Rabu, Maret 24, 2004

Cerita Dari Masa Silam

ADA banyak hal yang tidak kita ketahui, yang diakibatkan keterbatasan kita sebagai manusia. Keterbatasan ruang dan waktu. Meski kini teknologi sudah sedemikian maju, tetapi tetap saja interaksi dari dunia luar dengan kita, hanya dapat melalui indera yang lima itu. Tanpa keadaan yang istimewa, kita tidak bisa mengetahui apa yang tidak kita respon melaluinya.

Tetapi sebagian dari kita sebenarnya mampu, atau diberi kemampuan, untuk menerobos batas-batas itu. Saya ingat kakek pernah bercerita bahwa semasa muda beliau dapat untuk mengetahui hal-hal yang terjadi jauh di tempat dia berada, serta meramal apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Hal tersebut dapat dilakukan setelah beliau melakoni semacam lelaku selama sepuluh tahun. Kita lazim menyebutnya sebagai elmu (ilmu). Ketika saya tanya, bagaimana cara beliau mengetahuinya, dia menjawab, "Kau lihat TV itu?, kakek bisa melihatnya sebagaimana kau melihat gambar yang ada di televisi itu". Tapi itu dulu. Kini kakekku sudah tua. Umurnya hampir 80 tahun. Dan ia tidak lagi memiliki kemampuan tersebut. "Sudah dicabut oleh Mama Guru, bertahun-tahun yang lalu", katanya. Saya yakin kakek saya tidak sedang membual.

Barangkali ini sulit dipercaya. Tapi harus diakui, bahwa hal-hal gaib atau metafisika memang mungkin ada. Bahkan konon filsuf sekelas Nietszche pun tidak menafikannya. Kata filsuf atheis itu, "Dunia metafisika itu barangkali memang ada. Kehadirannya sulit untuk dibantah. Tapi kemampuan kita untuk memahaminya tidak mencukupi. Mungkin bahkan dunia itu memiliki kasualitas-kasualitas yang negatif, sehingga pengetahuan kita terhadapnya tidak berguna sama sekali. Sama tidak bergunanya seperti pengetahuan rumus-rumus kimia air bagi nahkoda yang kapalnya hendak tengelam.". Dalam agama pun kita diajarkan tentang hal-hal gaib. Tentang surga, neraka, malaikat, syaitan, jin, bidadari dan bahkan Tuhan sendiri. Kesemuanya adalah hal-hal gaib, yang mesti diimani. Dus, dunia ini memang ada, meski mungkin tidak semua dari kita bisa memasukinya.

Dan hal-hal gaib selalu menarik untuk disibak. Tidak heran di Televisi kini marak tayangan yang menampilkan hal tersebut. Konon ratingnya sangat tinggi. Ada yang bilang ini merupakan gejala pelarian dari masyarakatnya atas kesulitan hidup yang dihadapi. Ketika logika sudah tidak lagi bisa menjawab, maka dunia metafisik menjadi jalan pelarian.

Barangkali memang begitu, tapi lepas dari hal-hal demikian saya ingin menceritakan apa yang beberapa hari kemarin dialami.

Seorang teman kebetulan datang dari Jakarta. Dia adalah seseorang dari sebagian kecil orang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia gaib tersebut. Dia bisa menghadirkan tokoh-tokoh di masa lalu untuk diajak berkomunikasi tentang apa saja. Dulu kami pernah melakukannya sekali. Dan kini saya ingin mengulanginya. Sebagai teman berbagi rasa takut, saya ajak Trisna untuk menemani saya melakukannya.

Temanku itu memulainya sekitar pukul 10 malam. Sambil duduk di atas ranjang, sementara kami berdua di bawah, dia mulai melakukan ritualnya. Bersila. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Kedua tangannya disimpan di masing-masing pahanya. Nampaknya dia sedang berkonsentrasi. Beberapa kejap kemudian, yang diundang pun hadirlah. Tangan temanku mulai bergerak, sedikit kaku. Matanya tetap terpejam, tapi kepalanya mulai terangkat. Mulutnya runya-renyu, dan roman mukanya menampilkan berbagai ekspresi yang tidak jelas. Setelah tangannya melakukan beberapa gerakan seperti tarian, dia kembali pada posisi seperti semula. Kedua tangan disimpan di di kedua pahanya, dengan gaya seorang raja masa lalu. Tiba-tiba tangan kanannya terangkat dan menujuk ke arah kami, dan mulutnya merapal sesuatu yang tidak saya kenal. Mungkin semacam salam. Suaranya gemuruh, seakan keluar dari kerongkongan. Kami degdegan juga. "Aya naon?", katanya.

Oya, saya belum mengatakan siapa yang saya undang. Kau tahu, saya sangat suka sejarah, terutama sejarah Sunda. Maka yang diundang adalah tokoh legendaris di Sunda: Prabu Siliwangi. Raja Pajajaran terbesar. Tetapi rupanya yang datang kali ini bukan beliau, tetapi wakilnya. Dia memperkenalkan diri sebagai Sapujagat. Ketika saya tanyakan lebih lanjut, itu adalah jabatan setingkat Patih. Sang Prabu, katanya, sedang ada kepentingan terlebih dahulu, dan akan datang menyusul.

Sang Sapujagat pada jaman dulunya konon adalah penguasa daerah tersebut. Dia menyebutnya Kuta Kancana, yang termasuk ke dalam kerajaan Galuh. Disebutkannya juga beberapa kerajaan lain yang ada, seperti Pajajaran, Lumajang, Sindangkasih, Saunggalah dll. Dia menjawab seluruh yang kami tanyakan, walau terkadang pertanyaan tersebut harus diperjelas, karena ternyata tidak semua kata-kata yang kami ucapkan dimengertinya.

Saya banyak bertanya, sementara Trisna hanya sesekali.

Banyak hal yang kami obrolkan, tentang sejarah, tentang kehidupan masa lalu, tentang kerajaan-kerajaan dan lokasinya, tentang unsur budaya seperti pakaian dan keraton, juga tentang kesaktian. Iseng-iseng saya bertanya, "Eyang, tolong ramalkan jodoh saya dong?". Dia ternyata ketawa, sambil berkata, "Manusia memang tidak akan lepas dari jodoh". "Jodohmu berasal dari kota anu, kini ada di sebelah sana (sambil nujuk ke kejauhan), namanya anu, cirinya anu", lanjutnya. Ketika saya tanya lebih lanjut, dia menolak, katanya "Maaf nak, saya tidak diberi ijin untuk itu". (???). Si Trisna penasaran, "Kalo saya eyang?" "Sia mah enggeus boga", jawabnya tegas. Trisna memang sudah punya anak dua.

Setelah hampir tiga perempat jam bercerita, tiba-tiba dia mohon pamit. "Tugas saya sudah selesai, tunggu akan ada yang datang lagi" katanya. Kemudian teman saya tadi diam menunduk. Sama seperti keadatangan yang pertama tadi, setelah beberapa saat, ada tamu yang datang lagi. Suaranya lebih gemuruh dan lebih berwibawa. Dengan gaya duduk seorang raja, dia bertanya "Aya naon? "

Ternyata yang datang adalah Prabu Siliwangi, yang kami tunggu. Sudah lama sebenarnya saya ingin mencocokkan yang kami ketahui dari buku sejarah tentang beliau. Dan hari itu memang saya mendapatkan sesuatu yang berbeda. Pertama tentang siapa itu Siliwangi. Umum disepakati oleh para sejarawan, Siliwangi identik dengan Sribaduga Maharaja yang sewaktu muda bernama Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dan cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana. Padahal menurut yang kami undang, Siliwangi adalah Prabu Surawisesa atau putra dari Prabu Jayadewata yang membuat prasasti batu tulis di Bogor, yang berkuasa di tahun 1522-1534.

Di tanah Sunda memang banyak berkembang cerita rakyat tentang raja ini, yang menceritakan perjalanannya ketika lari dikejar-kejar sang anak bernama Kean Santang, yang akan mengislamkannya. Dalam akhir perjalanannya, beliau ngahiang atau tilem (menghilang). Tilemnya Prabu Siliwangi, juga diikuti oleh seluruh kerajaan dan pengikut-pengikutnya. Dalam kitab Waruga Jagat yang ditulis sekitar abad XVII, diceritakan tentang Wangsit Siliwangi, yang menuturkan pesan terakhir sang Raja yang mengharukan di hadapan pengikut-pengikutnya. Kini, di berbagai tempat muncul petilasan-petilasannya, dengan berbagai versi tentunya.

Hal ini sangat berbeda dengan sejarah formal yang banyak didasarkan pada kitab Carita Parahiyangan, sebuah naskah kuno yang ditulis sekitar keruntuhan kerajaan Pajajaran (abad XVI) menyatakan bahwa setelah Prabu Surawisesa wafat, masih terdapat beberapa raja, yang meskipun sudah sangat lemah, masih memiliki kekuasaan sebelum akhirnya ditembus pasukan Banten, di akhir abad ke enam belas.

Seakan menguatkan cerita tutur, Sang Prabu meceritakan bagaimana kekalahannya di beberapa peperangan melawan "tentara bodas" dari Demak (Selam/Islam) yang jumlahnya demikian banyak, sehingga akhirnya dia harus lari sampai ke daerah pantai utara. Dan sesampainya di tepi laut, dia mendapatkan petunjuk untuk melompat ke dalam. Sampai saat ini menurutnya, beliau masih masih hidup, dan menjadi raja di sana. Ketika Trisna bertanya tentang hubungan dengan Nyi Roro Kidul, beliau menjawab dengan sebuah ajakan, "kalau kau percaya, mari ikut aku ke sana, akan kutunjukan dia, dia adalah putriku" katanya. Hii, ngeri.

Banyak lagi yang diceritakan, yang menurutnya semua sudah menjadi kehendak hyang widhi. Benarkah apa yang diceritakan? Entahlah. Yang jelas saya melihat masih terdapat sifat-sifat manusia padanya. Seperti tiba-tiba lupa, atau berfikir sejenak ketika saya bertanya tentang sesuatu hal.

Tetapi kemudian, ketika kami sudah kehabisan bahan pertanyaan, dia menunjuk ke arahku. "Aku tahu apa yang sedang kau fikirkan saat ini" katanya. Aku kaget, spontan bertanya, "Apa coba?". Ajaib, dia mengetahui benar apa yang memang hari-hari ini berada dalam fikiranku (terus terang hal tersebut merupakan hal yang sangat rahasia, bahkan kedua temanku pun tak mengetahuinya sama sekali). Nah, lo!.

Di akhir, setelah kami mengatakan tidak ada lagi yang akan kami tanyakan, dia pamit. Namun sebelum pulang, sekali lagi dia menunjuk ke arahku. "Aku pamit sekarang, namun pada suatu hari nanti, aku akan datang lagi kepadamu, untuk memberikan sesuatu barang yang sangat penting. Kau tahu, di sini, hanya kau yang memiliki trah kerajaan meski sedikit" katanya. Walah...!

Pukul setengah duabelas, pertunjukan selesai. Trisna langsung pulang. Sedang temanku dari jakarta itu menginap di kamarku.

Malam itu saya tidak bisa tidur.

Rabu, Maret 03, 2004

Kekhasan dan Kehormatan

--Untuk Saudaraku, yang merisaukan aku

APAKAH yang dapat menyejukkan kerisauan hati, selain sebuah nasihat tulus seorang sahabat? Maka dari itu Bagja, saya merasa beruntung bahwa di hari ini saya telah mendapatkannya darimu. Terimakasih. Kau memang selalu tampil menjadi sahabat dalam arti sebenar-benarnya.

Dari dulu saya selalu kagum padamu. Pada keluasan pengetahuanmu. Pada kearifan pikiranmu. Pada keberanianmu berpikir bebas. Dan terutama, pada kemampuanmu mengungkapkan hal-hal tersebut dalam rangkaian kata-kata yang indah dan mengesankan. Maka Ja, saya sangat tersanjung, ketika kau menyajikan kerisauan hatiku sebagai topik dalam blogmu yang kukunjungi setiap minggu itu. Saya merasa kembali mendapatkan teman berdialektika yang telah lama hilang.

Dan saya memang sedang risau, sobat. Kau tahu, kerisauan ini muncul bukan baru kali ini, tetapi sejak lama, bahkan jauh sebelum kita bertemu. Barangkali hanya sebuah kerisauan khas anak muda yang merasa eksistensinya terancam. Meskipun yang terjadi padaku adalah varian yang nampaknya jarang ditemui.

Bagja, kau benar ketika mengatakan bahwa barangkali bahkan orang Sunda sendiri pada mulanya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai Sunda. Mungkin itu memang hanya pada mulanya sebutan orang saja. Sebutan yang tentunya tidak muncul tanpa sebab. Suatu komunitas memiliki identitas ketika dia memiliki kekhasan. Dan kekhasan hanya bisa dilihat ketika kita membandingkannya dengan komunitas lain. Maka lahirlah bangsa dan suku.

Kita tahu bahwa kekhasan yang memberikan identitas tersebut tidak hanya kita dapatkan dari ciri-ciri fisik, seperti warna kulit dan ukuran hidung, tetapi juga terutama pada daya kreatif mereka untuk tetap hidup (survive) dan berkembang (grow), yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sejarah yang menunjang kehidupannya. Dan kita menyebutnya sebagai Budaya, paling tidak Koentjaraningrat pernah mendefinisikannya demikian. Dus, selain ciri fisik, sebuah bangsa atau suku dibedakan terutama oleh kekhasan budayanya. Ketika dia tidak lagi memiliki budaya yang khas maka hilanglah identitasnya. Ciri fisik saja tidak menentukan. Makanya di awal tulisan kemarin saya menegaskan bahwa saya tidak berbicara Sunda sebagai sebuah entitas etnis, tetapi sebuah entitas budaya.

Inilah yang selama ini saya risaukan: hilangnya kekhasan budaya Sunda, yang juga berarti hilangnya identitas itu. Sedang Sunda telah kadung menjadi salah satu bagian identitasku. Saya menganggap kesundaanku sebagai identitas utama, yang sudah sepatutnya selalu saya tampilkan. Sunda adalah kehormatan dan harga diriku (pikiran nakalku kadang mengatakan bahwa bahkan saya Islam pun mungkin karena saya seorang Sunda). Dan gejala hilangnya kekhasan tersebut nyata sekali sedang terjadi. Parameter yang paling mudah dilihat tentunya adalah bahasa. Sedang bahasa adalah rohnya budaya.

Tapi bukankah budaya itu senantiasa berubah? Bukankah ketika budaya berubah, maka identitas yang dibawanya akan pula berubah? Jadi haruskah kita mempertahankan hal yang sebenarnya pasti berubah? Dalam Dangiang Edisi I (1999), Prof Saini KM membantu kita menjawabnya. Menurutnya, merujuk kepada Koentjaraningrat tadi, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi identitas sebuah kebudayaan: Kreativitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dengan tepat, ruang atau interaksi ragawi dan jiwani antara komunitas dan lingkungan pendukungnya, serta waktu atau sejarahnya.

Maka lanjut Saini, identitas kesundaan bisa hilang apabila pada orang sunda sekarang ketiga hal tadi hilang, yaitu hilangnya kreativitas, atau hilangnya kemampuannya orang Sunda untuk mengatasi permasalahannya secara tepat, atau hilangnya interaksi ragawi dan jiwani antara orang Sunda dengan lingkungannya akibat bencana alam dan sejenisnya, atau manakala orang Sunda hilang kesadaran akan sejarahnya. Identitas budaya Sunda, simpulnya, ada pada benang merah kemiripan antara sosok budaya dari generasi paling tua Sunda dengan generasi paling mutakhir yang hidup dewasa ini. Dus, meskipun budaya senantiasa berubah, identitas tersebut sangat mungkin untuk dapat dipertahankan dengan batasan-batasan tertentu. Tapi Ja, kesundaan juga sangat mungkin untuk punah, seperti punahnya dinosaurus. Konsepsi ini mungkin agak sulit dipahami. Yang jelas, kembali kepada pendapat diawal, saya berpendapat bahwa rohnya budaya adalah bahasa. Selama bahasa Sunda masih dipergunakan, maka budaya sunda masih ada. Dan sebaliknya.

Permasalahannya tentunya kembali kepada orang sunda sendiri. Apakah dia sepakat untuk mempertahankan identitas kesundaannya atau tidak. Bila ya, maka harus dilakukan upaya-upaya penyelamatan, dan bila tidak, ya diam saja. Atau dorong sekalian. Dan kau tahu, saya telah memproklamirkan diri menjadi yang terdepan pada pilihan pertama. Ini, seperti yang pernah saya katakan, didasarkan kepada kesadaran bahwa dalam hidup kita tidak hanya membutuhkan satu identitas. Saya rindu keberagaman. Selain juga masalah kehormatan dan harga diri.

Untuk itu saya kemudian melemparkan isu Menampilkan Sunda dengan Lebih Terhormat di PR beberapa waktu lalu, justru karena melihat bahwa, Sunda kini telah berlaku hanya sebagai "pelengkap perayaan atau obyek nostalgia orang-orang romantik" atau dalam istilahmu "terhenti sebatas panggung". Bukan sebagai identitas diri yang sepatutnya ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebagai sumber inspirasi dalam mengungkapkan kreativitas. Bukan sebagai budaya orang Sunda lagi.

Kini memang masih terjadi di kota, yang kau sebut sebagai lanskap besar yang selalu menampilkan kesunyian dan keterpencilan dari identitas asalnya. Tetapi sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun, atau seabad yang akan datang, ketika semua sudah menjadi "kota" atau jarak kota dan desa sudah sedemikian tipis, saya khawatir bahwa orang Sunda hanyalah terdiri dari komunitas aneh yang hidup terpencil di gunung-gunung. Orang Sunda hanya dikenal sebagai bangsa kelas pembantu dan gelandangan di sudut-sudut kota. Orang Sunda adalah bangsa yang kalah (dalam pandanganku, Kota adalah lanskap kekalahan bagi orang-orang Sunda).

Jadi Ja, obsesiku sebenarnya sederhana saja. Yaitu bagaimana bahasa Sunda digunakan orang sebanyak-banyaknya dan dalam rentang waktu selama-lamanya (saya pun merasa aneh kenapa kita tidak memakai bahasa Sunda di sini). Dan itu hanya akan terjadi apabila Sunda disadari sebagai sebuah identitas diri (yang membanggakan) dan sebagai sumber inspirasi dalam berkreasi (kau benar, saya harus tertantang). Sunda pun harus termodernisasi, dengan arah yang tetap mempertahankan kekhasannya. Kitalah yang harus mengarahkannya.

Dan untuk mengarahkan itulah kita membutuhkan ekslusifitas, gaya, dan bungkus, selain tentu saja isinya.

Barangkali ini akan mengecewakan bagi orang-orang romantik sepertimu. Tapi sayangnya ini harus dilakukan, bila kita masih ingin melihat Sunda hidup, atau paling tidak, mengenangnya sebagai sebuah (suku) bangsa yang bermartabat.