesan yang tercipta adalah kuno, murah, kampungan, tidak intelek, tidak bergengsi dan sejenisnya. Persis kasus kue surabi tadi. Sehingga untuk meningkatkannya, tidak ada jalan lain, penampilannya pun harus diperhatikan.

Jadi buku-buku, majalah Sunda, kesenian dan produk-produk Sunda lain, harus dikemas dengan penampilan lebih menarik, modern, cerdas dan terhormat. Penampilan yang akan membuat seluruh orang Sunda bangga. Bila ini sudah bisa tercapai, saya kira kita tak akan pernah mati, atau bila memang pada akhirnya mati juga, orang akan mengenang kita sebagai bangsa yang besar dan terhormat.

Tidak ada komentar: