Rabu, September 28, 2005

Seven Days In Thailand (Part II)

Sidang Hari Pertama

Senin (5/9), konferensi resmi dibuka. Hadir pada saat itu Putra Mahkota Thailand (saya sulit mengingat namanya), dan Menteri Pertanian Thailand yang bertindak sebagai penanggungjawab konferensi. Tidak ada yang istimewa. Seperti biasa acara diisi dengan sambutan-sambutan, termasuk dari Mr. Lu, presiden IFYE yang berasal dari Taiwan. Pembukaan diakhiri dengan saling tukar cendera mata dari masing-masing delegasi.

Image hosted by Photobucket.comAdapun negara-negara yang mengirim utusannya adalah Taiwan, Korea Selatan, Philipina, Indonesia, India, Jepang, Australia dan Thailand sendiri. Philipina, Indonesia, Korea dan Taiwan termasuk yang mengirimkan utusan dengan jumlah banyak, sedang India, Jepang dan Australiahanya mengirimkan beberapa anggota saja. Di hari pertama itu, sebagian delegasi, yaitu dari Korea dan Philipina memakai baju tradisional masing-masing. Peserta wanita Pihilipina banyak yang masih muda dan cantik. Mereka menggunakan baju dengan lengan pendek yang aneh. Bahunya dibikin lebar dari pipih, mirip kuping gajah. Sementara dari korea menggunakan baju mirip kimono Jepang.

Setelah dibuka secara resmi acara dilanjutkan dengan penyajian materi sidang dari keynote speaker, seorang ahli pangan FAO. Antara lain dia mengatakan bahwa dewasa ini di seluruh dunia terdapat kecenderungan menurunnya minat generasi muda di pedesaan terhadap pertanian. Hal tersebut, jelasnya, menyebabkan semakin meningkatnya urbanisasi yang pada gilirannya mengakibatkan banyaknya permasalahan sosial di kota-kota besar, dan di sisi lain menyebabkan semakin sedikitnya jumlah yang memproduksi pangan. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, paparnya, dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terhadap suplai pangan dunia di masa yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali ketertarikan kaum muda terhadap sektor pertanian, melalui antara lain kerjasama yang lebih erat antar negara-negara penghasil pangan. Dan IFYE ini adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kerjasama tersebut.

Paparan dari Keynote speaker dan diskusi, berakhir sampai sekitar pukul setengah sebelas siang. Setelah itu, para peserta mengikuti pameran di sebelah ruang sidang. Masing-masing negara membuka stand yang memamerkan produk-produk pertanian dan kerajinan di negaranya. Korea dan Taiwan memamerkan kemajuan program IFYE dan 4-H Club di negaranya. Nampaknya kegiatan mereka sudah cukup maju. Kesempatan tersebut digunakan pula untuk ajang berfoto-foto dengan peserta lain. Dadung dan Saepudin malah sibuk memasukkan duku dan rambutan yang dipamerkan ke tasnya masing-masing.

Group Discussion

Siangnya, setelah makan siang, masing-masing delegasi dibagi menjadi lima grup untuk mengikuti Group Discussion yang akan membahas tentang isu-isu yang penting dalam IFYE. Isu-isu tersebut adalah: upaya untuk lebih meningkatkan networking antar negara, peningkatan agrotourisme, peranan kaum muda dalam pembangunan negara, kebijakan pengembangan pemuda dekade ke depan dan program kerja IFYE. Saya sendiri, bersama 6 orang lain, masuk ke dalam group 1 yang membahas Networking. Sayangnya, sampai acara selesai, yang hadir dari Indonesia hanya 2 orang, yaitu saya dan Pak Haji Karno dari Indramayu. Lima orang lainnya entah kemana. Mungkin pada shopping.

Diskusi dibuka dengan pemaparan materi oleh seorang wanita wakil delegasi Thailand. Dia memaparkan teori-teori tentang kerjasama. Mungkin ibu ini adalah seorang dosen. Diceritakan pula bagaimana jalinan kerjasama antar pihak-pihak di Thailand yang berperan dalam pembangunan kaum muda di bidang pertanian. Setelah itu, giliran wakil Taiwan menjelaskan bagaimana mereka telah memanfaatkan teknologi internet untuk mendukung pengembangan pertanian di negaranya.

Jalannya diskusi tidak terlalu ramai. Hanya beberapa negara yang terlihat aktif, terutama Philipina. Mereka masih muda-muda. Mungkin dari kalangan kampus. India dan Thailand sesekali menimpali. Sedangkan dari Korea dan Indonesia lebih banyak bertindak sebagai pendengar saja. Saya sendiri ragu-ragu untuk memberikan pendapat. Di samping karena saya tak terlalu mengerti materi yang dibicarakan (saya tak terlalu tahu seluk-beluk pembangunan pertanian di Indonesia), saya juga tidak terlalu pede berbicara Inggris di depan professor-professor. Diskusi berakhir pukul lima sore, dengan kesepakatan: Delegasi Philipina diberikan kewenangan untuk menyusun materi untuk disampaikan di depan peseta sidang dalam diskusi fanel besok.

Malamnya, ketika dinner, diadakan pertunjukkan kesenian dari negara-negara peserta konferensi. Kali ini yang kegiliran adalah Philipina dan Taiwan. Philipina menyajikan sebuah tarian tradisional dari Mindanau muslim. Peserta dari Philipina memang banyak juga yang muslim. Tadi siang, ketika akan keluar ruangan melihat pameran, kami disapa oleh salah satu dari mereka, "Hello, my name is Hashim. I am moslem from Philipina", katanya.

Sedangkan Taiwan menampilkan beberapa buah nyanyian tradisionalnya. Tetapi saya terlalu menyimak, karena sibuk di belakang dengan peserta Indonesia lain melihat photo-photo kegiatan tadi siang, yang dipajang di sana. Salah seorang berinisiatif mengambil satu foto, dan kontan diikuti oleh yang lain. Akhirnya hampir semua foto hilang. Habis disikat oleh peserta Indonesia.

Setelah acara selesai, Pak Mansyur mengajak kami berkumpul untuk membicarakan rencana tampilan Tim Indonesia yang kegiliran besok malam. Ternyata belum ada persiapan sebelumnya. Bu Maria mengusulkan, "Bagaimana kalo jaipongan saja, orang Sunda di sini kan banyak, saya ada kasetnya". Haji Fathoni, seperti biasa, menyatakan siap, "Oke..oke orang utan siap tanggung rame aja", katanya sambil menunjuk Dadung dan Saepudin. Padahal keduanya udah hampir kabur. Saya katakan agar nampak meriah, tampilan harus massal. Jadi, semua harus ikut naik pentas. Kami bersama Haji Fathoni, Dadung dan Saepudin siap menjadi leadernya besok. "Tetapi, kalo bisa dicoba dulu bu", kata saya.

Beberapa orang kemudian mencoba kaset. Ada dua kaset, yang satu memang kaset Sunda, satunya lagi kaset disco dangdut. Tetapi yang Sunda ternyata bukan jaipongan, tetapi degung. Nah lho! Rupanya si Ibu yang Jawa totok itu, tak bisa membedakan Jaipongan dan Degung. Kami jadi bingung, mana bisa kita berjoget dengan kaset degung? Akhirnya, diputuskan untuk berjoget dangdut saja, dengan kaset kedua. Lagu degung digunakan untuk mengiringi prosesi masuk panggung saja. Dadung dan Saepudin tampak semangat, "Biar nanti saya di depan", katanya. Tapi saya sangsi pada kesanggupan itu. Setelah sepakat, kita bubar.

Malam itu, saya tidak pergi keluar seperti kemarin. Setelah berjalan-jalan di pinggir pantai di belakang hotel, dan mengunjungi sebuah mini market di sana, saya pergi tidur.

Sidang Hari Kedua

Tidak seperti konferensi-konferensi di Indonesia yang biasanya padat, acara konferensi ini relatif lebih santai. Sidang pagi dimulai pukul sembilan pagi. Pembicaraannya pun lebih singkat, tidak bertele-tele, sehingga sidang selalu berjalan tepat waktu.

Image hosted by Photobucket.comHari kedua diisi dengan laporan dari masing-masing negara tentang perkembangan program IFYE di negaranya. Rata-rata laporan mereka pendek-pendek. Seingat saya hanya Taiwan dan Korea yang memberikan laporan agak lain, yaitu dibantu dengan powerpoint. Indonesia diwakili oleh ketua delegasi, Pak Mansyur yang mengatakan bahwa program pertukaran pemuda tani semenjak tahun 1996 ketika konferensi ke-5 di Jakarta tidak berjalan sesuai rencana karena beberapa faktor, antara lain krisis ekonomi. Tetapi setiap tahun sebenarnya program magang petani Indonesia di Jepang terus dilakukan.

Acara dilanjutkan dengan presentasi Australia tentang persiapan konferensi IFYE sedunia pada tahun 2008. Disajikan dengan sebuah film pendek yang memikat. Kepada kami Pak Mansyur mengatakan bahwa untuk konferensi tersebut peserta Indonesia harus ikut dengan jumlah minimal seperti yang datang pada konferensi ini. Haji Fathoni, dan para peserta lain menyambutnya dengan semangat. "Iya", saya katakan, "Tetapi dengan syarat para pesertanya sudah pada pintar bahasa Inggris". Saya berdoa mudah-mudahan tahun 2008, Perusahaan masih mau ngongkosi kami, he he.

Setelah break, ada presentasi para juru bicara masing-masing group discussion yang memaparkan hasil diskusi kepada seluruh peserta sidang. Tak ada yang luar biasa. Rekomendasi yang diajukan umumnya bersifat normatif. Yang jelas semua sepakat bahwa kerjasama antar negara peserta IFYE ini harus terus ditingkatkan untuk lebih dapat mendapatkan manfaat. Acara selesai sampai makan siang.

Berkunjung Ke Perkebunan Hortikultur

Hari itu adalah hari terakhir acara-acara sidang. Dua hari selanjutnya diisi dengan kunjungan-kunjungan, dan siang ini kami dijadwalkan akan mengunjungi perkebunan buah-buahan terbesar di tahiland, namanya Chareon Perawat Orchard. Pak Mansyur sempat berolok-olok, orang ini (si Perawat itu), katanya pernah jadi perawat di RS Cipto pada tahun 70-an. "Makanya sampai sekarang dia dipanggil Perawat", guraunya.

Seluruh peserta diminta berkumpul pukul 13.20. Karena terkenal tim telat, maka delegasi Indonesia ditempatkan pada bus nomor 1. Siang tadi sebelum bubuar, Bu Asminah berpesan agar jangan sampai telat. "Kalo telat akan ditinggal", ancamnya. Tetapi tetap saja ada yang terlambat. Dua orang peserta Jawa Barat belum muncul: Haji Fathoni dan Haji Karno. Semua orang menggerutu. Bis-bis lain semua tertahan gara-gara hal itu. Tetapi panitia masih memberikan toleransi. Pukul 1.40 baru dua orang itu berjalan setengah berlari turun dari hotel, sambil ketawa-tawa. "Nunggu kita ya?" kata Haji Karno dengan wajah tanpa dosa.

Perkebunan itu terletak di luar Provinsi. Kami membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai kesana. Untung saja jalan-jalan di Thailand bagus-bagus dan lebar. Saya sempat heran juga karena sepanjang jalan kami melalui jalur by pass. Tak ada kemacetan. Pukul setengah tiga kami sampai di tujuan.

Image hosted by Photobucket.comPerkebunan Perawat membentang seluas 60 Ha. Tanaman yang ada adalah lengkeng, durian, belimbing, buah naga (Dragon Fruit), durian, jambu, mangga dan pomelo (sejenis jeruk Bali). Dikelola secara modern, dimana pengairan dan pupuk dialirkan melalui instalasi yang terpasang, menyebabkan buah-buahan tersebut tidak tergantung pada musim. Thailand memang dikenal jago buahnya. Tentu kita maklum, di Indonesia kita mengenal banyak sekali buah-buahan jenis unggul dengan nama belakang Bangkok.

Charoen Perawat mendirikan perkebunan itu 10 tahun yang lalu. Setelah dia kapok berbisnis sebagai eksportir buah-buahan akibat sering ditolak pasar karena barang yang dikirim kerap tak memenuhi kualitas, atau suplainya tak lancar. Akhirnya dia memutuskan untuk terjun langsung membuka perkebunan. Dan dia berhasil. Minimal dari foto-foto yang ada terlihat Chareon memang orang yang dipandang di Thailand. Ada juga foto Perdana Menteri Thaksin ketika berkunjung ke sana. Kini konon buah-buahnya mensuplai sebagian besar pasar China.

Di samping mendapatkan penjelasan tentang pengelolaan kebun, dan diajak berkeliling-keliling dalam sebuah kendaraan khusus (nampaknya wisata merupakan salah satu penghasilan utama Perawat), kami juga disuguhi buah-buahan produksi kebun. Ada jeruk pomelo, jambu dan buah naga. Saya berharap ada durian, tetapi konon sedang kosong. Pukul setengah lima sore kami pulang kembali ke hotel. Kami sempat khawatir juga tentang rencana pertunjukan nanti malam. Pak Mansyur berpesan agar masing-masing kalau ada menggunakan pakaian daerah masing-masing. Tetapi karena tak dipesankan sejak awal, saya tak membawanya.

Ramai-ramai Berjoget Kopi Dangdut

Sebagaimana sudah dijadwalkan, selepas dinner, Indonesia kegiliran tampil pertama. Saya agak terlambat turun, karena merasa lelah sehabis perjalanan siang tadi. Terlihat Haji Fathoni dengan stelan hitam-hitam, plus peci dan sarung ala kabayan. Dua orang utusan dari Banten, Soma dan Firza juga memakai kostum Badui dan beberapa teman dari daerah lain menggunakan pakain adatnya masing-masing. Saya cari Dadung dan Saepudin yang tak kelihatan batang hidungnya, ternyata mereka sedang mojok di luar gedung sambil merokok. Saya katakan kepada mereka agar konsekwen dengan rencana kemarin. Tapi Dadung berkilah, "Era teu mawa baju, urang bagean nyuting we".

Waktunya pun tiba. Saya bertugas mengatur kaset. Yang pertama degung. Rombongan kemudian masuk ke panggung dipimpin Haji Fathoni yang berlenggak-lenggok mirip gaya Semar. Seseorang bertugas memberikan pidato pengantar. Setelah semua naik, lagu diganti dengan Kopi Dangdut yang menghentak energik. Kami semua bergoyang. Beberapa orang ditugaskan untuk menculik para ketua delegasi lain agar ikut berjoget. Rame juga. Banyak peserta lain yang kemudian ikut terjun. Dadung dan Saepudin pun akhirnya turut bergoyang dengan gaya pencak silatnya. Pertunjukan berjalan dengan cukup sukses.

Setelah Indonesia, giliran India yang menanmpilkan pertunjukan serupa: joged India. Dadung kini tampil paling depan, berpasangan dengan seorang bersorban Sikh. Korea mendapat giliran selanjutnya. Mereka menampilkan sebuah kesenian aneh. Seorang berjoget, diiringi oleh tetabuhan yang dimainkan oleh rekan-rekan yang lain. Pakaian mereka pun khas. Masing-masing memegang kipas. Setelah selesai, kipas itu dijadikan rebutan. Tentu saja terutama oleh orang Indonesia.

Ketika kembali ke kamar, orang Taiwan yang bareng di lift menacungkan jempolnya, "Indonesia good", katanya. Apa yang dia maksud good, kami tak tahu.

Pendamping yang Cekatan

Selama konferensi, masing-masing delegasi didampingi oleh seorang guide yang ditunjuk oleh panitia. Dan pendamping untuk Indonesia bernama Rungsiman Sumrit, tetapi Pak Masyur lebih sering menyapanya dengan Lex. Dia bekerja sebagai staf di Departemen Pertanian Tahiland.

Lex masih muda. Sekilas, nampak usianya tak beda jauh dari saya. Tetapi suatu kali saya tanya, apakah dia sudah memiliki anak. Dia menjawab, "Oh tidak, selama 15 tahun menikah, saya belum merasa memerlukannya", katanya. "Sangat sulit untuk tumbuh dengan normal di Bangkok. Saya dan istri saya selama ini hanya berusaha untuk survive saja", lanjutnya dengan tertawa. Saya hanya mengangguk mendengar alasan ganjil itu, tanpa berusaha menanyakan lebih lanjut. Saya jadi menduga-duga, bila dia menikah umur 20 tahun saja, berarti usaianya paling tidak sudah 35 tahun. Saya juga teringat pada Man Sukry, teman Kamboja saya sewaktu kuliah. Umurnya jauh lebih tua dari saya, tetapi wajahnya masih tampak muda. Ras Thai dan sekitarnya seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Loas memang tampak awet muda.

Dan Lex adalah seorang pendamping yang profesional. Dia sangat cekatan dan cermat. Bicara inggrisnya fasih, dan pelafalannya relatif mudah dimengerti. Setiap bicara selalu diiringi dengan senyuman. Nampaknya dia selalu berusaha menyenangkan hati lawan bicaranya. Ketika tersenyum nampaklah gigi kelincinya. Sepintas, saya teringat bintang Film hongkong Yuen Biao. Dengan sabar Lex selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan para tamu, yang kadang aneh-aneh.

Malam itu, kami -- sekitar 10 orang -- diantar Lex jalan-jalan, menyusuri kota Pattaya. Mula-mula Lex mengajak kami ke pantai, sambil mencari mini market untuk mencari sim card telepon. Beberapa dari kami, termasuk saya, memang memutuskan membeli sim card lokal, dari pada menggunakan kartu Indonesia karena dipandang lebih murah. Tidak seperti di Indonesia, bisnis ponsel dan pulsa di Thailand belum begitu menjamur. Yang menjualnya pun hanya di tempat-tempat tertentu. Voucher isi ulang dan sim card biasanya dijual di mini-mini market. Harganya pun masih relatif mahal. Untuk mendapatkan kartu saya harus mengeluarkan biaya 199 Baht, dengan nilai pulsa 50 Baht. Padahal di Indonesia, nomor kartu sudah banyak yang gratis.

Setelah Sim Card didapatkan, Lex mengajak kami ke sebuah bukit. Saya tak ingat namanya, tetapi cukup banyak juga yang sengaja ke sana untuk melihat pemandangan ke bawah. Dari bukit itu, kita bisa melihat seluruh kota Pattaya. Kilauan lampu-lampunya nampak indah. Juga terlihat lengkung garis pantai dan beberapa perahu di laut lepas.

Selama hampir 20 menit kami di sana. Kemudian Lex membawa kami ke Walking Street, pusat kota Pattaya. Di sana banyak terdapat pedagang cindera mata. Saya sendiri membeli beberapa puluh gantungan kunci untuk oleh-oleh. Pukul 11 malam kami pulang.

(to be continued)

Minggu, September 18, 2005

Seven Days In Thailand (Part I)

: Sebuah catatan perjalanan

Kunjungan tujuh hari di Thailand memberikanku banyak pengalaman baru. Ada yang lucu dan menyenangkan. Ada yang mengesankan, tetapi ada yang pula aneh bahkan mengerikan. Ini adalah catatanku selama perjalanan, sekaligus oleh-oleh bagi yang tidak kebagian kaos dan gantungan kunci :-).

Tentang IFYE

Oya, sebelum saya menceritakan perjalanan, penting dijelaskan maksud kedatangan saya ke Thailand. Menurut informasi awal, saya bertugas untuk mendampingi KTHA (Kontak Tani Hutan Andalan), yaitu semacam asosiasi para petani hutan di Jawa Barat, untuk mengikuti Konferensi Pertukaran Pemuda Tani se Asia Pacfic. Atau dalam bahasa aslinya adalah The Sixth ASPAC IFYE Conference. Sejujurnya, sampai saat keberangkatan saya belum jelas benar dengan apa yang akan saya hadapi dan lakukan di sana. Bahkan tentang IFYE pun saya baru mendengarnya. Pada saat konferensi saya baru tahu bahwa, ternyata ini adalah ajang komunikasi para pemuda tani yang telah mengikuti program pertukaran di antara negara-negara Asia Pasifik, dan juga pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap pengenalan pertanian pada kaum muda.

IFYE sendiri terbentuk pada tahun 1948, ketika beberapa pemuda Amerika pergi belajar ke negara-negara Eropa dan sebaliknya. Mereka yang dikirim adalah umumnya yang tergabung kelompok belajar yang dinamakan klub 4 H (4–H Club-Head, Heart, Hands and Heath). Ketika melihat rekaman kegiatan klub-klub tersebut, saya teringat kepada gerakan Pramuka di Indonesia, hanya saja perhatiannya lebih ditujukan kepada pertanian dan alam. Dan program pertukaran pemuda tersebut dinamakan International Farm Youth Exchange. Program tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Asia. Klub-klub 4-H berkembang di beberapa negara seperti Korea, Taiwan, Philipina dan Thailand. Di negara-negara tersebut, klub 4H didukung penuh oleh pemerintahnya, sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan pertanian nasional. Setiap dua tahunan, IFYE Asia Pasific mengadakan konfrensi, dan yang ini adalah yang keenam. Konfrensi ke lima diadakan di Jakarta tahun 1996, jadi sempat pula terjadi kekosongan sekitar 9 tahun yang disebabkan krisis ekonomi.

Di Indonesia sendiri klub 4H tidak dikenal. Maka yang menjadi utusan adalah para Pemuda Tani yang tergabung dalam KTNA. Dan pada tahun ini pula, KTHA (yang baru terbentuk) mulai diikutkan. Program pertukaran petani yang banyak dilakukan Indonesia adalah dengan Jepang. Namun, yang menjadi peserta konferensi kali ini ternyata bukan yang berasal dari alumnus program pertukaran tersebut. Hal ini cukup menjadi masalah juga pada konfrensi, karena kebanyakan adalah muka-muka baru yang belum mengenal IFYE dan kegiatan-kegiatannya, tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan jarang diantara mereka yang bisa berbahasa inggris.

Perjalanan

Sebelum berangkat, kami berkumpul di Wisma milik Departemen Pertanian. Jumlah delegasi Indonesia adalah 34 orang (1 orang menyusul dua hari kemudian). Terdiri dari utusan berbagai provinsi. Umumnya mereka adalah petani yang tergabung dalam KTNA, sebagian lain pengusaha agribisnis, pagawai pemerintah yang mengurus Pertanian, bahkan ada pula Camat dan Lurah. Saya sendiri, berdua dengan Erwin, bertugas mendampingi tiga orang petani hutan (Dadung, Saepudin dan Haji Fathoni).

Kami terbang ke Bangkok pada Minggu (4/9) dini hari, dengan menumpang Airbusnya Emirate tujuan Dubai. Dan ini adalah pengalaman terbang pertamaku. Sungguh mengerikan. Apalagi sebelumnya banyak dibekali dengan cerita-cerita seram penerbangan. Juga berita kecelakaan heli beberapa hari sebelumnya di Palembang. "Untungnya", berita Mandala sampai ketika saya sudah di Pattaya, bila tidak, mungkin saya akan membutuhkan sepuluh butir antimo untuk memaksaku tidur sepanjang jalan.

Emirates adalah maskapai UAE, oleh karenanya sangat berbau arab. Banyak orang-orang arab yang akan ke Dubai dalam pesawat kami. Diam-diam saya ngeri juga, jangan-jangan ada diantara mereka yang membawa bom, atau membajak pesawat seperti di film-film (ternyata saya sudah terkontaminasi berat agitasi barat). Tetapi ada juga kejadian lucu. Ketika pengumuman prosedur keselamatan yang tentu saja menggunakan bahasa Arab, beberapa teman Indonesia mengangkat kedua tangannya sambil berkata: amin..amin.

Perjalanan ke Bangkok membutuhkan waktu tiga setengah jam, dan selama itu saya terjebak dalam kengerian. Saya tak bisa tidur sama sekali. Dadaku terus berdebar kencang dan keringat dingin deras mengucur. Hiburan televisi mini yang disediakan di setiap kursi penumpang tak menolong banyak. Padahal film-filmnya baru-baru, seperti Mr. and Mrs. Smith, atau filmnya Lindsay Lohan tentang mobil yang bisa bicara itu. Saya terheran-heran bisa-bisanya orang lain tidur nyenyak di situasi seperti itu.

Image hosted by Photobucket.com Menjelang subuh kami tiba di Dong Muang. Konon dalam bahasa Thai, Dong berarti tinggi dan Muang berarti Daratan, jadi artinya adalah Daratan Tinggi. Saya mengucap syukur, bahwa tak ada apa-apa dengan perjalanan kami. Setelah beristirahat sejenak, dan shalat subuh, kami langsung menuju Pattaya dengan bis yang disediakan panitia. Jarak Bangkok dan Pattaya adalah sekitar 3 jam. Karena lelah, saya tertidur, meski tak lena. Ketika bangun, bus sudah berhenti di sebuah peristirahatan untuk makan pagi.

Kami pun membeli sarapan di sebuah restoran muslim, yang ternyata hanya ada satu di lokasi itu. Karuan saja seluruh peserta Indonesia yang berjumlah 33 orang itu tumplek, dan membikin pelayannya sibuk bukan main. Menu yang dihidangkan adalah sejenis sup, kira-kira semacam soto ayam di kita. Karena banyak permintaan, kami pun harus menunggu giliran. Saya bersama rombongan dari Jawa Barat berenam duduk di satu meja. Melihat kami tak juga kebagian hidangan, seorang penerjemah lokal berinisiatif menawarkan sesuatu kepada kami, yang tak pikir panjang kami jawab dengan: yes..yes. Kami pikir dia sedang menjelaskan tentang sup itu. Selanjutnya kami terbengong-bengong ketika ke meja kami dihidangkan enam porsi sejenis nasi kuning (baru kemudian saya tahu bahwa itu namanya nasi Berliani, sejenis nasi Kebuli). Kemudian tertawa ngakak. Akhirnya lima porsi dihabiskan oleh Haji Fathoni, karena yang lainnya tetap menginginkan sup.

Sekitar pukul 10 pagi, kami sampai di Pattaya, dan kami ditempatkan di sebuah hotel, namanya Ambasador City. Hotel itu sangat besar, terdiri dari tiga komplek bangunan yang masing-masing bangunan berlantai 42 dan memiliki lebih dari 1600 kamar. Saya sendiri kebagian di lantai 18, berdua dengan Erwin. Ketika saya perhatikan dari atas hotel, saya menduga ini adalah hotel yang dalam rekaman video di TV terkena tsunami beberapa waktu lalu. Tetapi ketika dikonfirmasikan ke seorang sopir lokal, tenyata bukan. "Pattaya tak terkena tsunami", katanya, "yang anda lihat itu di Puket".

Siang sampai sore, kami habiskan dengan istirahat di Hotel. Saya sempat kebingungan ketika tiba makan siang. Hari itu, ternyata belum termasuk hitungan yang ditanggung panitia, jadi kami harus mencari sendiri. Ketika mengajak Dadung dan Saepudin, mereka malah menawarkan telor asin dan gorengan asin yang dibawanya dari Sumedang. Ternyata Saepudin membawa bekal cukup banyak, selain satu keresek telor asin, juga satu kaleng gorengan ikan asin. Nasinya dibeli tadi ketika makan pagi. Awalnya saya terheran-heran, tetapi akhirnya tawaran mereka saya terima. Ternyata enak juga, bahkan saya nambah.

Welcome Dinner

Malamnya diadakan makan-malam penyambutan, yang diisi oleh hidangan ala standing party dan pergelaran kesenian tradisional Thailand. Belum disediakan hidangan khsusus muslim. Karena ragu-ragu, kami hanya memakan buah-buahan atau kue. Tentu saja tidak cukup mengenyangkan. Meja khusus moslem food baru ada pada acara-acara makan selanjutnya.

Image hosted by Photobucket.com Yang menarik adalah pagelaran kesenian tradisional yang dilakukan oleh anak-anak SD dan SMP. Musik Thai meski monoton tetapi iramanya riang dan menghentak. Sehingga sangat cocok ketika dipadukan dengan tari-tarian. Dan yang menjadi pusat perhatian adalah dua orang anak kecil yang menari penuh semangat dengan gaya goyang kocak. Mirip goyang ngebor Inul. Banyak peserta yang senang dan memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan dan bersuit-suit. Lucunya, sang bocah melakukannya tanpa ekspresi. Seorang peserta yang geregetan bahkan sempat menyelipkan angpau.

Acara itu selesai jam 9 malam. Malam itu acara bebas, dan kami kembali ke kamar masing-masing. Setengah jam kemudian, kami turun untuk jalan-jalan. Setiap delegasi disediakan satu buah mobil angkutan, sejenis preggio, untuk berkeliling. Sayangnya, karena peserta Indonesia kebanyakan, tak semua dari kami, termasuk saya, kebagian. Akhirnya saya dan beberapa teman lain memutuskan untuk berjalan kaki saja. Belum sampai lima menit berjalan, sebuah mobil hotel menyusul dan menawarkan untuk membawa kami jalan-jalan. "300 Baht", katanya, atau sekitar Rp. 75.000 untuk semua (jumlah kami berenam). Tanpa tawar-tawar lagi kami setuju.

Menyusuri Lorong Pattaya

Sopir itu bernama Sing, kami memanggilnya Mr. Sing. Dia asli Pattaya, dan nampaknya sudah terbiasa mengantar turis-turis jalan-jalan. Dan tawaran pertama yang diajukannya adalah, "Do you want to see ladies?". Saya yang bertindak sebagai juru bicara (karena satu-satunya di antara berenam yang bisa berbahasa inggris) langsung mengiyakan, "Yes, can you take us to there?"

Sejak sebelum berangkat, kami banyak diceritakan tentang wisata malam Thailand, disertai pertunjukan-pertunjukan ajaibnya. "Pokoknya kalau tidak sempat menonton, berarti belum ke Thailand", saran seorang teman yang pernah ke sana. Saya sendiri awalnya tak terlalu percaya dengan cerita-cerita itu, tetapi penasaran juga. Maka ketika sang supir menawarkan, kami langsung setuju. Tetapi rupanya kami kecele. yang dia maksud ternyata sebuah panti pijat plus. Kami dihadapkan pada akuarium besar berisi puluhan gadis-gadis cantik berpakaian minim. "Silahkan milih", katanya, "Gak apa-apa, gak pakai, gak perlu bayar". "Harganya 1.200 Baht", tambahnya (kalikan saja, 1 Baht sekitar 250 rupiah). Tapi teman lain malah pada protes terhadap saya, sebagai interpreter. "Bukan yang ginian", kata seseorang. "Nu kieu mah di Bandung ge aya", tambah yang lain. "Minta yang aneh-aneh!:

Saya jadi bingung. Dengan susah payah saya jelaskan keinginan teman-teman pada Mr. Sing. Parahnya sang sopir rupanya bahasa Ingrisnya pas-pasan juga, sementara saya kebingungan menjelaskan apa yang diinginkan. Akhirnya dengan memakai sedikit bahasa Tarzan, kami diantar pada suatu tempat. Rupanya itu adalah pusat kehidupan malam Pattaya. Saya tak sempat menanyakan namanya, yang jelas banyak sekali pub-pub yang berisi perempuan setengah telanjang. Saya melihat banyak sekali bule. Pattaya memang surga bagi bule, yang doyan Sea, Sun dan Sex. Ada yang bilang, industri esek-eseknya menyumbang 40% dari PAD Pattaya.

Setelah melalui lorong-lorong, kami diajak masuk ke sebuah pub kecil. Dan akhirnya kami dapatkan apa yang kami cari. Pub itu temaram. Di dalamnya terdapat tempat-tempat duduk setengah lingkaran dan bertingkat-tingkat, persis seperti ruang pertunjukan biasa. Di ujung sebelah kanan saya melihat rombongan Indonesia lain sudah ada di sana. Tak terbiasa dengan dunia keremangan, saya deg-degan juga. Di tengah-tengah ada panggung, dan beberapa gadis telanjang sedang berlenggak-lenggok. Rupanya pertunjukan sudah setengah jalan.

Saya tak bisa menjelaskan secara detil show itu (baru beberapa hari setelahnya saya tahu nama show itu adalah Top Lady Show). Yang jelas saya menyamakannya dengan kesenian Debus, hanya saja ini dilakukan dengan sangat-sangat ekstrim, karena seluruh atraksi dipusatkan pada kelamin wanita. Ada beberapa macam atraksi, seperti merokok, membuka tutup botol, menyedot air dalam botol dan mengeluarkannya kembali, memasukan hamster dan bola pingpong, memasukan rantai silet, menulis dan terakhir menembak balon dengan sumpitan. Lama satu sesi pertunjukan adalah 1 jam, kemudian dilanjutkan ke sesi selanjutnya dengan pertunjukan yang sama. Untuk semua itu kami hanya membayar 200 Baht (50.000 rupiah) plus gratis minuman. Ketika saya tanyakan kepada Mr. Sing bagaimana mereka bisa melakukan hal tersebut, dia menjawab tidak tahu. "Saya pun baru kali ini menonton", katanya sambil tertawa-tawa.

(to be continued)

Jumat, September 02, 2005

Pattaya, I'am Coming [September (semoga) Ceria]

BILA tak ada aral melintang, besok hari saya akan terbang ke Thailand, guna mengikuti sebuah konfrensi pemuda tani se Asia Fasific, selama seminggu di Pattaya. Ini merupakan sebuah pengalaman baru bagiku: pergi ke luar negeri, sekaligus sebuah kado ulang tahun yang mengejutkan (Happy Bithday to me!), setelah minggu-minggu berat di bulan Agustus, yang sempat membuatku sesak nafas (semoga September lebih ceria! seperti yang dinyanyikan Vina).

Tentu saja banyak yang dipersiapkan. Dari administrasi keimigrasian, seperti membikin passport yang mengesalkan (beruntung saya mempunyai kenalan), administrasi kedinasan kantor yang bertele-tele (namun keluar juga), sampai dengan persiapan perlengkapan (beli travel bag, jas, dan perlengkapan lain). Pemberitahuan yang sangat mendadak (hanya 4 hari menjelang keberangkatan), tentu saja membuat repot. Saya, barangkali, hampir seperti wartawan dikejar deadline, atau sutradara dikejar tayang. Namun syukurlah, sampai sejauh ini semuanya masih lancar, kecuali fluktuasi dollar yang sedemikian cepat, menyebabkan sebagian uang lumpsumku tersedot ke biaya registrasi.

Namun yang menjadi beban fikiran saya saat ini adalah bahwa saya harus terbang menggunakan pesawat. Sesuatu yang membuatku ngeri. Ya, seperti Dennis Bergkamp dan Mr. T dalam The A Team, saya, sepertinya, takut terbang. Saya katakan sepertinya, karena saya sendiri sampai saat ini memang belum pernah naik pesawat. Saya hanya dapat membayangkan kengerian itu dengan membandingkan kengerian saya ketika naik roller coaster, atau air terjun niagara di Dufan. Apa lagi ini berjam-jam lamanya!. Beberapa orang teman memberi saran, bermacam-macam. Ada yang mengusulkan minum antimo sebanyak-banyaknya agar tidur secepatnya di pesawat. Ada yang menyarankan agar saya mabok dulu. "Biar gak takut", katanya. Ada juga yang menyarankan seperti yang dilakukan temen-teman Mr. T, memukulku sampai pingsan, baru diangkat ke pesawat. Sampai sekarang saya belum bisa memilih saran mana yang harus kuturuti.

Ada lagi yang harus difikirkan, yaitu pesanan oleh-oleh yang membludak,. Masalahnya adalah yang memesan ternyata tak membekaliku dengan ongkosnya, malah dengan disertai ancaman mengerikan: "Awas kalo pulang tak bawa oleh-oleh!". Ada yang menyarankan beli gantungan kunci saja yang murah. Atau ditambah kaos beberapa buah untuk orang-orang penting. Saya pikir nanti saja, melihat sikon. Sesial-sialnya saya beli saja Jambu Bangkok di pasar Kosambi untuk dibagikan, "Nih oleh-oleh dari Bangkok!"

Saya juga banyak dibekali dengan cerita-cerita ajaib tentang Thailand. Terutama tentang gadis-gadisnya, dan juga bencong-bencongnya, yang putih dan cantik-cantik. Konon disana ada pertunjukan mengubah linggis jadi pisau, atau demontrasi membuka tutup botol yang dilakukan oleh para gadis dengan cara yang lain (???). "Hati-hati jangan pulang bawa penyakit!", pesan seorang teman. Teman lain mengirim sms: "Bawa kondom yang banyak dan tebel-tebel, beli di Indonesia biar murah!".

Gila, emangnya gua cowok apa pun! He he

Rabu, Agustus 31, 2005

Selamat Jalan, Cak!

SAYA selalu kagum terhadap mereka-mereka yang memegang teguh prinsip dalam hidup, meski prinsip yang dia anut tersebut sangat berbeda dengan kebanyakan orang, bahkan menentang arus. Bagi saya itulah esensi hidup. Dalam hidup, kita harus memiliki kekhasan tersendiri, sehingga orang dengan sadar dapat merasakan kehadiran kita di lingkungannya. Dan itu dapat tergambar dari prinsip yang dia anut.

Begitu pula saya mengagumi mendiang Cak Nur. Salah seorang yang dikenal sangat berprinsip. Kita masih ingat lontaran-lontaran idenya yang kerap melawan arus. Jargon "Islam Yes, Parpol Islam No". Ajakannya untuk bersekularisasi (dalam pengertiannya sendiri), yang sempat menyebabkan dia disuruh tobat oleh Ridwan Saidi. Ide-ide inklusifisme islam, dan lain-lain. Kesemuanya itu memberikan gambaran yang khas tentang Cak Nur. Dan membuatnya dikenal.

Tetapi kita tahu bahwa Cak Nur bukanlah tipe yang asal melawan arus, sehingga membuatnya berbeda. Cak Nur melakukanya justru dengan kesadaran penuh. Sebuah tingkat kesadaran pinandita, yang tidak mudah dicapai oleh orang kebanyakan. Kesadarannya jauh mendahului zamannya. Maka kita pun maklum, jika akhirnya beliau kerap disalahfahami. Dan diakui atau tidak, pada akhirnya, kini kita pun dapat mengakui kebenaran-kebenarannya. Ide-ide dan pengaruhnya secara nyata terasa dalam kehidupan sosial bernegara kita, langsung atau tidak langsung.

Selamat jalan Cak. Mungkin anda tidak mengenal saya, tapi anda telah banyak menginspirasi saya. Selamat, anda telah menjalani ujian hidup ini dengan sukses. Saya selalu berdoa, agar dapat mengikuti jejakmu.

Sabtu, Agustus 13, 2005

L u p a

Suatu kali ada seorang professor linglung yang sedang bepergian --tidak disebutkan ke mana. Yang jelas dia mengendarai VW Combi-nya yang sudah uzur. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobilnya ngadat. Sang professor pun turun untuk melihat apa yang terjadi. Ketika membuka kap depan sang VW tercinta, dia kaget, "Wah pantas, mesinnya ketinggalan, lupa!".

Lelucon konyol itu saya dapat dari seorang supir kantor. Satu lagi varian lelucon yang menceritakan hubungan antara professor dan kebiasaan lupa, yang jumlahnya cukup banyak itu. Lupa, selain (maaf) botak, memang sering dihubungkan dengan mahluk Tuhan yang satu ini. Meski tentu saja asosiasi tersebut sama sekali tak berdasar, karena setahu saya belum pernah ada penelitian yang membuktikan bahwa memang ada hubungan yang sangat erat, dan lebih, di antara mereka.

Tetapi lupa sebenarnya kebiasaan manusiawi. Jadi tidak hanya professor, semua orang pasti pernah lupa. Dari yang pintar, sampai yang paling goblok sekalipun. Yang membedakannya barangkali adalah frekuensinya. Ada yang jarang, ada yang biasa-biasa saja, ada juga yang sering. Dan keseringan lupa, ternyata bikin berabe juga.

Rabu, dua minggu lalu, saya pergi ke sebuah Bank di bilangan Asia Afrika, Bandung. Maksud saya adalah untuk mentransfer sejumlah uang ke keluarga. Ketika mengisi aplikasi, saya membuka sms yang mencatat no rekening tujuan. Setelah itu, saya duduk di kursi antri. Selesai transaksi di teller, saya baru ingat, saya lupa belum menyimpan kembali hp ke sarungnya, di pinggang. Ketika saya cek ke tempat menulis tadi, raib. Seorang satpam berinisiatif menelpon, ternyata sudah veronika. Saya pun akhirnya harus merelakan K300i yang baru berumur 2 bulan itu melayang, akibat lupa.

Seminggu kemudian, hari Rabu juga, saya dipesankan agar membawa infocus kantor yang kebetulan saya simpan di rumah, karena akan digunakan. Meski dua hari sebelumnya, berturut-turut, pesan itu diingatkan, toh pada hari H saya lupa juga. Ketika masuk ruangan kantor, saya baru ingat, infocus. Bergegas, saya kembali ke mobil, dan pulang menuju rumah. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sepuluh menit dari kantor. Tetapi karena masuk jalur satu arah, maka saya harus mengambil jalan memutar. Sempat salah jalan, karena lupa bahwa di jalur itu hanya satu arah sampai pukul 09.00, saya memutar lebih jauh. Setelah terjebak macet selama hampir setengah jam, saya sampai juga di rumah. Celakanya, kunci rumah ternyata tak ada. Kiranya saya lupa mencabutnya kembali tadi ketika membuka ruang kerja di kantor!

Yang mengherankan adalah, justru apabila kita ingin agar lupa, sang lupa ternyata tak kunjung datang. Buktinya, saya kok susah sekali ya melupakan dia!