Tulisan ini saya buat untuk dikirimkan ke Kalam Jabar, Republika. Entah akan dimuat atau tidak, yang jelas lebih baik saya pampangan saja di sini dulu. Ya?
ORANG SUNDA, MAU KEMANA?
SECARA tak sengaja saya membaca dua artikel dengan tema yang sama, di Kalam Republika 8 September 2004 (
Ki Sunda: Di Triangulasi Asah Asih Asuh Kita Bertemu dari Gunawan Undang, dan
Syariat Sunda: Sebuah Keniscayaan di Jawa Barat dari Agus Kresna). Menarik, karena hal yang menjadi topik adalah apa yang menjadi perhatian saya bertahun-tahun: Masalah eksistensi Sunda dan Kesundaan.
Konon, dua artikel tersebut merupakan tanggapan (bahkan suplemen, menurut Agus), terhadap sebuah sebuah tulisan dari Wawan Gunawan berjudul
Sunda Tak Perlu Dibela. Sebuah judul yang mengingatkan saya pada sebuah tulisan Gus Dur yang sangat saya suka: Tuhan Tak Perlu Dibela. Sayang saya tak bisa mendapatkan tulisan sumber tersebut, jadi saya tak tahu pasti (paling tidak menginterpretasikan) apa yang dipaparkan Wawan, yang sudah pasti sangat menarik, sehingga kedua penulis tadi tergerak untuk menimpalinya. Tetapi, karena, seperti disebutkan di awal, saya sangat menaruh perhatian terhadap tema ini, maka izinkan saya untuk ikut urun rembug. Mudah-mudahan tak terlalu melenceng.
Inferioritas dan Inferiorisme
Permasalahan eksistensi Sunda dan kesundaan, memang bukan barang baru, meski tetap saja, bagi sebagian orang, ini selalu menjadi sumber diskusi yang tak pernah kering. Penyebabnya jelas, kenyataan yang ada mengindikasikan bahwa ada masalah yang hebat yang berhubungan dengan eksistensi Sunda dan Kesundaan, meski ini barangkali hanya disadari oleh beberapa gelintir orang saja.: Inferioritas dan Inferiorisme Ki Sunda dalam pergaulannya dengan masyarakat global.
Saya sengaja membedakan kedua kata tadi: Inferioritas dan Inferiorisme. Inferioritas dalam pandangan saya lebih menunjuk sebuah keadaan, dimana kenyataan yang terjadi membuktikan bahwa orang sunda berada dalam posisi yang inferior, jadi lebih berdimensi sosial politik. Sedangkan Inferiorisme lebih mengarah kepada kata sifat, yaitu perilaku orang sunda yang selalu merasa inferior di hadapan entitas lain. Saya tak tahu, mana yang lebih dulu, apakah inferioritas ki sunda yang menyebabkannya dirinya kemudian menjadi berperilaku inferior (minder), ataukah sifat inferiorisme-nyalah yang menyebabkan dirinya menjadi terposisikan inferior. Bisa jadi kedua-duanya terjadi, sehingga kondisi masing-masing menjadi tambah kronis: Ki Sunda semakin inferior dan semakin menjadi inferioris.
Tapi, sudahlah, saya tak ingin berteka-teki telor dan ayam. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ternyata paling tidak terdapat dua cara memandang Sunda sebagai sebuah entitas. Pertama, dari sisi politis. Yaitu yang memandang sunda berkaitan dengan posisi orang-orang sunda dalam kehidupan bermasyarakat. Maka yang sangat dominan dalam hal ini adalah isu etnisitas (kemurnian etnis). Sehingga muncullah wacana Sunda non Sunda dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Caleg. Atau isu terdesaknya orang-orang lokal oleh pendatang secara ekonomi. Dan lain-lain.
Cara pandang ini tentunya tidak salah sama sekali, dan wajar-wajar saja, karena memang ini yang paling mudah dilakukan. Tetapi menurut saya, ini menjadi kurang sehat apabila dilakukan dengan membabi buta. Selain terlalu cengeng, masalah etnisitas menjadi tidak lagi relevan seiring dengan kemajuan teknologi, yang menghancurkan sekat-sekat komunikasi. Karena setiap orang, kini, bebas dan memiliki kemungkinan yang sama untuk bisa berhubungan dan menikah dengan etnis lain. Juga setiap orang bisa pergi dan tinggal di suatu tempat, meskipun dia bukan penduduk asli. Jadi cara pandang dari sisi ini, menurut saya, tidak memiliki masa depan.
Kedua adalah dari sisi budaya, yang memandang Sunda sebagai entitas budaya yang unik. Yaitu unsur-unsur yang dihasilkan dari daya kreatif orang-orang sunda untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang (grow) selama bertahun-tahun, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sejarah yang menunjang kehidupannya . Tentu saja dengan ini kita tidak lagi hanya berurusan dengan ciri-ciri fisik seperti warna kulit dan ukuran hidung. Yang menjadi isu utama adalah unsur-unsur budaya sunda yang unik, yang justru menjadikan Sunda sebagai sebuah identitas tersendiri, berbeda dengan yang lain.
Ini yang lebih saya risaukan: hilangnya kekhasan budaya Sunda, yang juga berarti hilangnya identitas unik tadi. Tidak akan berarti terdapat 40 juta etnis sunda, apabila ia sudah tidak mempraktekkan budaya sunda. Dia tidak memiliki kharakter khas yang dapat menunjukan sebuah identitas.
Dan gejala ini sangat nyata terjadi, kini. Pada anak-anak muda kita yang tak lagi bisa berbahasa sunda. Pada orang-orang tua yang tak lagi mengajarkan sunda pada anak-anaknya. Pada para seniman sunda yang murung, karena karya-karyanya tak laku. Pada hancurnya sifat-sifat unik orang sunda ditelan modernisme. Dan pada seribu bukti yang lain.
Tapi bukankah budaya senantiasa berubah? Bukankah ketika budaya berubah, maka identitas yang dibawanya akan pula berubah? Jadi apa perlunya mempertahankan sesuatu yang sudah pasti berubah? Dalam Dangiang Edisi I (1999), Prof Saini KM membantu kita menjawabnya. Menurutnya, merujuk kepada pengertian budaya Koentjaraningrat, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi identitas sebuah kebudayaan: Kreativitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dengan tepat, ruang atau interaksi ragawi dan jiwani antara komunitas dan lingkungan pendukungnya, serta waktu atau sejarahnya.
Maka lanjut Saini, identitas kesundaan bisa hilang apabila pada orang sunda sekarang ketiga hal tadi hilang. Yaitu hilangnya kreativitas, atau hilangnya kemampuannya orang Sunda untuk mengatasi permasalahannya secara tepat, atau hilangnya interaksi ragawi dan jiwani antara orang Sunda dengan lingkungannya akibat bencana alam dan sejenisnya, atau manakala orang Sunda hilang kesadaran akan sejarahnya. Identitas budaya Sunda, simpulnya, ada pada benang merah kemiripan antara sosok budaya dari generasi paling tua Sunda dengan generasi paling mutakhir yang hidup dewasa ini. Jadi, meskipun budaya senantiasa berubah, identitas tersebut sangat mungkin untuk dapat dipertahankan, dengan batasan-batasan tertentu tentunya. Konsepsi ini mungkin agak sulit dipahami. Yang jelas, secara sederhana saya berpendapat bahwa rohnya budaya adalah bahasa. Selama bahasa Sunda masih dipergunakan, maka budaya sunda masih ada. Dan sebaliknya.
Menampilkan Sunda Terhormat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004). Di sana saya menyatakan bahwa inferioritas orang Sunda disebabkan persepsi yang rendah orang sunda sendiri budayanya. Maka orang sunda umumnya enggan menunjukkan kesundaannya dalam pergaulan, bahkan dengan sesama orang sunda sendiri. Jadi jangan heran, bila di Bandung, anda akan lebih sering dipanggil Mas atau Mbak dari pada dengan Akang atau Teteh, dan disapa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia dianggap lebih dapat menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi penggunanya.
Persepsi yang rendah tersebut disebabkan oleh penampilan Kesundaan yang memang tidak pernah disajikan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu-begitu saja, miskin inovasi. Sehingga kesan yang tercipta adalah kuno, murah, kampungan, tidak intelek, tidak bergengsi dan sejenisnya. Sehingga untuk meningkatkannya, tidak ada jalan lain, penampilannya pun harus diperhatikan.
Dengan melemparkan isu tersebut sebenarnya saya ingin membuka sebuah topik diskusi baru mengenai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Sunda. Bila sebelumnya diskusi selalu perpusar pada identitas unsur kebudayaan itu sendiri, seperti jenis, asal mula, "aturan main", serta hal lainnya, dan biasanya diakhiri oleh keprihatinan mengenai rendahnya apresiasi dari masyarakat sekarang, maka selanjutnya saya ingin kita juga lebih memperhatikan "kemasan" (packaging) dari unsur budaya tersebut, sehingga masyarakat akan menyukai mereka dengan sendirinya.
Jadi saya merindukan buku-buku, majalah Sunda, kesenian dan produk-produk Sunda lain, yang dikemas dengan penampilan menarik, modern, cerdas dan terhormat (saya sangat apresiatif pada beberapa pihak yang telah mengupayakannya). Saya menunggu berdirinya sebuah stasiun televisi Sunda dengan penampilan canggih dan professional seperti CNN. Saya bermimpi akan ada konser besar Nining Meida dengan setting yang megah dan eksklusif seperti konser Pavarotti. Atau ada film sunda sepopuler AADC (asal jangan seperti BCG saja).
Ini akan membuat seluruh orang Sunda bangga. Sunda akan kembali menjadi identitas dan sumber inspirasi orang-orang sunda (bahkan juga bagi yang bukan etnis sunda). Maka di masa datang, kita tak perlu merasa inferior lagi. Karena kita punya "kerajaan" sendiri: "Kerajaan Budaya" Sunda.