Kalo melihat ILC tadi malam, maka kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, bahwa KPK pimpinan AS seringkali tidak menggunakan proses yang benar dalam menentukan tersangka. Ini didasarkan pada pengakuan eks penyidiknya yang mengatakan bahwa pada kasus MSG, pada saat ditersangkakan sebenarnya belum memiliki alat bukti yang cukup. Map yang diacung-acungkan AS pada saat konferensi pers dan diakui sebagai sprindik sebenarnya map kosong. AS dengan karakternya yang menggebugebu seringkali mengintervensi penyidik untuk memuaskan keinginan publik.
Inilah yang menjadi jawaban mengapa banyak yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK tidak segera diajukan ke pengadilan, bahkan sampai berbulan-bulan semisal HP, SDA, SFS. TR, ketua KPK jilid I juga mengkritik pola kerja ini. "Pada jaman saya, bahkan tidak cukup 2 alat bukti, tapi harus 4," katanya.
Tindakan AS ini kena batunya pada saat yang ditersangkakan adalah calon bos Polri, dimana di sana banyak eks penyidik yang mengetahui dapur KPK yang dia pimpin. Maka di praperadilan dia kalah. Dan ini malah menjadi blunder, karena setelahnya KPK diserang abis-abisan tanpa ampun. AS sendiri diserang mantan teman baiknya yang sakit hati dan nampaknya dia sulit untuk berkelit.
Pertanyaannya, toh MSG akhirnya dinyatakan bersalah? Di sinilah bahayanya. Di peradilan kita KPK memiliki nama yang sakral. Siapapun yang diproses oleh KPK tidak pernah lepas. Dan hakim kadang terpengaruh oleh kesakralan ini. Hakim takut untuk bertindak tidak populer karena akan dihujat publik sebagai pro koruptor.
Kedua, keputusan Hakim Sarpin menjadi yurisprudensi yang baik untuk penegakan HAM. Dimana, warga negara kini bisa melawan kesewenang-wenangan penegak hukum. Bayangkan bila tiba-tiba anda berurusan dengan hukum, dijadikan tersangka tanpa mengerti masalahnya. Apa yang akan anda lakukan di tengah kekalutan itu? pasrah ditangkap, ditahan, disita, dihancurkan nama baik dan dibawa ke pengadilan?
Hakim Sarpin memberikan jawabannya: ajukan pra peradilan. Kita sebagai warga negara kini bisa mengguggat perlakuan tidak adil yang diakibatkan kesewenang-wenangan penegak hukum.
Kasus cicak buaya jilid 3 ini memang melelahkan, tetapi bukan tanpa pelajaran yang bisa diambil.
Inilah yang menjadi jawaban mengapa banyak yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK tidak segera diajukan ke pengadilan, bahkan sampai berbulan-bulan semisal HP, SDA, SFS. TR, ketua KPK jilid I juga mengkritik pola kerja ini. "Pada jaman saya, bahkan tidak cukup 2 alat bukti, tapi harus 4," katanya.
Tindakan AS ini kena batunya pada saat yang ditersangkakan adalah calon bos Polri, dimana di sana banyak eks penyidik yang mengetahui dapur KPK yang dia pimpin. Maka di praperadilan dia kalah. Dan ini malah menjadi blunder, karena setelahnya KPK diserang abis-abisan tanpa ampun. AS sendiri diserang mantan teman baiknya yang sakit hati dan nampaknya dia sulit untuk berkelit.
Pertanyaannya, toh MSG akhirnya dinyatakan bersalah? Di sinilah bahayanya. Di peradilan kita KPK memiliki nama yang sakral. Siapapun yang diproses oleh KPK tidak pernah lepas. Dan hakim kadang terpengaruh oleh kesakralan ini. Hakim takut untuk bertindak tidak populer karena akan dihujat publik sebagai pro koruptor.
Kedua, keputusan Hakim Sarpin menjadi yurisprudensi yang baik untuk penegakan HAM. Dimana, warga negara kini bisa melawan kesewenang-wenangan penegak hukum. Bayangkan bila tiba-tiba anda berurusan dengan hukum, dijadikan tersangka tanpa mengerti masalahnya. Apa yang akan anda lakukan di tengah kekalutan itu? pasrah ditangkap, ditahan, disita, dihancurkan nama baik dan dibawa ke pengadilan?
Hakim Sarpin memberikan jawabannya: ajukan pra peradilan. Kita sebagai warga negara kini bisa mengguggat perlakuan tidak adil yang diakibatkan kesewenang-wenangan penegak hukum.
Kasus cicak buaya jilid 3 ini memang melelahkan, tetapi bukan tanpa pelajaran yang bisa diambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar