Kamis, Agustus 07, 2014

Kepada Surtikanti, Isteriku

Saya sangat suka Catatan Pinggir ini.  Berceritera tentang kegalauan Karna, si Raja Angga, menjelang pertempurannya di esok hari dengan adik seibu sekaligus musuh besarnya: Arjuna putra Pandu.  Ada kegetiran sekaligus ketabahan di sana.   Juga kebanggaan dan keberanian menantang nasib yang sudah diputuskan untuknya.

Silakan dibaca...

BEERAPA jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.

“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka – juga bila harus melalui mati.

'Mati', saat ini rasanya bukan lagi masalah bagiku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?

Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya – bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.

Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang. Dan mulai saat itu, aku kembali merasa terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.

Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berdusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya – tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.

Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku yaitu tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.

Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.

Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja', karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.

Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperolehnya. Maka, jika aku esok mati, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”

Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.

Goenawan Mohamad

Kelakuan Orang-orang Kaya di Arab

NEGARA-negara Arab memang dikaruniai dengan kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah.  Dan ini berdampak pada kesejahteraan rakyatnya.

Repotnya, semakin kaya, orang akan semakin aneh-aneh.  Berikut adalah gambar kegilaan orang-orang kaya di Dubai..

Hmmm...

Co Driver-nya: Cheetah

Juga Singa

Atau Harimau

Harimau lagi
Ngajak ngelaut Singa

Itu bukan kucing lho..

Kuda mah ...lewat
Mobil dicat emas

Ini mobil polisi nya

Gilee Ndroo....

Macetnya oleh ginian...
ATM emas ....
Tempat sampahnya...

Sabtu, November 23, 2013

“Singa” Gunung Babakan

MAKAM itu berada di tempat yang agak tinggi.  Kita harus mendaki jalan setapak untuk mencapainya.  Tapi tak lama, cukup beberapa menit saja sudah sampai. Letaknya di pinggir jalan Siliwangi Kota Banjar, Jawa Barat.  Di sebuah bukit bernama Gunung Babakan yang masuk kawasan hutan Perum Perhutani.  Cirinya sebuah batu besar yang menjorok ke jalan.  Pemerintah kota sengaja tidak membongkarnya ketika jalan tersebut diperlebar.  Mungkin menghormati tokoh yang disemayamkan di atasnya: Kangjeng Dalem Singaperbangsa.

Ada dua makam kuno berjejer, dikelilingi oleh pagar kawat yang rendah.  Makam yang satu nampak lebih besar. Mungkin itu makam Sang Dalem.  Sedang yang lebih kecil entah punya siapa. Bisa jadi istri beliau, sehingga ditempatkan berda mpingan.  Nisannya memang tidak bertulis.  Batu-batu penutupnya sudah berlumut tebal, menandakan makam tersebut  memang sudah sangat tua.  Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang yang tumbuh di sekitarnya menghadirkan kembali suasana masa lalu yang hening dan mistis. 


***

Singaperbangsa adalah seorang tokoh historis. Namanya tercatat dalam beberapa sumber sejarah formal.  Dus, dia bukan sekedar tokoh mitos atau legenda.  Tokoh ini sangat identik dengan kota Karawang, Jawa Barat.  Universitas dan stadion olahraga di kota penghasil beras itu menggunakan namanya.  Ya, karena Singaperbangsa dianggap sebagai pendiri Karawang.  Ia adalah bupati pertama kota itu pada abad XVII, ketika tatar Sunda berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dia dilantik menjadi bupati oleh Sultan Agung pada tahun 1633 dan wafat pada 1677. Makamnya terletak di Desa Manggung Jaya Kacamatan Cilamaya, sekitar 40 km dari pusat kota Karawang.

Lalu mengapa makam Singaperbangsa juga ada di kota Banjar? Bagaimana hubungannya?

Konon, semua berawal dari sebuah tempat bernama Kertabumi, sebuah kerajaan kecil yang berdiri di akhir Abad XVI berlokasi di tatar Galuh, Kabupaten Ciamis sekarang.   Singaperbangsa diduga memiliki kaitan yang erat dengan tempat ini.  Ini terlihat dari gelar yang ia pakai ketika dilantik menjadi Bupati Karawang oleh Sultan Agung, yaitu Adipati Kertabumi IV.

Pasca runtuhnya Kawali (sekarang sebuah kota kecamatan di Ciamis sebelah utara) sebagai ibukota Kerajaan Galuh oleh serangan Cirebon yang dibantu Demak pada 1570 M, beberapa menaknya mendirikan pusat kekuasaan baru yang masih mempertahankan corak Hindu, di Salawe, Cimaragas, sebuah kota kecamatan di Ciamis selatan.  Oleh karenanya nama kerajaannya sering juga disebut Galuh Salawe, dengan rajanya bernama Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta di Galuh.

Pada tahun 1595, pengaruh politik Kesultanan Mataram mulai sampai ke Priangan. Tapi Panembahan Senapati, yang waktu itu masih disibukkan dengan upaya penaklukan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa, belum terlalu menegaskan kekuasannya. Kerajaan-kerajaan di tatar Priangan, termasuk Galuh, masih diakui sebagai kerajaan yang mandiri, belum menjadi bagian langsung pemarentahan Mataram. Hal ini dicirikan dengan para penguasanya yang masih diijinkan menggunakan gelar Prabu atawa Maharaja.

Setelah Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Prabu Cipta Permana, yang selanjutnya memindahkan pusat kekuasaan ke Gara Tengah (sekarang Cineam, Tasikmalaya). Beda dengan ayahnya yang penganut agama leluhur, Cipta Permana sudah beragama Islam, karena dia menikah dengan Tanduran Tanjung, putri maharaja Kawali yang sudah Islam sebelumnya (Kawali saat itu berada di bawah kekuasaan Cirebon). 

Nah, selain Gara Tengah, di wilayah tatar Galuh terdapat juga beberapa pusat kekuasaan daerah (karajaan kecil), diantaranya Kawasen (Banjarsari sekarang) dengan rajanya bernama Sanghyang Permana, putra bungsu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta, dan Kertabumi, dengan rajanya bernama Rangga Permana (putra Prabu Gesan Ulun dari Kerajaan Sumedanglarang, menantu Prabu Maharaja Sanghiyang Cipta) yang bergelar Prabu di Muntur atau Adipati Kertabumi I. Petilasan Kerajaan Kertabumi ini bisa ditemukan di Dusun Bundar Desa Kertabumi kacamatan Cijeungjing, Ciamis.

Ketika Sultan Agung (1613-1645) naik tahta, Kesultanan Mataram mulai mereorganisasi wilayah-wilayah kakuasaannya di Priangan. Kerajaan-kerajaan yang menjadi vassalnya diturunkan derajatnya menjadi hanya setingkat kabupatian. Gelar para penguasanya pun tidak lagi Prabu atau Maharaja, tetapi cukup Tumenggung atau Adipati.

Saat itu yang menjadi penguasa di Galuh adalah Adipati Panaekan (1618-1625), putra Prabu Cipta Permana. Beliau diangkat menjadi Wedana Bupati Mataram di tatar Priangan. Sedangkan yang menjadi bupati di Kertabumi adalah Singaperbangsa (dalam beberapa sumber dikatakan bernama Wiraperbangsa), cucu Prabu di Muntur, dengan gelar Dipati Kertabumi III. Pusat kekuasaannya sudah pindah ke Bojonglopang, Banjar Kolot sekarang.  Oleh karena itu, Kertabumi disebut juga Kabupaten Bojonglopang.

Bila melihat kekerabatan, hubungan Panaekan dengan Singaperbangsa adalah paman-keponakan. Sebab, Singaperbangsa adalah cucu dari Tanduran Ageung, kakak Prabu Cipta Permana, ayah Panaekan. Meski begitu, nampaknya hubungan di antara mereka tidak begitu bagus.  Dalam hal politik, Singaperbangsa lebih berkiblat ke Sumedanglarang, negeri asal sang kakek.

Pada tahun 1625, Sultan Agung mulai bersiap untuk menyerang VOC di Batavia, yang tentunya melibatkan pasukan dari tatar Sunda. Hal ini ternyata menjadi sumber perselisihan antara Panaekan dan Singaperbangsa. Panaekan, menurut beberapa sumber, se-ide dengan Dipati Ukur, yang ingin secepatnya menyerang sebelum VOC semakin kuat. Sedangkan Singaperbangsa menolak.  Ia ingin agar pasukan tatar Sunda memperkuat  logistik terlebih dahulu, sesuai pendapat Rangga Gempol I (Bupati Sumedang, yang juga pamannya).

Entah bagaimana konstelasi politik yang berkembang waktu itu. Yang jelas, perselisihan itu meruncing, sampai akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Panaekan oleh Singaperbangsa. Jenazah sang paman dibuang ke sungai Cimuntur dan ditemukan di Situs Karang Kamuliyan yang oleh para pengikutnya kemudian dimakamkan di sana. Panaekan digantikan oleh putranya yang bernama Dipati Imbanagara (1625-1636).

Serangan pasukan Mataram (yang didalamnya juga termasuk pasukan dari tatar Sunda) ke Batavia jadi dilaksanakan pada taun 1628 dan 1629, yang dua-duanya menemui kegagalan.
***
Nama Singaperbangsa kembali disebut pada tahun 1632. Waktu itu Sultan Agung menugaskan beliau dan 1.000 orang cacah untuk mengamankan daerah Karawang dari gangguan tentara Banten, sekaligus menyiapkan logistik untuk serangan selanjutnya ke Batavia (yang tidak pernah terlaksana sampai wafatnya Sultan Agung). Tugas tersebut ternyata bisa dilaksanakan dengan baik. Pada tahun 1633 Singaperbangsa dipanggil ke Mataram untuk mendapatkan penghargaan berupa keris bernama "karosinjang."

Nah, dalam perjalanan pulang dari Mataram tersebut, Singaperbangsa mampir ke Galuh. Mungkin ia rindu pada tanah kelahiran dan saudara-saudaranya di Kertabumi.  Kehendak Yang Kuasa, Singaperbangsa tidak pernah kembali lagi ke Karawang. Ia jatuh sakit dan tak lama kemudian wafat. Jenazahnya dimakamkan di “Galuh”.  Kekuasaan di Karawang diteruskan oleh putranya yang juga bernama Singaperbangsa, dengan gelar Adipati Kertabumi IV. Dialah yang kemudian dianggap sebagai Bupati Karawang pertama dalam sejarah resmi.

Jadi, apabila melihat uraian cerita di atas, kuat dugaan tokoh yang bersemayam di Gunung Babakan adalah Kangjeng Adipati Singaperbangsa yang wafat di Galuh (Wiraperbangsa) atau Adipati Kertabumi III.  Beliau  adalah ayah dari Singaperbangsa yang menjadi Bupati Karawang pertama (Adipati Kertabumi IV). 

Wallohuallam.

Selasa, Oktober 01, 2013

WIdya Handicraft: Merajut Untung dari Bambu

Menjadi seorang enterpreneur memang mengasyikan.  Memiliki fleksibilitas waktu dan kesempatan berkembang yang lebih luas membuatnya bisa mencurahkan segenap daya dan potensi kreatifitas yang ia miliki.  

ITULAH mungkin yang juga dirasakan oleh Widodo (54 tahun), warga Desa Gintangan Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.  Ia awalnya meniti karir sebagai seorang guru PNS. Di sela-sela kegiatannya mengajar, Widodo tertarik untuk berwirausaha.

Ia melihat besarnya potensi kerajinan anyaman bambu di desanya yang memiliki ciri khas dan tidak dimiliki daerah lain. Ia pun kemudian merintis usaha anyaman bambu pada tahun 1991 dengan mendirikan UD Widya Karya.  

“Pada saat itu, saya dibantu oleh 5 orang tenaga kerja tetap dan 10 orang tenaga tidak tetap,” kisahnya.

Usahanya tak berjalan mulus.  Sebagai pemain baru, berbagai kesulitan Widodo hadapi, terutama pemodalan dan pasar.  Ia pun kemudian mencoba mengakses permodalan melalui program PKBL (dulu namanya masih PUKK) Perum Perhutani.  Pada tahun 1993, ia resmi menjadi mitra binaan Perhutani KPH Banyuwangi Selatan.

Sebagai mitra binaan, Widodo berhak mendapatkan modal pinjaman dengan bunga yang sangat ringan. Selain itu, ia kerap diajak untuk melakukan pameran di berbagai kota, baik tingkat kabupaten, propinsi bahkan nasional, sehingga berkesempatan untuk memperkenalkan produk-produknya ke pasar. Dua hal yang sangat ia butuhkan. Usahanya pun berkembang.  

Dari berbagai pameran yang diikuti, Widodo mendapat banyak pelanggan.  Tidak hanya dari lokal Banyuwangi, tetapi juga dari kota-kota lain Jember, Surabaya, Malang, Jogja dan Bali. Produk-produk buatannya bahkan sudah diekspor ke Malaysia, Eropa dan Amerika.

“Dulu omset usaha anyaman bambu saya hanya 10 juta per bulan, kini sudah mencapai 60 juta,” katanya.  Saat ini Widodo mempekerjakan 12 orang karyawan tetap dan lebih 50 orang yang tidak tetap.

Dengan terus berkembangnya usaha anyaman bambu yang ia bangun, Widodo pun kemudian memutuskan untuk mengajukan pensiun dini dari PNS dua tahun yang lalu.

“Agar saya lebih berkonsentrasi mengembangkan usaha ini. Cita-cita saya ingin terus membuat produk-produk anyaman bambu terbaik bagi semua orang agar nama Desa Gintangan dapat dikenal oleh masyarakat,” ujarnya

Untuk itu ia selalu berinovasi menciptakan kreasi desain produk baru yang bermanfaat bagi konsumen. Ia juga selalu menjaga mutu dan kwalitas produk sebagai tanggung jawab pelayanan terbaik.

Produknya yang ia branding dengan nama Widya Handicraft, adalah berbagai jenis kerajinan yang menggunakan bahan dasar utama bambu. Antara lain tudung saji, tempat koran, keranjang buah, tempat kue, tempat tisu, kap lampu, dan berbagai macam bentuk lain yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat.  Untuk menjaga kwalitas, proses produksinya sebagian besar dikerjakan secara manual (handmade) dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti, pisau potong, pisau irat, gergaji, dll.

“Hal inilah yang menjadikan produk anyaman bambu yang kami buat menarik bagi banyak konsumen baik lokal atau luar daerah maupun wisatawan mancanegara,” ujarnya berpromosi.

Dalam hal bahan baku, Widodo mengaku tidak mendapatkan kesulitan.  Pasokan bambu dengan mudah ia dapatkan dari sekitar.  Melimpahnya bahan baku menjadikannya selalu siap mencukupi permintaan pasar yang datang mendadak.

Untuk memasarkan produk, Widodo membuka showroom yang berada satu lokasi dengan tempat kegiatan produksi, sehingga pengunjung dapat melihat langsung proses produksi pembentukan kerajinan anyaman bambu. Selain itu ia bekerjasama dengan mitra-mitra bisnis yang berada di berbagai daerah untuk menjangkau konsumennya.   Untuk lebih memperluas pasar ia juga memanfaatkan media online seperti media sosial, toko online, forum, dll.

Ke depan Widodo berencana untuk membangun satu lagi showroom produk-produknya di pusat kota Banyuwangi.  Untuk itu ia berharap Perum Perhutani dapat terus memberikan dukungannya dengan memberikan bantuan permodalan.

“Kami sangat berterima kasih kepada Perum Perhutani, karena program PKBL-nya sangat kami rasakan manfaatnya sehingga bisa berkembang seperti ini,” ujarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini

Rabu, September 25, 2013

Lumbung Desa, Kearifan Lokal Masyarakat Dagangan Yang Masih Terjaga

SIANG itu belasan orang berkerumun di sebuah bangunan sederhana, di pinggir jalan aspal yang membelah Dusun Panggung Desa Dagangan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.  Masing-masing dari mereka membawa karung atau wadah lain yang entah berisi apa.

“Mereka sedang setor gabah ke lumbung desa,” jelas Jumali (63), ketua Lembaga Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan (LMPSDH) Wonosalam Desa Dagangan, ketika kami temui di Balai Pertemuan LMPSDH, beberapa waktu lalu.  “Ini kearifan lokal masyarakat yang sudah jarang ditemui tapi masih terpelihara di desa ini,” tambahnya.  Dikatakan Jumali, dari 17 Desa yang ada Kecamatan Dagangan, mungkin hanya Desa Dagangan ini yang masih memiliki Lumbung Desa.   “Saya tidak tahu berapa jumlah yang masih ada di seluruh Kabupaten Madiun, yang jelas sudah sangat jarang,” katanya.


Ini menarik.  Di tengah isu kekhawatiran terancamnya ketahanan pangan dunia yang memaksa pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya, desa ini masih memelihara kearifan lokal kemandirian pangan yang sudah banyak ditinggalkan.

Bagaimana sistemnya? Sederhana saja.  Ketika panen tiba, masyarakat menyetor padi untuk ditabung.  Sementara saat musim tanam, mereka bisa meminjam untuk modal.  Dibayarnya, saat musim panen selanjutnya.  Anggota dikenakan tambahan 20% dari berat gabah yang dipinjam.  “Jika dia meminjam 1 kwintal, maka dia harus membayar 1 kwintal 20 kilo,” jelas Jumali.

Dengan sistem ini maka masyarakat tidak kesulitan untuk memperoleh modal ketika musim tanam tiba, sehingga kelangsungan produksi pangan terus terjaga.  Pun mereka memiliki cadangan pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu apabila panen tidak berhasil atau di masa paceklik.  Dalam tahapan selanjutnya, lembaga ini yang juga berfungsi sebagai alat stabilisasi harga bahan pokok, menjaga permintaan dan persediaan (supply and demand) bahan pangan, fungsi yang kini diperankan oleh BULOG.

Sesungguhnya, lumbung desa merupakan perwujudan karakter gotong-royong dan kesetiakawanan yang telah berakar lama pada masyarakat pedesaan.  Di masa kesultanan Mataram, telah dikenal sistem lumbung sebagai pencegah terjadinya kerawanan pangan di wilayah kerajaan, sekaligus penopang untuk logistik perang.

Hal tersebut pulalah yang mungkin menginspirasi Messman untuk melembagakan secara resmi lumbung desa pada tahun 1902. Messman, orang Belanda yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, Jawa Barat dihinggapi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Maka dia pun menganjurkan dibuatnya sebuah lumbung komunal sebagai tabungan pangan masyarakat desa.  Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Ide Messman kemudian direspon positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif pun kemudian dibentuk, yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda.  Banyak yang menyebut ini adalah cikal bakal pendekatan monetaris yang menyentuh lumbung tradisional rakyat, dan cikal bakal ide tentang KUD.

Setelah merdeka, lumbung desa tetap memperoleh ruang untuk terus berjalan. Bahkan, keberadaannya semakin berkembang dengan dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969.  Setelah itu, lumbung desa banyak bermunculan di berbagai pelosok, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat desa sendiri maupun bantuan pemerintah. Fenomena ini masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes), pada tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa, yang umumnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura. Namun pada akhir 90-an, saat peran BULOG semakin besar, lumbung desa semakin ditinggalkan.

Kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Akses perekonomian di pedesaan sudah semakin maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dengan ragam yang bermacam-macam.  Sistem tabungan berbasis natura seperti lumbung, dipandang tidak praktis lagi dan karenanya semakin ditinggalkan. Kebijakan pemerintah mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai lumbung nasional, semakin menyurutkan peran lumbung desa sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.

Kini, di saat kekhawatiran terhadap ketahanan pangan dunia kembali merebak, banyak pihak yang kembali menganjurkan agar lembaga lumbung desa kembali diaktifkan.  Salah satunya, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri.  Maka, pada tataran ini, masyarakat Dusun Panggung Desa Dagangan bisa berbangga hati dengan masih memelihara kearifan lokal yang ternyata memiliki nilai filosofis yang luhur. Yang mungkin bisa kembali menjadi rujukan konsep pengelolaan kemandiran pangan bagi desa-desa lain di sekitarnya.

Cari hotel dan tiket penerbangan murah? klik di sini