Senin, Juli 05, 2004

Milih Siapa Ya?



AMIEN Rais adalah seorang yang cerdas. Bila tidak, mana mungkin dia bisa sekolah di University of Chicago, meraih gelar professor dan menjadi dosen di UGM. Tidak setiap orang bisa mencapai tingkatan yang demikian. Hanya mereka yang memiliki tingkat intelegensia yang cukup yang bisa melakukannya.

Amien juga dikenal jujur dan bersih. Makanya dia pernah dipercaya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebuah organisasi keagamaan yang tentunya menjunjung tinggi moralitas dalam setiap urusannya. Apalagi tentang kepemimpinan organisasi. Jadi, integritas dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi.

Dan Amien memang berani. Sejarah telah membuktikannya. Sejak tahun 1992, konon dia sudah berani berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, sebuah hal tabu pada masa itu. Kemarin, di saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut penggulingan Soeharto, Amen tampil paling depan. Ketika kemudian situasi menuntutnya untuk ikut terjun ke politik, dia memutuskan untuk mendirikan Partai Amanat Nasional, yang pluraris. Sebuah keberanian yang di satu sisi menjadikannya populer dan mengangkatnya ke pentas jajaran kepemimpinan nasional. Tetapi di sisi lain juga membuatnya dicemooh.

Saya sendiri mengenalnya pertama kali dari tulisan-tulisannya di rubrik Resonansi Republika beberapa tahun silam, terutama tentang kasus Busang yang menghebohkan itu. Pada mulanya, seperti umumnya yang lain, saya agak kurang sreg juga dengan tokoh vokal ini. Di kehidupan kita yang pada masa lalu terbiasa adem ayem, orang seperti Amien memang menjengkelkan. Bahkan di masa kini, ketika semua orang bebas berbicara, bagi sebagian orang dia masih dianggap demikian.

Tetapi perlahan saya mulai menyukai orang ini. Pembawaannya yang tenang, lugas dan apa adanya, membuat saya terpikat. Dalam acara debat capres bersama Wiranto di TV7, dia ditanya apakah akan bertambah kaya atau miskin apabila apabila terpilih menjadi presiden. Dengan tanpa basa basi Amien mengatakan, "saya jelas akan lebih kaya, karena akan digaji 50 juta sebulan yang tidak saya dapatkan sekarang". Padahal Wiranto, dan barangkali juga capres lain, menjawabnya dengan diplomatis, "Saya kira biasa saja, tidak akan banyak berubah;.

Jadi nampaknya saya pertama-tama akan mempertimbangkan orang ini bila harus menentukan siapa yang harus menjadi presiden.

SBY juga menarik. Dia cerdas, santun, selalu tampak tenang, berwibawa dan kharismatik. Penampilannya meyakinkan. Dalam setiap wawancara, dia selalu memukau hadirin dengan jawaban-jawabannya yang elegan dan menentramkan hati. Tak heran bila banyak orang, terutama kaum hawa, terpikat. Meski kadang tampak terlalu hati-hati sehingga kerap menimbulkan kesan seorang peragu, sebenarnya SBY adalah orang yang cukup ideal memimpin Negara ini. Sayang saya agak kurang suka dengan tipe orang seperti dia. Secara tipikal, saya lebih menyukai Amien.

Ada juga Wiranto. Dia banyak dicaci orang, tetapi justru membuat saya menaruh simpati kepadanya. Berbeda dengan SBY yang hati-hati, Wiranto nampak lebih cepat mengambil keputusan. Dan ini yang membuatnya ikut terjerat dalam dosa masa lalu. Kesan saya terhadapnya adalah "The right man on the wrong time". Dia bertanda hitam, karena konsistensi dan tanggung jawab akan tugasnya di masa lalu. Dia sebenarnya adalah seorang kesatria.

Jadi hanya tiga calon yang akan saya pertimbangkan. Dua calon lain tidak terlalu menarik.

Tetapi sebenarnya percuma saja memikirkan itu, karena toh saya tidak termasuk dalam daftar pemilih. Saya terlau malas mengurus hal tersebut, pada saat pendaftaran susulan kemarin. Saya, jadinya, golput saja.

Ada juga pertanyaan dan sms dari beberapa kawan, yang saya jawab: saya pendukung Gus Dur, saya Golput. He he.

Selasa, Juni 29, 2004

S i t i

DARA cantik ini memang sungguh mempesona. Sejak kemunculannya di Indonesia beberapa tahun yang silam, penyanyi asal negeri jiran ini langsung membuat jutaan orang, termasuk saya, jatuh hati. Suaranya yang merdu dengan penampilannya yang sederhana, membikin orang terkagum-kagum. Bahkan sampai kini, sudah sekitar lima tahun berkiprah, kekaguman orang terhadapnya tidaklah berkurang. Malah bertambah. Paling tidak, tayangan konser eksklusifnya di Trans TV kemarin membuktikannya.

Siti bukanlah yang pertama dan satu-satunya penyanyi asal Malaysia yang meraih sukses di negeri ini. Dulu zaman bapak ibu kita, terkenal nama Anita Sarawak yang cukup melegenda. Kemudian, generasi awal 90-an tentu mengenal Search band, dengan ciri khas lengkingan suara Amy, sang vokalis, yang menggebrak blantika musik Indonesia dengan Issabela dan beberapa hits lain, yang sempat menjadi lagu wajib kami. Saat itu saya masih remaja belasan tahun.

Lalu diikuti juga oleh band-band lain sejenis, dari Iklim, Wings, May, Uks sampai Slam, yang kemudian melahirkan genre musik khas: merdu mendayu, nada dasar di minor, dan lirik yang cengeng. Sampai-sampai saya sempat menyangka semua pria Malaysia kerjaannya setiap hari patah hati melulu. Waktu itu di Indonesia juga lagi zaman keemasannya lagu-lagu Deddy Dores, yang hampir serupa. Klop lah.

Tetapi nampaknya genre musik tersebut hanya ngetop pada kalangan menengah ke bawah. Saya masih ingat, pada kuis Gita Remaja di TVRI dulu, Kris Dayanti, kala itu masih imut, tidak dapat menebak lagu Cinta Kita-nya Amy Search dan Inka Kristi yang sedang ngetop-ngetopnya. Padahal, ketika diajukan soal musik barat, yang tidak pernah saya dengar, Kris begitu cepat memencet tombol.

Mereka yang berasal dari kalangan atas, atau yang berlagak atas, barangkali lebih mengenal Sheila Madjid, sang Diva, yang mulai terkenal dengan Antara Anyer dan Jakarta-nya di awal 90-an juga. Atau yang sekarang lagi naik daun, Too Phat, yang berhasil menggandeng Dian Sastro di album barunya.

Jadi cukup banyak penyanyi Malaysia yang terkenal di Indonesia. Tetapi dari kesemua itu, barangkali hanya Siti Nurhaliza yang memiliki kekhasan tersendiri, karena pengemarnya yang bejibun, dan berasal dari semua kalangan. Kaya-miskin, tua-muda, kota-desa, pria-wanita, goblok-pinter. Bahkan dari teman saya yang tidak pernah sembahyang, sampai Aa Gym pun, mengaguminya. Siti benar-benar telah berhasil memikat hati semua orang.

Maka kini Siti pun makin sering tampil di Indonesia. Kabarnya dia memang lebih betah tinggal di sini dari pada di negerinya sana. Bahkan menurut sahibul gosip, Siti juga menginginkan untuk mendapatkan suami orang Indonesia. Tak heran bila kemudian kedua adik saya begitu besemangat mempromosikannya. Berkali-kali mereka mengsms agar saya ikut mendaftar. Ngaco! kata saya, yang membuat keduanya sedikit tersinggung. Kiranya mereka cukup serius dengan proposalnya itu. Gendeng!

Tetapi mengapakah dara ini bisa membuat orang-orang di negeri ini begitu terpikat?

Suaranya memang merdu. Lagu-lagunya juga enak didengar. Wajahnya cantik rupawan. Tetapi semuanya tidak akan menjadi begitu mempesona, tanpa daya tarik yang satu ini: attitude-nya. Kesederhanaan penampilannya, kesantunan cara bicaranya, keluguan sikapnya. Cara berbusananya yang sopan, gaya menarinya yang tidak berlebihan, juga kehidupannya yang jauh dari glamourisme. Siti nampaknya telah dapat mengisi kerinduan orang akan eksotisme gadis timur, yang kini hampir menghilang, terhanyut arus modernisasi. Siti adalah sang Putri dari Timur, yang cantik, baik hati, dan pandai menjaga kehormatan diri. Pada Siti hadir semua hal yang didamba orang-orang di negeri ini.

Yang saya herankan adalah mengapa fenomena ini tidak menimbulkan wabah, seperti fenomena-fenomena lain. Goyang ngebor Inul, sempat begitu mewabah, hingga menghasilkan varian-varian lain, dari goyang patah-patah, goyang kayang sampai goyang ngecor. Heboh F4 telah menyebabkan banyak anak muda bergaya model Dao Ming Se atau Wu Ce Li. Dulu, waktu gaya rambut Demi More dan Keanu Reeves, membikin orang tidak betah memanjangkan rambutnya.

Mengapakah kesederhanaan dan kesantunan Siti tidak membuat gadis-gadis muda kita tergerak untuk mengikutinya?

Sampai saat ini saya tidak bisa menemukan jawabannya.

Sabtu, Juni 19, 2004

Bahasa Sunda Bisa Mati?

TANDA tanya hitam itu dilontarkan Ajip Rosidi pada Majalah Cupumanik 11/2004 (Basa Sunda Bisa Paeh?). Jawabnya? Bisa, tegas sang begawan. Secara teoritis maupun berdasarkan kondisi faktuil yang ada, semuanya mendukung kemungkinan itu. Secara teoritis, menurut Ajip, sebuah bahasa, termasuk tentunya bahasa Sunda, bukanlah sesuatu yang abadi. Dia bisa saja mati. Ketika sudah tak lagi digunakan oleh para penggunanya, maka suatu bahasa dikatakan mati. Berdasarkan penelitian, pada abad 20 kemarin, konon terdapat ribuan bahasa di dunia yang musnah. Dan di abad ke 21 ini diperkirakan setiap 10 hari satu bahasa mengalami hal yang sama. Bukan tidak mungkin, risau Ajip, Bahasa Sunda adalah salah satu yang sedang antri diantara bahasa-bahasa dunia yang akan mati tersebut. Terutama bila kita melihat perkembangan realitas yang ada di masyarakat Sunda sekarang.

Secara faktuil, perkembangan yang terjadi di masyarakat memang sangat mendukung kemungkinan tersebut. Tengoklah di kota-kota besar seperti Bandung dan Bogor, dua kota yang memiliki nilai strategis bagi orang Sunda. Bandung adalah ibukota Jawa Barat, satu-satunya propinsi yang identik dengan etnis Sunda di dunia ini. Maka kota Bandung seharusnya menjadi show room dan tolok ukur perkembangan budaya Sunda, termasuk bahasa Sunda. Demikian juga Bogor, kota yang memiliki nilai historis penting bagi Orang Sunda, karena di sanalah konon letak Kerajaan Sunda dulu. Di kedua kota itu, kini, jumlah pengguna bahasa Sunda semakin lama semakin menyusut. Lihatlah di sekolah-sekolahnya. Di mall, di bioskop, di terminal, di bis, di kompleks-kompleks perumahan, di kantor. Anak-anak kecilnya, gadis-gadis cantiknya. Umumnya sudah jarang terdengar ada yang menggunakan bahasa Sunda, meskipun pastilah mayoritas mereka adalah etnis sunda.

Bila di kedua kota strategis itu saja, bahasa Sunda sudah mulai ditinggalkan para penggunanya, maka kita dapat memperkirakan dengan jelas bahwa masa depan bahasa yang sudah berumur lima abad itu memang sungguh suram. Juga di Tangerang, Bekasi, Depok, tempat-tempat dimana tentunya dulu mayoritas penduduknya adalah pengguna bahasa Sunda. Kini hampir tak terdengar lagi dangiang Sunda di sana.

Gejala ini terus menjalar, seganas penyakit menular, ke kota-kota lain di sekitarnya. Barangkali puluhan tahun yang akan datang, bahasa Sunda bisa jadi hanya dikenal sebagai "bahasa gunung", yang hanya dipergunakan oleh sekelompok komunitas aneh yang tingal di bukit-bukit terpencil, sebelum akhirnya mati tergerus zaman. Sayangnya, belum ada penelitian yang serius tentang ini.

Di kota-kota tadi, bahasa Sunda bukan lagi berlaku sebagai bahasa ibu (mother tounge) bagi anak-anak sunda yang lahir. Anak-anak Sunda pun karenanya tidak lagi berbahasa Sunda, dan mengenalnya hanya sebagai bahasa untuk ayah ibu atau kakek nenek mereka, dan bukan untuknya. Sebuah gejala yang mengimplikasikan putusnya regenerasi para pengguna bahasa Sunda di sana. Padahal regenerasi adalah sebuah hal yang paling penting untuk kelangsungan hidup sebuah komunitas. Dan ketika komunitas berbahasa Sunda tidak lagi bisa berregenerasi, maka hampir dapat dipastikan bahwa bahasa Sunda memang sedang menuju ajal! Tentunya bila tidak ada perkembangan lain yang menolong.

Masalahnya adalah, seberapa pentingkah isu ini bagi kita sehingga Ajip perlu berkali-kali memperingatkannya? Konsekwensi apa memangnya yang akan terjadi pada kita bila bahasa Sunda benar-benar mati?


Kematian Bahasa = Kematian Bangsa
Bahasa, konon, adalah karakter unikum sebuah bangsa. Berbagai sisi unik sebuah bangsa akan tergambar pada bahasanya, karena bahasa terbentuk dari pergulatan berabad-abad sebuah bangsa dengan lingkungan dan kehidupannya, jasmani maupun ruhani. Adanya sisi unik tersebut menyebabkan sebuah bangsa dapat dibedakan dengan yang lain. Maka orang sering menyebut bahasa adalah ciri sebuah bangsa. Jadi adanya bahasa Sunda, adalah ciri adanya (suku) bangsa Sunda.

Maka bila bahasa sunda benar-benar mati, berarti berakhir pulalah sejarah orang-orang Sunda dari atas bumi ini. Karena karakter unik orang sunda yang terwakili pada bahasanya akan hilang. Kematian bahasa Sunda jadinya adalah juga kematian Sunda sebagai entitas etnis. Dus, kematian bahasa Sunda adalah kematian eksistensi kita.

Sebuah kematian yang patut disesali, karena selain belum banyak mewariskan karya besar pada kehidupan dunia, juga tidak melalui sebuah perjuangan mempertahankan diri yang heroik. Sebuah kematian yang tragis, karena justru disebabkan kebodohan dan ketidakpedulian anak-anaknya sendiri. Sebuah kematian pengecut yang kalah. Sebuah kematian konyol, yang sebenarnya bisa dihindari.

Hal ini nampaknya bukan sama sekali tidak pernah disadari oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Tetapi di hari ini, di era konsumerisme bersimaharajalela, di era kebebasan brutal dan hedonistik, di era ketika masalah-masalah kehormatan dan harga diri menjadi nomor ke dua ratus sembilan puluh sembilan, di era ketika masalah-masalah ketinggian ruhani kalah oleh kepuasan jasmaniah sesaat, semua itu menjadi tak lagi berarti. Dan itu, kini, sah-sah saja, selama tidak membunuh orang.

Maka yang harus dilakukan kini adalah berdagang. Kita, yang masih berharap Sunda akan tetap hidup abadi, harus berupaya untuk menampilkannya lebih menarik. Lebih seksi. Sehingga orang lain bisa memilihnya tanpa harus ditumpangi rasa terpaksa. Bahkan mereka akan merasa bangga, dan menikmatinya.


Fenomena Kue Surabi
Dalam hal ini kita harus belajar pada fenomena kue surabi seperti yang digambarkan Hawe Setiawan pada majalah yang sama (Cupumanik, 11/2004, Sorabi Tutung Biritna). Pada beberapa hal, bahasa Sunda memiliki kesamaan dengan kue ini. Sama-sama produk lama, karena sudah ada sejak sebelum kita lahir, sama-sama hasil karya sendiri orang Sunda (meski mungkin pada mulanya dipengaruhi juga dari kebudayaan lan), dan sama-sama memiliki masalah dengan eksistensi.

Seperti produk-produk lokal lain, surabi, kini memiliki banyak saingan berat, dari donat sampai pizza, yang memiliki citra yang lebih tinggi, penampilan lebih menarik dan rasa lebih bervariasi. Popularitas sorabi terancam. Citra yang sudah kadung melekat sebagai makanan kampung, dengan penampilan yang juga kampungan dan rasa yang begitu-begitu saja, sulit membuatnya bersaing. Nampaknya, umur surabi akan berakhir, dan ditinggalkan.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Di sebuah tempat di Bandung utara, konon terdapat sebuah warung (kafe) yang menu utamanya adalah kue surabi. Pengunjungnya selalu penuh, dan datang dari kalangan menengah ke atas. Orang kota dalam arti sebenar-benarnya. Tentunya mereka bukan kebetulan mampir. Mereka datang untuk menikmati surabi yang dihidangkan. Dan mereka tidak merasa rikuh menyantap makanan khas kampung tersebut.

Tentu saja tidak sama dengan surabi di kampung-kampung. Dia sudah bermetamorfosa. Dari pelayannya yang cantik dan muda, jenis surabinya yang bervariasi, penampilannya yang lebih modern, rasanya yang macam-macam, sampai harganya yang jauh di atas surabi biasa. Tetapi apapun, namanya tetap surabi.

Sebuah fenomena unik, yang sebenarnya bisa diambil pelajaran.


Menampilkan Sunda Terhormat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004). Di sana saya menyatakan bahwa keengganan orang untuk menampilkan Sunda, adalah disebabkan persepsi orang yang rendah terhadapnya. Diakui atau tidak, orang Sunda kini merasa inferior dengan keadaannya sendiri. Maka jangan heran, bila di Bandung, anda akan lebih sering dipanggil Mas atau Mbak, dari pada dengan Akang atau Teteh, dan disapa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia dianggap lebih dapat menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi penggunanya.

Persepsi yang rendah tersebut disebabkan oleh penampilan Kesundaan yang memang tidak pernah disajikan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu-begitu saja, miskin inovasi. Sehingga kesan yang tercipta adalah kuno, murah, kampungan, tidak intelek, tidak bergengsi dan sejenisnya. Persis kasus kue surabi tadi. Sehingga untuk meningkatkannya, tidak ada jalan lain, penampilannya pun harus diperhatikan.

Jadi buku-buku, majalah Sunda, kesenian dan produk-produk Sunda lain, harus dikemas dengan penampilan lebih menarik, modern, cerdas dan terhormat. Penampilan yang akan membuat seluruh orang Sunda bangga. Bila ini sudah bisa tercapai, saya kira kita tak akan pernah mati, atau bila memang pada akhirnya mati juga, orang akan mengenang kita sebagai bangsa yang besar dan terhormat.

Senin, Mei 17, 2004

Menjadikan Sunda

TULISAN ini tercipta sudah agak lama. Muncul menyembul tepat di tengah-tengah antusiasme yang kadung meluber, yang tercipta dari sebuah pengalaman teramat mengesankan: tulisanku pertama kali dimuat di media massa. Sayang pengalaman itu tak terulang, yang sempat membuat murung antusiasme. Tapi bagi saya, sebuah tulisan adalah karya yang terlalu berharga untuk dibuang. Untuk merangkainya, saya membutuhkan perenungan panjang, yang kadang bahkan menyakitkan. Maka, ijinkan hari ini saya tampilkan kembali dia di sini. Untuk dapat lebih diapresiasi. Semoga.

MENJADIKAN SUNDA SEBAGAI KEBUTUHAN DAN GAYA HIDUP
-- Sebuah Gagasan tentang Visi Pengembangan Budaya Sunda

SAYUP-SAYUP kita mendengar hadirnya sebuah lembaga bernama Kalang Budaya Jawa Barat. Konon, lembaga ini berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan, beranggotakan pakar-pakar kebudayaan yang pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tentang kebudayaan di Jawa Barat, diminta atau tidak diminta. Meski tidak secara eksplisit, saya yakin bahwa budaya yang dimaksud di sini tentunya adalah Budaya Sunda.

Namun sayang, sampai kini peran mereka belum terlihat sama sekali. Padahal kita sangat berharap banyak terhadap munculnya pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan energik tentang upaya-upaya penyelamatan budaya Sunda --yang keadaannya semakin mengkhawatirkan saja, yang seharusnya bisa dihasilkan dari lembaga semacam itu. Hingga detik ini, kita pun masih menunggu peran nyata pemerintah daerah Jawa Barat dalam upaya memajukan budaya Sunda, secara serius (sejuta rius kalau perlu!) dan penuh dedikasi, bukan hanya keprihatinan lipstick dan tema klise penggugah simpati di setiap sambutan dan perayaan.

Tetapi lepas dari hal-hal tersebut, saya ingin menyajikan tulisan ini, yang saya harap dapat menjadi sebuah sudut pandang baru bagi kita dalam memandang budaya Sunda. Budaya dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan penuh kesadaran, bahwa dia adalah sesuatu yang selalu dan akan selalu kita hidupkan sehari-hari, dan bukan hanya berlaku sebagai pelengkap perayaan atau objek nostalgia orang-orang romantik. Sehingga barangkali dapat dijadikan pertimbangan bagi orang-orang seperti yang duduk di Kalang Budaya dalam menyusun langkah kerjanya (bila ada tentunya).

***

BAHWA kebudayaan Sunda di hari ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sudah banyak diulas orang. Masalah ini hampir menjadi topik bahasan wajib di setiap forum diskusi tentang Sunda dan kesundaan. Namun sebegitu jauh, saya belum melihat munculnya sebuah ide yang demikian cemerlang dan orisinal, yang disertai dengan langkah-langkah efektif dan strategif sehingga dapat memperbaiki kondisi tersebut. Belum nampak adanya sebuah visi bersama, yang bisa menyatukan gerak langkah potensi-potensi besar elemen kesundaan, sehingga dapat mensublimkan energi yang tersimpan menjadi sebuah kekuatan masif yang mampu mengubah keadaan. Saya kurang tahu apakah hal semacam ini sudah dirumuskan atau belum, tetapi kenyataan yang ada mengindikasikan perlunya kembali kita untuk memperhatikan hal tersebut.

Visi ini sangat penting, agar apa yang dilakukan oleh masing-masing dari kita, baik dari elemen masyarakat awam, pemerintahan formal maupun dari kalangan budayawan swasta, akan dapat menuju ke arah yang sama, sehingga terjadi sebuah sinergitas langkah. Dan untuk dapat merumuskan visi ini tentunya diperlukan sebuah kesepahaman dan objektivitas tentang permasalahan yang ada.

Dan dalam hal ini saya berbeda dengan kang Ajip. Bila beliau sering menyatakan bahwa Undak Usuk Basa adalah faktor yang paling mempengaruhi keengganan kaum muda dalam menggunakan bahasa Sunda, saya melihatnya bukan itu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kesulitan akibat "ketakutan berbicara tak pantas" sebagai konsekwensi dari adanya tingkatan bahasa tersebut, kerap membuat kita lebih memilih bahasa lain (Bahasa Indonesia) ketika berbicara terutama di suasana formil. Tetapi tidak dalam pembicaraan sehari-hari.

Enggannya kaum muda Bandung dalam berbahasa Sunda lebih disebabkan karena mereka memang tidak diajarkan menggunakan bahasa tersebut sejak awal, yang diakibatkan oleh persepsi yang rendah orang-orang tua mereka terhadap bahasa Sunda itu sendiri. Mereka tidak dikondisikan untuk mempunyai kebanggaan untuk berbahasa Sunda -- kebanggaan menjadi orang Sunda, bahkan mereka sejak lahir. Sehinggga mereka merasa Sunda bukanlah bahasanya, tetapi hanya bahasa ibu-bapak dan kakek-neneknya. Terlebih, lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka sehari-hari, seperti televisi, sekolah, majalah dan mode, pun tidak pernah menampilkan atau tampil sebagai Sunda.

Beberapa waktu yang lalu, ketika ngetop-ngetopnya opera sabun Meteor Garden, kita sering melihat anak-anak muda dengan bangganya mengucapkan kata-kata mandarin, yang sebenarnya jauh lebih sulit dipelajari (secara lingkungan) daripada bahasa Sunda.

Dus, bukan sulit tidaknya, tetapi ngetrend tidaknya.

Selain alasan kebanggaan, adalah alasan kebutuhan. Mempelajari bahasa Inggris misalnya, jelas lebih menjanjikan "hidup yang lebih baik" dari pada ngagugulung bahasa Sunda. Di hari ini, bahasa Inggris dianggap salah satu "tiket mutlak" untuk memperoleh kesuksesan. Maka orang-orang tua akan merasa lebih rugi anaknya tidak bisa berbahasa Inggris dari pada tidak bisa berbahasa Sunda. Bila perlu, mereka akan mengeluarkan uang ekstra dengan memasukkannya ke kursus. Sementara orang merasa tak perlu lagi bisa berbahasa Sunda, karena bila tidak pun tidak membikin mereka mati.

Kedua permasalahan pokok itulah yang harus menjadi perhatian. Dan ini mesti dilihat sebagai suatu konsekwensi logis yang terjadi karena sampai saat ini Ki Sunda belum bisa menjawabnya. Jadi bukanlah sesuatu yang harus disesalkan atau dicemooh, tetapi diterima secara kesatria.

Inferiorisme orang-orang Sunda hendaknya disadari sebagai suatu bukti ketidakmampuan tokoh-tokohnya untuk mempertahankan identitas dan kehormatan dirinya dalam mengikuti panah zaman yang serba cepat dan senantiasa berkembang. Dan gejala ini akan terus berlangsung dan semakin parah sampai di suatu saat akan "membunuh" nya, bila di era dunia tak berbatas ini, dimana serbuan budaya-budaya asing yang lebih indah dan mengasyikkan banyak menjanjikan pilihan, ki Sunda tetap tak mampu membuktikan diri bahwa dengan menjadi dirinya sendiri, mereka bisa " tetap hidup" dan "menjadi terhormat". Itulah sejatinya visi yang harus dicapai oleh ki Sunda รข€“oleh Kita. Saya merumuskannya dalam satu kalimat, yang dijadikan sebagai judul artikel ini: Menjadikan Sunda Sebagai Kebutuhan dan Gaya Hidup.

Kebutuhan dan gaya hidup? Seperti iklan HP saja.

Tetapi kenyataan membuktikan bahwa di hari ini memang handphone saja lebih dianggap penting dan membanggakan dari sekedar identitas kesundaan. Maka, sederhananya, bila ki Sunda juga berlaku sebagaimana HP: dibutuhkan untuk memperlancar segala urusan hidup, sekaligus memberikan tingkatan apresiasi tertentu bagi para penggunanya, maka tak perlu lagi ada kekhawatiran sunda akan dilupakan orang. Malahan akan dicari dan ditunggu.

Nah, bila visinya sudah ketemu, tinggal strateginya.

Tentunya banyak hal yang bisa dilakukan. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004), yang sayangnya tidak banyak mencuri perhatian. Dengan melemparkan isu tersebut sebenarnya saya ingin membuka sebuah topik diskusi baru mengenai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Sunda. Bila sebelumnya diskusi selalu perpusar pada identitas unsur kebudayaan itu sendiri, seperti jenis, asal mula, "aturan main", serta hal lainnya, dan biasanya diakhiri oleh keprihatinan sang budayawan mengenai rendahnya apresiasi dari masyarakat sekarang, maka ke depan saya ingin kita juga lebih memperhatikan "kemasan" (packaging) dari unsur budaya tersebut, sehingga masyarakat akan menyukai mereka dengan sendirinya.

Maka bila dalam Majalah Cupumanik edisi dua minggu kemarin, Kang Nano S menulis tentang perkembangan Tembang Sunda, seharusnya tidak berhenti kepada kepada jenis-jenis dan asal-muasal tembang, tetapi juga dilanjutkan kepada upaya-upaya agar pertunjukan tersebut dapat ditonton orang. Saya tidak meragukan ketinggian mutu dari seni tembang Cianjuran atau Degung, tetapi tetap saja akan membosankan (terutama bagi orang-orang muda, yang progresif) apabila tidak dikemas dalam sebuah pertunjukan yang menarik. Satu misal adalah dengan merancangnya menjadi lebih komunikatif dan apresiatif, dengan menyelipkan dialog-dialog cerdas dan akrab antara penembang dengan audiens tentang latar belakang suatu lagu, seperti juga yang sering dilakukan penyenyi-penyanyi bule di televisi. Dengan adanya interpretasi dan dialog, maka audiens akan mengerti tentang apa yang disajikan dan merasa ikut terlibat dalam pertunjukan. Sehingga lagu degung pun nantinya dapat dinikmati sebagai sajian utama, tidak hanya befungsi sebagai lagu pengiring acara parasmanan dalam sebuah upacara hajatan.

Unsur-unsur penyajian ini terbukti mampu meningkatkan citra sebuah unsur budaya. Pavarotti atau karya-karya Bethoven saya kira jauh lebih membosankan, tetapi dengan dengan pengemasan yang baik, dan interpretasi yang benar tentang ketinggian mutunya, pertunjukan tersebut menjadi satu hal yang menakjubkan dan memberikan citra ekslusif, sehingga orang rela menghabiskan ribuan dollar untuk dapat menghadirinya. Upaya-upaya semacam itulah yang seharusnya lebih dieksplorasi dan dielaborasi para pekerja budaya. Sunda harus ditampilkan dengan lebih terhormat.

Dan ini memang tidak bisa hanya dipikirkan oleh orang-orang seni, sastrawan atau pekerja budaya lain, tetapi juga perlu melibatkan mereka yang mengerti dan professional tentang itu, yaitu orang-orang yang bisa menciptakan trend. Saya kira, Sunda tidak akan kehabisan stok orang-orang semacam itu. Jadi, orang-orang sunda yang profesional sebagai event organizer juga harus membantu orang-orang semacam Kang Nano untuk menyiapkan konser tunggal, misalnya. (iraha Kang?)

Nah, bila apresiasi masyarakat terhadap budaya sunda sudah meningkat, maka secara otomatis ini akan meningkatkan pula industri yang berbasiskan padanya. Logikanya, apabila lebih banyak orang yang membaca majalah sunda, maka akan banyak bermunculan majalah-majalah sunda lain, yang pasti mebutuhkan pengarang-pengarang sunda yang lain pula. Begitu seterusnya. Sehingga budaya sunda menjadi salah satu penggerak industri yang bisa memberikan kehidupan bagi masyarakatnya. Sunda dapat menjadi salah satu pilihan hidup yang menjanjikan.

Satu hal yang perlu dicatat, adalah kita tidak perlu berandai-andai terlalu jauh, bahwa Ki Sunda akan bisa go internasional, atau akan menjadi unsur yang dominan di komunitas budaya nasional --minimal sekarang-sekarang ini. Ekspansif bukanlah tipe orang Sunda, sejarah mencatatnya. Cukup bahwa kita bisa menjadi tuan di rumah kita sendiri, sehingga setiap orang luar yang masuk harus menyesuaikan diri dengannya, dan bukan sebaliknya, ini sudah kemajuan yang sangat berarti. Kita harus membangun "kerajaan budaya" sendiri, yaitu wilayah-wilayah dimana budaya sunda menjadi gaya hidup masyarakatnya. Wilayah tersebut adalah sebagian besar Jawa Barat dan Banten, dimana etnis Sunda merupakan mayoritas.

Makanya kita harus memiliki corong tersendiri. Dan untuk itu sangat dibutuhkan kehadiran media massa yang representatif, terutama media televisi. Hadirnya sebuah stasiun televisi Sunda yang dikemas secara professional dan modern --tidak seperti TVRI Sta. Bandung sekarang, akan sangat menentukan.

Ada yang sependapat?

Sabtu, Mei 08, 2004

Pelajaran Dari Makassar

INSIDEN kekerasan di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tempo hari, seperti dapat diduga sebelumnya, terus membola salju. Dan tentu saja korban yang terlindas pun bertambah banyak. Bukan saja yang terlibat secara langsung, tetapi yang semula tak tahu menahu pun akhirnya harus rela kena getah. Setelah Kapoldanya dipecat sebagai resiko jabatan yang mesti ditanggung (padahal konon dikenal cukup simpatik, bahkan di kalangan mahasiswa sendiri), kini Kapolri, sebagai embahnya Polisi di negeri ini mau tak mau juga kecipratan repot. Dihujat dimana-mana, dituntut mundur sana-sini. Apalagi peristiwa ini juga bukan satu-satunya masalah yang tengah melilit kepolisian belakangan ini, dari kerusuhan Ambon yang kembali pecah, penangkapan kembali Baasyir yang ricuh, sampai kepada meledaknya bom di Riau, yang cukup berhasil menghangatkan kembali suasana negeri, menjelang pemilihan presiden kali ini.

Reaksi pun meluas. Maklum kasus ini menyangkut dua entitas yang sedang sensitif. Pertama, ini menyangkut gerakan mahasisiwa. Semua mafhum, mahluk yang disebut barusan, di negeri ini, adalah pahlawan tanpa cela. Mereka adalah satu-satunya entitas yang dianggap masih murni, bebas dari segala penyakit moral. Gerakan mereka pun kerap disebut sebagai gerakan moral, karena konon tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, kekuasaan, atau anasir-anasir jahat lain. Pure murni dari hati nurani. Maka kekerasan terhadapnya, apalagi di dalam kampus, yang dideklarasikan sebagai tempat terlarang bagi para aparat, adalah suatu tindakan yang tidak dapat dimaafkan. Pelakunya tentu harus dihukum seberat-beratnya. Kalau perlu dipicis, atau disalib sekalian.

Kedua, ini menyangkut institusi yang, juga di negeri ini, sedang disorot habis: Polisi. Mahluk ini, sejak semula, memang dikenal berreputasi jelek. Selain disebut-sebut tidak professional, kerap ringan tangan, juga konon adalah sarangnya KKN. Hampir setiap orang yang saya temui, rata-rata memiliki pengalaman buruk tentangnya. Dan sebagai salah satu elemen penyokong hukum di negara ini, reputasi jelek tersebut tentu saja sungguh sebuah ironi yang menyedihkan, dan menjengkelkan. Bagaimana hukum dapat ditegakkan apabila aparatnya sendiri adalah para pelanggar nomor wahid? Maka wajar saja bila kemudian banyak orang apatis. Bahkan, saking jengkelnya, pernah juga ada yang mengusulkan institusi ini dibubarkan saja. Barangkali dia tidak memikirkan, bagaimana repotnya bila itu benar-benar terjadi.

Maka ketika insiden ini terjadi, kontan saja mengingatkan orang terhadap reputasi buruk tadi. Persepsi yang ada mengarah hanya pada satu kesimpulan, Polisi tidak bernah benar-benar berniat belajar dari kesalahannya.

Urusannya tambah runyam, ketika para anggota dewan yang terhormat, ikut-ikutan berkomentar pedas. Maklum ini lagi musim kampanye. Musimnya mengambil hati rakyat. Isu sebagus ini, tentu saja ladang yang tidak boleh dilewatkan. Mereka sangat faham bahwa rakyat di negeri ini sangat senang mencela dan menghujat. Dan sebagai wakil yang baik dan benar, tentu saja mereka harus merepresentasikan kesenangan itu. Maka tanpa ampun, Jenderal Dai Bahtiar, sang embahnya Polisi, pun lantas dituntut mundur (masih untung tidak dituntut jungkir), setelah sebelumnya diadili habis-habisan.

Demontrasi kembali memarak, mengusung solidaritas kepada mahasiwa yang menjadi korban. Isunya pun melebar, dari pelanggaran HAM, pelecehan kepada dunia pendidikan sampai kepada isu anti militer dan, Golkar (lho?). Tidak hanya di Makasar, tetapi di seluruh negeri. Maklum, yang namanya mahasiswa kan ada dimana-mana. Dan ini tentu saja mengerucutkan kembali imej antitesisme yang kadung terbentuk antara Mahasiwa dan Polisi. Suasana pun menjadi gerah.

Lalu, bagaimana?

Saya tidak akan berbicara tentang kebobrokan polisi, yang sudah terlalu banyak diulas orang. Saya lebih tertarik menyoroti perilaku mahasiswanya, yang harus diakui relatif jarang dikritisi. Entitas ini seakan terlalu mudah mendapatkan excuse terhadap setiap hal yang mereka lakukan, betapapun konyolnya itu. Yang saya maksudkan tentunya adalah perilaku mereka sebatas yang berhubungan dengan kehidupan bernegara secara umum, bukan lain-lain.

Sebagai salah satu elemen yang memiliki peranan penting dalam kehidupan negara, eksistensi mahasiswa sebagai suatu entitas gerakan moral memang sangatlah penting. Entitas ini berperan sebagai salah satu elemen pengontrol dan penyeimbang (check and balance) terhadap kekuasaan yang ada, sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Itu tidak untuk diperdebatkan lagi. Sejarah telah membuktikan betapa besarnya peranan itu.

Tetapi itu hendaknya tidak membuat kita untuk dengan mudah selalu memberikan excuse pada mereka, sehingga menghilangkan kekritisan kita terhadapnya. Sebagaimana elemen kehidupan berbangsa dan bernegara yang lain, mahasiswa pun harus dikritisi, sehingga terbangun sebuah pandangan yang sehat dan obyektif terhadap semua hal. Mahasiswa harus dikoreksi, agar apa yang dilakukan sejalan dengan apa yang mereka perjuangkan. Tidak terlalu banyak berdarah-darah. Tidak kontra-produktif. Dan yang terpenting, agar mahasiswa pun tidak belaku sebagai Tiran.

Apabila kita mengamati kronologis yang terjadi di Makasar kemarin, akan dengan cepat kita melihat bahwa mahasiswa pun memiliki andil yang besar sehingga terjadi bentrok. Harus diakui bahwa kekerasan, lebih banyak dipicu oleh provokasi mahasiwa, yang membuat polisi terpancing emosi.

Kalau boleh berandai-andai, maka saya kira kita setuju bahwa tidak akan terjadi penangkapan 26 mahasiwa seandainya tidak terjadi acara bakar-bakaran atribut orang. Juga tidak akan terjadi penyanderaan (istilah pengamanan menurut saya adalah sebuah apologi usang yang memuakkan) terhadap seorang anggota Polisi yang kebetulan lewat dan percobaan terhadap dua yang lain, jika para mahasiwa yang pulang demo dari kantor KPUD itu, tidak memprovokasi temannya yang juga sedang berdemo di depan kampus. Tidak akan terjadi penyerangan ke dalam kampus, apabila tidak terjadi penyanderaan dan provokasi berlebihan plus lemparan batu kepada polisi.

Tidak akan ada korban apabila mahasiwa sejak semula bersikap efektif dan simpatik dalam berdemo.

Tentu saja banyak kemungkinan yang bisa terjadi, apabila kita berandai-andai. Tetapi kemungkinan yang saya ajukan tadi, harus diakui juga sangat logis terjadi. Saya pun pernah menjadi mahasiswa. Saya pernah ikut berdemo. Saya pernah menyaksikan bentrok. Saya pernah melihat jatuhnya korban. Saya pernah melihat darah terleleh sia-sia.

Dan saya selalu melihat itu berawal dari sebuah provokasi.

Dus, dalam kasus UMI kemarin, secara manusiawi, saya sangat dapat memahami kejengkelan Polisi, sehingga kemudian terpancing emosi. Bahkan bila saya, dan juga anda, berada di sana dan menjadi Polisi, barangkali juga akan berbuat yang sama. Inilah yang harus disadari oleh segenap mahasiswa, di mana saja. Bahwa apapun yang mereka lakukan, betapapun mulianya itu, sebagai kaum intelektual, seharusnya selalu didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan akal sehat. Bukan emosi dan ajang gagah-gagahan.

Mahasiswa harus faham, bahwa setiap provokasi yang dilakukan, tentunya akan mendapatkan reaksi. Dari yang paling halus (persuasif), bila sang polisi (yang juga manusia), masih bisa mengendalikan emosinya. Sampai yang paling kasar (refresif), bila itu sudah berada diluar batas kesabarannya. Dan bila itu terjadi, maka mahasiswa harus rela kena pentung, karena polisi memang punya pentungan.

Tentunya ini bukan berarti juga excuse pada polisi untuk berbuat kekerasan yang lain.