Sidang Hari Pertama
Senin (5/9), konferensi resmi dibuka. Hadir pada saat itu Putra Mahkota Thailand (saya sulit mengingat namanya), dan Menteri Pertanian Thailand yang bertindak sebagai penanggungjawab konferensi. Tidak ada yang istimewa. Seperti biasa acara diisi dengan sambutan-sambutan, termasuk dari Mr. Lu, presiden IFYE yang berasal dari Taiwan. Pembukaan diakhiri dengan saling tukar cendera mata dari masing-masing delegasi.
Adapun negara-negara yang mengirim utusannya adalah Taiwan, Korea Selatan, Philipina, Indonesia, India, Jepang, Australia dan Thailand sendiri. Philipina, Indonesia, Korea dan Taiwan termasuk yang mengirimkan utusan dengan jumlah banyak, sedang India, Jepang dan Australiahanya mengirimkan beberapa anggota saja. Di hari pertama itu, sebagian delegasi, yaitu dari Korea dan Philipina memakai baju tradisional masing-masing. Peserta wanita Pihilipina banyak yang masih muda dan cantik. Mereka menggunakan baju dengan lengan pendek yang aneh. Bahunya dibikin lebar dari pipih, mirip kuping gajah. Sementara dari korea menggunakan baju mirip kimono Jepang.
Setelah dibuka secara resmi acara dilanjutkan dengan penyajian materi sidang dari keynote speaker, seorang ahli pangan FAO. Antara lain dia mengatakan bahwa dewasa ini di seluruh dunia terdapat kecenderungan menurunnya minat generasi muda di pedesaan terhadap pertanian. Hal tersebut, jelasnya, menyebabkan semakin meningkatnya urbanisasi yang pada gilirannya mengakibatkan banyaknya permasalahan sosial di kota-kota besar, dan di sisi lain menyebabkan semakin sedikitnya jumlah yang memproduksi pangan. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, paparnya, dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terhadap suplai pangan dunia di masa yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali ketertarikan kaum muda terhadap sektor pertanian, melalui antara lain kerjasama yang lebih erat antar negara-negara penghasil pangan. Dan IFYE ini adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kerjasama tersebut.
Paparan dari Keynote speaker dan diskusi, berakhir sampai sekitar pukul setengah sebelas siang. Setelah itu, para peserta mengikuti pameran di sebelah ruang sidang. Masing-masing negara membuka stand yang memamerkan produk-produk pertanian dan kerajinan di negaranya. Korea dan Taiwan memamerkan kemajuan program IFYE dan 4-H Club di negaranya. Nampaknya kegiatan mereka sudah cukup maju. Kesempatan tersebut digunakan pula untuk ajang berfoto-foto dengan peserta lain. Dadung dan Saepudin malah sibuk memasukkan duku dan rambutan yang dipamerkan ke tasnya masing-masing.
Group Discussion
Siangnya, setelah makan siang, masing-masing delegasi dibagi menjadi lima grup untuk mengikuti Group Discussion yang akan membahas tentang isu-isu yang penting dalam IFYE. Isu-isu tersebut adalah: upaya untuk lebih meningkatkan networking antar negara, peningkatan agrotourisme, peranan kaum muda dalam pembangunan negara, kebijakan pengembangan pemuda dekade ke depan dan program kerja IFYE. Saya sendiri, bersama 6 orang lain, masuk ke dalam group 1 yang membahas Networking. Sayangnya, sampai acara selesai, yang hadir dari Indonesia hanya 2 orang, yaitu saya dan Pak Haji Karno dari Indramayu. Lima orang lainnya entah kemana. Mungkin pada shopping.
Diskusi dibuka dengan pemaparan materi oleh seorang wanita wakil delegasi Thailand. Dia memaparkan teori-teori tentang kerjasama. Mungkin ibu ini adalah seorang dosen. Diceritakan pula bagaimana jalinan kerjasama antar pihak-pihak di Thailand yang berperan dalam pembangunan kaum muda di bidang pertanian. Setelah itu, giliran wakil Taiwan menjelaskan bagaimana mereka telah memanfaatkan teknologi internet untuk mendukung pengembangan pertanian di negaranya.
Jalannya diskusi tidak terlalu ramai. Hanya beberapa negara yang terlihat aktif, terutama Philipina. Mereka masih muda-muda. Mungkin dari kalangan kampus. India dan Thailand sesekali menimpali. Sedangkan dari Korea dan Indonesia lebih banyak bertindak sebagai pendengar saja. Saya sendiri ragu-ragu untuk memberikan pendapat. Di samping karena saya tak terlalu mengerti materi yang dibicarakan (saya tak terlalu tahu seluk-beluk pembangunan pertanian di Indonesia), saya juga tidak terlalu pede berbicara Inggris di depan professor-professor. Diskusi berakhir pukul lima sore, dengan kesepakatan: Delegasi Philipina diberikan kewenangan untuk menyusun materi untuk disampaikan di depan peseta sidang dalam diskusi fanel besok.
Malamnya, ketika dinner, diadakan pertunjukkan kesenian dari negara-negara peserta konferensi. Kali ini yang kegiliran adalah Philipina dan Taiwan. Philipina menyajikan sebuah tarian tradisional dari Mindanau muslim. Peserta dari Philipina memang banyak juga yang muslim. Tadi siang, ketika akan keluar ruangan melihat pameran, kami disapa oleh salah satu dari mereka, "Hello, my name is Hashim. I am moslem from Philipina", katanya.
Sedangkan Taiwan menampilkan beberapa buah nyanyian tradisionalnya. Tetapi saya terlalu menyimak, karena sibuk di belakang dengan peserta Indonesia lain melihat photo-photo kegiatan tadi siang, yang dipajang di sana. Salah seorang berinisiatif mengambil satu foto, dan kontan diikuti oleh yang lain. Akhirnya hampir semua foto hilang. Habis disikat oleh peserta Indonesia.
Setelah acara selesai, Pak Mansyur mengajak kami berkumpul untuk membicarakan rencana tampilan Tim Indonesia yang kegiliran besok malam. Ternyata belum ada persiapan sebelumnya. Bu Maria mengusulkan, "Bagaimana kalo jaipongan saja, orang Sunda di sini kan banyak, saya ada kasetnya". Haji Fathoni, seperti biasa, menyatakan siap, "Oke..oke orang utan siap tanggung rame aja", katanya sambil menunjuk Dadung dan Saepudin. Padahal keduanya udah hampir kabur. Saya katakan agar nampak meriah, tampilan harus massal. Jadi, semua harus ikut naik pentas. Kami bersama Haji Fathoni, Dadung dan Saepudin siap menjadi leadernya besok. "Tetapi, kalo bisa dicoba dulu bu", kata saya.
Beberapa orang kemudian mencoba kaset. Ada dua kaset, yang satu memang kaset Sunda, satunya lagi kaset disco dangdut. Tetapi yang Sunda ternyata bukan jaipongan, tetapi degung. Nah lho! Rupanya si Ibu yang Jawa totok itu, tak bisa membedakan Jaipongan dan Degung. Kami jadi bingung, mana bisa kita berjoget dengan kaset degung? Akhirnya, diputuskan untuk berjoget dangdut saja, dengan kaset kedua. Lagu degung digunakan untuk mengiringi prosesi masuk panggung saja. Dadung dan Saepudin tampak semangat, "Biar nanti saya di depan", katanya. Tapi saya sangsi pada kesanggupan itu. Setelah sepakat, kita bubar.
Malam itu, saya tidak pergi keluar seperti kemarin. Setelah berjalan-jalan di pinggir pantai di belakang hotel, dan mengunjungi sebuah mini market di sana, saya pergi tidur.
Sidang Hari Kedua
Tidak seperti konferensi-konferensi di Indonesia yang biasanya padat, acara konferensi ini relatif lebih santai. Sidang pagi dimulai pukul sembilan pagi. Pembicaraannya pun lebih singkat, tidak bertele-tele, sehingga sidang selalu berjalan tepat waktu.
Hari kedua diisi dengan laporan dari masing-masing negara tentang perkembangan program IFYE di negaranya. Rata-rata laporan mereka pendek-pendek. Seingat saya hanya Taiwan dan Korea yang memberikan laporan agak lain, yaitu dibantu dengan powerpoint. Indonesia diwakili oleh ketua delegasi, Pak Mansyur yang mengatakan bahwa program pertukaran pemuda tani semenjak tahun 1996 ketika konferensi ke-5 di Jakarta tidak berjalan sesuai rencana karena beberapa faktor, antara lain krisis ekonomi. Tetapi setiap tahun sebenarnya program magang petani Indonesia di Jepang terus dilakukan.
Acara dilanjutkan dengan presentasi Australia tentang persiapan konferensi IFYE sedunia pada tahun 2008. Disajikan dengan sebuah film pendek yang memikat. Kepada kami Pak Mansyur mengatakan bahwa untuk konferensi tersebut peserta Indonesia harus ikut dengan jumlah minimal seperti yang datang pada konferensi ini. Haji Fathoni, dan para peserta lain menyambutnya dengan semangat. "Iya", saya katakan, "Tetapi dengan syarat para pesertanya sudah pada pintar bahasa Inggris". Saya berdoa mudah-mudahan tahun 2008, Perusahaan masih mau ngongkosi kami, he he.
Setelah break, ada presentasi para juru bicara masing-masing group discussion yang memaparkan hasil diskusi kepada seluruh peserta sidang. Tak ada yang luar biasa. Rekomendasi yang diajukan umumnya bersifat normatif. Yang jelas semua sepakat bahwa kerjasama antar negara peserta IFYE ini harus terus ditingkatkan untuk lebih dapat mendapatkan manfaat. Acara selesai sampai makan siang.
Berkunjung Ke Perkebunan Hortikultur
Hari itu adalah hari terakhir acara-acara sidang. Dua hari selanjutnya diisi dengan kunjungan-kunjungan, dan siang ini kami dijadwalkan akan mengunjungi perkebunan buah-buahan terbesar di tahiland, namanya Chareon Perawat Orchard. Pak Mansyur sempat berolok-olok, orang ini (si Perawat itu), katanya pernah jadi perawat di RS Cipto pada tahun 70-an. "Makanya sampai sekarang dia dipanggil Perawat", guraunya.
Seluruh peserta diminta berkumpul pukul 13.20. Karena terkenal tim telat, maka delegasi Indonesia ditempatkan pada bus nomor 1. Siang tadi sebelum bubuar, Bu Asminah berpesan agar jangan sampai telat. "Kalo telat akan ditinggal", ancamnya. Tetapi tetap saja ada yang terlambat. Dua orang peserta Jawa Barat belum muncul: Haji Fathoni dan Haji Karno. Semua orang menggerutu. Bis-bis lain semua tertahan gara-gara hal itu. Tetapi panitia masih memberikan toleransi. Pukul 1.40 baru dua orang itu berjalan setengah berlari turun dari hotel, sambil ketawa-tawa. "Nunggu kita ya?" kata Haji Karno dengan wajah tanpa dosa.
Perkebunan itu terletak di luar Provinsi. Kami membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai kesana. Untung saja jalan-jalan di Thailand bagus-bagus dan lebar. Saya sempat heran juga karena sepanjang jalan kami melalui jalur by pass. Tak ada kemacetan. Pukul setengah tiga kami sampai di tujuan.
Perkebunan Perawat membentang seluas 60 Ha. Tanaman yang ada adalah lengkeng, durian, belimbing, buah naga (Dragon Fruit), durian, jambu, mangga dan pomelo (sejenis jeruk Bali). Dikelola secara modern, dimana pengairan dan pupuk dialirkan melalui instalasi yang terpasang, menyebabkan buah-buahan tersebut tidak tergantung pada musim. Thailand memang dikenal jago buahnya. Tentu kita maklum, di Indonesia kita mengenal banyak sekali buah-buahan jenis unggul dengan nama belakang Bangkok.
Charoen Perawat mendirikan perkebunan itu 10 tahun yang lalu. Setelah dia kapok berbisnis sebagai eksportir buah-buahan akibat sering ditolak pasar karena barang yang dikirim kerap tak memenuhi kualitas, atau suplainya tak lancar. Akhirnya dia memutuskan untuk terjun langsung membuka perkebunan. Dan dia berhasil. Minimal dari foto-foto yang ada terlihat Chareon memang orang yang dipandang di Thailand. Ada juga foto Perdana Menteri Thaksin ketika berkunjung ke sana. Kini konon buah-buahnya mensuplai sebagian besar pasar China.
Di samping mendapatkan penjelasan tentang pengelolaan kebun, dan diajak berkeliling-keliling dalam sebuah kendaraan khusus (nampaknya wisata merupakan salah satu penghasilan utama Perawat), kami juga disuguhi buah-buahan produksi kebun. Ada jeruk pomelo, jambu dan buah naga. Saya berharap ada durian, tetapi konon sedang kosong. Pukul setengah lima sore kami pulang kembali ke hotel. Kami sempat khawatir juga tentang rencana pertunjukan nanti malam. Pak Mansyur berpesan agar masing-masing kalau ada menggunakan pakaian daerah masing-masing. Tetapi karena tak dipesankan sejak awal, saya tak membawanya.
Ramai-ramai Berjoget Kopi Dangdut
Sebagaimana sudah dijadwalkan, selepas dinner, Indonesia kegiliran tampil pertama. Saya agak terlambat turun, karena merasa lelah sehabis perjalanan siang tadi. Terlihat Haji Fathoni dengan stelan hitam-hitam, plus peci dan sarung ala kabayan. Dua orang utusan dari Banten, Soma dan Firza juga memakai kostum Badui dan beberapa teman dari daerah lain menggunakan pakain adatnya masing-masing. Saya cari Dadung dan Saepudin yang tak kelihatan batang hidungnya, ternyata mereka sedang mojok di luar gedung sambil merokok. Saya katakan kepada mereka agar konsekwen dengan rencana kemarin. Tapi Dadung berkilah, "Era teu mawa baju, urang bagean nyuting we".
Waktunya pun tiba. Saya bertugas mengatur kaset. Yang pertama degung. Rombongan kemudian masuk ke panggung dipimpin Haji Fathoni yang berlenggak-lenggok mirip gaya Semar. Seseorang bertugas memberikan pidato pengantar. Setelah semua naik, lagu diganti dengan Kopi Dangdut yang menghentak energik. Kami semua bergoyang. Beberapa orang ditugaskan untuk menculik para ketua delegasi lain agar ikut berjoget. Rame juga. Banyak peserta lain yang kemudian ikut terjun. Dadung dan Saepudin pun akhirnya turut bergoyang dengan gaya pencak silatnya. Pertunjukan berjalan dengan cukup sukses.
Setelah Indonesia, giliran India yang menanmpilkan pertunjukan serupa: joged India. Dadung kini tampil paling depan, berpasangan dengan seorang bersorban Sikh. Korea mendapat giliran selanjutnya. Mereka menampilkan sebuah kesenian aneh. Seorang berjoget, diiringi oleh tetabuhan yang dimainkan oleh rekan-rekan yang lain. Pakaian mereka pun khas. Masing-masing memegang kipas. Setelah selesai, kipas itu dijadikan rebutan. Tentu saja terutama oleh orang Indonesia.
Ketika kembali ke kamar, orang Taiwan yang bareng di lift menacungkan jempolnya, "Indonesia good", katanya. Apa yang dia maksud good, kami tak tahu.
Pendamping yang Cekatan
Selama konferensi, masing-masing delegasi didampingi oleh seorang guide yang ditunjuk oleh panitia. Dan pendamping untuk Indonesia bernama Rungsiman Sumrit, tetapi Pak Masyur lebih sering menyapanya dengan Lex. Dia bekerja sebagai staf di Departemen Pertanian Tahiland.
Lex masih muda. Sekilas, nampak usianya tak beda jauh dari saya. Tetapi suatu kali saya tanya, apakah dia sudah memiliki anak. Dia menjawab, "Oh tidak, selama 15 tahun menikah, saya belum merasa memerlukannya", katanya. "Sangat sulit untuk tumbuh dengan normal di Bangkok. Saya dan istri saya selama ini hanya berusaha untuk survive saja", lanjutnya dengan tertawa. Saya hanya mengangguk mendengar alasan ganjil itu, tanpa berusaha menanyakan lebih lanjut. Saya jadi menduga-duga, bila dia menikah umur 20 tahun saja, berarti usaianya paling tidak sudah 35 tahun. Saya juga teringat pada Man Sukry, teman Kamboja saya sewaktu kuliah. Umurnya jauh lebih tua dari saya, tetapi wajahnya masih tampak muda. Ras Thai dan sekitarnya seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Loas memang tampak awet muda.
Dan Lex adalah seorang pendamping yang profesional. Dia sangat cekatan dan cermat. Bicara inggrisnya fasih, dan pelafalannya relatif mudah dimengerti. Setiap bicara selalu diiringi dengan senyuman. Nampaknya dia selalu berusaha menyenangkan hati lawan bicaranya. Ketika tersenyum nampaklah gigi kelincinya. Sepintas, saya teringat bintang Film hongkong Yuen Biao. Dengan sabar Lex selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan para tamu, yang kadang aneh-aneh.
Malam itu, kami -- sekitar 10 orang -- diantar Lex jalan-jalan, menyusuri kota Pattaya. Mula-mula Lex mengajak kami ke pantai, sambil mencari mini market untuk mencari sim card telepon. Beberapa dari kami, termasuk saya, memang memutuskan membeli sim card lokal, dari pada menggunakan kartu Indonesia karena dipandang lebih murah. Tidak seperti di Indonesia, bisnis ponsel dan pulsa di Thailand belum begitu menjamur. Yang menjualnya pun hanya di tempat-tempat tertentu. Voucher isi ulang dan sim card biasanya dijual di mini-mini market. Harganya pun masih relatif mahal. Untuk mendapatkan kartu saya harus mengeluarkan biaya 199 Baht, dengan nilai pulsa 50 Baht. Padahal di Indonesia, nomor kartu sudah banyak yang gratis.
Setelah Sim Card didapatkan, Lex mengajak kami ke sebuah bukit. Saya tak ingat namanya, tetapi cukup banyak juga yang sengaja ke sana untuk melihat pemandangan ke bawah. Dari bukit itu, kita bisa melihat seluruh kota Pattaya. Kilauan lampu-lampunya nampak indah. Juga terlihat lengkung garis pantai dan beberapa perahu di laut lepas.
Selama hampir 20 menit kami di sana. Kemudian Lex membawa kami ke Walking Street, pusat kota Pattaya. Di sana banyak terdapat pedagang cindera mata. Saya sendiri membeli beberapa puluh gantungan kunci untuk oleh-oleh. Pukul 11 malam kami pulang.
(to be continued)