Jumat, Maret 16, 2007

C i n t a

KONON ada dua metode untuk membangkitkan motivasi seseorang sehingga dapat bekerja 'lebih', yaitu dengan: 'menakut-nakuti' dan 'mengiming-imingi'. Bahasa kerennya: Stick and Carrot System atau Reward and Punishment System, seperti yang mulai digandrungi Perhutani sekarang-sekarang ini. Menakut-nakuti artinya membuat seseorang takut bila tak dapat melakukan atau mencapai target sesuai yang ditetapkan si pemberi perintah. Contohnya, seorang boss mengancam akan memecat sales-nya bila tak dapat mencapai target pejualan tertentu. Ketakutan akan ancaman itu akan membuat si sales mengerahkan segenap daya upaya yang dimilikinya untuk mencapai target yang ditetapkan tersebut.

Menakut-nakuti mungkin adalah metoda pembangkit motivasi paling primitif dan efektif yang dikenal manusia. Pernah dengar anekdot tentang seseorang yang tiba-tiba bisa melompati sungai yang sangat lebar, hanya karena ngeri dikejar anjing? Atau pernah nonton film Forrest Gump, si lumpuh yang tiba-tiba bisa berlari kencang karena takut dijailin teman-temannya? Itu bukti keampuhan metode ini. Mengapa begitu ampuh? Karena dia merangsang bangkitnya potensi paling besar dalam diri manusia yang kerap tersembunyi: daya untuk survive. Tak ada yang lebih keras pada manusia selain upayanya dalam bertahan hidup. Makanya, meski kuno, teknik ini masih banyak dianut dalam ilmu manajemen modern.

Tetapi ada kekurangan dalam metode ini. Karena sifatnya yang menekan maka selalu ada perasaan terpaksa mengiringi pelaksanaannya. Ini akan berimplikasi pada beberapa kemungkinan. Misalnya: hanya efektif bila dilakukan pengawasan ketat. Bila tidak diawasi, maka dia akan berlaku seperti semula, atau malah lebih parah. Persis bunyi iklan: Patuh Karena Ada yang Lihat. Pada kasus lain bisa terjadi keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan semu. Karena menghindari sanksi yang menakutkan, maka dilakukan rekayasa sedemikian rupa sehingga seakan-akan target benar-benar berhasil diraih. Yang penting selamat pada saat dilakukan pemeriksaan. Ketika sang pemeriksa pulang, baru kelihatan aslinya yang ancur-ancuran. Kondisi tertekan, pada satu titik, juga bisa menimbulkan sikap antipati, lebih jauhnya bisa menimbulkan perasaan dendam, sehingga tidak bagus untuk hubungan antar personal. Serta kekurangan-kekurangan lain yang bisa diidentifikasi lebih lanjut.

Karena itu para ahli kemudian menyarankan untuk lebih mengedepankan metode kedua (meskipun dengan tidak harus meninggalkan yang pertama), yaitu dengan 'mengiming-imingi'. Dia tidak memaksa, tetapi berusaha membuat seseorang menginginkannya. Pada dasarnya, dia mengeksploitasi sifat manusia yang tak pernah puas. Agar seseorang tergugah motivasinya, maka ditawarkan atau dijanjikan bermacam-macam imbalan, baik berupa materil maupun yang sifatnya honouristic, bila dapat mencapai apa yang ditetapkan. Jadi lebih bersifat positif.

Meski kekuatannya kadang tak sedahsyat yang pertama (karena tak ada konsekwensi yang menakutkan meski tak tercapai) tetapi metode mengiming-imingi ini juga efektif untuk membangkitkan motivasi dan terutama yang ini relatif lebih 'manusiawi'. Pernah menonton film mengharukan karya sutradara Iran Abbas Kiarostami yang mengisahkan perjuangan seorang anak untuk memenangi sebuah perlombaan lari karena menginginkan hadiah sepasang sepatu buat adiknya yang ia hilangkan? Iming-iming ternyata juga memiliki kekuatan tersendiri untuk mengerakkan potensi tersembunyi seseorang.

Tapi metode ini juga tak lepas dari kekurangan. Selain kurang 'dahsyat' (lari seseorang yang mengejar hadiah seratus ribu perak tentu kalah cepat dari lari seseorang yang dikejar anjing, misalnya), teknik ini juga menyimpan potensi masalah. Misalnya: persaingan untuk mendapatkan penghargaan/imbalan menjadi rawan konflik dan menjadi arena sikut-sikutan. Apalagi bila ternyata parameternya tak jelas dan quotanya yang sangat terbatas. Orientasi imbalan, juga bisa mendidik orang menjadi lebih materialistis dan pamrih. Bila tak ada iming-iming hilanglah motivasi kerja. Maka timbul kasus-kasus dimana orang enggan melaksanakan tugas hanya karena tak ada uangnya, dsb.dsb.

Namun demikian, meski masing-masing memiliki kekurangan dan menyimpan potensi problem, metode atau sistem 'menakut-nakuti dan mengiming-imingi' ini banyak diterapkan dalam manajemen perusahaan modern. Ini dikarenakan efektifitasnya yang teruji dalam mencapai tujuan serta dampak positif lain yang dihasilkannya, seperti terpenuhinya rasa keadilan dimana orang yang bekerja baik tentu saja penghargaannya tidak boleh disamakan dengan yang bekerja asal-asalan, dapat merangsang kreativitas karyawan dsb. Untuk mengurangi efek negatifnya biasanya dilakukan berbagai variasi dan kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan.

Maka ketika Perhutani menyatakan akan (dan sudah mulai) menerapkan sistem Reward and Punishment (terutama Reward-nya) secara konsisten dan konsekwen, ini tentu saja adalah langkah maju, dan karenanya patut didukung. Ini artinya Perhutani sudah mulai menyadari akan pentingnya upaya melakukan 'manajemen motivasi' dalam menunjang kinerja perusahaan, yaitu dengan mendorong karyawannya untuk mau bekerja lebih. Dan dampaknya sudah cukup kelihatan, minimal itu saya lihat di lingkungan kecil kerja saya. Dalam bidang tanaman, misalnya. Semenjak di terapkan sistem Reward-Punishment, para mandor nampak lebih serius dalam memperhatikan lokasi tanamannya, meski juga sedikit menjadi lebih sensitif. Mereka juga bersuka cita ketika mendapatkan uang reward, meski nilainya tak terlalu besar. Nampak jelas, mereka kini merasa kerja kerasnya lebih dihargai.

Namun cukupkah semua itu memperbaiki keadaan? Cukupkah dia menggerakan motivasi segenap komponen rimbawan sehingga dapat menghasilkan daya juang yang dibutuhkan untuk membangun kembali hutan seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulu kita dulu? Mungkin belum. Ada satu hal yang nampaknya tidak kita miliki dibanding kakek-nenek kita dulu. Satu hal yang sangat mendasar dan merupakan penggugah motivasi paling dahsyat, tanpa pamrih dan zonder paksaan. Apakah itu: Cinta. Ya, Cinta. Apapun tak kan berhasil tanpa Cinta, ujar Morihei Ueshiba. Dengan Cinta, kita akan tetap bekerja lebih meski tanpa diawasi. Tetap mencurahkan segenap kemampuan meski tanpa imbalan yang tinggi. Tetap antusias meski di tengah segala keterbatasan.

Dan Cinta itu tlah lama hilang. Ketika Bang Mus (Dr. Muslimin Nasution) berpesan jadilah Rimbawan Mujtahid, Mujaddid dan Mujahid dalam acara Mubes Sekar di Madiun kemarin, sebenarnya beliau mengingatkan kita akan hal ini, meski dengan bahasa lebih religius. Ikhlaslah, serunya, karena kita adalah yang terpilih sebagai pemegang amanah menyangga kehidupan manusia untuk generasi sekarang dan generasi mendatang, kita adalah Khalifatullah Fil'ardh itu.

Kita membutuhkan Cinta. Sayang, kita hidup di sebuah zaman yang tak ramah untuk spesies yang satu ini. Terjangan angin materialisme dan kerasnya persaingan hidup telah menggebah mereka entah kemana. Dan kini, di hari-hari ini, di setiap kertas yang kita tulis, setiap bibit yang kita tanam, setiap gram getah yang kita sadap, kita pun bertanya-tanya: dimana dia... dimana dia...

[Tulisan dibuat untuk majalah Duta Rimba, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Perum Perhutani, namun barangkali bermanfaat juga bila dipajang di sini :)]

Kamis, Februari 08, 2007

M e j a





+ Untuk tandatangan ini lewat berapa meja pak?
- Maksudnya?
+ Iya, kan kalo di dinas-dinas atau instansi biasanya....
- O, nggak Pak, gak usah. Kami gak gitu. Lengkapi saja syarat-syaratnya, nanti serahkan pada saya. Secepatnya kami proses.
+ O ya makasih kalo begitu Pak, permisi!


[ Selalu ada kebanggaan menjaga sejumput idealisme usang, di tengah beratnya himpitan hidup dan terpaan godaan yang menyerang tak kenal ampun ]

Selasa, Januari 23, 2007

Deception Point

SEBUAH batu meteor raksasa dengan bukti-bukti kehidupan extra-terresterial ditemukan NASA di Kutub Utara, tertimbun jauh di bawah lapisan es di kedalaman delapan ratus meter. Tentu saja ini sebuah berita besar yang akan sangat menggemparkan. Betapa tidak. Jika terbukti benar, penemuan ini jelas akan menjawab spekulasi yang berkembang lama tentang adanya kehidupan lain selain bumi. Selama ini, tak pernah ada bukti ilmiah yang meyakinkan dugaan tersebut yang menyebabkan banyak orang skeptis dan menganggap semuanya hanya omong kosong. Tidak sedikit memang pengakuan-pengakuan dari beberapa pribadi yang menyatakan pernah melihat bentuk kehidupan lain tersebut di bumi, seperi UFO, alien dll, tetapi tak ada satu pun bukti otentik yang menguatkannya. Kini bukti itu telah ditemukan. Tak diragukan lagi: ini adalah sebuah penemuan besar dalam sejarah manusia.

Yang lebih menghebohkan lagi adalah momentumnya. Batu meteor ditemukan NASA justru di tengah badai serangan hebat terhadapnya. Kegagalan NASA dalam membuktikan peran pentingnya dalam kehidupan masyarakat selama ini, yang padahal telah dibiayai begitu mahal oleh pemerintah Amerika Serikat, dijadikan isu panas kampanye seorang senator ambisius dalam upaya merebut kursi kepresidenan. Proyek NASA dianggap hanya menghambur-hamburkan uang dan nyaris tak penah ada penemuan penting yang dilakukan, di saat Amerika membutuhkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Isu itu banyak menarik simpati masyarakat yang membuat sang senator berada di puncak popularitas sekaligus menekan posisi sang presiden pada titik nadir. Dan penemuan ini jelas akan membalikkan keadaan 180 derajat.

Tetapi Zachary Herney, sang presiden AS yang sedang terpojok itu, tidak mau tergesa-gesa. Benar, bahwa isu ini akan menguatkan kembali posisinya yang sedang terdesak hebat, bahkan akan membalikkan keadaan. Juga benar penemuan ini akan membahagiakan banyak orang yang berharap besar pada teknologi. Tetapi, sebagai seorang yang dikenal hati-hati dan penuh perhitungan dalam membuat segala keputusan, ia tak berani gegabah. Penemuan itu harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum diumumkan ke publik. Maka diutuslah lima orang ke kutub utara. Empat orang dari kalangan ilmuwan terkemuka: Michael Tolland seorang ahli geologi kelautan muda yang simpatik dan populer, Corky Marlinson seorang pemenang penghargaan di bidang astrofisika, Dr. Wailee Ming ahli Paleaontologi UCLA dan Norah Mangor seorang pakar dalam persaljuan. Ditambah satu orang lagi dengan alasan khusus: Rachel Seton, putri sang Senator yang cantik dan tidak begitu akur dengan sang ayah, yang bekerja sebagai agen pemerintah di NRO (National Reconnaisance Office).

Singkat cerita, setelah melakukan serangkaian pengujian, kelima orang tersebut berhasil membuktikan bahwa penemuan itu memang otentik, dan layak untuk dipublikasikan. Maka acara konferensi pers besar-besaran pun dipersiapkan. Pengumuman akan dilakukan langsung oleh presiden dari Gedung Putih dan juga dilakukan telecoference dengan Administratur NASA, Lawrence Ekstrom, langsung dari sebuah habisphere di kutub utara.

Semua berjalan dengan baik, sampai pada beberapa saat sebelum pengumuman dilaksanakan. Sebuah keanehan kecil terlihat oleh Dr. Ming. Ketika ia berusaha menyelidikinya, ia malah tewas secara misterius. Keanehan juga dirasakan oleh empat yang lain, yang memaksa mereka untuk melakukan verifikasi berbahaya: menguji kerapatan salju dari luar habisphere. Ketika melakukan pengujian di tengah badai salju tersebut, mereka diserang oleh beberapa orang terlatih. Dr. Mangor terbunuh, tetapi tiga yang lain dapat menyelamatkan diri dengan dramatis.

Sementara itu, menjelang pengumuman, pertarungan politik antara presiden dan senator Sexton semakin panas. Intrik-intrik dilakukan oleh kedua belah pihak, terutama oleh tokoh kunci staf kampanye masing-masing: Gabriele Ashe dari pihak Sexton dan Majorie Tench dari pihak presiden Herney. Dalam sebuah debat di televisi, Tench berhasil membuat Sexton yang tak hati-hati terpancing. Situasi seakan memihak pada sang Senator, sampai pada saat pengumuman dilaksanakan.

Keadaan menjadi samakin seru ketika Rachel dan Tolland dalam pelariannya ternyata menemukan adanya unsur rekayasa dalam penemuan itu. Tetapi ketika mencoba menghubungi presiden untuk membatalkan pengumuman, mereka dijegal Tench. Upaya Rachel meminta bantuan Bill Packering, bossnya di NRO, malah membuat dirinya makin terancam.

Apa yang terjadi selanjutnya? Rekayasa macam apa yang dilakukan? Siapa yang berada di balik semua itu? Lebih baik anda membacanya sendiri. Ini adalah buku ke-empat (dan kedua yang saya baca) dari Dan Brown, setelah Angel and Demond (A&D), Digital Fortress (DF) dan tentu saja The Da Vinci Code (TDVC) yang menghebohkan itu. Konon di negara asalnya buku ini terbit pertama kali tahun 2001, namun baru sampai ke kita pada Oktober 2006. Jika sebelumnya daya tarik cerita adalah ramuan sejarah dan Iptek (A&D dan DF) serta teologi dan seni (TD VC), maka kali ini Brown mengangkat kemenarikan isu ET yang diramu dalam kelindan dimensi politik, yang dibumbui dengan pernak-pernik intelejen dan tetap dihiasi oleh rajutan Iptek yang rumit. Dan seperti ketiga buku sebelumnya, keunggulan Brown dalam buku terbarunya ini adalah riset yang mendalam tentang segala aspek yang diceritakan. Alur-alur cerita yang rumit dan di luar dugaan menjadi "logis" dengan dasar data-data riset tersebut. Jika dalam TDVC diembel-embeli dengan: segala deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen dan ritus rahasia adalah akurat, maka di buku ini disebutkan: semua teknologi yang digambarkan benar-benar ada. Buku ini memang banyak juga menggambarkan bentuk-bentuk teknologi intelejen termutakhir.

Seperti TDVC, alur cerita Deception Point (DP) berjalan dengan sangat cepat, bahkan sedikit tergesa. Begitu banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu hanya satu hari. Tokoh yang menjadi sentral pun tetap khas hollywood: seorang lelaki tampan dan simpatik yang sedang menjomblo dan seorang gadis cantik yang berbakat dan belum punya kekasih (dan di happy endingkan dengan keduanya jadian di akhir cerita). Kejutan-kejutan di sepanjang cerita (atau justru bukan, bagi yang sudah mengenal Brown?) juga akan tetap ditemui. Namun begitu ada satu yang membedakan ketika kita membaca DP dibanding TDVC: sensasinya. Sensasi yang anda rasakan ketika membaca TDVC tak akan anda dapatkan di DP. Kita memang terkejut, penasaran dan kadang terpukau, tetapi semuanya tak ada yang nyangkut lama di hati. Tak ada emosi yang benar-benar terlibat. Setelah selesai, semuanya terasa seperti biasa, seperti ketika anda usai menonton film James Bond atau Mission Impossible.

DP memang trhiller jenis itu, tak lebih.

Senin, Januari 15, 2007

Sakit? Ke Dukun Aja

SEORANG teman dirundung musibah. Putri pertamanya yang belum genap dua bulan harus terbaring di rumah sakit. Menurut dokter ususnya bocor sehingga bayi mungil itu mesti dioperasi.

Tentu saja ia sedih dan cemas. Ketika saya temui malam itu, ia dan istrinya juga berceritera tentang mahalnya biaya yang harus ia keluarkan.

"Bayangkan, saya harus mengeluarkan enam puluh ribu setiap kali anak saya BAB untuk membeli plastik khusus," katanya.

Dia juga harus membayar puluhan ribu rupiah tiap kali dokter datang.

"Padahal dia cuma nanya-nanya doang, eh... harus bayar juga," keluhnya. Belum lagi biaya beli obat, sewa ruangan dll. Pendeknya: bikin membuatnya tambah kalut.

Negeri ini memang nampak aneh dan tidak manusiawi dalam hal ini. Rakyat-rakyatnya yang tengah menderita karena sakit, malah dibebani pula dengan biaya pengobatan yang mencekik leher. Konon pernah ada anekdot tentang si Cepot yang marah-marah pada dokter gigi yang menyuntiknya.

"Yang bener aja luh," begitu kira-kira si Cepot meradang. "Lu kan tau gua lagi sakit. Barusan elu nyuntik gua, juga sakit. Eeeh... lu malah minta bayaran lagi!" omelnya lagi sambil ngaleos pergi. Si dokter cuma bengong.

Meski cuma anekdot, tapi apa yang dikatakan si Cepot tadi sebenarnya logis. Seseorang yang sedang dirundung musibah seperti sakit semestinya dibantu, bukan dieksploitasi. Barangkali salah satu kesalahan fundamental para perumus perekonomian negeri ini dulu adalah membiarkan kesehatan, dan juga pendidikan, masuk dalam mekanisme pasar.

Kedua sektor yang berkaitan erat dengan kualitas SDM ini tumbuh menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi sebagian kecil rakyatnya, tetapi menjadi sumber penghisap bagi sebagian besar yang lain. Pemerintah malah memilih untuk mensubsidi BBM, sesuatu yang berhubungan erat dengan konsumsi.

Dalam jangka pendek, sepertinya keputusan itu benar: bukankah makan memang lebih pokok daripada pendidikan atau kesehatan? Tetapi dalam jangka panjang itu sungguh tidak membangun.

Coba bandingkan. Di Thailand, konon (menurut Pak Cit, seorang guide lokal, ketika saya berkunjung ke negeri itu tahun lalu) biaya pengobatan setiap penyakit, apa pun itu dan berapa lama pun itu, biayanya hanya 30 Baht atau sekitar Rp. 7.500,-.

Pendidikan dari SD sampai SMA gratis. Pemerintahnya lebih memilih BBM yang dilepas ke mekanisme pasar dibandingkan dua sektor vital itu. Dan ini menurut saya adalah sebuah kebijakan yang visioner. Bisa dibayangkan generasi yang terbentuk dalam jangka panjang dari kebijakan itu: generasi yang terpelajar, sehat dan efisien. Tidak heran produktivitas SDM-nya sungguh mengagumkan. Dan hal ini berbanding terbalik dengan generasi kita yang terkenal royal, konsumtif tetapi berotak dodol dan kelemar-kelemer.

Negara-negara maju memang juga melepas kedua sektor itu ke dalam mekanisme pasar. Tetapi rakyatnya sudah sangat terpelajar dan cerdas. Apalagi dengan pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi. Besarnya biaya diantisipasi dengan budaya asuransi. Ketika Habibie ditanya kenapa memilih berobat di Jerman dibanding di Indonesia, dia berkata: "Saya berobat di Jerman bukan karena punya banyak uang, tetapi karena di sana saya bisa berobat gratis. Sejak dulu saya bayar asuransi."

Di kita, budaya asuransi baru menyentuh sebagian kecil masyarakat. Itu pun kebanyakan karena dibayarkan perusahaan. Kesadaran untuk merencanakan keuangan untuk kebutuhan insidentil dan masa depan pada masyarakat kita masih rendah. Kampanye tentang pentingnya asuransi oleh pemerintah.juga tidak terdengar. Dus, apa yang kita lakukan adalah setengah-setengah. Tidak kemana-mana.

Jadi jangan heran bila mucul kasus-kasus dimana seseorang ditolak berobat ke rumah sakit karena tak punya biaya, atau pasien-pasien gawat darusat yang tidak segera dilayani karena belum jelas penanggungjawabnya seperti yang ada dalam lagu Iwan Fals. "Modar aku, modar aku!" katanya.

Yang cukup menarik adalah gejala yang muncul kemudian. Yaitu maraknya bisnis-bisnis pengobatan alternatif, dengan embel-embel lebih murah dan cepat. Bentuknya pun macam-macam. Dari yang menggunakan ramu-ramuan, pijat memijat, macam-macam tenaga dalam, sampai yang berupa doa-doa dan ritual.

Dalam beberapa hal, ini cukup membantu masyarakat. Paling tidak menyediakan pilihan tempat berobat yang lebih terjangkau. Apalagi pada beberapa kasus, efektivitasnya juga cukup teruji. Dalam acara-acara pengobatan tradisonal di televisi, saya selalu melihat testimoni-testimoni dari para mantan pasiennya yang sembuh. Meski tentu saja masyarakat juga harus pandai milih-milih, karena banyak pula yang menipu.

Namun tentu saja hal ini bukan merupakan solusi permanen. Pemerintah tetap harus memikirkan agar masalah pelayanan kesehatan ini menjadi lebih terjangkau. Karena hal ini merupakan hak seluruh warga negara, baik yang kaya maupun yang bukan.

Trus... kalo menghilangkan jerawat kemana ya?

Eh...

Selasa, Desember 26, 2006

Krisis Chelsea

MUSIM ini Chelsea tampil mengecewakan. Tak seperti dua musim sebelumnya yang tampil amat perkasa, khususnya di EPL, musim ini The Blues mesti berjalan tertatih-tatih. Meski masih bertengger di urutan kedua klasemen sementara dengan selisih 1 poin (setelah ditahan imbang Reading tadi malam, dengan selisih satu pertandingan dengan MU), permainan Chelsea jauh dari memuaskan. Kemenangan-kemenangan yang diraih pun jarang yang telak. Beberapa malah berbau keberuntungan, seperti ketika mengalahkan Wigan dan Everton minggu kemarin. Ketika melawan Arsenal dan MU pun mestinya mereka kalah. Mereka hanya diselamatkan oleh dewa keberuntungan di menit-menit akhir. Entah apa yang terjadi. Mourinho seperti telah kehilangan sihirnya.

Sebaliknya MU justru tampil cukup perkasa. Meski musim ini mereka tak banyak belanja pemain, setelah ditinggal Van Nielstelroy ke Madrid, di luar dugaan mereka bermain cukup stabil. Nampaknya Alex Ferguson sudah kembali menemukan jati dirinya, setelah dua tahun bertutut-turut dipecundangi Morinho. Beruntung Arsenal dan Liverpool (dua klub lain yang dianggap setara dengan MU dan Chelsea), juga tampil tak terlalu baik. Keduanya malah sempat terseok-seok di papan tengah, meski kini perlahan-lahan naik ke urutan 3 dan 4.

Di awal musim, optimisme memang sempat menggaung di Stamford Bridge. Maklum, mereka sukses menggaet dua bintang: Ballack yang dicuri dari Muenchen dan Sheva dari Milan --sebuah pembelian yang agak mengherankan, sebenarnya, karena jauh dari kebiasaan Mourinho yang kurang suka dengan pemain bintang. Tetapi Sheva tampil tak seperti yang diharapkan. Mencetak gol di awal-awal, selanjutnya mandul. Mungkin dia terbebani dengan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapnya --setinggi biaya yang dikeluarkan Abramovich untuk menggaetnya, sementara gaya permainan Inggris jauh berbeda dengan Italia. Mourinho pun kecewa, meski masih berbaik hati dengan masih sering menampilkannya sebagai starter.

Ballack pun ternyata tak terlalu istimewa. Meski tampil lebih baik dari Sheva, tetapi mestinya ia dapat berbuat lebih dari itu. Banyak yang berpendapat ini disebabkan kharakternya hampir sama dengan Frank Lampard, sehingga seakan-akan terdapat dualisme kepemimpinan di lapangan tengah. Mungkin tadinya Mourinho ingin lapangan tengahnya lebih dahsyat dengan adanya kapten Timnas Jerman ini. Tapi jadinya ia kerap melupakan peran sayap, terutama kiri, yang sempat jadi kekuatan utama Chelsea, dengan memiliki Robben, Joe Cole dan Duff yang lantas dijual ke Newcastle.

Lampard pun tak seeksplosif dua musim lalu. Mungkin akibat tumpang tindih peran antara dia dengan Ballack: ia kini tak sebebas dulu berkreasi. Masih untung Drogba tampil cukup stabil. Entah apa jadinya Mourinho tanpa si hitam dari Pantai Gading ini. Dari keseluruhan memang hanya Drogba yang tampil stabil dan selalu ngotot. Gol-golnya selalu menjadi penyelamat, di kala teman-temannya tak kunjung beruntung. Michael Essien juga menjadi pemain yang cukup menonjol musim ini. Ketenangannya dalam menghadapi krisis kerap tampil menjadi penyelamat, seperti ketika dia mencetak gol sensasional ke Arsenal tiga minggu lalu.

Di gawang, musim ini memang paling sial buat Chelsea. Dua kiper utamanya cedera parah secara bersamaan, sehingga mereka mesti berjalan dengan kiper ketiga. Masih untung Hilario tampil tak begitu mengecewakan. Namun tetap saja, Carvalho dan Terry akan lebih tenang bila di belakangnya berdiri seorang Peter Checzh. Dibelinya Ashley Cole dari Arsenal juga cukup memberi warna. Sayang, keputusan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya Gallas, bek yang bisa main baik di segala posisi, dan tidak berkembangnya Wayne Bridge karena kerap tak diberi kesempatan.

Tapi mungkin masalah utama The Blues musim ini adalah masalah mental. Mereka mengalami krisis kepercayaan diri. Pernyataan Mourinho tentang para pemain yang termasuk the untouchables malah menunjukkan musim ini si mulut besar memang tak terlalu PD. Dia seakan-akan lebih bergantung pada orang, dan bukan pola permainan yang dikembangkan. Ketidak PD-an sang manajer ini nampaknya menjalar ke lapangan. Para pemain kerap tampil grogi ketika diserang lawan dan gampang putus asa ketika gol tak kunjung tiba. Pada sejumlah permainan terakhir nampak jelas bahwa para pemain sangat sulit untuk mencetak gol (hingga menunggu beberapa keberuntungan) dan mudah sekali kebobolan (ini terutama setelah Terry cedera dan Mourinho memaksakan Bohlarouz). Masalah krisis ini yang harus segera diatasi oleh Mourinho.

Akankah musim ini Chelsea harus melepas gelar? Belum tentu memang. Liga masih panjang. Kita tunggu saja apakah Mourinho bisa membalik keadaan atau tidak.

Yang jelas, EPL memang liga paling menarik saat ini.