Kamis, Juli 09, 2015

Kujang, Senjata Tradisional Sunda

Kujang, Senjata Tradisional Sunda
Kujang, Senjata Tradisional Sunda
Kujang adalah senjata tradisional masyarakat Sunda yang dianggap memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Konon, kujang berasal dari kata Kudi-hyang. Kudi dan Hyang.

Kudi dalam bahasa Sunda Kuno berarti senjata sakti dan mempunyai kekuatan gaib.  Senjata ini disimpan sebagai pusaka.  Berfungsi sebagai jimat dan penolak bala. Misalnya untuk menghalau musuh atau melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur.

Hyang adalah kekuatan supra natural yang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam mitologi. Namun bagi masyarakat Sunda, Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa. Dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang disebut pada naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, Kujang dapat diartikan sebagai pusaka  dan senjata yang mempunyai kekuatan gaib yang berasal daripara dewa (=Hyang).

Sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

Di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Bentuk dan Fungsi Kujang

Kujang cenderung tipis. Bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Bentuknya unik. Memiliki sisi tajaman dan nama bagian, yaitu: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak).

Disebutkan dalam Pantun Bogor, kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat yaitu:
1. Kujang Pusaka yang merupakan lambang keagungan dan pelindungan keselamatan,
2. Kujang Pakarang yang digunakan untuk berperang,
3. Kujang Pangarak digunakan sebagai alat upacara, dan
4. Kujang Pamangkas yang digunakan sebagai alat berladang.

Sedangkan berdasarkan bentuk bilah, antara lain:
1. Kujang Jago, yaitu menyerupai bentuk ayam jantan,
2. Kujang Ciung, yaitu yang menyerupai burung ciung,
3. Kujang Kuntul, yaitu menyerupai burung kuntul/bango,
4. Kujang Badak,  yaitu menyerupai badak,
5. Kujang Naga, yaitu menyerupai binatang mitologi naga
6. Kujang Bangkong, yaitu menyerupai kodok.

Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Ini disebut dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda NgKaresian yang ditulis pada 1518 M. 

Beberapa tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah di antaranya di daerah Rancah, Ciamis juga memperkuat hal tersebut.  Kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna.

Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.  Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tenang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.

Sabtu, Juni 06, 2015

Apa Hubungan Kerajaan Panjalu Jawa Timur dengan Panjalu Ciamis?

Patung Ken Arok
Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa

Raja pertama dari Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi.

Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah.

Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga.

Kerajaan Panjalu (Kediri) di Jawa Timur

Airlangga

Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).

Berdasarkan Babad Arya Gajah Bali A Sri Airlangga memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri.

Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).

Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.

Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.

Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036. Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman. Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan. Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041. Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.

Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.

Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.

Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.

Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Maharaja Jayabhaya

Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.

Sri Maharaja Kertajaya/Prabu Dandhang Gendis

Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.

Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.

Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)

Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.

Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

Penulis: Yudhi S Suradimadja, Sumber: Salaka Nagara

Rabu, Februari 18, 2015

Pelajaran dari Cicak Buaya Jilid III

Kalo melihat ILC tadi malam, maka kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, bahwa KPK pimpinan AS seringkali tidak menggunakan proses yang benar dalam menentukan tersangka. Ini didasarkan pada pengakuan eks penyidiknya yang mengatakan bahwa pada kasus MSG, pada saat ditersangkakan sebenarnya belum memiliki alat bukti yang cukup. Map yang diacung-acungkan AS pada saat konferensi pers dan diakui sebagai sprindik sebenarnya map kosong. AS dengan karakternya yang menggebugebu seringkali mengintervensi penyidik untuk memuaskan keinginan publik.

Inilah yang menjadi jawaban mengapa banyak yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK tidak segera diajukan ke pengadilan, bahkan sampai berbulan-bulan semisal HP, SDA, SFS. TR, ketua KPK jilid I juga mengkritik pola kerja ini.  "Pada jaman saya, bahkan tidak cukup 2 alat bukti, tapi harus 4," katanya.

Tindakan AS ini kena batunya pada saat yang ditersangkakan adalah calon bos Polri, dimana di sana banyak eks penyidik yang mengetahui dapur KPK yang dia pimpin. Maka di praperadilan dia kalah. Dan ini malah menjadi blunder, karena setelahnya KPK diserang abis-abisan tanpa ampun. AS sendiri diserang mantan teman baiknya yang sakit hati dan nampaknya dia sulit untuk berkelit.

Pertanyaannya, toh MSG akhirnya dinyatakan bersalah? Di sinilah bahayanya. Di peradilan kita KPK memiliki nama yang sakral. Siapapun yang diproses oleh KPK tidak pernah lepas. Dan hakim kadang terpengaruh oleh kesakralan ini. Hakim takut untuk bertindak tidak populer karena akan dihujat publik sebagai pro koruptor.

Kedua, keputusan Hakim Sarpin menjadi yurisprudensi yang baik untuk penegakan HAM. Dimana, warga negara kini bisa melawan kesewenang-wenangan penegak hukum. Bayangkan bila tiba-tiba anda berurusan dengan hukum, dijadikan tersangka tanpa mengerti masalahnya. Apa yang akan anda lakukan di tengah kekalutan itu? pasrah ditangkap, ditahan, disita, dihancurkan nama baik dan dibawa ke pengadilan?

Hakim Sarpin memberikan jawabannya: ajukan pra peradilan. Kita sebagai warga negara kini bisa mengguggat perlakuan tidak adil yang diakibatkan kesewenang-wenangan penegak hukum.

Kasus cicak buaya jilid 3 ini memang melelahkan, tetapi bukan tanpa pelajaran yang bisa diambil.

Selasa, Januari 20, 2015

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang dari Raja Purnawarman.  Pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille, Prasasti Tugu batu dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124.

Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Transkrip Prasasti Tugu:

Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino.

Terjemahannya:

Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang di pepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi.

Nama Candrabhaga diidentikkan dengan kata “Sasibhaga,” yang diterjemahkan secara terbalik menjadi “Bhagasasi”, dan lama kelamaan mengalami perubahan penulisan dan sebutan. Beberapa arsip abad ke-19 sampai awal abad ke-20, menerangkan kata Bekasi dengan “Backassie”, “Backasie”, “Bakassie”, “Bekassie”, “Bekassi”, dan terakhir “Bekasi”.

Senin, Agustus 18, 2014

Sejarah Perum Perhutani

Hutan Jati Perum Perhutani
Hutan Jati Perum Perhutani
PERUM Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang Kehutanan. Wilayah kerjanya meliputi kawasan hutan Negara, baik hutan produksi maupun hutan lindung, di Pulau Jawa dan Madura.

Perum Perhutani mengemban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek produksi/ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Dalam operasinya, Perum Perhutani berada dalam pengawasan Kementerian BUMN dan bimbingan teknis dari Kementerian Kehutanan.

Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura, secara modern-institusional dimulai pada tahun 1897 dengan dikeluarkannya “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”).

Selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” (disingkat “Dienst Reglement”) yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana dibentuk Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164.

Sejak saat itu, hutan-hutan kayu jati di Jawa mulai diurus dengan baik, dengan dimulainya afbakening (pemancangan), pengukuran, pemetaan dan penataan hutan. Aturan pengelolaan hutan di jaman kolonial kemudian mengalami beberapa kali perubahan.

Pada tahun 1930, pengelolaan hutan Jati diserahkan kepada badan “Djatibedrijf” atau perusahaan hutan Jati dari Pemerintah Kolonial (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan Jati dari “Djatibedrijf” dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan.

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini.”

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 1961, berdiri Badan Pimpinan Umum (BPU) Perusahaan Kehutanan Negara, disingkat ”BPU Perhutani”. Pada tahun 1972, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani.

Melalui serangkaian PP, kemudian PN Perhutani Djawa Timur (Unit II) dan PN Perhutani Djawa Tengah (Unit I), dilebur kedalam Perum Perhutani, dilanjutkan dengan penambahan Unit III Perum Perhutani untuk daerah Jawa Barat.

Dasar Hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001.

Pada tahun 2001, bentuk pengusahaan Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan pada PP Nomor 14 Tahun 2001 tersebut adalah sebuah BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimiliki PT Perhutani, bentuk pengusahaan PT Perhutani tersebut kembali menjadi BUMN dengan bentuk Perum berdasarkan PP Nomor 30 tahun 2003.

Selanjutnya untuk mendukung pembangunanan nasional, Pemerintah menambah tugas dan kegiatan Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan untuk mendukung pengembangan usaha dan kegiatan usaha sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 72 Tahun 2010.

Berdasarkan PP No. 73 tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Perum Perhutani, Perum Perhutani ditetapkan sebagai Induk Holding BUMN Kehutanan membawahi PT. Inhutani I, PT. Inhutani II, PT. Inhutani III, PT. Inhutani IV dan PT. Inhutani V.