Suatu kali ada seorang professor linglung yang sedang bepergian --tidak disebutkan ke mana. Yang jelas dia mengendarai VW Combi-nya yang sudah uzur. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobilnya ngadat. Sang professor pun turun untuk melihat apa yang terjadi. Ketika membuka kap depan sang VW tercinta, dia kaget, "Wah pantas, mesinnya ketinggalan, lupa!".
Lelucon konyol itu saya dapat dari seorang supir kantor. Satu lagi varian lelucon yang menceritakan hubungan antara professor dan kebiasaan lupa, yang jumlahnya cukup banyak itu. Lupa, selain (maaf) botak, memang sering dihubungkan dengan mahluk Tuhan yang satu ini. Meski tentu saja asosiasi tersebut sama sekali tak berdasar, karena setahu saya belum pernah ada penelitian yang membuktikan bahwa memang ada hubungan yang sangat erat, dan lebih, di antara mereka.
Tetapi lupa sebenarnya kebiasaan manusiawi. Jadi tidak hanya professor, semua orang pasti pernah lupa. Dari yang pintar, sampai yang paling goblok sekalipun. Yang membedakannya barangkali adalah frekuensinya. Ada yang jarang, ada yang biasa-biasa saja, ada juga yang sering. Dan keseringan lupa, ternyata bikin berabe juga.
Rabu, dua minggu lalu, saya pergi ke sebuah Bank di bilangan Asia Afrika, Bandung. Maksud saya adalah untuk mentransfer sejumlah uang ke keluarga. Ketika mengisi aplikasi, saya membuka sms yang mencatat no rekening tujuan. Setelah itu, saya duduk di kursi antri. Selesai transaksi di teller, saya baru ingat, saya lupa belum menyimpan kembali hp ke sarungnya, di pinggang. Ketika saya cek ke tempat menulis tadi, raib. Seorang satpam berinisiatif menelpon, ternyata sudah veronika. Saya pun akhirnya harus merelakan K300i yang baru berumur 2 bulan itu melayang, akibat lupa.
Seminggu kemudian, hari Rabu juga, saya dipesankan agar membawa infocus kantor yang kebetulan saya simpan di rumah, karena akan digunakan. Meski dua hari sebelumnya, berturut-turut, pesan itu diingatkan, toh pada hari H saya lupa juga. Ketika masuk ruangan kantor, saya baru ingat, infocus. Bergegas, saya kembali ke mobil, dan pulang menuju rumah. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sepuluh menit dari kantor. Tetapi karena masuk jalur satu arah, maka saya harus mengambil jalan memutar. Sempat salah jalan, karena lupa bahwa di jalur itu hanya satu arah sampai pukul 09.00, saya memutar lebih jauh. Setelah terjebak macet selama hampir setengah jam, saya sampai juga di rumah. Celakanya, kunci rumah ternyata tak ada. Kiranya saya lupa mencabutnya kembali tadi ketika membuka ruang kerja di kantor!
Yang mengherankan adalah, justru apabila kita ingin agar lupa, sang lupa ternyata tak kunjung datang. Buktinya, saya kok susah sekali ya melupakan dia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar