Kujang, Senjata Tradisional Sunda |
Kudi dalam bahasa Sunda Kuno berarti senjata sakti dan mempunyai kekuatan gaib. Senjata ini disimpan sebagai pusaka. Berfungsi sebagai jimat dan penolak bala. Misalnya untuk menghalau musuh atau melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur.
Hyang adalah kekuatan supra natural yang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam mitologi. Namun bagi masyarakat Sunda, Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa. Dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang disebut pada naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang dapat diartikan sebagai pusaka dan senjata yang mempunyai kekuatan gaib yang berasal daripara dewa (=Hyang).
Sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
Di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Bentuk dan Fungsi Kujang
Kujang cenderung tipis. Bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Bentuknya unik. Memiliki sisi tajaman dan nama bagian, yaitu: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak).
Disebutkan dalam Pantun Bogor, kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat yaitu:
1. Kujang Pusaka yang merupakan lambang keagungan dan pelindungan keselamatan,
2. Kujang Pakarang yang digunakan untuk berperang,
3. Kujang Pangarak digunakan sebagai alat upacara, dan
4. Kujang Pamangkas yang digunakan sebagai alat berladang.
Sedangkan berdasarkan bentuk bilah, antara lain:
1. Kujang Jago, yaitu menyerupai bentuk ayam jantan,
2. Kujang Ciung, yaitu yang menyerupai burung ciung,
3. Kujang Kuntul, yaitu menyerupai burung kuntul/bango,
4. Kujang Badak, yaitu menyerupai badak,
5. Kujang Naga, yaitu menyerupai binatang mitologi naga
6. Kujang Bangkong, yaitu menyerupai kodok.
Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Ini disebut dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda NgKaresian yang ditulis pada 1518 M.
Beberapa tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah di antaranya di daerah Rancah, Ciamis juga memperkuat hal tersebut. Kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna.
Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tenang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.