Sabtu, Oktober 22, 2005

Gus Dur dan Sebuah Perdebatan Kecil

Tiba-tiba saja saya terjebak dalam sebuah perdebatan kecil. Seorang teman menyerang saya dengan pertanyaan tak asing, "Saya heran, bagaimana bisa seorang intelektual sepertimu mengidolakan orang seperti Gus Dur?", katanya prihatin. Seperti biasa, saya tertawa mendengarnya. Saya jawab ringan, "Justru karena saya merasa sebagai seorang intelektual, maka saya mengagumi beliau".

Teman saya itu adalah seorang Islam formalis. Seorang yang selalu berusaha mempraktekkan Islam dengan segala simbolnya dalam kehidupan sehari-hari, dari celana ngatung sampai janggut, sebagaimana trend yang sedang menggejala pada komunitas-komunitas intelektual muda di kota-kota besar belakangan ini. Orang yang idealis tapi tak cukup radikal. Afiliasi politiknya pun bisa ditebak. Dia adalah seorang simpatisan Partai Keadilan Sejahtera.

Dan saya adalah pengagum Gus Dur. Sebuah kekaguman yang tentunya muncul bukan tanpa sebab. Ini berawal sekitar 6 tahun yang lalu, ketika saya suatu kali singgah di Masjid Raya Makassar dalam perjalanan menuju Malinau, Kalimantan Timur, untuk Praktek Kerja Lapang di sebuah HPH BUMN. Karena kesal menunggu kapal, saya iseng-iseng membeli sebuah buku yang dijual di sana. Judulnya sangat menarik dan provokatif: Tuhan Tak Perlu dibela. Sejak semula, saya memang menyukai sesuatu yang yang berbau kontroversial, sehingga tanpa ragu saya memilih buku itu untuk dibeli, selain memang sempat membaca resensinya di sebuah majalah.

Pada saat itu, Gus Dur sedang menjadi berita, karena baru saja terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Habibie. Sikap dan sepak terjangnya yang nyleneh, banyak diulas media. Dari yang memuji, sampai mencaci maki. Dan julukan beliau sebagai Guru Bangsa, banyak membuat orang muda seperti saya terheran-heran. Mengapa orang aneh ini mendapat julukan sedemikian terhormat? Apa yang sudah beliau perbuat sehingga sebagian orang memujanya begitu rupa?

Dan pertanyaan itu terjawab setelah saya membaca buku itu. Ajaib, karena hampir semua pandangan saya tentang sosial keagamaan dan keindonesiaan, yang selama ini mendekam di kepala, ternyata diterangkan Gus Dur dengan lancar, lugas dan enak dibaca. Gagasannya tentang pribumisasi Islam, sangat mengena pada saya yang sedang jengkel terhadap perilaku beberapa teman yang berubah ber-ana antum ria semenjak mereka menjadi aktivis kampus. Sikap toleransinya yang begitu tinggi --bahkan kadang berlebihan-- terhadap kaum minoritas dan beda agama, sejalan dengan saya yang selalu merasakan empati yang besar terhadap mereka-mereka yang ditindas dan diasingkan. Ketidaksukaannya terhadap segala bentuk formalisme, termasuk formalisme agama, juga selalu saya rasakan. Pandangannya yang jernih dan adil dalam menilai suatu permasalahan --pada zamannya-- begitu mengagumkan. Pendeknya, sejak saat itu saya jatuh cinta pada buku itu, dan tentu saja pada sosok Gus Dur. Sampai sekarang, Tuhan Tak Perlu dibela, menjadi buku wajib saya yang selalu saya baca di kala ada kesempatan.

Sejak saat itu saya pun menjadi seorang, kata beberapa teman, ABG atau Anak Buah Gus Dur. Semua tulisan Gus Dur dan tentang beliau, saya buru --saya baca. Selalu menarik. Dan bisa ditebak, apa yang terjadi pada Gus Dur, terjadi juga pada saya. Saya hampir selalu menjadi antitesis. Saya jadi kerap terlibat perdebatan sengit, dengan beberapa teman yang umumnya sangat kontra. Saya ingat, ketika menjelang impeachment terhadap Gus Dur oleh MPR, saya adalah satu-satunya dari seratus orang penghuni asrama yang tetap membela.

Setelah Gus Dur turun dari presiden, beliau pernah membuat buku juga. Tapi sayang, kualitasnya jauh berbeda. Ide-ide segar dan enak dibaca tak bisa lagi kita dapati. Yang ada adalah tulisan-tulisan membosankan dan penuh apologi. Rupanya Gus Dur memang telah berubah. Tetapi itu tak mengurangi hormat saya pada beliau.

Tentu saja, pandangan saya ini bertabrakan langsung teman PKS tadi. Dan ini kerap menjadi sumber perdebatan antara kami berdua. Tak jarang kami terlibat dalam diskusi yang cukup rame. Tapi jangan salah sangka. Kami tidak melakukan itu dengan otot-ototan. Semua perdebatan itu kami lakukan dengan tertawa riang, --meski tidak jarang pake hati juga ding!

Dan jawaban tadi saya sambung dengan sebuah pernyataan sedikit menantang. "Orang-orang yang bisa memahami Gus Dur hanyalah orang yang memiliki intleketual tinggi, yang bisa memikirkan agama dengan dewasa", serang saya sambil ketawa.

Teman satu ini tentu tak puas. "Dia itu pengacau tau? Dia sering bikin bingung umat dengan omongan-omongannya yang ngawur", serangnya sengit. "Justru dengan begitu, Gus Dur mendidik umat muslim untuk selalu bersikap cerdas dalam memandang persoalan", jawab saya tak kalah seru.

Dia menyiapkan serangan susulan. "Muslim macam apa yang selalu lebih membela orang non muslim ketimbang teman-teman seagamanya? Kau tahu apa yang dia katakan tentang Ahmadiyah? Masa dia mengatakan kalo Ahmadiyah, yang jelas sesat, harus dibela? Kiayi seperti apa itu?". Dia memang menggebu-gebu. Saya katakan, seharusnya kita berbangga apabila ada seorang muslim ternyata banyak dipuja oleh mereka yang lain agama. Bukankah itu memberi gambaran yang positif tentang seorang muslim. Bahwa Gus Dur terkadang keras terhadap muslim lain, saya ibaratkan seperti seorang bapak yang menjewer anaknya yang nakal untuk mendidik. "Cuma si anak, kadang terlalu manja", kata saya. Gus Dur memang selalu memposisikan sebagai pembela bagi mereka yang tertindas, termasuk kaum Ahmadiyah. Saya katakan, persoalan sesat dan tidak sesat biarlah milik Allah. Yang jelas, adalah tidak dibenarkan kita melakukan kekerasan pada yang lemah, bahkan atas nama agama pun. Dan bila ada yang melakukannya, itu harus dikecam, muslim atau bukan.

Dia masih ingin melanjutkan perdebatan. Tapi, tiba-tiba... "Awas!". Sebuah sepeda motor melintas cepat, nyelonong di depan mobil yang sedang kami kendarai.

Minggu, Oktober 09, 2005

Seven Days In Thailand (Last)

Kembali ke Bangkok

Hari Kamis, kami kembali ke Bangkok. Belum berencana pulang, karena kami masih memiliki agenda untuk berkunjung ke beberapa tempat lagi. Selama perjalanan di bis, perasaan sentimentil saya muncul. Mungkin akibat lagu-lagu boysband yang distel keras-keras di bis.

Menjelang siang kami sampai di Bangkok, dan ditempatkan pada sebuah hotel kecil di district Ram Kam Haeng. Namanya Dynasty Hotel. Kami pun dipersilahkan untuk beristirahat sampai setelah lohor di hotel. Mulai saat itu kami dipandu oleh guide baru yang sengaja disewa panitia dari sebuah biro perjalanan wisata. Ada tiga guide, yang dua orang Indonesia dan yang satu guide lokal. Guide Indonesia yang satu bernama Lili. Seorang wanita paruh baya berbadan bulat dengan selera humor yang kasar. Seorang lagi bernama Lukman. Masih muda. Dia bertugas mengurus membantu Lili mengurus-ngurus adminstrasi. Yang ketiga adalah seorang guide lokal. Namanya Citra. Dia seorang muslim Thailand yang sewaktu mahasiswa pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta sehingga bahasa Indonesianya sangat fasih. Rambutnya kriting gondrong, dengan kumis tak terurus. Sekilas penampilannya seperti preman, tetapi rupanya dia cukup pandai bercerita.

Kami tak sempat berisitirahat lama, karena siang itu kami diagendakan untuk mengunjungi Wath Arun, sebuah situs sejarah kerajaan Thailand yang terletak di pinggiran kota Bangkok. Untuk sampai ke sana, kami membutuhkan hampir 2 jam perjalanan. Bangkok ternyata memiliki penyakit yang hampir sama dengan kota-kota besar lainnya: Macet. Untungnya, Pak Cit (si Guide lokal), bercerita sepanjang perjalanan.

Bangkok, Kota yang Besar

Bangkok adalah sebuah kota yang sangat besar. Luasnya konon hampir 3 kali Jakarta (bila tidak menggunakan konsep megapolitan). Penduduknya 8 juta dan sekitar 1,5 juta diantaranya adalah orang asing. Mereka datang dari negara-negara sekitar Thailand seperti Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam, untuk mengadu nasib di Bangkok. Diantara mereka orang Myanmar-lah yang paling banyak, dan mereka terkenal kasar. Kata Pak Cit, ini disebabkan kehidupan mereka yang sulit di negerinya.

Mayoritas orang Thai, beragama Buddha Hinayana. Orang Islam ada juga, terutama mereka berasal dari provinsi-provinsi di daerah selatan, yaitu yang terpengaruh budaya melayu. Konon, dari 70 lebih provinsi kota di Thailand, sekitar 15 dari mereka sangat berbau melayu, karena pernah dijajah oleh Sriwijaya. Di Bangkok, banyak juga kompleks-kompleks pemukiman muslim. Selama di di sana kami membeli makan di kompleks-kompleks tersebut.

Perkembangan ekonomi Thailand sangat mengagumkan. Kami tak tahu angka pastinya, tetapi apa yang kami lihat di Bangkok sangat menggambarkan itu. Infrastruktur jalan dibangun dengan lebar dan bertingkat-tingkat. Gedung-gedung menjulang tinggi diseling taman-taman kota yang menghijau. Kendaraan-kendaraan tahun terbaru lalu lalang (saya bayangkan di sini, Jimny Katana-ku mungkin udah jari barang rongsokan). Kemacetan memang menjadi permasalahan utama. Untuk itu, pemerintah kini sedang mengembangkan subway MRT selain juga skytrain. Ciri-ciri negara maju sudah tampak di Bangkok.

Kota Yang Bersih

Bangkok juga sangat bersih. Menurut Pak Cit, Bangkok terbebas dari permasalahan sampah dan banjir mulai sekitar 15 tahun yang lalu. Ini mengagumkan, karena dulu, keadaannya sampir serupa, bahkan mungkin lebih parah, dari Jakarta. Ketika kami tanyakan bagaimana caranya, Pak Cit menjawab: mudah. Hal yang harus dilakukan pertama-tama adalah membersihkan saluran-saluran air dari sampah, katanya. Untuk ini, Pemerintah Kota memiliki kiat tersendiri. Mereka mengerahkan para narapidana untuk melakukan hal tersebut untuk menghemat angaran. Para napi yang berkelakuan baik, ditugaskan untuk membersihkan kota Bangkok dengan imbalan berbagai fasilitas, dari pengurangan hukuman sampai diizinkan untuk berkumpul dengan istri mereka beberapa hari dalam sebulan. "Baru setelah hampir 2 tahun, Bangkok terbebas sama sekali dari sampah", kata Pak Cit.

Setelah itu dilakukan manajemen sampah, yaitu pemisahan sampah menurut jenisnya. Ini dilakukan sampai pada tingkat rumah tangga. Untuk mengkampanyekan ini, dilakukan pendekatan melalui anak-anak TK. "Orang tua akan malu apabila diajari oleh anak TK," lanjut Pak Cit. Sampah-sampah tersebut kemudian diolah. Yang memungkinkan dilakukan daur-ulang, sedang yang organik diolah menjadi kompos. Sehingga sampah, di Thailand, bukan menjadi barang yang menjijikan, tetapi menjadi sumber pendapatan dan lapangan kerja. Kami hanya mengangguk-angguk.

Bensin 6000 rupiah seliter

Yang mengagumkan juga adalah soal BBM. Thailand adalah pengimpor seratus persen minyak, sehingga komoditi itu dilepas pada mekanisme pasar. Harga bensin di Bangkok saat itu adalah sekitar 6000 rupiah. Dengan melambungnya harga minyak dunia, kemungkinan harganya bisa mencapai 8000 - 10.000. Taksi-taksi di banyak yang menggunakan bahan bajar LPG, karena lebih murah.

Tetapi pemerintah memberikan kompensasi yang adil dan mendidik. Biaya kesehatan sangat-sangat murah. Untuk berobat, penyakit apapun dan berapa lamapun, mereka hanya dikenai biaya 30 Baht (sekitar 7500 rupiah). Pendidikan sampai SMA juga ditanggung oleh Pemerintah. Hal tersebut menyebabkan persoalan BBM tidak menjadi sesuatu yang terlalu sensitif seperti di Indonesia. Saya jadi berfikir, jika sebelumnya hal yang sama diterapkan di Indonesia, barangkali juga menjadi positif. Yaitu munculnya generasi muda yang sehat dan berpendidikan, tetap hemat. Bukannya generasi boros dan konsumtif, tetapi otaknya dodol!

Raja yang dicintai Rakyat

Ada satu lagi kelebihan Thailand, yaitu mereka memiliki pemimpin terakhir yang sangat disegani: Raja. Raja Bhumibol barangkali adalah satu-satunya raja di Dunia yang kharisma dan wibawa di rakyatnya masih sangat tinggi. Dimana-mana, di setiap sudut kota, fotonya dan atau foto Ratu, dipajang. Ini membuktikan kecintaan dan penghargaan rakyat yang tinggi pada raja. Suatu hal yang mengagumkan di era modern.

Kecintaan tersebut disebabkan oleh perilaku raja yang memang patut diacungi jempol. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan bijaksana. Raja Bumibhol memang pandai menempatkan diri. Sebagai seorang raja di era modern, dia tidak lagi bisa berbuat sesukanya. Tetapi harus pandai-pandai mengambil hati rakyat, agar kehdirannya sebagai seorang pemimpin memang berarti di rakyatnya. Hartanya konon habis digunakan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek kepentingan publik. "Rakyat Thailand bukan takut pada raja, tetapi malu," kata Pak Cit. Ditambahkannya, bahwa Thailand sering mengalami ketegangan politik, tetapi tidak pernah pecah menjadi chaos, karena mereka memiliki pempimpin terakhir yang dipatuhi oleh semua pihak. Ketika raja sudah memutuskan, maka semua pihak akan menerima dengan lapang dada. Pernah suatu kali Thailand berkonflik dengan negara tetanga, sehingga sudah hampir menyiapkan angkatan perang. Melihat kondisi yang sudah sedemikian gawat, Raja pun turun tangan. Dengan sebuah perkataan, rakyat kembali tenang. "Cuma, beliau tidak pernah sembarang ngomong. Dia bicara ketika suasana sudah gawat," kata Pak Cit. Hal tersebut memang harus dilakukan untuk menjaga kewibawaan.

Wath Arun

Image hosted by Photobucket.comWath arun adalah sebuah candi, mungkin sebandng dengan Borobudur di kita. Terletak di tepi sebuah sungai (saya lupa namanya), menjadikan Wath Arun terlihat eksotis. Konon dulunya ini adalah pusat pemerintahan kerajaan Thailand sebelum pindah ke Bangkok pada abad XVIII, akibat seringnya diserang oleh bangsa Myanmar. Bangsa Myanmar di masa lalu memang sangat ingin menguasai Thailand yang subur, karena di negerinya yang dataran tinggi tidak baik untuk bercocok tanam. "Di masa lalu kami hampir 400 kali berperang dengan bangsa Myamnar," kata pak Cit.

Karena keindahannya Wath Arun menjadi salah satu objek wisata wajib di Bangkok. Turis Indonesia juga banyak yang sering ke sini. Tetapi, tambahnya, umumnya tujuan mereka lain. Bukannya melihat keindahan candi, tetapi untuk belanja di pasar murah pinggir kompleks candi. Dan terbukti, kami memang akhirnya tak sempat masuk, karena waktu habis untuk berbelanja.

Pulangnya kami mengunjungi sebuah toko penjualan permata. Thailand, konon, memang terkenal dengan kerajinan permatanya. Di sana kami dapat melihat berbagai batu mulia seperti diamond, shapir, giok dan lain-lain. Beberapa orang berbelanja di sana, tetapi tidak banyak. Kemarin, sebelum ke Bangkok, kami sempat juga diajak ke toko serupa oleh Lex, sehingga banyak diantara kami yang sudah membeli. Saya sendiri tak terlalu tertarik. Saya pikir, saya belum membutuhkannya. Hari itu kegiatan hanya sampai di situ. Kami kemudian pulang menuju hotel. Saya sudah mulai lelah.

Ke Pusat Penelitian Pertanian Organik

Jumat, kami diagendakan untuk mengunjungi sebuah pusat penelitian dan pengembangan pertanian terpadu organik di sebuah provinsi yang tidak bisa saya ingat namanya. Letaknya cukup jauh dari Bangkok, sekitar 3 jam. Tak banyak yang kami dapat di sana, selain keterpaduan antara peternakan (sebagai sumber pupuk kandang), pertanian, dan perikanan. Saya cukup tertarik dengan pemeliharaan ikan secara organik, yang tidak membutuhkan lahan yang luas. Selain dari itu, pengelolaannya tak beda jauh dengan di Indonesia.

Pulang dari sana, kami sempat mampir di sebuah pasar buah --salah satu dari 4 pasar buah terbesar di Bangkok. Sayangnya hujan turun sangat deras, menghalangi kita untuk turun. Akhirnya perjalanan diteruskan ke showroom sutra milik keluarga Shinawatra. Rupanya, sang Perdana Menteri adalah pengusaha sutera juga. Kata Dadung, "Alus keneh nu urang di Pangalengan". Setelah itu, sempat pula singgah di sebuah pusat penjualan kulit. Tetapi tak terlalu menarik.

Malamnya adalah malam terakhir kami bisa bejalan-jalan di Bangkok, karena besok kami harus pulang ke Jakarta. Maka saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar hotel, melihat-lihat para pedagang kaki lima yang banyak mangkal di sana. Bangkok, ternyata sangat aman. Tak ada preman atau orang mabuk berkeliaran di jalanan. Bahkan lokasi pedagang kaki lima pun sangat bersih, tidak kumuh. Sesekali saya mampir pura-pura mau beli bila melihat pedagangnya cantik.

Tersesat di Chatuchak

Esoknya, guide mengajak kami mengunjungi penangkaran ular. Ada bermacam-macam ular di sana, dan tentunya yang paling terkenal adalah King Cobra. Ada sedikit atraksi disana, namun ujung-ujungnya kami ditawarin berbagai obat dari ular. Rombongan, yang kebanyakan uangnya sudah habis, malah pada kabur.

Lepas dari sana, kami dibebaskan menetukan tujuan. Beberapa orang memilih Chatuchak, sebuah pasar tradisional terbesar di Bangkok. Sebenarnya pilihan ini sempat menimbulkan polemik di antara rombongan. Entah mengapa, guide kami sepertinya sangat keberatan dengan tujuan ini. Mereka menakut-nakuti bahwa keamanan di sana tak terjamin karena banyak copetnya. Tentu saja sebagian rombongan menjadi takut. Tetapi sebagian lain tetap ngotot. Malam sebelum berangkat, kebetulan Lex datang ke Hotel, dan kami menayakan hal tersebut kepadanya. Lex mengatakan, "Copet itu ada di mana-mana, di negara anda maupun di negara kami. Tinggal bagaimana kewaspadaan kita. Pegang dompet anda erat-erat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya dari anda. Jangan khawatir, saya setiap minggu ke sana, dan tak pernah ada masalah". Maka akhirnya kami pun sepakat ke Chatuchak.

Chatuchak adalah sebuah pasar yang besar. Mungkin sebanding dengan Tanah Abang di Jakarta. Di sini dijual apa saja, termasuk cendera mata. Makanya banyak juga turis-turis yang berkunjung. Kami diberi waktu 2 jam di pasar itu. Semula, saya bertiga dengan Dadung dan Saepudin. Tadinya bermaksud membeli oleh-oleh yang dirasa belum cukup. Karena keasyikan, saya masuk terlalu dalam dan terpisah dari rombongan. Terpikir pulangnya akan mudah, dengan menelusuri jalan ketika masuk. Tetapi celaka, ketika mencari jalan pulang, saya tersesat. Mencoba bertanya, tetapi tak banyak yang mengerti bahasa Inggris di sana. Saya mulai panik karena sudah lewat dari waktu yang diberikan oleh guide. Untung sempat ngirim sms terakhir ke Dadung --Urang nyasar, dagoan tong ditinggalkeun! Hampir saya menyerah. Untungnya ada seorang polantas yang mengerti apa yang saya katakan. Dia lantas membantu menstopkan sebuah taksi.

Tiba di bus, semua orang mengomel, "Dari mana aja kamu?". Saya hanya nyengir.

Tujuan terakhir adalah Ma Bung Krong (MBK). Sebuah pusat perbelanjaan modern di Bangkok, mungkin sekelas Blok M. Karena tak ingin tersesat lagi, saya tak masuk terlalu jauh. Tetapi sempat membeli sebuah baju khas Thailand seperti yang sering dipake Lex, dengan Baht yang tersisa.

Pulang

Image hosted by Photobucket.com Setelah sempat naik MRT, pukul 5 sore kami menuju Dong Muang. Saya mulai kembali dicekam perasaan takut terbang. Beberapa orang ternyata membawa banyak sekali oleh-oleh. Pak Rudi bahkan membawa berdus-dus. Ketika saya tanyakan isinya, ternyata adalah anggrek. "Untuk dijual di Indonesia," katanya. Pak Rudi memang petani anggrek.

Kami take off tepat pukul delapan malam. Bersama dengan rombongan kami ada juga rombongan TKI yang mudik dari Dubai. Mereka masih muda dan nampak polos. Yang menyedihkan saya adalah kebanyakan mereka orang Sunda. Umumnya dari Cianjur dan Indramayu. Seorang duduk disamping Saepudin. Dia seorang janda satu anak dari Indramayu. Menjadi TKI adalah pilihan terbaik, katanya. Karena pilihan yang tersisa cuma jadi PSK!

Saya semakin sedih, ketika mengingat betapa kerja keras dan pengorbanan mereka sering menjadi lahan pemerasan oleh oknum-oknum bangsa kita juga. Oleh oknum Depnaker, PJTKI, bahkan para sopir dan calo. Saya sedih, betapa bangsa kita dengan mudah kehilangan hati, hanya karena kesulitan hidup yang mendera.

Pukul 24.00 kami sampai kembali di Jakarta.

Kamis, September 29, 2005

Seven Days In Thailand (Part III)

Nong Nooch Tropical Garden

Ini hari ketiga, dan merupakan hari terakhir kami di konferensi. Nanti malam acara akan ditutup secara resmi. Dan agenda kami hari ini adalah mengunjungi --menurut Lex-- tempat terindah di Thailand: Nong Nooch Tropical Garden.

Nong Nooch adalah semacam taman bunga. Terletak di Provinsi Chonburi, sekitar satu senegah jam dari hotel tempat kami menginap. Suasana agak gerimis ketika kami tiba di sana. Untungnya tidak lama, kembali cerah.

Image hosted by Photobucket.com Dan Nong Nooch memang indah. Taman-taman ditata sedemikian rupa, mengkombinasikan bunga-bunga yang dibentuk menyerupai berbagai mahluk (terutama gajah), dengan batu-batu besar dan licin, membuat kami berdecak kagum. Saya yakin biaya perawatannya tentu sangat mahal. Ada juga susunan batu semacam batu jam di Inggris yang terkenal itu. Di tengah perjalanan kami berhenti, untuk memberi kesempatan pengunjung berfoto-foto.

Pusat Nong Noch adalah sebuah gedung pertunjukan. Di sekelilingnya banyak juga gerai-gerai yang menjual cendera mata. Kami diarahkan untuk langsung masuk ke gedung pertunjukan. Gedung itu tidak terlalu mewah, tetapi cukup artistik. Menampung sekitar 300 penonton yang dibikin setengah melingkar dan bertingkat-tingkat. Semuanya memusat ke sebuah panggung yang terdiri dari dua tingkat.

Image hosted by Photobucket.comPertunjukan dimulai dengan tari-tarian di panggung atas. Belasan gadis (atau bencong?), menari-nari diiringi musik terdisional Thai. Alat-alat musiknya nampak aneh bentuknya. Pada beberapa adegan, tarian dan musiknya tersebut mirip dengan tampilan pada saat pembukaan konferensi.

Kemudian dilanjutkan dengan atraksi kickboxing dengan ikat kepala khas yang dipake para pemainnya. Namun dilakukan dengan skenario yang dibuat sedikit lucu. Seperti ketika salah seorang kickboxer memukul wasit dan beberapa adegan lain. Ada juga atraksi simulasi pertarungan beladiri tradisional dengan menggunakan senjata. Puncak pertunjukan adalah sendratari yang mengisahkan peperangan kerajaan-kerajaan jaman dulu, yang melibatkan gajah-gajah besar dan kecil. Cukup menghibur. Thailand pemang pandai mengemas sisi-sisi etniknya menjadi sebuah pertunjukan yang bernilai komersial.

Image hosted by Photobucket.comObyek di Nong Nooch tidak berhenti sampai itu. Kami lantas di"giring" ke belakang gedung, untuk memasuki arena pertunjukan gajah. Tak salah bila Thailand disebut negeri gajah putih. Gajah, di negeri ini, adalah binatang istimewa yang memiliki ikatan hubungan yang erat dengan penduduknya. Dimana-mana kita dapat dengan mudah melihat gajah. Bahkan di jalan-jalan kota Bangkok, kadang kami lihat merka berjalan-jalan santai, tentu saja diiringi sang pawang. Dan di sini kami diajak untuk melihat berbagai atraksi yang dilakukan oleh gajah-gajah yang sudah terlatih. Ada pertunjukan main bola, main basket, menari holahop, naik sepeda bahkan melukis. Konon pertunjukan gajah di Way Kambas pun mencontoh atraksi di sini.

Dipeluk Bencong

Puas melihat gajah, kami berjalan-jalan sekitar gedung. Ada juga jasa foto dengan ular, monyet dan macan. Kita cukup mebayar 50 Baht. Saya tidak tertarik. Tetapi ketika melewati sebuah jasa foto dengan seorang gadis cantik berpakaian ala ratu dengan latar belakang istana-istanaan, saya kepingin mencoba. Setelah berkonsultasi dengan Erwin, saya membeli 2 tiket. Tentu saja untuk kami berdua.

Image hosted by Photobucket.comErwin mendapat giliran pertama. Dia duduk disamping sang "ratu", yang memeluknya manja. Beres. Tiba giliran saya. Saya mendekat ke samping sang ratu, dan duduk sedikit menempel. Tetapi tiba-tiba dengan agresif, si cantik merapat. Memeluk erat. Jauh lebih erat dari pada pelukan ke Erwin. Detik itu saya baru sadar, ternyata dia adalah seorang boygirl (bencong). Tangannya mecoba meraba lebih jauh, tapi saya tahan dengan tangan sambil berbisik, "No.. no". Beres satu jepretan kamera, si cantik rupanya belum puas, "Once more," katanya. Saya jadi keder. Erwin yang memegang kamera tertawa. Dia kembali mengambil gambar. Sesaat setelah itu, saya langsung manghambur. Meski si cantik memanggil-manggil dengan suara tertahan, "Money..money", tetapi saya tak peduli. Saya kabur secepat-sepatnya.

Lepas dari "cengkraman" bencong kami tertawa terbahak. Apalagi ketika diceritakan kepada teman lain. "Dia tahu kalo kamu masih bujangan," seloroh Pak Camat. Setelah berfoto-foto di taman, kami kemudian menuju bis yang akan membawa kami pulang ke Pattaya. Peristiwa "benconggate" juga dibahas sepanjang perjalanan.

Gadis-gadis IFYE

Meski bertemakan pemuda, tetapi peserta konferensi tidak semuanya orang muda. Dari India bahkan aki-aki dan nini-nini. Delegasi Korea rata-rata berusia paruh baya. Begitu pula dengan Taiwan dan Thailand, meski umumnya relatif lebih muda-muda. Tetapi karena wajah-wajah mereka agak susah dibedakan, saya tak terlalu dapat mengingat mereka. Yang agak mencolok barangkali adalah peserta (lagi-lagi) Philipina. Mungkin karena wajah mereka relatif mirip dengan wajah Indonesia Kebanyakan mereka masih berusia muda, mungkin di bawah 30 tahunan. Indonesia sendiri relatif seimbang antara jumlah yang muda dan yang tua. Tetapi yang paling muda, dan single, barangkali cuma saya. Eh nggak ding, ada dua orang lagi. Yang satu orang laki-laki, cucunya seorang panitia senior IFYE. Dia nampaknya cuma ikut piknik saja. Yang satu lagi seorang gadis. Tetapi dia terlalu pendiam.

Dan berbicara tentang gadis, ada juga beberapa gadis yang sempat menarik perhatian saya di konferensi. Pertama adalah seorang Korea, namanya Lee Da Hi. Dia seorang gadis yang ramah, riang dan cepat akrab. Usianya masih 25. Saya mengenalnya ketika tiba-tiba dia nyelonong ikut berfoto pada saat saya berpose di depan sebuah kuil kecil di perkebunan Perawat. Kami lebih menjadi akrab ketika upacara penutupan, karena kebetulan berdiri berdampingan. Tetapi bahasa Ingrisnya payah juga. Pelafalannya susah dimengerti. Dia rupanya sedang mengikuti program farm stay di Thailand.

Image hosted by Photobucket.comAda juga Shahara. Seorang gadis muslim yang cantik dan putih --cuma agak gemuk-- dari Philiphina. Bagi peserta Indonesia dia dapat dibilang yang paling mendapat perhatian selama IFYE. Wajah cantiknya menjadi pavorit untuk dijadikan teman berpose. Dia memang ramah dan baik hati. Tidak pernah menolak ketika diajak berfoto. Saya sendiri sempat tiga kali diambil gambar berdua bersama dia. Dua kali di Nong Nooch dan satu saat malam penutupan.

Tetapi sebenarnya saya lebih tertarik pada gadis Philipina yang satunya. Dia agak pendiam dan nampaknya cukup pemalu. Saya melihatnya pertama kali ketika Group Discussion. Kami satu group. Dan jujur saja, selama diskusi, mungkin saya lebih banyak memperhatikan wajah manisnya (pada saat itu dia berkaca mata) dari pada moderator. He he. Wajahnya tidak terlalu istimewa, tetapi memang menarik. Buktinya Pak Rudi dan beberapa peserta lain, di hari pertama itu, sudah antri minta kartu namanya. Sikap pendiamnya membikin saya penasaran. Tetapi, seperti biasa, saya tak langsung agresif. Saya menunggu waktu yang tepat untuk berkenalan, dan tentu saja dengan target berfoto bersama.

Dan seperti biasa juga, waktu yang tepat bagi saya adalah selalu saat-saat terakhir. Kesempatan itu datang pada saat malam penutupan.

Malam itu saya memakai batik. Sudah siap dengan kamera digital pinjaman dari Pak Adm. Handycame saya titipkan ke Haji Fathoni. Sejak mengantri makan, mata saya sudah berkeliling mencari si pendiam. Tetapi tak juga ketemu. Sementara di panggung diadakan pertunjukan musik kecapi tradisional Thai. Sampai selesai makan pun, saya belum melihatnya. Saya mulai khawatir. Tetapi syukurlah, beberapa saat kemudian dia muncul. Ternyata dia duduk dengan sekelompok Philipina lain tidak jauh dari tempat meja kami. Saya kemudian menunggu momen.

Dan momen itu tiba sesaat setelah itu. Karena sadar malam itu adalah malam terakhir, para peserta memanfaatkannya untuk berfoto-foto dengan delegasi lain dan saling bertukar kartu nama. Mula-mula serombongan Philiphina dengan heboh berkeliling dari meja ke meja untuk berfoto yang kemudian diikuti oleh peserta lain. Saya mengajak Erwin dan Haji Karno untuk melakukan hal serupa. Mereka setuju. Kami bertiga berkeliling untuk mengajak berfoto bersama. Mula-mula dengan petinggi IFYE, kemudian Korea, Australia, India, Taiwan, Thailand dan Philipina. Saya lihat si pendiam juga sedang berkeliling dengan rombongannya. Sempat beberapa kali kami berfoto rame-rame. Tetapi target berkenalan dan foto berdua belum kesampaian.

Image hosted by Photobucket.comSampai akhirnya di suatu saat kami berdekatan langsung. Saya sapa dia dengan sedikit nekad, "Hello, can I take your picture?" kata saya. Dia terkejut dan salah tingkah. Tetapi dia menangguk. Mukanya manisnya memerah ketika teman-temannya menggodanya. "Smile... Look at her face!" teriak teman-temannya ketika kami berpose berdua. Dan haji Karno kemudian menunaikan tugasnya dengan baik. "I,ll send the picture by e-mail," bisik saya setelah itu. "Can I get your name card?" susul saya kemudian. Masih dengan kikuk, dia mencari-cari kartu nama di tas hitamnya dan menyerahkannya sesaat setelah ketemu. "Thank you, and this is mine," balas saya sambil menyerahkan kartu Patuha Resort saya. Setelah itu, saya pamit dan kembali ke meja dengan langkah gagah sambil tangan mengepal: Yes.. yes. Erwin cemberut. Sekilas kartu nama itu saya baca. Namanya Abigail. Si pendiam itu ternyata seorang perawat. Di kartu itu juga terdapat nomor hp dan alamat e mailnya.

(Beberapa hari setelah sampai di Indonesia, sebagaimana janji pada si pendiam, foto itu saya kirim lewat e-mail. Sayangnya tak ada jawaban. Saya coba cari namanya di frienster, juga tak terdaftar. Yang ada malah Shahara dan Hashim. Keduanya saya invite dan membalas beberapa hari kemudian. Saya hampir melupakannya. Tetapi pada minggu kedua, saya mendapat kejutan. Abigail menginvite saya di frienster. Rupanya dia menggunakan alamat e-mail lain. Sayangnya di frienster fotonya kok jelek banget ya, he he.)

Upacara Penutupan

Akhirnya tiba upacara penutupan. Kami berbaris per negara. Kemudian kami diminta menghadap ke arah lain, dan berpegangan tangan dengan teman sebelahnya sehingga tidak ada peserta senegara yang berdampingan langsung, dan masuk ke ruangan sebelah. Di pintu masuk masing-masing diberi satu buah lilin. Kami berdiri melingkar di sekeliling ruangan. Tiba-tiba lampu dipadamkan, sehingga keadaan menjadi gelap gulita.

Image hosted by Photobucket.comSeseorang kemudian mengucapkan kata-kata perpisahan dalam bahasa Inggris yang diiringi juga anjuran untuk lebih saling mengikat persahabatan diantara negara IFYE. Lilin pun dinyalakan. Pertama-tama oleh Mr. Lu, presiden IFYE. Kemudian ditularkan ke yang lain dengan cara menyulut lilin di pada teman sebelahnya, sampai semua menyala. Ini konon melambangkan proses terjadinya saling tukar pengetahuan dan keterampilan diantara anggota IFYE. Suasana cukup hidmat juga. Kami pun dipandu bernyayi, sebuah lagu perpisahan bahsa inggris yang cukup terkenal (saya tak tahu judulnya). Setelah beberapa saat, lilin Mr. Lu kembali dpadamkan, yang diikuti oleh yang lain hingga habis. Baru lampu kembali dinyalakan. Acara penutupan diakhir dengan saling bersalam-salaman, persis lebaran. Ketika bersalaman dengan si Pendiam, saya kembali berbisik, "I,ll send the picture soon" .

(to be continued)

Rabu, September 28, 2005

Seven Days In Thailand (Part II)

Sidang Hari Pertama

Senin (5/9), konferensi resmi dibuka. Hadir pada saat itu Putra Mahkota Thailand (saya sulit mengingat namanya), dan Menteri Pertanian Thailand yang bertindak sebagai penanggungjawab konferensi. Tidak ada yang istimewa. Seperti biasa acara diisi dengan sambutan-sambutan, termasuk dari Mr. Lu, presiden IFYE yang berasal dari Taiwan. Pembukaan diakhiri dengan saling tukar cendera mata dari masing-masing delegasi.

Image hosted by Photobucket.comAdapun negara-negara yang mengirim utusannya adalah Taiwan, Korea Selatan, Philipina, Indonesia, India, Jepang, Australia dan Thailand sendiri. Philipina, Indonesia, Korea dan Taiwan termasuk yang mengirimkan utusan dengan jumlah banyak, sedang India, Jepang dan Australiahanya mengirimkan beberapa anggota saja. Di hari pertama itu, sebagian delegasi, yaitu dari Korea dan Philipina memakai baju tradisional masing-masing. Peserta wanita Pihilipina banyak yang masih muda dan cantik. Mereka menggunakan baju dengan lengan pendek yang aneh. Bahunya dibikin lebar dari pipih, mirip kuping gajah. Sementara dari korea menggunakan baju mirip kimono Jepang.

Setelah dibuka secara resmi acara dilanjutkan dengan penyajian materi sidang dari keynote speaker, seorang ahli pangan FAO. Antara lain dia mengatakan bahwa dewasa ini di seluruh dunia terdapat kecenderungan menurunnya minat generasi muda di pedesaan terhadap pertanian. Hal tersebut, jelasnya, menyebabkan semakin meningkatnya urbanisasi yang pada gilirannya mengakibatkan banyaknya permasalahan sosial di kota-kota besar, dan di sisi lain menyebabkan semakin sedikitnya jumlah yang memproduksi pangan. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, paparnya, dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terhadap suplai pangan dunia di masa yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali ketertarikan kaum muda terhadap sektor pertanian, melalui antara lain kerjasama yang lebih erat antar negara-negara penghasil pangan. Dan IFYE ini adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kerjasama tersebut.

Paparan dari Keynote speaker dan diskusi, berakhir sampai sekitar pukul setengah sebelas siang. Setelah itu, para peserta mengikuti pameran di sebelah ruang sidang. Masing-masing negara membuka stand yang memamerkan produk-produk pertanian dan kerajinan di negaranya. Korea dan Taiwan memamerkan kemajuan program IFYE dan 4-H Club di negaranya. Nampaknya kegiatan mereka sudah cukup maju. Kesempatan tersebut digunakan pula untuk ajang berfoto-foto dengan peserta lain. Dadung dan Saepudin malah sibuk memasukkan duku dan rambutan yang dipamerkan ke tasnya masing-masing.

Group Discussion

Siangnya, setelah makan siang, masing-masing delegasi dibagi menjadi lima grup untuk mengikuti Group Discussion yang akan membahas tentang isu-isu yang penting dalam IFYE. Isu-isu tersebut adalah: upaya untuk lebih meningkatkan networking antar negara, peningkatan agrotourisme, peranan kaum muda dalam pembangunan negara, kebijakan pengembangan pemuda dekade ke depan dan program kerja IFYE. Saya sendiri, bersama 6 orang lain, masuk ke dalam group 1 yang membahas Networking. Sayangnya, sampai acara selesai, yang hadir dari Indonesia hanya 2 orang, yaitu saya dan Pak Haji Karno dari Indramayu. Lima orang lainnya entah kemana. Mungkin pada shopping.

Diskusi dibuka dengan pemaparan materi oleh seorang wanita wakil delegasi Thailand. Dia memaparkan teori-teori tentang kerjasama. Mungkin ibu ini adalah seorang dosen. Diceritakan pula bagaimana jalinan kerjasama antar pihak-pihak di Thailand yang berperan dalam pembangunan kaum muda di bidang pertanian. Setelah itu, giliran wakil Taiwan menjelaskan bagaimana mereka telah memanfaatkan teknologi internet untuk mendukung pengembangan pertanian di negaranya.

Jalannya diskusi tidak terlalu ramai. Hanya beberapa negara yang terlihat aktif, terutama Philipina. Mereka masih muda-muda. Mungkin dari kalangan kampus. India dan Thailand sesekali menimpali. Sedangkan dari Korea dan Indonesia lebih banyak bertindak sebagai pendengar saja. Saya sendiri ragu-ragu untuk memberikan pendapat. Di samping karena saya tak terlalu mengerti materi yang dibicarakan (saya tak terlalu tahu seluk-beluk pembangunan pertanian di Indonesia), saya juga tidak terlalu pede berbicara Inggris di depan professor-professor. Diskusi berakhir pukul lima sore, dengan kesepakatan: Delegasi Philipina diberikan kewenangan untuk menyusun materi untuk disampaikan di depan peseta sidang dalam diskusi fanel besok.

Malamnya, ketika dinner, diadakan pertunjukkan kesenian dari negara-negara peserta konferensi. Kali ini yang kegiliran adalah Philipina dan Taiwan. Philipina menyajikan sebuah tarian tradisional dari Mindanau muslim. Peserta dari Philipina memang banyak juga yang muslim. Tadi siang, ketika akan keluar ruangan melihat pameran, kami disapa oleh salah satu dari mereka, "Hello, my name is Hashim. I am moslem from Philipina", katanya.

Sedangkan Taiwan menampilkan beberapa buah nyanyian tradisionalnya. Tetapi saya terlalu menyimak, karena sibuk di belakang dengan peserta Indonesia lain melihat photo-photo kegiatan tadi siang, yang dipajang di sana. Salah seorang berinisiatif mengambil satu foto, dan kontan diikuti oleh yang lain. Akhirnya hampir semua foto hilang. Habis disikat oleh peserta Indonesia.

Setelah acara selesai, Pak Mansyur mengajak kami berkumpul untuk membicarakan rencana tampilan Tim Indonesia yang kegiliran besok malam. Ternyata belum ada persiapan sebelumnya. Bu Maria mengusulkan, "Bagaimana kalo jaipongan saja, orang Sunda di sini kan banyak, saya ada kasetnya". Haji Fathoni, seperti biasa, menyatakan siap, "Oke..oke orang utan siap tanggung rame aja", katanya sambil menunjuk Dadung dan Saepudin. Padahal keduanya udah hampir kabur. Saya katakan agar nampak meriah, tampilan harus massal. Jadi, semua harus ikut naik pentas. Kami bersama Haji Fathoni, Dadung dan Saepudin siap menjadi leadernya besok. "Tetapi, kalo bisa dicoba dulu bu", kata saya.

Beberapa orang kemudian mencoba kaset. Ada dua kaset, yang satu memang kaset Sunda, satunya lagi kaset disco dangdut. Tetapi yang Sunda ternyata bukan jaipongan, tetapi degung. Nah lho! Rupanya si Ibu yang Jawa totok itu, tak bisa membedakan Jaipongan dan Degung. Kami jadi bingung, mana bisa kita berjoget dengan kaset degung? Akhirnya, diputuskan untuk berjoget dangdut saja, dengan kaset kedua. Lagu degung digunakan untuk mengiringi prosesi masuk panggung saja. Dadung dan Saepudin tampak semangat, "Biar nanti saya di depan", katanya. Tapi saya sangsi pada kesanggupan itu. Setelah sepakat, kita bubar.

Malam itu, saya tidak pergi keluar seperti kemarin. Setelah berjalan-jalan di pinggir pantai di belakang hotel, dan mengunjungi sebuah mini market di sana, saya pergi tidur.

Sidang Hari Kedua

Tidak seperti konferensi-konferensi di Indonesia yang biasanya padat, acara konferensi ini relatif lebih santai. Sidang pagi dimulai pukul sembilan pagi. Pembicaraannya pun lebih singkat, tidak bertele-tele, sehingga sidang selalu berjalan tepat waktu.

Image hosted by Photobucket.comHari kedua diisi dengan laporan dari masing-masing negara tentang perkembangan program IFYE di negaranya. Rata-rata laporan mereka pendek-pendek. Seingat saya hanya Taiwan dan Korea yang memberikan laporan agak lain, yaitu dibantu dengan powerpoint. Indonesia diwakili oleh ketua delegasi, Pak Mansyur yang mengatakan bahwa program pertukaran pemuda tani semenjak tahun 1996 ketika konferensi ke-5 di Jakarta tidak berjalan sesuai rencana karena beberapa faktor, antara lain krisis ekonomi. Tetapi setiap tahun sebenarnya program magang petani Indonesia di Jepang terus dilakukan.

Acara dilanjutkan dengan presentasi Australia tentang persiapan konferensi IFYE sedunia pada tahun 2008. Disajikan dengan sebuah film pendek yang memikat. Kepada kami Pak Mansyur mengatakan bahwa untuk konferensi tersebut peserta Indonesia harus ikut dengan jumlah minimal seperti yang datang pada konferensi ini. Haji Fathoni, dan para peserta lain menyambutnya dengan semangat. "Iya", saya katakan, "Tetapi dengan syarat para pesertanya sudah pada pintar bahasa Inggris". Saya berdoa mudah-mudahan tahun 2008, Perusahaan masih mau ngongkosi kami, he he.

Setelah break, ada presentasi para juru bicara masing-masing group discussion yang memaparkan hasil diskusi kepada seluruh peserta sidang. Tak ada yang luar biasa. Rekomendasi yang diajukan umumnya bersifat normatif. Yang jelas semua sepakat bahwa kerjasama antar negara peserta IFYE ini harus terus ditingkatkan untuk lebih dapat mendapatkan manfaat. Acara selesai sampai makan siang.

Berkunjung Ke Perkebunan Hortikultur

Hari itu adalah hari terakhir acara-acara sidang. Dua hari selanjutnya diisi dengan kunjungan-kunjungan, dan siang ini kami dijadwalkan akan mengunjungi perkebunan buah-buahan terbesar di tahiland, namanya Chareon Perawat Orchard. Pak Mansyur sempat berolok-olok, orang ini (si Perawat itu), katanya pernah jadi perawat di RS Cipto pada tahun 70-an. "Makanya sampai sekarang dia dipanggil Perawat", guraunya.

Seluruh peserta diminta berkumpul pukul 13.20. Karena terkenal tim telat, maka delegasi Indonesia ditempatkan pada bus nomor 1. Siang tadi sebelum bubuar, Bu Asminah berpesan agar jangan sampai telat. "Kalo telat akan ditinggal", ancamnya. Tetapi tetap saja ada yang terlambat. Dua orang peserta Jawa Barat belum muncul: Haji Fathoni dan Haji Karno. Semua orang menggerutu. Bis-bis lain semua tertahan gara-gara hal itu. Tetapi panitia masih memberikan toleransi. Pukul 1.40 baru dua orang itu berjalan setengah berlari turun dari hotel, sambil ketawa-tawa. "Nunggu kita ya?" kata Haji Karno dengan wajah tanpa dosa.

Perkebunan itu terletak di luar Provinsi. Kami membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai kesana. Untung saja jalan-jalan di Thailand bagus-bagus dan lebar. Saya sempat heran juga karena sepanjang jalan kami melalui jalur by pass. Tak ada kemacetan. Pukul setengah tiga kami sampai di tujuan.

Image hosted by Photobucket.comPerkebunan Perawat membentang seluas 60 Ha. Tanaman yang ada adalah lengkeng, durian, belimbing, buah naga (Dragon Fruit), durian, jambu, mangga dan pomelo (sejenis jeruk Bali). Dikelola secara modern, dimana pengairan dan pupuk dialirkan melalui instalasi yang terpasang, menyebabkan buah-buahan tersebut tidak tergantung pada musim. Thailand memang dikenal jago buahnya. Tentu kita maklum, di Indonesia kita mengenal banyak sekali buah-buahan jenis unggul dengan nama belakang Bangkok.

Charoen Perawat mendirikan perkebunan itu 10 tahun yang lalu. Setelah dia kapok berbisnis sebagai eksportir buah-buahan akibat sering ditolak pasar karena barang yang dikirim kerap tak memenuhi kualitas, atau suplainya tak lancar. Akhirnya dia memutuskan untuk terjun langsung membuka perkebunan. Dan dia berhasil. Minimal dari foto-foto yang ada terlihat Chareon memang orang yang dipandang di Thailand. Ada juga foto Perdana Menteri Thaksin ketika berkunjung ke sana. Kini konon buah-buahnya mensuplai sebagian besar pasar China.

Di samping mendapatkan penjelasan tentang pengelolaan kebun, dan diajak berkeliling-keliling dalam sebuah kendaraan khusus (nampaknya wisata merupakan salah satu penghasilan utama Perawat), kami juga disuguhi buah-buahan produksi kebun. Ada jeruk pomelo, jambu dan buah naga. Saya berharap ada durian, tetapi konon sedang kosong. Pukul setengah lima sore kami pulang kembali ke hotel. Kami sempat khawatir juga tentang rencana pertunjukan nanti malam. Pak Mansyur berpesan agar masing-masing kalau ada menggunakan pakaian daerah masing-masing. Tetapi karena tak dipesankan sejak awal, saya tak membawanya.

Ramai-ramai Berjoget Kopi Dangdut

Sebagaimana sudah dijadwalkan, selepas dinner, Indonesia kegiliran tampil pertama. Saya agak terlambat turun, karena merasa lelah sehabis perjalanan siang tadi. Terlihat Haji Fathoni dengan stelan hitam-hitam, plus peci dan sarung ala kabayan. Dua orang utusan dari Banten, Soma dan Firza juga memakai kostum Badui dan beberapa teman dari daerah lain menggunakan pakain adatnya masing-masing. Saya cari Dadung dan Saepudin yang tak kelihatan batang hidungnya, ternyata mereka sedang mojok di luar gedung sambil merokok. Saya katakan kepada mereka agar konsekwen dengan rencana kemarin. Tapi Dadung berkilah, "Era teu mawa baju, urang bagean nyuting we".

Waktunya pun tiba. Saya bertugas mengatur kaset. Yang pertama degung. Rombongan kemudian masuk ke panggung dipimpin Haji Fathoni yang berlenggak-lenggok mirip gaya Semar. Seseorang bertugas memberikan pidato pengantar. Setelah semua naik, lagu diganti dengan Kopi Dangdut yang menghentak energik. Kami semua bergoyang. Beberapa orang ditugaskan untuk menculik para ketua delegasi lain agar ikut berjoget. Rame juga. Banyak peserta lain yang kemudian ikut terjun. Dadung dan Saepudin pun akhirnya turut bergoyang dengan gaya pencak silatnya. Pertunjukan berjalan dengan cukup sukses.

Setelah Indonesia, giliran India yang menanmpilkan pertunjukan serupa: joged India. Dadung kini tampil paling depan, berpasangan dengan seorang bersorban Sikh. Korea mendapat giliran selanjutnya. Mereka menampilkan sebuah kesenian aneh. Seorang berjoget, diiringi oleh tetabuhan yang dimainkan oleh rekan-rekan yang lain. Pakaian mereka pun khas. Masing-masing memegang kipas. Setelah selesai, kipas itu dijadikan rebutan. Tentu saja terutama oleh orang Indonesia.

Ketika kembali ke kamar, orang Taiwan yang bareng di lift menacungkan jempolnya, "Indonesia good", katanya. Apa yang dia maksud good, kami tak tahu.

Pendamping yang Cekatan

Selama konferensi, masing-masing delegasi didampingi oleh seorang guide yang ditunjuk oleh panitia. Dan pendamping untuk Indonesia bernama Rungsiman Sumrit, tetapi Pak Masyur lebih sering menyapanya dengan Lex. Dia bekerja sebagai staf di Departemen Pertanian Tahiland.

Lex masih muda. Sekilas, nampak usianya tak beda jauh dari saya. Tetapi suatu kali saya tanya, apakah dia sudah memiliki anak. Dia menjawab, "Oh tidak, selama 15 tahun menikah, saya belum merasa memerlukannya", katanya. "Sangat sulit untuk tumbuh dengan normal di Bangkok. Saya dan istri saya selama ini hanya berusaha untuk survive saja", lanjutnya dengan tertawa. Saya hanya mengangguk mendengar alasan ganjil itu, tanpa berusaha menanyakan lebih lanjut. Saya jadi menduga-duga, bila dia menikah umur 20 tahun saja, berarti usaianya paling tidak sudah 35 tahun. Saya juga teringat pada Man Sukry, teman Kamboja saya sewaktu kuliah. Umurnya jauh lebih tua dari saya, tetapi wajahnya masih tampak muda. Ras Thai dan sekitarnya seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Loas memang tampak awet muda.

Dan Lex adalah seorang pendamping yang profesional. Dia sangat cekatan dan cermat. Bicara inggrisnya fasih, dan pelafalannya relatif mudah dimengerti. Setiap bicara selalu diiringi dengan senyuman. Nampaknya dia selalu berusaha menyenangkan hati lawan bicaranya. Ketika tersenyum nampaklah gigi kelincinya. Sepintas, saya teringat bintang Film hongkong Yuen Biao. Dengan sabar Lex selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan para tamu, yang kadang aneh-aneh.

Malam itu, kami -- sekitar 10 orang -- diantar Lex jalan-jalan, menyusuri kota Pattaya. Mula-mula Lex mengajak kami ke pantai, sambil mencari mini market untuk mencari sim card telepon. Beberapa dari kami, termasuk saya, memang memutuskan membeli sim card lokal, dari pada menggunakan kartu Indonesia karena dipandang lebih murah. Tidak seperti di Indonesia, bisnis ponsel dan pulsa di Thailand belum begitu menjamur. Yang menjualnya pun hanya di tempat-tempat tertentu. Voucher isi ulang dan sim card biasanya dijual di mini-mini market. Harganya pun masih relatif mahal. Untuk mendapatkan kartu saya harus mengeluarkan biaya 199 Baht, dengan nilai pulsa 50 Baht. Padahal di Indonesia, nomor kartu sudah banyak yang gratis.

Setelah Sim Card didapatkan, Lex mengajak kami ke sebuah bukit. Saya tak ingat namanya, tetapi cukup banyak juga yang sengaja ke sana untuk melihat pemandangan ke bawah. Dari bukit itu, kita bisa melihat seluruh kota Pattaya. Kilauan lampu-lampunya nampak indah. Juga terlihat lengkung garis pantai dan beberapa perahu di laut lepas.

Selama hampir 20 menit kami di sana. Kemudian Lex membawa kami ke Walking Street, pusat kota Pattaya. Di sana banyak terdapat pedagang cindera mata. Saya sendiri membeli beberapa puluh gantungan kunci untuk oleh-oleh. Pukul 11 malam kami pulang.

(to be continued)

Minggu, September 18, 2005

Seven Days In Thailand (Part I)

: Sebuah catatan perjalanan

Kunjungan tujuh hari di Thailand memberikanku banyak pengalaman baru. Ada yang lucu dan menyenangkan. Ada yang mengesankan, tetapi ada yang pula aneh bahkan mengerikan. Ini adalah catatanku selama perjalanan, sekaligus oleh-oleh bagi yang tidak kebagian kaos dan gantungan kunci :-).

Tentang IFYE

Oya, sebelum saya menceritakan perjalanan, penting dijelaskan maksud kedatangan saya ke Thailand. Menurut informasi awal, saya bertugas untuk mendampingi KTHA (Kontak Tani Hutan Andalan), yaitu semacam asosiasi para petani hutan di Jawa Barat, untuk mengikuti Konferensi Pertukaran Pemuda Tani se Asia Pacfic. Atau dalam bahasa aslinya adalah The Sixth ASPAC IFYE Conference. Sejujurnya, sampai saat keberangkatan saya belum jelas benar dengan apa yang akan saya hadapi dan lakukan di sana. Bahkan tentang IFYE pun saya baru mendengarnya. Pada saat konferensi saya baru tahu bahwa, ternyata ini adalah ajang komunikasi para pemuda tani yang telah mengikuti program pertukaran di antara negara-negara Asia Pasifik, dan juga pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap pengenalan pertanian pada kaum muda.

IFYE sendiri terbentuk pada tahun 1948, ketika beberapa pemuda Amerika pergi belajar ke negara-negara Eropa dan sebaliknya. Mereka yang dikirim adalah umumnya yang tergabung kelompok belajar yang dinamakan klub 4 H (4–H Club-Head, Heart, Hands and Heath). Ketika melihat rekaman kegiatan klub-klub tersebut, saya teringat kepada gerakan Pramuka di Indonesia, hanya saja perhatiannya lebih ditujukan kepada pertanian dan alam. Dan program pertukaran pemuda tersebut dinamakan International Farm Youth Exchange. Program tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Asia. Klub-klub 4-H berkembang di beberapa negara seperti Korea, Taiwan, Philipina dan Thailand. Di negara-negara tersebut, klub 4H didukung penuh oleh pemerintahnya, sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan pertanian nasional. Setiap dua tahunan, IFYE Asia Pasific mengadakan konfrensi, dan yang ini adalah yang keenam. Konfrensi ke lima diadakan di Jakarta tahun 1996, jadi sempat pula terjadi kekosongan sekitar 9 tahun yang disebabkan krisis ekonomi.

Di Indonesia sendiri klub 4H tidak dikenal. Maka yang menjadi utusan adalah para Pemuda Tani yang tergabung dalam KTNA. Dan pada tahun ini pula, KTHA (yang baru terbentuk) mulai diikutkan. Program pertukaran petani yang banyak dilakukan Indonesia adalah dengan Jepang. Namun, yang menjadi peserta konferensi kali ini ternyata bukan yang berasal dari alumnus program pertukaran tersebut. Hal ini cukup menjadi masalah juga pada konfrensi, karena kebanyakan adalah muka-muka baru yang belum mengenal IFYE dan kegiatan-kegiatannya, tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan jarang diantara mereka yang bisa berbahasa inggris.

Perjalanan

Sebelum berangkat, kami berkumpul di Wisma milik Departemen Pertanian. Jumlah delegasi Indonesia adalah 34 orang (1 orang menyusul dua hari kemudian). Terdiri dari utusan berbagai provinsi. Umumnya mereka adalah petani yang tergabung dalam KTNA, sebagian lain pengusaha agribisnis, pagawai pemerintah yang mengurus Pertanian, bahkan ada pula Camat dan Lurah. Saya sendiri, berdua dengan Erwin, bertugas mendampingi tiga orang petani hutan (Dadung, Saepudin dan Haji Fathoni).

Kami terbang ke Bangkok pada Minggu (4/9) dini hari, dengan menumpang Airbusnya Emirate tujuan Dubai. Dan ini adalah pengalaman terbang pertamaku. Sungguh mengerikan. Apalagi sebelumnya banyak dibekali dengan cerita-cerita seram penerbangan. Juga berita kecelakaan heli beberapa hari sebelumnya di Palembang. "Untungnya", berita Mandala sampai ketika saya sudah di Pattaya, bila tidak, mungkin saya akan membutuhkan sepuluh butir antimo untuk memaksaku tidur sepanjang jalan.

Emirates adalah maskapai UAE, oleh karenanya sangat berbau arab. Banyak orang-orang arab yang akan ke Dubai dalam pesawat kami. Diam-diam saya ngeri juga, jangan-jangan ada diantara mereka yang membawa bom, atau membajak pesawat seperti di film-film (ternyata saya sudah terkontaminasi berat agitasi barat). Tetapi ada juga kejadian lucu. Ketika pengumuman prosedur keselamatan yang tentu saja menggunakan bahasa Arab, beberapa teman Indonesia mengangkat kedua tangannya sambil berkata: amin..amin.

Perjalanan ke Bangkok membutuhkan waktu tiga setengah jam, dan selama itu saya terjebak dalam kengerian. Saya tak bisa tidur sama sekali. Dadaku terus berdebar kencang dan keringat dingin deras mengucur. Hiburan televisi mini yang disediakan di setiap kursi penumpang tak menolong banyak. Padahal film-filmnya baru-baru, seperti Mr. and Mrs. Smith, atau filmnya Lindsay Lohan tentang mobil yang bisa bicara itu. Saya terheran-heran bisa-bisanya orang lain tidur nyenyak di situasi seperti itu.

Image hosted by Photobucket.com Menjelang subuh kami tiba di Dong Muang. Konon dalam bahasa Thai, Dong berarti tinggi dan Muang berarti Daratan, jadi artinya adalah Daratan Tinggi. Saya mengucap syukur, bahwa tak ada apa-apa dengan perjalanan kami. Setelah beristirahat sejenak, dan shalat subuh, kami langsung menuju Pattaya dengan bis yang disediakan panitia. Jarak Bangkok dan Pattaya adalah sekitar 3 jam. Karena lelah, saya tertidur, meski tak lena. Ketika bangun, bus sudah berhenti di sebuah peristirahatan untuk makan pagi.

Kami pun membeli sarapan di sebuah restoran muslim, yang ternyata hanya ada satu di lokasi itu. Karuan saja seluruh peserta Indonesia yang berjumlah 33 orang itu tumplek, dan membikin pelayannya sibuk bukan main. Menu yang dihidangkan adalah sejenis sup, kira-kira semacam soto ayam di kita. Karena banyak permintaan, kami pun harus menunggu giliran. Saya bersama rombongan dari Jawa Barat berenam duduk di satu meja. Melihat kami tak juga kebagian hidangan, seorang penerjemah lokal berinisiatif menawarkan sesuatu kepada kami, yang tak pikir panjang kami jawab dengan: yes..yes. Kami pikir dia sedang menjelaskan tentang sup itu. Selanjutnya kami terbengong-bengong ketika ke meja kami dihidangkan enam porsi sejenis nasi kuning (baru kemudian saya tahu bahwa itu namanya nasi Berliani, sejenis nasi Kebuli). Kemudian tertawa ngakak. Akhirnya lima porsi dihabiskan oleh Haji Fathoni, karena yang lainnya tetap menginginkan sup.

Sekitar pukul 10 pagi, kami sampai di Pattaya, dan kami ditempatkan di sebuah hotel, namanya Ambasador City. Hotel itu sangat besar, terdiri dari tiga komplek bangunan yang masing-masing bangunan berlantai 42 dan memiliki lebih dari 1600 kamar. Saya sendiri kebagian di lantai 18, berdua dengan Erwin. Ketika saya perhatikan dari atas hotel, saya menduga ini adalah hotel yang dalam rekaman video di TV terkena tsunami beberapa waktu lalu. Tetapi ketika dikonfirmasikan ke seorang sopir lokal, tenyata bukan. "Pattaya tak terkena tsunami", katanya, "yang anda lihat itu di Puket".

Siang sampai sore, kami habiskan dengan istirahat di Hotel. Saya sempat kebingungan ketika tiba makan siang. Hari itu, ternyata belum termasuk hitungan yang ditanggung panitia, jadi kami harus mencari sendiri. Ketika mengajak Dadung dan Saepudin, mereka malah menawarkan telor asin dan gorengan asin yang dibawanya dari Sumedang. Ternyata Saepudin membawa bekal cukup banyak, selain satu keresek telor asin, juga satu kaleng gorengan ikan asin. Nasinya dibeli tadi ketika makan pagi. Awalnya saya terheran-heran, tetapi akhirnya tawaran mereka saya terima. Ternyata enak juga, bahkan saya nambah.

Welcome Dinner

Malamnya diadakan makan-malam penyambutan, yang diisi oleh hidangan ala standing party dan pergelaran kesenian tradisional Thailand. Belum disediakan hidangan khsusus muslim. Karena ragu-ragu, kami hanya memakan buah-buahan atau kue. Tentu saja tidak cukup mengenyangkan. Meja khusus moslem food baru ada pada acara-acara makan selanjutnya.

Image hosted by Photobucket.com Yang menarik adalah pagelaran kesenian tradisional yang dilakukan oleh anak-anak SD dan SMP. Musik Thai meski monoton tetapi iramanya riang dan menghentak. Sehingga sangat cocok ketika dipadukan dengan tari-tarian. Dan yang menjadi pusat perhatian adalah dua orang anak kecil yang menari penuh semangat dengan gaya goyang kocak. Mirip goyang ngebor Inul. Banyak peserta yang senang dan memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan dan bersuit-suit. Lucunya, sang bocah melakukannya tanpa ekspresi. Seorang peserta yang geregetan bahkan sempat menyelipkan angpau.

Acara itu selesai jam 9 malam. Malam itu acara bebas, dan kami kembali ke kamar masing-masing. Setengah jam kemudian, kami turun untuk jalan-jalan. Setiap delegasi disediakan satu buah mobil angkutan, sejenis preggio, untuk berkeliling. Sayangnya, karena peserta Indonesia kebanyakan, tak semua dari kami, termasuk saya, kebagian. Akhirnya saya dan beberapa teman lain memutuskan untuk berjalan kaki saja. Belum sampai lima menit berjalan, sebuah mobil hotel menyusul dan menawarkan untuk membawa kami jalan-jalan. "300 Baht", katanya, atau sekitar Rp. 75.000 untuk semua (jumlah kami berenam). Tanpa tawar-tawar lagi kami setuju.

Menyusuri Lorong Pattaya

Sopir itu bernama Sing, kami memanggilnya Mr. Sing. Dia asli Pattaya, dan nampaknya sudah terbiasa mengantar turis-turis jalan-jalan. Dan tawaran pertama yang diajukannya adalah, "Do you want to see ladies?". Saya yang bertindak sebagai juru bicara (karena satu-satunya di antara berenam yang bisa berbahasa inggris) langsung mengiyakan, "Yes, can you take us to there?"

Sejak sebelum berangkat, kami banyak diceritakan tentang wisata malam Thailand, disertai pertunjukan-pertunjukan ajaibnya. "Pokoknya kalau tidak sempat menonton, berarti belum ke Thailand", saran seorang teman yang pernah ke sana. Saya sendiri awalnya tak terlalu percaya dengan cerita-cerita itu, tetapi penasaran juga. Maka ketika sang supir menawarkan, kami langsung setuju. Tetapi rupanya kami kecele. yang dia maksud ternyata sebuah panti pijat plus. Kami dihadapkan pada akuarium besar berisi puluhan gadis-gadis cantik berpakaian minim. "Silahkan milih", katanya, "Gak apa-apa, gak pakai, gak perlu bayar". "Harganya 1.200 Baht", tambahnya (kalikan saja, 1 Baht sekitar 250 rupiah). Tapi teman lain malah pada protes terhadap saya, sebagai interpreter. "Bukan yang ginian", kata seseorang. "Nu kieu mah di Bandung ge aya", tambah yang lain. "Minta yang aneh-aneh!:

Saya jadi bingung. Dengan susah payah saya jelaskan keinginan teman-teman pada Mr. Sing. Parahnya sang sopir rupanya bahasa Ingrisnya pas-pasan juga, sementara saya kebingungan menjelaskan apa yang diinginkan. Akhirnya dengan memakai sedikit bahasa Tarzan, kami diantar pada suatu tempat. Rupanya itu adalah pusat kehidupan malam Pattaya. Saya tak sempat menanyakan namanya, yang jelas banyak sekali pub-pub yang berisi perempuan setengah telanjang. Saya melihat banyak sekali bule. Pattaya memang surga bagi bule, yang doyan Sea, Sun dan Sex. Ada yang bilang, industri esek-eseknya menyumbang 40% dari PAD Pattaya.

Setelah melalui lorong-lorong, kami diajak masuk ke sebuah pub kecil. Dan akhirnya kami dapatkan apa yang kami cari. Pub itu temaram. Di dalamnya terdapat tempat-tempat duduk setengah lingkaran dan bertingkat-tingkat, persis seperti ruang pertunjukan biasa. Di ujung sebelah kanan saya melihat rombongan Indonesia lain sudah ada di sana. Tak terbiasa dengan dunia keremangan, saya deg-degan juga. Di tengah-tengah ada panggung, dan beberapa gadis telanjang sedang berlenggak-lenggok. Rupanya pertunjukan sudah setengah jalan.

Saya tak bisa menjelaskan secara detil show itu (baru beberapa hari setelahnya saya tahu nama show itu adalah Top Lady Show). Yang jelas saya menyamakannya dengan kesenian Debus, hanya saja ini dilakukan dengan sangat-sangat ekstrim, karena seluruh atraksi dipusatkan pada kelamin wanita. Ada beberapa macam atraksi, seperti merokok, membuka tutup botol, menyedot air dalam botol dan mengeluarkannya kembali, memasukan hamster dan bola pingpong, memasukan rantai silet, menulis dan terakhir menembak balon dengan sumpitan. Lama satu sesi pertunjukan adalah 1 jam, kemudian dilanjutkan ke sesi selanjutnya dengan pertunjukan yang sama. Untuk semua itu kami hanya membayar 200 Baht (50.000 rupiah) plus gratis minuman. Ketika saya tanyakan kepada Mr. Sing bagaimana mereka bisa melakukan hal tersebut, dia menjawab tidak tahu. "Saya pun baru kali ini menonton", katanya sambil tertawa-tawa.

(to be continued)