Sabtu, November 23, 2013

“Singa” Gunung Babakan

MAKAM itu berada di tempat yang agak tinggi.  Kita harus mendaki jalan setapak untuk mencapainya.  Tapi tak lama, cukup beberapa menit saja sudah sampai. Letaknya di pinggir jalan Siliwangi Kota Banjar, Jawa Barat.  Di sebuah bukit bernama Gunung Babakan yang masuk kawasan hutan Perum Perhutani.  Cirinya sebuah batu besar yang menjorok ke jalan.  Pemerintah kota sengaja tidak membongkarnya ketika jalan tersebut diperlebar.  Mungkin menghormati tokoh yang disemayamkan di atasnya: Kangjeng Dalem Singaperbangsa.

Ada dua makam kuno berjejer, dikelilingi oleh pagar kawat yang rendah.  Makam yang satu nampak lebih besar. Mungkin itu makam Sang Dalem.  Sedang yang lebih kecil entah punya siapa. Bisa jadi istri beliau, sehingga ditempatkan berda mpingan.  Nisannya memang tidak bertulis.  Batu-batu penutupnya sudah berlumut tebal, menandakan makam tersebut  memang sudah sangat tua.  Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang yang tumbuh di sekitarnya menghadirkan kembali suasana masa lalu yang hening dan mistis. 


***

Singaperbangsa adalah seorang tokoh historis. Namanya tercatat dalam beberapa sumber sejarah formal.  Dus, dia bukan sekedar tokoh mitos atau legenda.  Tokoh ini sangat identik dengan kota Karawang, Jawa Barat.  Universitas dan stadion olahraga di kota penghasil beras itu menggunakan namanya.  Ya, karena Singaperbangsa dianggap sebagai pendiri Karawang.  Ia adalah bupati pertama kota itu pada abad XVII, ketika tatar Sunda berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dia dilantik menjadi bupati oleh Sultan Agung pada tahun 1633 dan wafat pada 1677. Makamnya terletak di Desa Manggung Jaya Kacamatan Cilamaya, sekitar 40 km dari pusat kota Karawang.

Lalu mengapa makam Singaperbangsa juga ada di kota Banjar? Bagaimana hubungannya?

Konon, semua berawal dari sebuah tempat bernama Kertabumi, sebuah kerajaan kecil yang berdiri di akhir Abad XVI berlokasi di tatar Galuh, Kabupaten Ciamis sekarang.   Singaperbangsa diduga memiliki kaitan yang erat dengan tempat ini.  Ini terlihat dari gelar yang ia pakai ketika dilantik menjadi Bupati Karawang oleh Sultan Agung, yaitu Adipati Kertabumi IV.

Pasca runtuhnya Kawali (sekarang sebuah kota kecamatan di Ciamis sebelah utara) sebagai ibukota Kerajaan Galuh oleh serangan Cirebon yang dibantu Demak pada 1570 M, beberapa menaknya mendirikan pusat kekuasaan baru yang masih mempertahankan corak Hindu, di Salawe, Cimaragas, sebuah kota kecamatan di Ciamis selatan.  Oleh karenanya nama kerajaannya sering juga disebut Galuh Salawe, dengan rajanya bernama Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta di Galuh.

Pada tahun 1595, pengaruh politik Kesultanan Mataram mulai sampai ke Priangan. Tapi Panembahan Senapati, yang waktu itu masih disibukkan dengan upaya penaklukan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa, belum terlalu menegaskan kekuasannya. Kerajaan-kerajaan di tatar Priangan, termasuk Galuh, masih diakui sebagai kerajaan yang mandiri, belum menjadi bagian langsung pemarentahan Mataram. Hal ini dicirikan dengan para penguasanya yang masih diijinkan menggunakan gelar Prabu atawa Maharaja.

Setelah Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Prabu Cipta Permana, yang selanjutnya memindahkan pusat kekuasaan ke Gara Tengah (sekarang Cineam, Tasikmalaya). Beda dengan ayahnya yang penganut agama leluhur, Cipta Permana sudah beragama Islam, karena dia menikah dengan Tanduran Tanjung, putri maharaja Kawali yang sudah Islam sebelumnya (Kawali saat itu berada di bawah kekuasaan Cirebon). 

Nah, selain Gara Tengah, di wilayah tatar Galuh terdapat juga beberapa pusat kekuasaan daerah (karajaan kecil), diantaranya Kawasen (Banjarsari sekarang) dengan rajanya bernama Sanghyang Permana, putra bungsu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta, dan Kertabumi, dengan rajanya bernama Rangga Permana (putra Prabu Gesan Ulun dari Kerajaan Sumedanglarang, menantu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta) yang bergelar Prabu di Muntur atau Adipati Kertabumi I. Petilasan Kerajaan Kertabumi ini bisa ditemukan di Dusun Bundar Desa Kertabumi kacamatan Cijeungjing, Ciamis.

Ketika Sultan Agung (1613-1645) naik tahta, Kesultanan Mataram mulai mereorganisasi wilayah-wilayah kakuasaannya di Priangan. Kerajaan-kerajaan yang menjadi vassalnya diturunkan derajatnya menjadi hanya setingkat kabupatian. Gelar para penguasanya pun tidak lagi Prabu atau Maharaja, tetapi cukup Tumenggung atau Adipati.

Saat itu yang menjadi penguasa di Galuh adalah Adipati Panaekan (1618-1625), putra Prabu Cipta Permana. Beliau diangkat menjadi Wedana Bupati Mataram di tatar Priangan. Sedangkan yang menjadi bupati di Kertabumi adalah Singaperbangsa (dalam beberapa sumber dikatakan bernama Wiraperbangsa), cucu Prabu di Muntur, dengan gelar Dipati Kertabumi III. Pusat kekuasaannya sudah pindah ke Bojonglopang, Banjar Kolot sekarang.  Oleh karena itu, Kertabumi disebut juga Kabupaten Bojonglopang.

Bila melihat kekerabatan, hubungan Panaekan dengan Singaperbangsa adalah paman-keponakan. Sebab, Singaperbangsa adalah cucu dari Tanduran Ageung, kakak Prabu Cipta Permana, ayah Panaekan. Meski begitu, nampaknya hubungan di antara mereka tidak begitu bagus.  Dalam hal politik, Singaperbangsa lebih berkiblat ke Sumedanglarang, negeri asal sang kakek.

Pada tahun 1625, Sultan Agung mulai bersiap untuk menyerang VOC di Batavia, yang tentunya melibatkan pasukan dari tatar Sunda. Hal ini ternyata menjadi sumber perselisihan antara Panaekan dan Singaperbangsa. Panaekan, menurut beberapa sumber, se-ide dengan Dipati Ukur, yang ingin secepatnya menyerang sebelum VOC semakin kuat. Sedangkan Singaperbangsa menolak.  Ia ingin agar pasukan tatar Sunda memperkuat  logistik terlebih dahulu, sesuai pendapat Rangga Gempol I (Bupati Sumedang, yang juga pamannya).

Entah bagaimana konstelasi politik yang berkembang waktu itu. Yang jelas, perselisihan itu meruncing, sampai akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Panaekan oleh Singaperbangsa. Jenazah sang paman dibuang ke sungai Cimuntur dan ditemukan di Situs Karang Kamuliyan yang oleh para pengikutnya kemudian dimakamkan di sana. Panaekan digantikan oleh putranya yang bernama Dipati Imbanagara (1625-1636).

Serangan pasukan Mataram (yang didalamnya juga termasuk pasukan dari tatar Sunda) ke Batavia jadi dilaksanakan pada taun 1628 dan 1629, yang dua-duanya menemui kegagalan.
***
Nama Singaperbangsa kembali disebut pada tahun 1632. Waktu itu Sultan Agung menugaskan beliau dan 1.000 orang cacah untuk mengamankan daerah Karawang dari gangguan tentara Banten, sekaligus menyiapkan logistik untuk serangan selanjutnya ke Batavia (yang tidak pernah terlaksana sampai wafatnya Sultan Agung). Tugas tersebut ternyata bisa dilaksanakan dengan baik. Pada tahun 1633 Singaperbangsa dipanggil ke Mataram untuk mendapatkan penghargaan berupa keris bernama "karosinjang."

Nah, dalam perjalanan pulang dari Mataram tersebut, Singaperbangsa mampir ke Galuh. Mungkin ia rindu pada tanah kelahiran dan saudara-saudaranya di Kertabumi.  Kehendak Yang Kuasa, Singaperbangsa tidak pernah kembali lagi ke Karawang. Ia jatuh sakit dan tak lama kemudian wafat. Jenazahnya dimakamkan di “Galuh”.  Kekuasaan di Karawang diteruskan oleh putranya yang juga bernama Singaperbangsa, dengan gelar Adipati Kertabumi IV. Dialah yang kemudian dianggap sebagai Bupati Karawang pertama dalam sejarah resmi.

Jadi, apabila melihat uraian cerita di atas, kuat dugaan tokoh yang bersemayam di Gunung Babakan adalah Kangjeng Adipati Singaperbangsa yang wafat di Galuh (Wiraperbangsa) atau Adipati Kertabumi III.  Beliau  adalah ayah dari Singaperbangsa yang menjadi Bupati Karawang pertama (Adipati Kertabumi IV). 

Wallohuallam.

Selasa, Oktober 01, 2013

WIdya Handicraft: Merajut Untung dari Bambu

Menjadi seorang enterpreneur memang mengasyikan.  Memiliki fleksibilitas waktu dan kesempatan berkembang yang lebih luas membuatnya bisa mencurahkan segenap daya dan potensi kreatifitas yang ia miliki.  

ITULAH mungkin yang juga dirasakan oleh Widodo (54 tahun), warga Desa Gintangan Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.  Ia awalnya meniti karir sebagai seorang guru PNS. Di sela-sela kegiatannya mengajar, Widodo tertarik untuk berwirausaha.

Ia melihat besarnya potensi kerajinan anyaman bambu di desanya yang memiliki ciri khas dan tidak dimiliki daerah lain. Ia pun kemudian merintis usaha anyaman bambu pada tahun 1991 dengan mendirikan UD Widya Karya.  

“Pada saat itu, saya dibantu oleh 5 orang tenaga kerja tetap dan 10 orang tenaga tidak tetap,” kisahnya.

Usahanya tak berjalan mulus.  Sebagai pemain baru, berbagai kesulitan Widodo hadapi, terutama pemodalan dan pasar.  Ia pun kemudian mencoba mengakses permodalan melalui program PKBL (dulu namanya masih PUKK) Perum Perhutani.  Pada tahun 1993, ia resmi menjadi mitra binaan Perhutani KPH Banyuwangi Selatan.

Sebagai mitra binaan, Widodo berhak mendapatkan modal pinjaman dengan bunga yang sangat ringan. Selain itu, ia kerap diajak untuk melakukan pameran di berbagai kota, baik tingkat kabupaten, propinsi bahkan nasional, sehingga berkesempatan untuk memperkenalkan produk-produknya ke pasar. Dua hal yang sangat ia butuhkan. Usahanya pun berkembang.  

Dari berbagai pameran yang diikuti, Widodo mendapat banyak pelanggan.  Tidak hanya dari lokal Banyuwangi, tetapi juga dari kota-kota lain Jember, Surabaya, Malang, Jogja dan Bali. Produk-produk buatannya bahkan sudah diekspor ke Malaysia, Eropa dan Amerika.

“Dulu omset usaha anyaman bambu saya hanya 10 juta per bulan, kini sudah mencapai 60 juta,” katanya.  Saat ini Widodo mempekerjakan 12 orang karyawan tetap dan lebih 50 orang yang tidak tetap.

Dengan terus berkembangnya usaha anyaman bambu yang ia bangun, Widodo pun kemudian memutuskan untuk mengajukan pensiun dini dari PNS dua tahun yang lalu.

“Agar saya lebih berkonsentrasi mengembangkan usaha ini. Cita-cita saya ingin terus membuat produk-produk anyaman bambu terbaik bagi semua orang agar nama Desa Gintangan dapat dikenal oleh masyarakat,” ujarnya

Untuk itu ia selalu berinovasi menciptakan kreasi desain produk baru yang bermanfaat bagi konsumen. Ia juga selalu menjaga mutu dan kwalitas produk sebagai tanggung jawab pelayanan terbaik.

Produknya yang ia branding dengan nama Widya Handicraft, adalah berbagai jenis kerajinan yang menggunakan bahan dasar utama bambu. Antara lain tudung saji, tempat koran, keranjang buah, tempat kue, tempat tisu, kap lampu, dan berbagai macam bentuk lain yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat.  Untuk menjaga kwalitas, proses produksinya sebagian besar dikerjakan secara manual (handmade) dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti, pisau potong, pisau irat, gergaji, dll.

“Hal inilah yang menjadikan produk anyaman bambu yang kami buat menarik bagi banyak konsumen baik lokal atau luar daerah maupun wisatawan mancanegara,” ujarnya berpromosi.

Dalam hal bahan baku, Widodo mengaku tidak mendapatkan kesulitan.  Pasokan bambu dengan mudah ia dapatkan dari sekitar.  Melimpahnya bahan baku menjadikannya selalu siap mencukupi permintaan pasar yang datang mendadak.

Untuk memasarkan produk, Widodo membuka showroom yang berada satu lokasi dengan tempat kegiatan produksi, sehingga pengunjung dapat melihat langsung proses produksi pembentukan kerajinan anyaman bambu. Selain itu ia bekerjasama dengan mitra-mitra bisnis yang berada di berbagai daerah untuk menjangkau konsumennya.   Untuk lebih memperluas pasar ia juga memanfaatkan media online seperti media sosial, toko online, forum, dll.

Ke depan Widodo berencana untuk membangun satu lagi showroom produk-produknya di pusat kota Banyuwangi.  Untuk itu ia berharap Perum Perhutani dapat terus memberikan dukungannya dengan memberikan bantuan permodalan.

“Kami sangat berterima kasih kepada Perum Perhutani, karena program PKBL-nya sangat kami rasakan manfaatnya sehingga bisa berkembang seperti ini,” ujarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini

Rabu, September 25, 2013

Lumbung Desa, Kearifan Lokal Masyarakat Dagangan Yang Masih Terjaga

SIANG itu belasan orang berkerumun di sebuah bangunan sederhana, di pinggir jalan aspal yang membelah Dusun Panggung Desa Dagangan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.  Masing-masing dari mereka membawa karung atau wadah lain yang entah berisi apa.

“Mereka sedang setor gabah ke lumbung desa,” jelas Jumali (63), ketua Lembaga Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan (LMPSDH) Wonosalam Desa Dagangan, ketika kami temui di Balai Pertemuan LMPSDH, beberapa waktu lalu.  “Ini kearifan lokal masyarakat yang sudah jarang ditemui tapi masih terpelihara di desa ini,” tambahnya.  Dikatakan Jumali, dari 17 Desa yang ada Kecamatan Dagangan, mungkin hanya Desa Dagangan ini yang masih memiliki Lumbung Desa.   “Saya tidak tahu berapa jumlah yang masih ada di seluruh Kabupaten Madiun, yang jelas sudah sangat jarang,” katanya.


Ini menarik.  Di tengah isu kekhawatiran terancamnya ketahanan pangan dunia yang memaksa pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya, desa ini masih memelihara kearifan lokal kemandirian pangan yang sudah banyak ditinggalkan.

Bagaimana sistemnya? Sederhana saja.  Ketika panen tiba, masyarakat menyetor padi untuk ditabung.  Sementara saat musim tanam, mereka bisa meminjam untuk modal.  Dibayarnya, saat musim panen selanjutnya.  Anggota dikenakan tambahan 20% dari berat gabah yang dipinjam.  “Jika dia meminjam 1 kwintal, maka dia harus membayar 1 kwintal 20 kilo,” jelas Jumali.

Dengan sistem ini maka masyarakat tidak kesulitan untuk memperoleh modal ketika musim tanam tiba, sehingga kelangsungan produksi pangan terus terjaga.  Pun mereka memiliki cadangan pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu apabila panen tidak berhasil atau di masa paceklik.  Dalam tahapan selanjutnya, lembaga ini yang juga berfungsi sebagai alat stabilisasi harga bahan pokok, menjaga permintaan dan persediaan (supply and demand) bahan pangan, fungsi yang kini diperankan oleh BULOG.

Sesungguhnya, lumbung desa merupakan perwujudan karakter gotong-royong dan kesetiakawanan yang telah berakar lama pada masyarakat pedesaan.  Di masa kesultanan Mataram, telah dikenal sistem lumbung sebagai pencegah terjadinya kerawanan pangan di wilayah kerajaan, sekaligus penopang untuk logistik perang.

Hal tersebut pulalah yang mungkin menginspirasi Messman untuk melembagakan secara resmi lumbung desa pada tahun 1902. Messman, orang Belanda yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, Jawa Barat dihinggapi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Maka dia pun menganjurkan dibuatnya sebuah lumbung komunal sebagai tabungan pangan masyarakat desa.  Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Ide Messman kemudian direspon positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif pun kemudian dibentuk, yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda.  Banyak yang menyebut ini adalah cikal bakal pendekatan monetaris yang menyentuh lumbung tradisional rakyat, dan cikal bakal ide tentang KUD.

Setelah merdeka, lumbung desa tetap memperoleh ruang untuk terus berjalan. Bahkan, keberadaannya semakin berkembang dengan dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969.  Setelah itu, lumbung desa banyak bermunculan di berbagai pelosok, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat desa sendiri maupun bantuan pemerintah. Fenomena ini masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes), pada tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa, yang umumnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura. Namun pada akhir 90-an, saat peran BULOG semakin besar, lumbung desa semakin ditinggalkan.

Kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Akses perekonomian di pedesaan sudah semakin maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dengan ragam yang bermacam-macam.  Sistem tabungan berbasis natura seperti lumbung, dipandang tidak praktis lagi dan karenanya semakin ditinggalkan. Kebijakan pemerintah mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai lumbung nasional, semakin menyurutkan peran lumbung desa sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.

Kini, di saat kekhawatiran terhadap ketahanan pangan dunia kembali merebak, banyak pihak yang kembali menganjurkan agar lembaga lumbung desa kembali diaktifkan.  Salah satunya, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri.  Maka, pada tataran ini, masyarakat Dusun Panggung Desa Dagangan bisa berbangga hati dengan masih memelihara kearifan lokal yang ternyata memiliki nilai filosofis yang luhur. Yang mungkin bisa kembali menjadi rujukan konsep pengelolaan kemandiran pangan bagi desa-desa lain di sekitarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini

Jumat, Desember 09, 2011

Kiprah Indah LMDH Wana Mekar

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Sukamekar di Kampung Ciharum Desa Sukamekar Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur didirikan oleh para petani hutan tahun 2005. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan anggota dengan mengoptimalkan potensi hutan yang berada di pangkuan desa Sukamekar. Kini jumlah anggotanya mencapai 300 orang dengan 10 orang pengurus.

“Mereka terdiri dari penyadap getah pinus, petani tumpangsari dan para pekerja di tebangan,” kata A Juhana, sang ketua, saat ditemui beberapa waktu lalu. LMDH tersebut mengelola hutan pangkuan desa Sukamekar yang masuk wilayah pengelolaan RPH Campaka BKPH Sukanagara Utara Perum perhutani KPH Cianjur. Luasnya 1.071,08 Ha, terdiri dari tegakan Pinus, rasamala, pulai, acacia mangium, mindi dll.

“Kami bersama-sama Perhutani mengelola hutan,” ujar Juhana. Sejak tahun 2007, LMDH telibat dalam kegiatan pembuatan tanaman dengan hasil yang sangat baik. Sebanyak 47 anggota aktif menjadi penyadap getah pinus. Anggota juga menjadi tenaga kerja pada saat dilakukan kegiatan tebangan. Limbah tebangan/kayu bakarnya dapat mereka manfaatkan dengan gratis.

Para petani hutan memanfaatkan lahan dengan tumpang sari padi gogo, kacang-kacangan, jagung dan cabe. Hasilnya dirasakan sangat membantu perekonomian mereka.

“Kami pun turut mengamankan hutan,” lanjut Juhana. Angka gangguan hutan terbukti terus menurun. Tahun 2007, di wilayah tersebut tercatat terdapat 2 LA (laporan kepolisian atas kehilangan pohon). Tahun 2008 angka tersebut menurun menjadi hanya 1 LA. Dan sejak 2009 tidak ada lagi LA. “Kami terus melakukan penyadaran kepada para penggarap untuk membantu pengamanan,” lanjutnya.

Keberadaan mereka ternyata menarik perhatian pemerintah daerah setempat. Melihat potensi yang baik dari kelompok tersebut, Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur pun memberikan bantuan ternak sapi. “Pada 2007 – 2008 kami mendapat sebanyak 50 ekor sapi. Bila diuangkan nilainya kurang lebih Rp.500 juta,” kata Juhana.

Kini sapinya berkembang menjadi 80 ekor dan melibatkan sebanyak 28 orang peternak yang tersebar di beberapa kandang. “Kebutuhan pakan dicukupi dengan rumput gajah yang ditanam di sekitar kandang dan yang ditanam di bawah tegakan dalam kawasan hutan.”

Mereka juga mengembangkan kopi arabika di bawan tegakan. Penanaman kopi kopi sudah dimulai sejak Tahun 2008 seluas 16,30 Ha. Pada tahun 2009, Perhutani KPH Ciajur memberikan bantuan pinjaman PKBL sebesar 15 juta rupiah. Pinjaman tersebut sebagian digunakan untuk persemaian kopi. Tahun 2011 direncanakan untuk memperluas penanaman kopi yang sampai 70 Ha yang bibitnya didapat dari hasil persemaian tersebut.

Tahun 2010, mereka kembali mendapat bantuan dari Dinas Peternakan berupa pembangunan satu Unit rumah kompos dengan mesin pembuat kompos. Juga bantuan dari Gubernur melalui Dinas Pertanian berupa pupuk sebanyak 3 ton.

Keberadaan LMDH, tidak hanya dirasakan oleh para anggota, tetapi juga oleh warga masyarakat lain. Seiring dengan kondisi permodalan LMDH yang membaik, mereka pun menyelenggarakan program-program sosial.

Sekretariat yang mereka bangun, mereka fungsikan sebagai tempat belajar 24 anak PAUD dan Posyandu. LMDH juga membantu membangun Madrasah di kampung, membantu pembuatan balai tempat belajar di luar ruangan Sekolah Dasar, membangun MCK, membantu perbaikan jembatan desa, serta menyantuni anak yatim.

“Kami pun memberikan bantuan biaya pengobatan bagi anggota yang sakit,” kata Juhana.

Kini, Pengurus LMDH punya obsesi lain. Yaitu giat menanamkan kembali nilai-nilai gotong royong di tengah masyarakat yang hampir pudar.

“Kami sering menggerakkan anggota LMDH untuk bersama-sama membantu memperbaiki rumah warga yang rusak,” ujar Juhana.

Sebuah kiprah rakyat kecil yang indah.

Catatan: tulisan ini dimuat di Duta Rimba

Rabu, Agustus 29, 2007

Dan Ecca pun Pulang

Meski awalnya tak suka, ternyata setelah diperhatikan, program reality show Mamamia di Indosiar seru juga. Kontes menyanyi remaja yang dimanajeri masing-masing ibu tersebut ini tidak hanya menyuguhkan kompetisi dalam hal teknis olah vokal, tetapi juga menyangkut banyak hal, mulai setting panggung, tata busana, gaya koreografi dan terutama –yang paling menarik, adalah keterlibatan emosial di antara para anak-anak dan ibunya. Banyak kejadian-kejadian dramatis yang terjadi, dari pingsannya seorang ibu karena anaknya masuk “zona kritis,” anak-anak yang ngambek (atau sebaliknya) karena ketidaksetujuan konsep, penampilan Fiersha yang membuat Dhani “nderes mili,” komentar-komentar “Dewan Eksekutor” yang pedas plus protes ibu-ibu terhadapnya, sampai pada kejutan-kejutan yang memang dirancang sendiri oleh pembuat acara.

Dan di minggu ini –yang main malam tadi– tersisa lima peserta: Margareth, Mytha, Ajeng, Ecca dan Fiersha. Kelima remaja ini memang bisa dikatakan yang terbaik, karena mereka memiliki keunggulan masing-masing, baik dari segi teknis olah vokal maupun yang menyangkut sisi emosionalitasnya. Margareth dan Mytha misalnya. Keduanya memiliki teknis olah vokal yang sangat prima. Margareth bisa dikatakan terbaik dalam hal ini. Dia bisa membawakan setiap lagu tidak saja dengan sempurna tetapi juga berkharakter. Penampilan sang ibu, Sayidah, juga tak kalah menarik. Tingkahnya yang lugu dan kocak memberi nilai tambah yang signifikan untuk menarik para juri “votelock” memilihnya. Sementara Mytha sangat matang dalam musik jazz. Dalam sebuah komentarnya, Helmi Yahya mengatakan bahwa Andien baru telah lahir. Penampilan Mytha, kharakter vokal maupun wajahnya, memang mengingatkan kita pada penyanyi jazz muda itu. Meski sempat tersandung karena salah memilih lagu pada minggu sebelumnya, posisi Mytha nampaknya akan masih sangat aman, khususnya dari eksekusi para eksekutor. Penampilan sang ibu yang kalem juga memiliki kelebihan tersendiri. Saya bahkan memprediksikan, dari keseluruhan peserta, mungkin hanya kedua anak ini yang akan memiliki karir yang panjang dalam musik Indonesia.

Tiga lainnya juga memiliki daya tarik yang tak kalah, terutama secara emosionalitas. Ada Fiersha yang kerap membuat kita terharu. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki ia bisa tampil dengan tegar dan penuh semangat yang membuat kita sangat terenyuh. Penampilan terbaiknya adalah ketika di hari ulang tahunnya dia menyanyikan lagu Air Mata Ibu dengan sempurna yang membuat para pendengarnya merinding dan berkaca-kaca. Didampingi sang ibu yang nampak sekali sebagai seorang “pejuang,” Fiersha mungkin adalah yang paling peserta yang paling diingat oleh para penonton rumahan. Helmi sendiri berkali-kali mengatakan bila saja kompetisi ini ditentukan dengan format sms besar kemungkinan Fiersha yang akan menang. Sementara Ajeng tak kalah faktor emosionalitas-nya. Latar belakang yang sulit sebagai seorang pengamen jalanan memberi dia tempat tersendiri di hati para penonton. Terlebih karena dengan latar belakang seperti itu dia tampil penuh percaya diri dan ceria. Ajeng seakan-akan mewakili komunitas “orang –orang pinggiran” yang dengan gagah berani menantang gemerlap dunia showbiz yang konon tak berbelas kasihan.

Terakhir adalah Ecca. Dia adalah favorit saya. Penampilannya yang imut dan lucu sungguh menggemaskan. Helmi bilang, bahkan bila Ecca tak nyanyi pun orang sudah akan memilih dirinya karena ia memang memiliki daya tarik yang kuat karena ke-imutan-nya. Penampilan terbaiknya menurut saya adalah ketika ia menyanyikan lagu Apa Kata Bintang membuat besoknya saya langsung mencari kaset Gita Gutawa. Sophia Latjuba mengatakan salah satu keunggulan Ecca adalah karena dia tampil sesuai umurnya. Sayangnya, dengan kharakter seperti itu, seperti yang pernah dikeluhkan ibunya, Ecca tak punya banyak lagu yang selalu cocok dinyanyikan, sehingga di beberapa minggu terakhir terpaksa menjadi dewasa juga dengan menyanyikan lagu cinta. Apalagi kompetisi memang berjalan cukup panjang.

Dan salah satu konsekwensi dari panjangnya kompetisi juga adalah kebosanan. Pada peserta yang lebih menampilkan sisi emosionalitas sebagai keunggulannya sudah mulai mendapatkan dampaknya. Malam tadi, dari kelimanya, hanya Margareth dan Mytha –yang memiliki keunggulan dalam bidang teknis, yang dalam posisi aman. Tiga yang lain, bahkan Fiersha yang biasanya selalu aman, masuk zona kritis. Dan akhirnya Ecca pun harus tersisih. Sedih memang. Namun, apapun, ini adalah konsekwensi dari sebuah kompetisi.

Well, C U Ecca!