Senin, Mei 17, 2004

Menjadikan Sunda

TULISAN ini tercipta sudah agak lama. Muncul menyembul tepat di tengah-tengah antusiasme yang kadung meluber, yang tercipta dari sebuah pengalaman teramat mengesankan: tulisanku pertama kali dimuat di media massa. Sayang pengalaman itu tak terulang, yang sempat membuat murung antusiasme. Tapi bagi saya, sebuah tulisan adalah karya yang terlalu berharga untuk dibuang. Untuk merangkainya, saya membutuhkan perenungan panjang, yang kadang bahkan menyakitkan. Maka, ijinkan hari ini saya tampilkan kembali dia di sini. Untuk dapat lebih diapresiasi. Semoga.

MENJADIKAN SUNDA SEBAGAI KEBUTUHAN DAN GAYA HIDUP
-- Sebuah Gagasan tentang Visi Pengembangan Budaya Sunda

SAYUP-SAYUP kita mendengar hadirnya sebuah lembaga bernama Kalang Budaya Jawa Barat. Konon, lembaga ini berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan, beranggotakan pakar-pakar kebudayaan yang pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tentang kebudayaan di Jawa Barat, diminta atau tidak diminta. Meski tidak secara eksplisit, saya yakin bahwa budaya yang dimaksud di sini tentunya adalah Budaya Sunda.

Namun sayang, sampai kini peran mereka belum terlihat sama sekali. Padahal kita sangat berharap banyak terhadap munculnya pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan energik tentang upaya-upaya penyelamatan budaya Sunda --yang keadaannya semakin mengkhawatirkan saja, yang seharusnya bisa dihasilkan dari lembaga semacam itu. Hingga detik ini, kita pun masih menunggu peran nyata pemerintah daerah Jawa Barat dalam upaya memajukan budaya Sunda, secara serius (sejuta rius kalau perlu!) dan penuh dedikasi, bukan hanya keprihatinan lipstick dan tema klise penggugah simpati di setiap sambutan dan perayaan.

Tetapi lepas dari hal-hal tersebut, saya ingin menyajikan tulisan ini, yang saya harap dapat menjadi sebuah sudut pandang baru bagi kita dalam memandang budaya Sunda. Budaya dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan penuh kesadaran, bahwa dia adalah sesuatu yang selalu dan akan selalu kita hidupkan sehari-hari, dan bukan hanya berlaku sebagai pelengkap perayaan atau objek nostalgia orang-orang romantik. Sehingga barangkali dapat dijadikan pertimbangan bagi orang-orang seperti yang duduk di Kalang Budaya dalam menyusun langkah kerjanya (bila ada tentunya).

***

BAHWA kebudayaan Sunda di hari ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sudah banyak diulas orang. Masalah ini hampir menjadi topik bahasan wajib di setiap forum diskusi tentang Sunda dan kesundaan. Namun sebegitu jauh, saya belum melihat munculnya sebuah ide yang demikian cemerlang dan orisinal, yang disertai dengan langkah-langkah efektif dan strategif sehingga dapat memperbaiki kondisi tersebut. Belum nampak adanya sebuah visi bersama, yang bisa menyatukan gerak langkah potensi-potensi besar elemen kesundaan, sehingga dapat mensublimkan energi yang tersimpan menjadi sebuah kekuatan masif yang mampu mengubah keadaan. Saya kurang tahu apakah hal semacam ini sudah dirumuskan atau belum, tetapi kenyataan yang ada mengindikasikan perlunya kembali kita untuk memperhatikan hal tersebut.

Visi ini sangat penting, agar apa yang dilakukan oleh masing-masing dari kita, baik dari elemen masyarakat awam, pemerintahan formal maupun dari kalangan budayawan swasta, akan dapat menuju ke arah yang sama, sehingga terjadi sebuah sinergitas langkah. Dan untuk dapat merumuskan visi ini tentunya diperlukan sebuah kesepahaman dan objektivitas tentang permasalahan yang ada.

Dan dalam hal ini saya berbeda dengan kang Ajip. Bila beliau sering menyatakan bahwa Undak Usuk Basa adalah faktor yang paling mempengaruhi keengganan kaum muda dalam menggunakan bahasa Sunda, saya melihatnya bukan itu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kesulitan akibat "ketakutan berbicara tak pantas" sebagai konsekwensi dari adanya tingkatan bahasa tersebut, kerap membuat kita lebih memilih bahasa lain (Bahasa Indonesia) ketika berbicara terutama di suasana formil. Tetapi tidak dalam pembicaraan sehari-hari.

Enggannya kaum muda Bandung dalam berbahasa Sunda lebih disebabkan karena mereka memang tidak diajarkan menggunakan bahasa tersebut sejak awal, yang diakibatkan oleh persepsi yang rendah orang-orang tua mereka terhadap bahasa Sunda itu sendiri. Mereka tidak dikondisikan untuk mempunyai kebanggaan untuk berbahasa Sunda -- kebanggaan menjadi orang Sunda, bahkan mereka sejak lahir. Sehinggga mereka merasa Sunda bukanlah bahasanya, tetapi hanya bahasa ibu-bapak dan kakek-neneknya. Terlebih, lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka sehari-hari, seperti televisi, sekolah, majalah dan mode, pun tidak pernah menampilkan atau tampil sebagai Sunda.

Beberapa waktu yang lalu, ketika ngetop-ngetopnya opera sabun Meteor Garden, kita sering melihat anak-anak muda dengan bangganya mengucapkan kata-kata mandarin, yang sebenarnya jauh lebih sulit dipelajari (secara lingkungan) daripada bahasa Sunda.

Dus, bukan sulit tidaknya, tetapi ngetrend tidaknya.

Selain alasan kebanggaan, adalah alasan kebutuhan. Mempelajari bahasa Inggris misalnya, jelas lebih menjanjikan "hidup yang lebih baik" dari pada ngagugulung bahasa Sunda. Di hari ini, bahasa Inggris dianggap salah satu "tiket mutlak" untuk memperoleh kesuksesan. Maka orang-orang tua akan merasa lebih rugi anaknya tidak bisa berbahasa Inggris dari pada tidak bisa berbahasa Sunda. Bila perlu, mereka akan mengeluarkan uang ekstra dengan memasukkannya ke kursus. Sementara orang merasa tak perlu lagi bisa berbahasa Sunda, karena bila tidak pun tidak membikin mereka mati.

Kedua permasalahan pokok itulah yang harus menjadi perhatian. Dan ini mesti dilihat sebagai suatu konsekwensi logis yang terjadi karena sampai saat ini Ki Sunda belum bisa menjawabnya. Jadi bukanlah sesuatu yang harus disesalkan atau dicemooh, tetapi diterima secara kesatria.

Inferiorisme orang-orang Sunda hendaknya disadari sebagai suatu bukti ketidakmampuan tokoh-tokohnya untuk mempertahankan identitas dan kehormatan dirinya dalam mengikuti panah zaman yang serba cepat dan senantiasa berkembang. Dan gejala ini akan terus berlangsung dan semakin parah sampai di suatu saat akan "membunuh" nya, bila di era dunia tak berbatas ini, dimana serbuan budaya-budaya asing yang lebih indah dan mengasyikkan banyak menjanjikan pilihan, ki Sunda tetap tak mampu membuktikan diri bahwa dengan menjadi dirinya sendiri, mereka bisa " tetap hidup" dan "menjadi terhormat". Itulah sejatinya visi yang harus dicapai oleh ki Sunda รข€“oleh Kita. Saya merumuskannya dalam satu kalimat, yang dijadikan sebagai judul artikel ini: Menjadikan Sunda Sebagai Kebutuhan dan Gaya Hidup.

Kebutuhan dan gaya hidup? Seperti iklan HP saja.

Tetapi kenyataan membuktikan bahwa di hari ini memang handphone saja lebih dianggap penting dan membanggakan dari sekedar identitas kesundaan. Maka, sederhananya, bila ki Sunda juga berlaku sebagaimana HP: dibutuhkan untuk memperlancar segala urusan hidup, sekaligus memberikan tingkatan apresiasi tertentu bagi para penggunanya, maka tak perlu lagi ada kekhawatiran sunda akan dilupakan orang. Malahan akan dicari dan ditunggu.

Nah, bila visinya sudah ketemu, tinggal strateginya.

Tentunya banyak hal yang bisa dilakukan. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004), yang sayangnya tidak banyak mencuri perhatian. Dengan melemparkan isu tersebut sebenarnya saya ingin membuka sebuah topik diskusi baru mengenai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Sunda. Bila sebelumnya diskusi selalu perpusar pada identitas unsur kebudayaan itu sendiri, seperti jenis, asal mula, "aturan main", serta hal lainnya, dan biasanya diakhiri oleh keprihatinan sang budayawan mengenai rendahnya apresiasi dari masyarakat sekarang, maka ke depan saya ingin kita juga lebih memperhatikan "kemasan" (packaging) dari unsur budaya tersebut, sehingga masyarakat akan menyukai mereka dengan sendirinya.

Maka bila dalam Majalah Cupumanik edisi dua minggu kemarin, Kang Nano S menulis tentang perkembangan Tembang Sunda, seharusnya tidak berhenti kepada kepada jenis-jenis dan asal-muasal tembang, tetapi juga dilanjutkan kepada upaya-upaya agar pertunjukan tersebut dapat ditonton orang. Saya tidak meragukan ketinggian mutu dari seni tembang Cianjuran atau Degung, tetapi tetap saja akan membosankan (terutama bagi orang-orang muda, yang progresif) apabila tidak dikemas dalam sebuah pertunjukan yang menarik. Satu misal adalah dengan merancangnya menjadi lebih komunikatif dan apresiatif, dengan menyelipkan dialog-dialog cerdas dan akrab antara penembang dengan audiens tentang latar belakang suatu lagu, seperti juga yang sering dilakukan penyenyi-penyanyi bule di televisi. Dengan adanya interpretasi dan dialog, maka audiens akan mengerti tentang apa yang disajikan dan merasa ikut terlibat dalam pertunjukan. Sehingga lagu degung pun nantinya dapat dinikmati sebagai sajian utama, tidak hanya befungsi sebagai lagu pengiring acara parasmanan dalam sebuah upacara hajatan.

Unsur-unsur penyajian ini terbukti mampu meningkatkan citra sebuah unsur budaya. Pavarotti atau karya-karya Bethoven saya kira jauh lebih membosankan, tetapi dengan dengan pengemasan yang baik, dan interpretasi yang benar tentang ketinggian mutunya, pertunjukan tersebut menjadi satu hal yang menakjubkan dan memberikan citra ekslusif, sehingga orang rela menghabiskan ribuan dollar untuk dapat menghadirinya. Upaya-upaya semacam itulah yang seharusnya lebih dieksplorasi dan dielaborasi para pekerja budaya. Sunda harus ditampilkan dengan lebih terhormat.

Dan ini memang tidak bisa hanya dipikirkan oleh orang-orang seni, sastrawan atau pekerja budaya lain, tetapi juga perlu melibatkan mereka yang mengerti dan professional tentang itu, yaitu orang-orang yang bisa menciptakan trend. Saya kira, Sunda tidak akan kehabisan stok orang-orang semacam itu. Jadi, orang-orang sunda yang profesional sebagai event organizer juga harus membantu orang-orang semacam Kang Nano untuk menyiapkan konser tunggal, misalnya. (iraha Kang?)

Nah, bila apresiasi masyarakat terhadap budaya sunda sudah meningkat, maka secara otomatis ini akan meningkatkan pula industri yang berbasiskan padanya. Logikanya, apabila lebih banyak orang yang membaca majalah sunda, maka akan banyak bermunculan majalah-majalah sunda lain, yang pasti mebutuhkan pengarang-pengarang sunda yang lain pula. Begitu seterusnya. Sehingga budaya sunda menjadi salah satu penggerak industri yang bisa memberikan kehidupan bagi masyarakatnya. Sunda dapat menjadi salah satu pilihan hidup yang menjanjikan.

Satu hal yang perlu dicatat, adalah kita tidak perlu berandai-andai terlalu jauh, bahwa Ki Sunda akan bisa go internasional, atau akan menjadi unsur yang dominan di komunitas budaya nasional --minimal sekarang-sekarang ini. Ekspansif bukanlah tipe orang Sunda, sejarah mencatatnya. Cukup bahwa kita bisa menjadi tuan di rumah kita sendiri, sehingga setiap orang luar yang masuk harus menyesuaikan diri dengannya, dan bukan sebaliknya, ini sudah kemajuan yang sangat berarti. Kita harus membangun "kerajaan budaya" sendiri, yaitu wilayah-wilayah dimana budaya sunda menjadi gaya hidup masyarakatnya. Wilayah tersebut adalah sebagian besar Jawa Barat dan Banten, dimana etnis Sunda merupakan mayoritas.

Makanya kita harus memiliki corong tersendiri. Dan untuk itu sangat dibutuhkan kehadiran media massa yang representatif, terutama media televisi. Hadirnya sebuah stasiun televisi Sunda yang dikemas secara professional dan modern --tidak seperti TVRI Sta. Bandung sekarang, akan sangat menentukan.

Ada yang sependapat?

Sabtu, Mei 08, 2004

Pelajaran Dari Makassar

INSIDEN kekerasan di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tempo hari, seperti dapat diduga sebelumnya, terus membola salju. Dan tentu saja korban yang terlindas pun bertambah banyak. Bukan saja yang terlibat secara langsung, tetapi yang semula tak tahu menahu pun akhirnya harus rela kena getah. Setelah Kapoldanya dipecat sebagai resiko jabatan yang mesti ditanggung (padahal konon dikenal cukup simpatik, bahkan di kalangan mahasiswa sendiri), kini Kapolri, sebagai embahnya Polisi di negeri ini mau tak mau juga kecipratan repot. Dihujat dimana-mana, dituntut mundur sana-sini. Apalagi peristiwa ini juga bukan satu-satunya masalah yang tengah melilit kepolisian belakangan ini, dari kerusuhan Ambon yang kembali pecah, penangkapan kembali Baasyir yang ricuh, sampai kepada meledaknya bom di Riau, yang cukup berhasil menghangatkan kembali suasana negeri, menjelang pemilihan presiden kali ini.

Reaksi pun meluas. Maklum kasus ini menyangkut dua entitas yang sedang sensitif. Pertama, ini menyangkut gerakan mahasisiwa. Semua mafhum, mahluk yang disebut barusan, di negeri ini, adalah pahlawan tanpa cela. Mereka adalah satu-satunya entitas yang dianggap masih murni, bebas dari segala penyakit moral. Gerakan mereka pun kerap disebut sebagai gerakan moral, karena konon tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, kekuasaan, atau anasir-anasir jahat lain. Pure murni dari hati nurani. Maka kekerasan terhadapnya, apalagi di dalam kampus, yang dideklarasikan sebagai tempat terlarang bagi para aparat, adalah suatu tindakan yang tidak dapat dimaafkan. Pelakunya tentu harus dihukum seberat-beratnya. Kalau perlu dipicis, atau disalib sekalian.

Kedua, ini menyangkut institusi yang, juga di negeri ini, sedang disorot habis: Polisi. Mahluk ini, sejak semula, memang dikenal berreputasi jelek. Selain disebut-sebut tidak professional, kerap ringan tangan, juga konon adalah sarangnya KKN. Hampir setiap orang yang saya temui, rata-rata memiliki pengalaman buruk tentangnya. Dan sebagai salah satu elemen penyokong hukum di negara ini, reputasi jelek tersebut tentu saja sungguh sebuah ironi yang menyedihkan, dan menjengkelkan. Bagaimana hukum dapat ditegakkan apabila aparatnya sendiri adalah para pelanggar nomor wahid? Maka wajar saja bila kemudian banyak orang apatis. Bahkan, saking jengkelnya, pernah juga ada yang mengusulkan institusi ini dibubarkan saja. Barangkali dia tidak memikirkan, bagaimana repotnya bila itu benar-benar terjadi.

Maka ketika insiden ini terjadi, kontan saja mengingatkan orang terhadap reputasi buruk tadi. Persepsi yang ada mengarah hanya pada satu kesimpulan, Polisi tidak bernah benar-benar berniat belajar dari kesalahannya.

Urusannya tambah runyam, ketika para anggota dewan yang terhormat, ikut-ikutan berkomentar pedas. Maklum ini lagi musim kampanye. Musimnya mengambil hati rakyat. Isu sebagus ini, tentu saja ladang yang tidak boleh dilewatkan. Mereka sangat faham bahwa rakyat di negeri ini sangat senang mencela dan menghujat. Dan sebagai wakil yang baik dan benar, tentu saja mereka harus merepresentasikan kesenangan itu. Maka tanpa ampun, Jenderal Dai Bahtiar, sang embahnya Polisi, pun lantas dituntut mundur (masih untung tidak dituntut jungkir), setelah sebelumnya diadili habis-habisan.

Demontrasi kembali memarak, mengusung solidaritas kepada mahasiwa yang menjadi korban. Isunya pun melebar, dari pelanggaran HAM, pelecehan kepada dunia pendidikan sampai kepada isu anti militer dan, Golkar (lho?). Tidak hanya di Makasar, tetapi di seluruh negeri. Maklum, yang namanya mahasiswa kan ada dimana-mana. Dan ini tentu saja mengerucutkan kembali imej antitesisme yang kadung terbentuk antara Mahasiwa dan Polisi. Suasana pun menjadi gerah.

Lalu, bagaimana?

Saya tidak akan berbicara tentang kebobrokan polisi, yang sudah terlalu banyak diulas orang. Saya lebih tertarik menyoroti perilaku mahasiswanya, yang harus diakui relatif jarang dikritisi. Entitas ini seakan terlalu mudah mendapatkan excuse terhadap setiap hal yang mereka lakukan, betapapun konyolnya itu. Yang saya maksudkan tentunya adalah perilaku mereka sebatas yang berhubungan dengan kehidupan bernegara secara umum, bukan lain-lain.

Sebagai salah satu elemen yang memiliki peranan penting dalam kehidupan negara, eksistensi mahasiswa sebagai suatu entitas gerakan moral memang sangatlah penting. Entitas ini berperan sebagai salah satu elemen pengontrol dan penyeimbang (check and balance) terhadap kekuasaan yang ada, sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Itu tidak untuk diperdebatkan lagi. Sejarah telah membuktikan betapa besarnya peranan itu.

Tetapi itu hendaknya tidak membuat kita untuk dengan mudah selalu memberikan excuse pada mereka, sehingga menghilangkan kekritisan kita terhadapnya. Sebagaimana elemen kehidupan berbangsa dan bernegara yang lain, mahasiswa pun harus dikritisi, sehingga terbangun sebuah pandangan yang sehat dan obyektif terhadap semua hal. Mahasiswa harus dikoreksi, agar apa yang dilakukan sejalan dengan apa yang mereka perjuangkan. Tidak terlalu banyak berdarah-darah. Tidak kontra-produktif. Dan yang terpenting, agar mahasiswa pun tidak belaku sebagai Tiran.

Apabila kita mengamati kronologis yang terjadi di Makasar kemarin, akan dengan cepat kita melihat bahwa mahasiswa pun memiliki andil yang besar sehingga terjadi bentrok. Harus diakui bahwa kekerasan, lebih banyak dipicu oleh provokasi mahasiwa, yang membuat polisi terpancing emosi.

Kalau boleh berandai-andai, maka saya kira kita setuju bahwa tidak akan terjadi penangkapan 26 mahasiwa seandainya tidak terjadi acara bakar-bakaran atribut orang. Juga tidak akan terjadi penyanderaan (istilah pengamanan menurut saya adalah sebuah apologi usang yang memuakkan) terhadap seorang anggota Polisi yang kebetulan lewat dan percobaan terhadap dua yang lain, jika para mahasiwa yang pulang demo dari kantor KPUD itu, tidak memprovokasi temannya yang juga sedang berdemo di depan kampus. Tidak akan terjadi penyerangan ke dalam kampus, apabila tidak terjadi penyanderaan dan provokasi berlebihan plus lemparan batu kepada polisi.

Tidak akan ada korban apabila mahasiwa sejak semula bersikap efektif dan simpatik dalam berdemo.

Tentu saja banyak kemungkinan yang bisa terjadi, apabila kita berandai-andai. Tetapi kemungkinan yang saya ajukan tadi, harus diakui juga sangat logis terjadi. Saya pun pernah menjadi mahasiswa. Saya pernah ikut berdemo. Saya pernah menyaksikan bentrok. Saya pernah melihat jatuhnya korban. Saya pernah melihat darah terleleh sia-sia.

Dan saya selalu melihat itu berawal dari sebuah provokasi.

Dus, dalam kasus UMI kemarin, secara manusiawi, saya sangat dapat memahami kejengkelan Polisi, sehingga kemudian terpancing emosi. Bahkan bila saya, dan juga anda, berada di sana dan menjadi Polisi, barangkali juga akan berbuat yang sama. Inilah yang harus disadari oleh segenap mahasiswa, di mana saja. Bahwa apapun yang mereka lakukan, betapapun mulianya itu, sebagai kaum intelektual, seharusnya selalu didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan akal sehat. Bukan emosi dan ajang gagah-gagahan.

Mahasiswa harus faham, bahwa setiap provokasi yang dilakukan, tentunya akan mendapatkan reaksi. Dari yang paling halus (persuasif), bila sang polisi (yang juga manusia), masih bisa mengendalikan emosinya. Sampai yang paling kasar (refresif), bila itu sudah berada diluar batas kesabarannya. Dan bila itu terjadi, maka mahasiswa harus rela kena pentung, karena polisi memang punya pentungan.

Tentunya ini bukan berarti juga excuse pada polisi untuk berbuat kekerasan yang lain.

Selasa, April 27, 2004

Bencana Alam dan Kegamangan Seorang Rimbawan

- Sebuah Catatan dari Bencana Longsor Cililin

BERITA itu sungguh terlalu mengejutkan. Kamis pagi, sewaktu Apel, sebuah kabar duka dipermaklumkan. Malam tadi (21 April 2004), sekitar pukul 21.00, telah terjadi bencana alam tanah longsor wilayah BKPH Cililin. Bisik-bisik pak KTU mengatakan kalau jumlah korban meninggal adalah 15 orang. Innalilahi! Pada kondisi sulit sekarang ini, derita memang seakan tiada bosan berkunjung. Ketika posisi kami masih belum terlepas dari opini publik negatif yang kadung berkembang, sebuah bencana dengan belasan korban jiwa, adalah sebuah pukulan yang terasa terlalu berat. Maka yang terbayang di benak saya saat itu adalah, tekanan di hari-hari kami ke depan akan semakin menyesakkan. Padahal, permasalahan minggu-minggu kemarin pun belum kami tuntaskan dengan baik.

Memang sulit bagi orang yang kadung berpredikat jelek. Semua menjadi serba salah. Serba tak nyaman. Berkaitan dengan bencana alam seperti ini, kami selalu menghadapi dilema. Menyatakan bahwa itu memang diakibatkan oleh hutan yang rusak, tentunya adalah sebuah upaya bunuh diri. Meski diback up oleh argumentasi yang faktuil, bahwa rusaknya hutan adalah akibat interaksi negatif dari masyarakat sekitar, sebagai konsekwensi tidak meratanya kesejahteraan ekonomi dan sosial, ini tidak menolong banyak. Tetap saja, yang mengemuka adalah ketidakmampuan kami dalam mengelola hutan dengan baik, yang menyebabkan masyarakat dengan bebas bisa mengintervensi hutan yang seharusnya terlindungi itu. Atau kebobrokkan oknum-oknum petugas kami yang korup dan kerap tutup mata atas segala yang terjadi. Padahal, di era titik balik ini, ketika yang dulu ditakuti sekarang menjadi takut, ketika dulu penguasa kini dikuasai, ketidakmampuan itu sangatlah dapat dimaklumi. Boro-boro hutan yang tidak dipagar, toko-toko di kota saja bisa kena dijarah. Kami, meminjam istilah seorang teman, kini hanyalah tinggal koboi-koboi yang tak berpeluru, siapa yang akan takut? Dan, ngomong-ngomong, siapa sih di negeri ini yang tidak korup?

Tetapi menyatakan bahwa itu sama sekali tidak disebabkan oleh rusaknya hutan, juga rasanya tidak nyes. Serasa menjilat ludah sendiri. Sudah jelas, ketika kami melakukan penyuluhan di desa-desa, itulah yang selalu kami jadikan tema. Bahwa apabila hutan gundul, akan terjadi longsor dan banjir. Bahwa untuk mencegah itu masyarakat hendaknya tidak mencuri kayu atau merambah hutan. Bahwa masyarakat juga harus ikut menjaga hutan, dsb. Nah ketika sekarang kebuktian, kok malah kami sendiri yang buru-buru menyangkalnya: bahwa bencana itu bukan disebabkan kondisi hutannya, tetapi semata-mata oleh hujan yang teramat deras, atau tanahnya yang labil. Kan lucu.

Tetapi, bagaimana lagi? Menghadapi hal semacam tadi kami memang selalu terposisikan bersikap ambivalen seperti itu. Sebuah hal yang wajar, karena ketika seseorang terpojokkan, maka yang terlintas pertama kali adalah upaya menyelamatkan diri. Apalagi dengan pengalaman buruk kami di Mandalawangi Garut beberapa waktu yang lalu, yang membuat kami harus membayar ganti rugi bermilyar-milyar rupiah, sebuah jumlah yang tidak sedikit di saat kondisi keuangan perusahaan yang kembang kempis seperti sekarang ini. Kami menjadi sedikit traumatik. Maka sangat logis bila yang pertama-tama kami lakukan adalah mencari jalan selamat. Toh, bukan hanya kami yang melakukannya.

Namun tentu saja tidak hanya itu yang kami lakukan. Kami sadar sepenuhnya, tidak ada masalah yang selesai hanya dengan tuding menuding dan saling cari jalan selamat. Tiada sedikit pun maksud kami untuk cuci tangan. Kami maklum bahwa segala argumentasi dan dalih yang kami ajukan, tidak akan menutupi kenyataan bahwa kondisi hutan yang kami kelola memang tidak bagus. Dan itu tentunya sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi lingkungan yang ada, termasuk bencana kemarin, dan juga bencana-bencana sebelumnya. Itu harus kami akui dengan fair. Anda benar, kami harus ikut bertanggung jawab. Ini terlepas dari faktor yang menjadi penyebab utama sebenarnya bencana longsor kemarin, menurut hasil penelitian yang nanti akan dilakukan.

Cuma saja, seperti juga yang lain, kami pun tidak ingin memikul beban itu sendirian. Seakan-akan kamilah yang telah membunuhi, dan memang bermaksud membunuhi, belasan orang-orang itu, dan menafikkan sama sekali upaya-upaya yang sudah kami lakukan. Yang kami harapkan adalah penilaian yang juga fair. Karena sedikit banyak, mesti diakui kami telah berusaha. Bahwa tetap saja terjadi bencana, itu tentu saja di luar kemampuan kami. Dan percayalah kami pun tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Semua tahu. Bahwa mengurus hutan, kini, bukanlah semata berhubungan dengan hal ihwal tanam menanam atau tebang-menebang, tetapi juga sangat berkait-kelindan dengan masalah-masalah lain yang lebih pelik dan mendasar, dari politik, ekonomi sampai sosial. Dan itu tidak mudah. Bayangkan, untuk mengelola hutan dengan baik di zaman ini, setiap dari kami dituntut bisa berlaku seperti seorang Menko Polsoskam (jabatan SBY dulu), Menko Kesra dan Menhut-nya sekaligus. Mana bisa, kalau sendirian? Padahal kondisi kami sekarang sedang tidak baik. Babak belur malah, dan terus terang saja, kami belum terlatih untuk menghadapi persoalan-persoalan seperti itu dengan elegan. Kami membutuhkan banyak teman dan pengalaman.

Seberat itukah pergulatan yang terjadi? Barangkali tidak sedramatis yang saya lukiskan. Di banyak tempat toh kami telah melakukannya dengan baik, meski mungkin belum seideal yang diharapkan. Yang jelas, harapan akan terciptanya masa depan lingkungan yang lebih baik, di sana, mudah-mudahan bukan lagi hanya impian. Kami bersama-sama telah mencoba merintisnya.

Tetapi bekerja di tengah cibiran orang memang tidak mengenakkan. Seakan-akan apa yang telah kami lakukan tidak ada artinya sama sekali. Bila tidak arif-arif menyikapinya, salah-salah bisa frustasi. Alih-alih terjadi inovasi atau revitalisasi, yang muncul malah apatisme. Kan susah.

Namun barangkali ini adalah salah satu fase kehidupan yang memang harus dilalui. Kami telah mengalami zaman keemasan di masa lalu, yang sayangnya, tidak sempat saya alami. Dan kini, sudah saatnya kami memasuki masa sulit, masa berjuang.

Salah sendiri lahir belakangan!

: turut berduka cita bagi para korban, semoga tabah bagi yang ditinggalkan.

Sabtu, April 10, 2004

A j i p

TIDAK banyak orang seperti Ajip (Rosidi). Bukan hanya karena karya-karya dan prestasinya yang cemerlang dan mengagumkan, serta pergaulannya yang luas baik di dalam dan luar negeri, tetapi terutama juga pada label identitas yang selalu melekat pada dirinya: Ajip adalah seorang Sunda.

Dan Ajip adalah prototipe manusia Sunda yang sangat langka. Langka, karena pada dirinya menyatu dua ciri yang biasanya jarang bisa sekaligus dimiliki oleh orang-orang Sunda pada umumnya. Dia adalah seorang yang memiliki prestasi besar dengan pergaulan yang luas, baik di nasional maupun internasional, tetapi posisinya itu tidak membuatnya berpaling dari identitas keetnisannya. Bahkan, dia mempunyai kedudukan yang sangat penting pada perkembangan kebudayaan Sunda.

Ada banyak orang Sunda yang berprestasi besar, sehingga mengangkatnya ke pergaulan nasional atau internasional, tetapi jarang yang "berani" dan "tega" menunjukkan label kesundaannya, secara konsisten dan konsekwen, pada dirinya maupun pada keluarganya. Seorang Sunda yang berkenalan dan hidup di lingkungan pergaulan nasional atau internasional biasanya cenderung mengubah diri, dan keluarganya --bermetamorfosa, dari "Manusia Sunda" menjadi "Manusia Indonesia" atau "Manusia Dunia". Kesundaan menjadi masa lalu baginya. Atau paling pol, dia masih merasa Sunda, tetapi tak pernah berkeinginan menurunkan identitas tersebut kepada keluarganya. Padahal kita tahu, seorang Sunda, sudah pasti Indonesia dan Dunia, tetapi tidak sebaliknya. Pada kondisi tersebut, maka pada hakekatnya kesundaannya berhenti atau hilang, karena identitas tersebut tidak pernah disadari atau dipraktiskannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka saya heran, dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, orang semacam Paramitha Rushadi, yang teu bisa ngomong sunda-sunda acan, misalnya, masih disebut sebagai orang Sunda.

Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berkiprah dan berpengaruh dalam kesundaan jarang yang memiliki pergaulan yang mengglobal. Bahkan yang menasional pun bisa dihitung dengan jari. Jangkauan dan pengaruhnya sebatas pada komunitas lokal Sunda saja. Itu pun bagi yang masih setia memperhatikannya.

Jarang ada orang Sunda yang memiliki kedua predikat itu sekaligus. Seakan-akan pilihannya cuma satu. Mengglobal dan berhenti jadi orang Sunda, atau jadi orang sunda, dan jangan bermimpi bisa mengglobal.

Tetapi pada diri Ajip gejala tersebut tersebut tidak berlaku sama sekali. Pergaulannya dengan "dunia lain", tidak menggoyahkan kecintaannya kepada kesundaan. Prestasi besarnya tidak membuat dia memutuskan untuk bermetamorposa. Bahkan posisinya tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk mengembangkan budaya leluhurnya tersebut dalam arti sebenar-benarnya. Ajip bukan hanya selalu berusaha menampilkan kesundaannya di ranah komunitas "dunia lain" tersebut, tetapi juga melakukan upaya-upaya yang nyata yang dibarengi dengan kesadaran dan dedikasi yang seutuhnya untuk mendorong perkembangan budaya leluhurnya itu. Hal yang kemudian mendudukannya ke dalam posisi yang sangat penting dalam perkembangan budaya dan sastra Sunda. Kalau dibuat pebandingan, kira-kira posisinya hampir serupa dengan Jasin dalam jagad kesusastraan Indonesia. Bahkan sebenarnya cakupan Ajip lebih luas, karena bukan hanya pada kesusastraan.

Bukti kecintaan tersebut sangat jelas. Selain banyak menulis dalam bahasa Sunda, dia juga sangat memperhatikan perkembangan sastra Sunda. Ajip nampaknya memposisikan diri sebagai "pengawal" perkembangan sastra Sunda, yang memang sangat memerlukan kehadirannya. Dan dalam melakukan ini Ajip tidak pernah setengah-setengah. Integritas dan ketelitiannya sulit dicari tandingannya. Posisi dan integritasnya inilah yang kemudian mengingatkan kita kepada peran Jasin dalam kesusastraan Indonesia.

Ajip juga berupaya dan berfikir keras untuk membangun atmosfer yang mendukung perkembangan sastra sunda. Sejak tahun 1989, atas prakarsanya sendiri, dia memberi Hadiah Sastra Rancage, sebagai upaya untuk merangsang para pengarang sunda untuk berkarya, sekaligus juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadapnya. Bahkan selanjutnya penghargaan tersebut juga diberikan kepada kebudayaan daerah lain yaitu Jawa dan Bali. Suatu hal yang sangat luar biasa sebenarnya, karena Ajip-lah (baca: orang Sunda) yang pertama-tama melakukan hal tersebut di nusantara ini, di tengah ketidakkacuhan pemerintah daerahnya masing-masing.

Meski kemudian lama bermukim di luar negeri, itu tidak menyebabkan kiprahnya terhenti. Perhatiannya terhadap kesundaan tidak pernah berkurang. Karya-karyanya tetap merul. Bahkan seperti yang dikatakannya hidup di luar negeri memberikannya banyak kesempatan untuk menulis. Dus, kecintaan Ajip terhadap kesundaan tidak perlu dipertanyakan lagi. Seakan-akan kesundaan adalah tujuan hidupnya.

Tetapi kecintaannya tersebut tidak membuatnya menahan diri untuk bersikap kritis. Bahkan justru dilandasi rasa cinta dan tanggung jawabnya yang besar itulah, maka kemudian dia menjadi sangat kritis. Ajip dikenal kerap melontarkan kritik pada setiap hal, dan pada siapa pun, yang menurutnya perlu dikoreksi. Ajip sadar bahwa selain kuantitas, kualitas sangat penting dalam perkembangan kesundaan, karena kualitas menentukan postur, yang pada gilirannya akan mempengaruhi apresiasi orang terhadapnya. Dan untuk memelihara kualitas tersebut, kritik adalah sesuatu hal yang wajib.

Ajiplah yang pertama kali memperkenalkan seni kritik dalam jagat sastra sunda. Meski kritik adalah suatu hal yang lumrah dan perlu dalam dunia sastra, tetapi dalam prakteknya hal tersebut tidak langsung diterima dengan baik. Kita masih ingat, di tahun 50-an, ketika Ajip mulai mengungkapkan kritik-kritiknya, dia banyak menuai tentangan, terutama dari golongan tua, yang memang banyak menjadi sasaran kritiknya. Nampaknya, hal itu disebabkan masih kuatnya budaya unggah-ungguh dalam budaya Sunda. Mengkritik orang yang lebih tua apalagi tokoh, masih dianggap kurang ajar, cucungah.

Tetapi barangkali juga hal itu disebabkan oleh gaya bahasa Ajip yang memang sangat lugas dan cenderung sarkastik. Bagi yang pernah membaca bukunya yang berjudul Beber Layar, yang berisi kumpulan kritiknya dalam bahasa Sunda, akan dengan cepat akan merasakan bahwa "serangan-serangan" Ajip memang nyelekit dan tanpa tedeng aling-aling. Boro-boro malapah gedang. Dan diakui atau tidak, itulah yang yang menjadi ciri khas Ajip. Nampaknya hal ini dipengaruhi oleh watak egaliternya, yang menurutnya adalah watak asli orang Sunda. Di setiap kesempatan Ajip selalu mengatakan bahwa Undak Usuk Basa, yang membedakan bahasa menurut tingkatan, adalah bukan budaya asli Sunda, tetapi itu adalah warisan Mataram.

Maka tak heran apabila beberapa hari kemarin muncul tanggapan kritisnya tentang buku Sejarah Tatar Sunda (STS) jilid I dan II di Pikiran Rakyat dalam versi Indonesia dan Mangle dalam versi Sunda. Dan tulisannya itu masih sangat ber-khas Ajip: keras, tanpa basa-basi dan detil. Karuan saja ini sempat menyebabkan Nina Lubis dan kawan-kawan yang menulisnya blingsatan. Meski dalam berbagai pernyataannya Nina selalu menegaskan bahwa dia, dan kawan-kawannya, tidak merasa tersinggung dan bahkan mengucapkan terima kasih atas kritik tersebut, tetap saja itu tidak menyembunyikan rasa tidak nyamannya atas tulisan Ajip.

Ketidak nyamanan yang sebenarnya dapat dimengerti. (Juga) Berangkat dari kecintaan dan rasa tanggungjawabnya terhadap kesundaan-lah, maka Nina dan kawan-kawan, kemudian berpayah-payah menyusun buku tersebut. Dan tentunya kerja itu bukan sesuatu yang gampang, dan gratis, tetapi membutuhkan upaya yang keras baik tenaga maupun fikiran. Maka setelah kini semua telah terwujud, mereka berharap hasil kerja kerasnya tersebut akan diterima dan dihargai oleh semua pihak. Dan kritik keras semacam dari Ajip nampaknya tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.

Untungnya Nina dan kawan-kawannya bukanlah orang belikan. Kritik tersebut mereka terima dan respons dengan baik. Konon dalam cetakan terbaru, akan dilakukan perbaikan sesuai dengan koreksi dari Ajip.

Tetapi lepas dari itu, kita sesungguhnya mesti berbahagia bahwa semangat dan vitalitas Ajip terbukti masih tinggi. Di usianya yang kini sudah tidak muda lagi, Ajip masih produktif berkarya untuk kesundaan. Dan kiprah Ajip memang masih sangat diperlukan bagi perkembangan kesundaan, yang nampaknya sudah mulai bangun kembali, meski masih tertatih ini. Kemarin, Ajip juga berhasil menghimpun orang-orang Sunda yang berhasil menjadi "orang" dalam Apa Siapa Orang Sunda, yang tentunya ditujukan untuk membangun kepercayaan diri orang-orang Sunda pada umumnya, meski untuk beberapa tokoh saya masih merasa banyak yang dipaksakan masuk.

Semangat dan vitalitasnya tersebut, terus terang saja, membuat generasi muda Sunda seperti saya, menjadi merasa sangat malu.

Rabu, April 07, 2004

Saya Tidak Ikut Pemilu

Kemarin, saya tidak ikut Pemilu. Ya. Ketika orang lain berpesta lima taunan itu, saya tidak ikut. Maka jangan heran, di jari tangan kiriku itu kau tak akan melihat bekas tinta penciri yang udah nyoblos. Karena, ya.. saya memang tidak nyoblos.

Saya golput? Tunggu dulu, jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kau tahu, saya bukan seorang idealis tulen, sehingga memutuskan untuk tidak memilih karena merasa tidak ada partai yang memenuhi kriteria. Saya seorang yang sangat realistik (super reralistik malah, orang kadang menanggapku seorang pesimistik). Saya juga bukan termasuk orang yang kecewa terhadap kondisi yang ada. Saya belum apatis dengan nasib negeri ini. Meski diakui banyak kekurangannya, saya masih bisa memaklumi kesulitan-kesulitan yang ada.

Saya tidak memilih semata-mata hanya alasan teknis dan sifat jelek. Ya, hanya itu, tidak ada yang lain. Masalahnya berhubungan dengan statusku sebagai anak kos yang tidak akan lama tinggal di suatu tempat. Ketika dulu petugas RT mendata, saya masih tinggal di Cibiru, sekitar 15 kilo meter dari tempatku tinggal sekarang. Lumayan, menghabiskan waktu sekitar satu jam menuju ke sana. Jadi, ketika orang-orang menerima surat pemberitahuan memilih, saya sendirian tidak dapat. Dan sumpah, saya tidak tahu harus berbuat apa. Maksudnya, bagaimana prosedur untuk orang sepertiku. Kau tahu, KTP-ku dulu juga kan bikinnya nembak, 300 ribu. Tentu saja bukan alamatku yang tertera di sana. Jadi saya kebayang akan banyak urusan bila mencoba hal tersebut.

Tapi sebenarnya, itu hanya disebabkan sifat jelekku saja. Pemalas. Sebenarnya saya bisa saja menanyakannya pada mereka yang berkompeten, atau menyempatkan diri pergi ke Cibiru barang sebentar. Barangkali urusannya pun tidak akan serumit yang saya kira.

Akhirnya di tanggal 5 itu saya tidak pergi ke TPS, yang padahal hanya berjarak 20 meter dari tempat kosku. Ketika berjalan menuju Rumah Makan Padang di seberang jalan, saya melihat banyak orang berkumpul di sana. Tentu saja yang mengantri nyoblos, yang nongton, serta petugas PPSnya sendiri. Dan melakukan sesuatu yang tidak umum, kadang memang risih juga. Seperti yang saya alami hari itu. Kau tahu, satiap bertemu dengan seseorang, di hari itu, hal pertama yang saya lihat adalah jari tangan kirinya. Kadang-kadang berharap ada juga yang tidak memilih seperti saya, biar ada teman.

Yang lebih aneh besoknya, ketika kembali masuk kantor. Memang ternyata bukan hanya saya yang tidak memilih, dengan alasannya masing-masing tentunya. Tetapi ada hal lain yang dirasakan ketika terlibat pembicaraan tentang Pemilu. Perasaan, yang tidak bisa saya gambarkan dengan mudah. Sedih, tidak. Menyesal, tidak. Berdosa, juga tidak. Saya juga tidak berbangga, seperti seorang teman lain yang juga tidak memilih. Tetapi tidak merasakan apa-apa juga tidak. Barangklali perasaan itu sama dengan perasaan ketika kau diajak pesta yang tidak terlalu kau suka oleh seseorang, dan esoknya temanmu itu menceritakan betapa pesta itu sangat menyenangkan. Ya pokoknya gitu lah, biar cepet.

Yang pasti, di hari pencoblosan itu saya sulit mencari makan siang.