Minggu, Februari 20, 2005

Fantasi Dunia

APA yang takkan kau lakukan untuk menyenangkan sang pujaan hati? Tak ada. Semua jalan kan ditempuh. Biarpun itu harus mendaki tujuh gunung dan menyeberang tujuh samudera, kata penyair gombal, demi dia, apapun kan diterjang.

Adagium itu, meski tak sepenuhnya, ternyata berlaku juga padaku, kemarin. Sehabis melakukan presentasi untuk keperluan marketing wisata, di sebuah perusahaan leasing di bilangan Mampang, gadis ceria itu mengajakku --kami tepatnya-- untuk mampir ke tempat bermain, sebelum pulang ke Bandung. Tempat yang diusulkan: Dunia Fantasi. "Heh?" aku sempat berkernyit , "Memangnya kita anak SD?". Tapi dia serius. Dan rajukan dari tatapan matanya tak dapat kutanggulangi.

Maka, siang itu, kendaraan kemudian kami belokkan ke arah Priok. Untungnya Jakarta tak terlalu macet, sehingga menjelang Jumatan kami sudah sampai di Ancol. Setelah singgah di sebuah mesjid untuk shalat, kami melanjutkan perjalanan. Setengah dua, kami tiba di gerbang Dunia Fantasi.

Ternyata pintu masuk belum terbuka. Kami harus menunggu setengah jam lagi. Mengantre, berebut tempat dengan serombongan anak dari sebuah SD di Bandung yang sedang berdarmawisata.

Gadis itu bernyanyi riang. Sementara aku sibuk meratapi gerahnya Jakarta dan kakiku yang pegal akibat kelamaan berdiri, selain menyesali uang lunsumku yang habis untuk beli tiket empat orang. "Ini demi kau", desisku.

Sebenarnya aku memang merasa kurang nyaman harus bermain ke tempat aneh ini. Selain sudah bosan (seingatku sudah lebih dari 4 kali aku ke sini), juga selalu ada kengerian ketika membayangkan permainan-permainan yang harus kunaiki, dan itu jauh dari seleraku. Aku takut ketingian, apalagi bila dikombinasikan dengan gerak dan kecepatan, seperti rata-rata jenis permainan yang ada di sini. Tapi demi sang pujaan, aku menguatkan diri.

Dan tanpa harus menunggu lama, ketakutanku langsung diuji. Selepas pintu masuk, sang gadis berlari ke arah Niagara. Aku sempat menolak, tapi tak berdaya. Dengan berdebar gugup, aku naik. Aku baru menyadari, kalau aku kini menjadi lebih penakut dari beberapa tahun lalu.

Perahu itu hanya muat untuk empat orang. Aku memilih tempat paling belakang, meski sang gadis memperingatkan "Justru di belakang, hempasannya makin terasa". Aku tak peduli, yang jelas instingku mengatakan dengan duduk di belakang, aku akan lebih bisa terlindungi . Debarku makin kencang ketika sang perahu mulai menanjak. Dan ketika tiba gilirannya terjun bebas, aku merasa seperti terbang. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tak keluar. Untungnya kengerian itu tak berlangsung lama. Ketika sadar, kepalaku sudah menempel erat di kepala orang di depanku. Tapi aku selamat.

Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Kami tertawa terpingkal-pingkal. "Ayo lagi, kamu membutuhkannya" teriaknya.

Tapi aku menolak setengah mati ketika dia kemudian menujuk Kora-kora, perahu besar berayun-ayun itu. Aku tak bisa membayangkan kengerian ketika tubuhku harus dihempas berkali-kali dari ketinggian hampir 15 meter selama bermenit-menit. Aku menawarkan diri menunggu saja di bawah. Dan kali ini rayuannya tak mempan, dia naik tanpaku.

Gadis itu memang tangguh. Dari bawah aku hanya terheran-heran melihatnya begitu menikmati permainan itu, dan tertawa-tawa melihat ekspresi kengerian penumpang lain.

Tetapi setelah itu aku tertipu juga. Ketika melewati sebuah permainan yang tak kuketahui cara kerjanya, aku setuju untuk naik. Selanjutnya aku hanya bisa memejamkan mata ketika tiba-tiba tubuhku terangkat dan berputar membanting-banting. Teriakannya yang memintaku untuk membuka mata tak kuindahkan sama sekali. Aku hanya bisa menyumpah-nyumpah.

Saat permainan selesai, dia kembali terpingkal. Kami kembali terpingkal. Setelah itu aku menawarkan permainan yang lebih menyenangkan saja, semacam Gajah Bleduk atau Istana Boneka.

Sampai jam empat sore kami bermain. Sebuah telepon dari teman di mobil mengingatkan agar kami segera pulang, menghindari macet di jalan. Aku lega ketika dia setuju untuk berhenti.

Kami pun kembali ke Bandung, sambil terpingkal di mobil.

(Ah gadis, aku tak tahu apa kita kelak kan berjodoh atau tidak. Yang jelas, disampingmu aku selalu bisa tertawa. Barangkali karena itulah aku kini memujamu --seperti juga lelaki yang terus menelponmu sepanjang perjalanan itu.)

Minggu, Oktober 31, 2004

Belajar Nyetir

SEKITAR sebulan yang lalu, saya memutuskan untuk membeli sebuah kendaraan dari seorang teman. Sebuah mobil, yang meski bukan baru, saya anggap cukup memadai untuk menunjang aktivitasku sehari-hari, terutama manakala saya harus turni ke daerah-daerah. Lumayan, saya bisa pergi dan pulang kapan saja saya mau, tanpa harus terikat menyesuaikan waktu seperti dulu karena mesti minjam atau nebeng ke kendaraan teman. Juga tidak lagi bergantung pada kendaraan umum, yang jauh dari hitungan nyaman dan aman. Selain memiliki sedikit postur ketika diundang rapat-rapat oleh dinas/instasi lain.

Memiliki mobil ternyata membawa saya kepada kebiasaan baru. Misalnya, saya harus bangun lebih pagi, karena harus memanaskan mesin dan mencuci bodinya agar selalu kelihatan terawat. Padahal sebelumnya, saya paling malas bangun pagi. Tak jarang saya bangun hanya lima belas menit menjelang apel pagi di kantorku yang hanya berjarak 20m dari tempat kosku kini. Untungnya, saya masih seringan ikut apel daripada bolosnya, meski kerap datang dengan tergopoh-gopoh pada detik-detik terakhir. Bila tidak, pasti banyak sindiran dari teman-teman: "Rumah di pinggir kantor kok masih kesiangan juga".

Saya juga mulai banyak belajar tentang mobil. Tentang bagaimana mengetahui kondisi mesin yang baik, cara pemeliharaan sehari-hari, dimana mencari spare part yang murah, bengkel mana yang bagus dan sebagainya. Juga tentang istilah-istilah, seperti tune up, spooring, balancing sampai pada jenis-jenis onderdil. Ini penting, karena saya harus selalu menjaga agar kondisinya selalu prima. Konon menjaga agar mobil tetap dalam kondisi prima jauh lebih baik dan murah daripada memperbaikinya ketika rusak.

Saya juga harus mulai menghapalkan jalan. Semenjak dulu, hal ini adalah kelemahan saya. Entah mengapa, saya sangat sulit mengingat rute jalan. Padahal kota Bandung terkenal memiliki jalan-jalan yang rumit dan hampir serupa. Makanya saya kemudian membeli sebuah peta khusus kota Bandung seharga 15.000 di Gramedia. Lumayan, bisa menjadi penolong ketika malam-malam tersesat di belantara jalan kota Bandung.

Tetapi sebenarnya yang paling menguras perhatianku adalah urusan yang paling utama: bagaimana bisa mengendarainya sendiri. Ya, karena saya memang belum bisa menyetir dengan baik (meski untungnya di negeri ini saya bisa juga mendapatkan SIM). Maka kemudian, hampir setiap hari selesai kantor, terutama di awal-awal, saya tugaskan staf-staf mengajariku menyetir Kebetulan saya memang memiliki staf yang rata-rata bisa menyetir, sehingga saya merasa tidak perlu mengambil kursus.

Ternyata tidak mudah. Saya merasa sangat terbebani dengan hal ini. Barangkali, ini hanya soal mental saja. Saya memang memiliki pengalaman yang buruk dalam setir menyetir. Mobil saya yang pertama dulu, saya jual karena hampir tiap saya bawa, pasti meninggalkan cacat. Saya pernah menubruk sebuah angkot, menyenggol tangga orang yang sedang mengecat di pinggir jalan, hampir meruntuhkan garasi di rumah dan terakhir menghantam pagar kantor sampai penyok. Dus, daripada uang saya habis untuk memperbaiki, lebih baik saya jual kembali. Sejak saat itu saya berkesimpulan dalam hati bahwa saya bukan seorang supir yang baik.
Menyetir memang kompleks. Ini tidak hanya berhubungan dengan keterampilan tangan dan kaki dalam mengendalikan kemudi atau menginjak rem dan gas, tetapi juga dipengaruhi oleh karakter psikologis seseorang. Saya percaya, sifat seseorang dapat tergambar dari caranya menyetir.

Untungya, meski terhitung sangat telat, akhirnya saya sudah mulai berani membawa mobil sendiri, meski terbatas pada tujuan yang dekat, seperti belanja. Untuk ke lokasi-lokasi yang jauh, saya masih sering minta temanin. Dan saya terus berlatih. Mudah-mudahan saja, lebaran nanti saya sudah bisa sampai ke Ciamis sendiri.

Minggu, September 12, 2004

Bujangan, Tak Bisa Kaya?

"MENIKAHLAH cepat", kata nenekku, suatu ketika (sebenarnya beliau bukan nenekku asli, cuma memang sudah saya anggap sebagai nenek sendiri, dan keterangan ini menjadi penting untuk bagian akhir tulisan). "Tak ada ceritanya bujangan kaya", lanjutnya serius.

Sejujurnya kata-kata itu bukan hanya sekali ditujukan kepada saya, dan bukan datang dari nenekku saja (kecuali orang tuaku). Biasanya saya menghindar dengan, "Buat menghidupin seorang saja udah pas-pasan, gimana kalo harus nambah ngidupin dua kepala? Saya gak mau bikin sengsara anak orang, nek".

Saya memang bukan tipe orang yang suka berspekulasi (nekad), terutama dalam hal uang (dalam hal ini saya sangat bertolak belakang dengan sifat ayahku), apalagi apabila itu akan berefek pada orang lain. Untuk hal-hal yang kira-kira tidak akan mengenakkan, saya akan lebih suka menjalankannya sendiri daripada mengajak orang lain. Sesungguhnya ini sifat yang baik, meski kadang dicemooh orang dengan: tidak jantan.

Dus, untuk memutuskan menikah saya harus memiliki persiapan yang cukup, terutama dalam hal materi. Minimal, hitung-hitungan bahwa saya akan bisa membahagiakan istri saya (tentu saja bukan hanya soal makan). Saya tidak bisa bertindak seperti beberapa teman yang nekad menikah meski belum punya pekerjaan tetap, dan hidup hanya dari orang tua. Apalagi pada saat itu saya juga masih memiliki tanggungjawab untuk membiayai adik saya kuliah. Saya memang termasuk kategori super realistis dan super rasional dalam hal ini.

Maka, saya pun bertekad untuk mematahkan mitos tadi, bahwa ternyata ada juga bujangan yang bisa kaya. Apalagi saya memiliki modal yang cukup untuk itu: saya termasuk orang yang hemat: tidak merokok, tidak suka keluyuran dan juga bukan termasuk pria metroseksual yang membutuhkan banyak duit. Saya termasuk pria yang super ngirit. Seorang teman bahkan sering meledek, "Ada bedanya antara pelit dan ngirit", katanya.

Tetapi nampaknya apa yang dikatakan nenekku tadi, kini betul-betul saya rasakan. Karena disamping memiliki sifat yang menunjang tadi, saya juga ternyata memiliki kelemahan lain yang cukup parah: saya orang yang tidak tegaan, terutama apabila dihadapkan pada rayuan dan ratapan. Saya selalu mudah terrenyuh. Dan nampaknya orang-orang disekelilingku sangat mengetahui itu dengan baik.

Maka uang yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit tersebut, akhirnya tidak pernah menjadi bukit. Karena di setiap waktu ada saja orang yang datang dan meminta pinjaman, dengan berbagai alasannya masing-masing. Dari uang sekolah anak, anaknya sakit, sedang membikin rumah, kecopetan di tengah jalan, untuk modal usaha dll. Dan saya selalu tak kuasa menolak.

Celakanya, dari sepuluh yang meminjam uang, yang mengembalikan paling cuma satu orang. Sisanya menunggak. Padahal mereka sudah berjanji untuk melunasinya dalam jangka waktu tertentu. Saya tak tahu, apakah mereka berniat membayar atau tidak, karena saya selalu saja tak memiliki perasaan tega untuk menagih. Saya memang selalu berfikiran bahwa setiap orang beritikad baik, bahwa mungkin saja mereka belum mampu membayar pada saat ini. Tapi lama-lama ini membuat saya jadi makan ati juga. Sekali waktu pernah saya memberanikan diri menanyakan, jawabannya: "Nantilah, kamu kan masih bujangan, masih belum terlalu perlu, kan?"

Bukan itu saja. Predikat bujangan juga sering dijadikan alasan teman-teman sekantor untuk minta ditraktir. "Sekali ini saja lah, kamu kan masih bujangan?". Atau, "Masa bujangan pelit, gajimu kan besar?". Belum lagi yang berkenaan dengan urusan keluarga, apalagi saya adalah anak yang paling besar, dari seorang keluarga yang pas-pasan. (Makanya ada tips, jangan mencari jodoh anak sulung dan banyak adiknya, pasti repot. Carilah anak bungsu yang orang tua dan kakak-kakaknya kaya, he he).

Pendeknya, ternyata benar kata nenekku: tidak mudah menjadi seorang bujangan kaya.

Repotnya, saya pun ternyata bukan orang yang zonder keinginan dan ambisi. Saya memiliki impian-impian dan rencana tentang hidup di masa depan, yang harus saya mulai rintis dari sekarang. Misalnya, tuntutan pekerjaan di hari-hari ini mengharuskanku memiliki sebuah kendaraan. Maka saya pun mulai berfikir-fikir untuk membeli sebuah mobil. Sayangnya uang tabunganku tak cukup. Sebenarnya, apabila seluruh piutangku dibayar, kekurangannya tak begitu besar. Cuma saja, nampaknya kasusnya hampir seperti BLBI. Maka mau tak mau saya harus rela menggadaikan SK ke Bank. "Mumpung masih bujangan", pikirku.

Dan akhir-akhir ini saya mulai berfikir, apakah saya harus menikah cepat-cepat, agar manajemen keuanganku bisa efisien. Itu berarti saya harus segera berkunjung dan merayu nenekku tadi, "Nek, saya mau menikah, asal dengan cucumu", he he.

Rabu, September 08, 2004

Orang Sunda Mau Kemana?

Tulisan ini saya buat untuk dikirimkan ke Kalam Jabar, Republika. Entah akan dimuat atau tidak, yang jelas lebih baik saya pampangan saja di sini dulu. Ya?

ORANG SUNDA, MAU KEMANA?

SECARA tak sengaja saya membaca dua artikel dengan tema yang sama, di Kalam Republika 8 September 2004 (Ki Sunda: Di Triangulasi Asah Asih Asuh Kita Bertemu dari Gunawan Undang, dan Syariat Sunda: Sebuah Keniscayaan di Jawa Barat dari Agus Kresna). Menarik, karena hal yang menjadi topik adalah apa yang menjadi perhatian saya bertahun-tahun: Masalah eksistensi Sunda dan Kesundaan.

Konon, dua artikel tersebut merupakan tanggapan (bahkan suplemen, menurut Agus), terhadap sebuah sebuah tulisan dari Wawan Gunawan berjudul Sunda Tak Perlu Dibela. Sebuah judul yang mengingatkan saya pada sebuah tulisan Gus Dur yang sangat saya suka: Tuhan Tak Perlu Dibela. Sayang saya tak bisa mendapatkan tulisan sumber tersebut, jadi saya tak tahu pasti (paling tidak menginterpretasikan) apa yang dipaparkan Wawan, yang sudah pasti sangat menarik, sehingga kedua penulis tadi tergerak untuk menimpalinya. Tetapi, karena, seperti disebutkan di awal, saya sangat menaruh perhatian terhadap tema ini, maka izinkan saya untuk ikut urun rembug. Mudah-mudahan tak terlalu melenceng.

Inferioritas dan Inferiorisme
Permasalahan eksistensi Sunda dan kesundaan, memang bukan barang baru, meski tetap saja, bagi sebagian orang, ini selalu menjadi sumber diskusi yang tak pernah kering. Penyebabnya jelas, kenyataan yang ada mengindikasikan bahwa ada masalah yang hebat yang berhubungan dengan eksistensi Sunda dan Kesundaan, meski ini barangkali hanya disadari oleh beberapa gelintir orang saja.: Inferioritas dan Inferiorisme Ki Sunda dalam pergaulannya dengan masyarakat global.

Saya sengaja membedakan kedua kata tadi: Inferioritas dan Inferiorisme. Inferioritas dalam pandangan saya lebih menunjuk sebuah keadaan, dimana kenyataan yang terjadi membuktikan bahwa orang sunda berada dalam posisi yang inferior, jadi lebih berdimensi sosial politik. Sedangkan Inferiorisme lebih mengarah kepada kata sifat, yaitu perilaku orang sunda yang selalu merasa inferior di hadapan entitas lain. Saya tak tahu, mana yang lebih dulu, apakah inferioritas ki sunda yang menyebabkannya dirinya kemudian menjadi berperilaku inferior (minder), ataukah sifat inferiorisme-nyalah yang menyebabkan dirinya menjadi terposisikan inferior. Bisa jadi kedua-duanya terjadi, sehingga kondisi masing-masing menjadi tambah kronis: Ki Sunda semakin inferior dan semakin menjadi inferioris.

Tapi, sudahlah, saya tak ingin berteka-teki telor dan ayam. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ternyata paling tidak terdapat dua cara memandang Sunda sebagai sebuah entitas. Pertama, dari sisi politis. Yaitu yang memandang sunda berkaitan dengan posisi orang-orang sunda dalam kehidupan bermasyarakat. Maka yang sangat dominan dalam hal ini adalah isu etnisitas (kemurnian etnis). Sehingga muncullah wacana Sunda non Sunda dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Caleg. Atau isu terdesaknya orang-orang lokal oleh pendatang secara ekonomi. Dan lain-lain.

Cara pandang ini tentunya tidak salah sama sekali, dan wajar-wajar saja, karena memang ini yang paling mudah dilakukan. Tetapi menurut saya, ini menjadi kurang sehat apabila dilakukan dengan membabi buta. Selain terlalu cengeng, masalah etnisitas menjadi tidak lagi relevan seiring dengan kemajuan teknologi, yang menghancurkan sekat-sekat komunikasi. Karena setiap orang, kini, bebas dan memiliki kemungkinan yang sama untuk bisa berhubungan dan menikah dengan etnis lain. Juga setiap orang bisa pergi dan tinggal di suatu tempat, meskipun dia bukan penduduk asli. Jadi cara pandang dari sisi ini, menurut saya, tidak memiliki masa depan.

Kedua adalah dari sisi budaya, yang memandang Sunda sebagai entitas budaya yang unik. Yaitu unsur-unsur yang dihasilkan dari daya kreatif orang-orang sunda untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang (grow) selama bertahun-tahun, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sejarah yang menunjang kehidupannya . Tentu saja dengan ini kita tidak lagi hanya berurusan dengan ciri-ciri fisik seperti warna kulit dan ukuran hidung. Yang menjadi isu utama adalah unsur-unsur budaya sunda yang unik, yang justru menjadikan Sunda sebagai sebuah identitas tersendiri, berbeda dengan yang lain.

Ini yang lebih saya risaukan: hilangnya kekhasan budaya Sunda, yang juga berarti hilangnya identitas unik tadi. Tidak akan berarti terdapat 40 juta etnis sunda, apabila ia sudah tidak mempraktekkan budaya sunda. Dia tidak memiliki kharakter khas yang dapat menunjukan sebuah identitas.

Dan gejala ini sangat nyata terjadi, kini. Pada anak-anak muda kita yang tak lagi bisa berbahasa sunda. Pada orang-orang tua yang tak lagi mengajarkan sunda pada anak-anaknya. Pada para seniman sunda yang murung, karena karya-karyanya tak laku. Pada hancurnya sifat-sifat unik orang sunda ditelan modernisme. Dan pada seribu bukti yang lain.

Tapi bukankah budaya senantiasa berubah? Bukankah ketika budaya berubah, maka identitas yang dibawanya akan pula berubah? Jadi apa perlunya mempertahankan sesuatu yang sudah pasti berubah? Dalam Dangiang Edisi I (1999), Prof Saini KM membantu kita menjawabnya. Menurutnya, merujuk kepada pengertian budaya Koentjaraningrat, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi identitas sebuah kebudayaan: Kreativitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dengan tepat, ruang atau interaksi ragawi dan jiwani antara komunitas dan lingkungan pendukungnya, serta waktu atau sejarahnya.

Maka lanjut Saini, identitas kesundaan bisa hilang apabila pada orang sunda sekarang ketiga hal tadi hilang. Yaitu hilangnya kreativitas, atau hilangnya kemampuannya orang Sunda untuk mengatasi permasalahannya secara tepat, atau hilangnya interaksi ragawi dan jiwani antara orang Sunda dengan lingkungannya akibat bencana alam dan sejenisnya, atau manakala orang Sunda hilang kesadaran akan sejarahnya. Identitas budaya Sunda, simpulnya, ada pada benang merah kemiripan antara sosok budaya dari generasi paling tua Sunda dengan generasi paling mutakhir yang hidup dewasa ini. Jadi, meskipun budaya senantiasa berubah, identitas tersebut sangat mungkin untuk dapat dipertahankan, dengan batasan-batasan tertentu tentunya. Konsepsi ini mungkin agak sulit dipahami. Yang jelas, secara sederhana saya berpendapat bahwa rohnya budaya adalah bahasa. Selama bahasa Sunda masih dipergunakan, maka budaya sunda masih ada. Dan sebaliknya.

Menampilkan Sunda Terhormat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang ide Menampilkan Sunda Dengan Lebih Terhormat (PR, 10/01/2004). Di sana saya menyatakan bahwa inferioritas orang Sunda disebabkan persepsi yang rendah orang sunda sendiri budayanya. Maka orang sunda umumnya enggan menunjukkan kesundaannya dalam pergaulan, bahkan dengan sesama orang sunda sendiri. Jadi jangan heran, bila di Bandung, anda akan lebih sering dipanggil Mas atau Mbak dari pada dengan Akang atau Teteh, dan disapa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia dianggap lebih dapat menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi penggunanya.

Persepsi yang rendah tersebut disebabkan oleh penampilan Kesundaan yang memang tidak pernah disajikan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu-begitu saja, miskin inovasi. Sehingga kesan yang tercipta adalah kuno, murah, kampungan, tidak intelek, tidak bergengsi dan sejenisnya. Sehingga untuk meningkatkannya, tidak ada jalan lain, penampilannya pun harus diperhatikan.

Dengan melemparkan isu tersebut sebenarnya saya ingin membuka sebuah topik diskusi baru mengenai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Sunda. Bila sebelumnya diskusi selalu perpusar pada identitas unsur kebudayaan itu sendiri, seperti jenis, asal mula, "aturan main", serta hal lainnya, dan biasanya diakhiri oleh keprihatinan mengenai rendahnya apresiasi dari masyarakat sekarang, maka selanjutnya saya ingin kita juga lebih memperhatikan "kemasan" (packaging) dari unsur budaya tersebut, sehingga masyarakat akan menyukai mereka dengan sendirinya.

Jadi saya merindukan buku-buku, majalah Sunda, kesenian dan produk-produk Sunda lain, yang dikemas dengan penampilan menarik, modern, cerdas dan terhormat (saya sangat apresiatif pada beberapa pihak yang telah mengupayakannya). Saya menunggu berdirinya sebuah stasiun televisi Sunda dengan penampilan canggih dan professional seperti CNN. Saya bermimpi akan ada konser besar Nining Meida dengan setting yang megah dan eksklusif seperti konser Pavarotti. Atau ada film sunda sepopuler AADC (asal jangan seperti BCG saja).

Ini akan membuat seluruh orang Sunda bangga. Sunda akan kembali menjadi identitas dan sumber inspirasi orang-orang sunda (bahkan juga bagi yang bukan etnis sunda). Maka di masa datang, kita tak perlu merasa inferior lagi. Karena kita punya "kerajaan" sendiri: "Kerajaan Budaya" Sunda.

Kamis, September 02, 2004

Metamorfosa

-- Pada Ulang Tahun ke-27


"TIADA yang abadi, selain perubahan", kata guruku, dulu. "Maka jangan takut untuk berubah", tegasnya. "Karena perubahan diperlukan semua insan untuk bertahan hidup".

Tapi aku tak menyukai perubahan, protesku setiap waktu. Aku selalu merindukan originalitas. Aku merasa Tuhan menciptakanku dengan kharakter yang sudah ditentukan, tak sepantasnya diubah. Aku mau semuanya sama seperti sedia kala, dan tetap begitu selamanya.

Maka aku tak menyukai lingkunganku berubah. Aku tak menyukai keluarga dan teman-temanku berubah. Aku tak menyukai diriku berubah. Aku menginginkan mereka tetap seperti dulu, seperti pertama kali aku mengenalnya.

"Aku kagum pada prestasi-prestasimu", kata seorang teman sekali waktu. "Tetapi yang lebih aku salutkan adalah, bahwa kamu tak pernah berubah. Dan jangan pernah berubah", katanya dengan serius.

Tetapi seseorang yang lain malah mengasihaniku. "Berubahlah", katanya. "Tak sepantasnya kamu berlaku terus demikian. Hilangkan ego kekanakkanmu, dan hadapi dunia dengan realistis", pintanya . Kutahu dia bukan pertama dan satu-satunya yang mengatakan itu.

Aku jadi bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat. Yang kutahu kemudian adalah bahwa ternyata aku pun berubah. Gambar yang kubuat, membuktikan bahkan telah terjadi banyak perubahan pada diriku. Aku pun bermetamorfosa, meski tetap tak menghilangkan karakter khas yang ada.

Ya, barangkali ada juga yang harus kuubah, selain banyak yang harus kupertahankan.

: Selamat Ulang Tahun Untukku