Selasa, Desember 15, 2015

Seputar Anjuran Mengkonsumsi Jeruk Nipis & Lemon di Pagi Hari vs Pasien Gastritis atau Tukak Lambung


Pada dasarnya, semua jenis JERUK itu termasuk buah alkalis atau basa di lambung, tanpa dicampur air minum hangat atau bergumul air liur sekalipun.

Rasa asamnya pun termasuk asam organik, bukan termasuk asam non-organik seperti asam pada cuka, yg dapat merangsang asam lambung tinggi & dapat mencederai lapisan lambung (mukosa) sehingga timbul rasa perih.

Namun kandungan asam sitratnya yg tinggi dapat mengganggu atau melukai kondisi lambung yg sedang mengalami perlukaan atau peradangan, seperti pada pasien Gastritis atau Tukak Lambung sehingga timbul rasa perih (WALAUPUN diminum sedikit).

Apalagi diminum di pagi hari ketika perut kosong, ketika lambung sedang “Lemah”, selain membuat perut perih juga memicu sensitivitas lambung bermasalah dalam mengeluarkan asam lambung sehingga timbul gejala refluks seperti sakit ulu hati, heartburn, sakit & panas dada, tenggorokan mengganjal dll dikemudian waktu, biasanya setelah makan, khususnya pasien Gastritis atau Tukak Lambung (terutama bagi yang sudah endoskopi).

Terlebih, PADA AWALNYA anjuran minum jeruk nipis atau lemon peras yg tercampur dengan air hangat di pagi hari sebelum sarapan, sebenarnya dimaksudkan sebagi Tonic bagi Liver yg sudah bermetabolisme & mendetoksifikasi racun dalam tubuh semalaman.

Manfaatnya bagi lambung?? SEDIKIT (jika hanya dikonsumsi setengah potong jeruk+air hangat), namun resikonya yang lebih banyak & besar, seperti yg dijelaskan di atas sebelumnya.

Memang Jeruk Nipis & Lemon termasuk buah tinggi Vitamin C. Vitamin ini bertindak sebagai kofaktor dalam produksi kolagen, serta mencegah pecahnya luka- luka yang sudah sembuh. Vitamin C dibutuhkan untuk dikonsumsi pasien Gastritis atau Tukak Lambung (Termasuk Pasien Gangguan Pencernaan lainnya seperti Maag, GERD dll) yg bisa didapat dari sayur & buah alami (saya tidak menganjurkan dengan suplemen sintetis kimia Vitamin C pasaran).

Pilihan sayur & buah tinggi vitamin C yg relatif aman bagi pasien Gastritis atau Tukak Lambung (termasuk pasien gangguan pencernaan lainnya) diantaranya: Tomat Manis, Bayam, Brokoli, Semangka, Melon, Bengkoang, Apel Hijau (Granny Smith)/Fuji, Kentang, Pepaya dll

Dengan mengkonsumsi buah & sayur tersebut setiap hari, JELAS lebih banyak bermanfaat, lebih aman & lebih efektif dibanding kita mengkonsumsi “seuprit” jeruk nipis & lemon di pagi hari (belum lagi resiko yg ditimbulkan setelahnya).

Karena proses pemulihan pasien Gastritis atau Tukak Lambung itu berjalan membutuhkan waktu yg tidak sebentar, melibatkan semua unsur pola hidup & pola makan yg sehat & tepat, tidak hanya terpaku pada 1 bentuk terapi seperti anjuran minum air Jeruk Nipis/Lemon di pagi hari, yg terkadang saya temukan di grup ini, yg terkadang membuat saya geli grin emoticon

Buah dengan kandungan asam sitrat tinggi lainnya: Buah Mangga, Nanas, Berry2an (Strawberry, Blueberry dll), Belimbing Wuluh dan lainnya.

Selama pengobatan, selain menghindari buah tinggi asam sitrat, sebaiknya pasien Gastritis atau Tukak Lambung juga menghindari atau berhati-hati dengan:
  1. Buah berkalium tinggi : alpukat, pisang (jika ingin, pisang direbus/ kukus untuk menurunkan kaliumnya) pisang ambon kadar kaliumnya paling tinggi diantara pisang lain, makanya dilarang, sebaiknya hanya pilih pisang raja, karena mengandung glukosa yg baik bagi lambung. 
  2. Makanan berpurin tinggi : daging bebek, jeroan, semua produk seafood (terkadang purin pada tahu & tempe bisa jd problem)
  3. Makanan bertekstur “keras” seperti sayur mentah/ fresh (Rawfood) : Lebih menciptakan gass pressure tinggi di perut yg bikin kembung, sebah dll. Termasuk makanan bertekstur keras lain seperti batu, pasir & kerikil (kalau doyan) grin emoticon
  4. Makanan & Minuman Instan (biskuit, roti, “susu” kambing bubuk dll) dan aneka pantangan makanan klenik lain. Contoh : Pegawet & pengembang (beserta zat kimia lain) pada biskuit & roti, jika tercampur dengan asam lambung (digest proccess) akan menjadi semacam “soda api” yg dapat melukai & memperlebar peradangan atau perlukaan di lapisan lambung (mukosa)
  5. Buah tinggi asam sitrat: Buah Mangga, Nanas, Berry2an (Strawberry, Blueberry dll), Belimbing Wuluh dan lainnya

Karena jenis makanan di atas, selain beresiko membuat perut sakit, juga beresiko melebarkan peradangan atau perlukaan pasien Gastritis atau Tukak lambung, sehingga mengganggu proses peremajaan penyembuhan lapisan lambung (mukosa) & proses penyembuhan lama.

*Saya gak apa2 dan gak perih; sakit perut minum jeniper/ lemon dll? Biasanya itu statement penderita non gastritis dan biasanya belum melakukan endoskopi, pasien Gastritis atau Tukak Lambung itu terjadi penyusutan lapisan lambung (mukosa), secara medis tingkatannya Gastritis Erossive, Kronis, Superfisial, Atrofik, Peptic Ulcer dll. Jangan mau disamakan dengan pasien non-Gastritis, karena penanganan; perawatannya berbeda, jelas pemilihan kebutuhan nutrisinya juga berbeda.

Rabu, November 11, 2015

Menilik Kisah Cinta Sang Kembang Mangkunegaran

Pada tanggal 10 Nopember 2015 kemarin, Gusti Nurul, sang kembang Mangkunegaran meninggal dunia di Bandung pada usia 94 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Astana Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Astana Girilayu merupakan pemakaman dari keluarga besar trah Mangkunegaran. Siapakah tokoh yang pernah menarik hati para tokoh-tokoh besar negeri ini tersebut?

Gusti Nurul yang cantik dan cerdas ini memang cukup menarik untuk disimak. Beliau dilahirkan pada 1921 oleh GKR Timur Mursudariyah (putri sultan Jogja Hamengkubuwono VII), yang merupakan permaisuri HRH Mangkunegoro VII.

Saat lahir orangtuanya memberinya nama Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Meski tumbuh dibalik tembok keraton, sang putri yang disekolahkan di sekolah Belanda, memiliki gaya dan pandangan hidup yang terhitung amat modern untuk masanya.

Selain itu sebagai seorang putri keraton yang anggun, beliau tentu mahir menari. Tahun 1937, Gusti Nurul diundang ke Belanda untuk menari di pernikahan Putri Juliana yang dilakukan secara teleconference, yaitu musik gamelan Kanjut Mesem dimainkan di Solo sedangkan Gusti Nurul mendengarkan alunan gamelan melalui telepon dan menari dihadapan tamu undangan pernikahan.

Karena sambungan telepon pada masa itu masih belum sebaik sekarang maka sang Ibu masih memberikan aba-aba secara langsung berupa ketukan-ketukan. Ratu Wilhelmina yang kagum pada Gusti Nurul memberinya gelar de bloem van Mangkunegaran atau kembang dari Mangkunegara.

Dengan segenap kelebihan tersebut, tak heran Gusti Nurul menjadi bunga gemerlap. Tak cuma orang kebanyakan yang takjub. Sedikitnya, ada empat figur top yang menjadi penggemar Gusti Nurul bahkan mereka juga berlomba memperebutkannya. Mereka adalah Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir dan Kolonel GPH Djatikusumo. Pada saat itu Soekarno orang nomor satu di republik, Sultan HB IX orang nomor satu di Jogja, Sutan Sjahrir perdana menteri dan Djatikusumo adalah panglima tentara (KSAD).

Begitu kagumnya pada Gusti Nurul, suatu ketika Soekarno mengundangnya ke Istana Cipanas, begitu revolusi usai. Pada saat yang sama, Soekarno juga memanggil pelukis naturalis kesayangannya, Basuki Abdullah. Basuki dimintanya melukis Gusti Nurul. Setelah jadi, lukisan itu pun dipajang di kamar kerja Presiden Soekarno di Cipanas.

Pada setiap rapat kabinet yang digelar di Yogyakarta pada tahun 1946, Sutan Sjahrir selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, untuk secara khusus mengantarkan kado yang dibelinya dari Jakarta. Bersama kado tersebut, ia juga lampirkan sepucuk surat tulisan tangan dari Sjahrir.

Hubungan kisah cinta Sutan Sjahrir dengan Gusti Nurul lebih banyak melalui korespondensi. Menurut Gusti Nurul sendiri, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran.

Tetapi karena ia menentang pernikahan poligami, Gusti Nurul secara halus menampik semua uluran cinta kasih dari Soekarno, Sultan HB IX, Djatikusumo dan juga tentunya Sutan Sjahrir. Mungkin pengalaman hidup di Istana, dimana ayahnya punya banyak istri membuatnya pantang dimadu.

Konon karena cintanya terhadap Gusti Nurul yang bertepuk sebelah tangan, Sri Sultan HB IX memutuskan untuk tidak memiliki permaisuri, hanya selir saja. Karena beliau menginginkan yang menjadi permaisurinya adalah Gusti Nurul. Dan penerusnya, Sri Sultan HB X adalah putra dari selir ke dua beliau.

Namun bagaimanapun juga, Gusti Nurul tetap menghormati sosok-sosok yang pernah menaruh hati padanya.Demi menentukan pilihan yang diyakininya, Gusti Nurul pun sanggup membujang hingga umur 30 tahun. Usia gadis yang akan bikin orang geleng-geleng kepala ketika itu. Beliau berjuang untuk apa yang beliau yakini terbaik untuk dirinya.

Hebatnya, beliau tak peduli apa kata orang. Baru pada tahun 1951, Gusti Nurul menikah. Yang dipilihnya pun bukan nama besar dengan figur mentereng. Gusti Nurul memilih sepupunya sendiri, Soerjo Soejarso, seorang kolonel militer.   Walau lulusan KMA Breda (lulus 1939), Kolonel Soejarso bukanlah sosok menonjol dalam tubuh TNI. Ia hanya perwira di belakang meja yang diparkir Nasution di detasemen Kavaleri.

Karakternya lembut, dengan tutur kata sopan, khas didikan keluarga aristokrat. Tapi mungkin memang bukan karir yang dicari Gusti Nurul. Toh terbukti, kehidupan keluarganya aman dan damai, sampai akhirnya mereka menjalani hari tua di kota Bandung, kota dimana Soejarso pernah menghabiskan waktu menjadi guru bagi Nasution dan Simatupang, menjadi instruktur pada KMA Bandung.

Saat ini, tak susah untuk menyusuri jejak keayuan masa lalu Gusti Nurul. Datang saja ke Ullen Sentalu yang terletak di lereng Merapi, utara Kota Yogyakarta sebelum Kaliurang. Di museum itu ada ruangan khusus bertajuk Ruang Putri Dambaan yang berisi berbagai memorabilia wanita yang ayu dan kuat tersebut. Hanya sayang, orang tak dibolehkan menjepret ulang foto ayu sang putri. Ruangan ini diresmikan sendiri oleh Gusti Nurul pada hari ulang tahunnya yang ke 81.

Sumber: Semarang Tempo Dulu


Kamis, Juli 09, 2015

Penyembuhan Sakit dengan Alumunium Foil


Jika Anda menderita sakit di leher, punggung, bahu, lutut, dan tumit, cobalah dengan membungkus daerah tersebut dengan beberapa aluminium foil.  Dan trada ... rasa sakit akan segera hilang!

PENGGUNAAN aluminium foil untuk metoda penyembuhan banyak dipraktekkan oleh penyembuh Cina dan Rusia. Praktek telah menunjukkan bahwa aluminium foil dapat digunakan sebagai alat penyembuhan alternatif, di mana ia harus digunakan dengan sangat hati-hati.

Penyembuhan dengan Aluminium foil diterapkan dalam pengobatan berbagai jenis rasa sakit, termasuk rasa sakit di leher, punggung, lengan, kaki, sendi, panggul, rheumatoid arthritis, tumit, dan penumpukan garam. Dapat juga digunakan dalam pengobatan bekas luka pascaoperasi dan asam urat.

Caranya dengan menempatkan sepotong foil pada bekas luka atau bungkus ibu jari Anda dengan beberapa foil dan bungkus dengan perban. Untuk mengobati asam urat, menurut penyembuh Cina, harus berlangsung selama 10-12 jam.  Tempatkan sepotong aluminium foil di tempat yang sakit satu malam. Setelah itu hentikan selama 1-2 minggu. Ulangi pengobatan jika diperlukan.

Aluminium foil juga memiliki efek anti-inflamasi yang kuat.  Ia dapat membantu Anda mengurangi demam.  Caranya: bungkus kaki Anda dengan 5-7 lapisan foil, dan tempatkan selembar kertas atau kain katun antara setiap lapisan. Tekan selama satu jam, setelah itu lepaskan.  Letakkan lagi setelah 2 jam selama satu jam, dan lepaskan. Anda harus mengulanginya sebanyak tiga kali. Seluruh prosedur berlangsung selama seminggu.

Bagaimana penjelasannya?  Kira-kira begini:

Bioenergi yang mengalir dalam tubuh kita di titik biologis aktif, akan terpantul oleh permukaan alumunium foil kembali ke meridian, di mana mereka pertama kali berasal.  Ini memiliki efek positif pada organ yang terkait dengan meridian tersebut. Dengan cara ini Anda dapat memecahkan masalah kesehatan dan mengurangi rasa sakit.  Metode penyembuhan ini dijelaskan dalam buku-buku dari Wilhelm Reich, seorang psikoterapis dan mahasiswa Sigmund Freud.

Namun, kebanyakan orang masih berdebat bagaimana perawatan ini bekerja.  Beberapa mendasarkannya pada ilmu pengetahuan, yang lain menjelaskannya dengan mengacu pada bioenergi.

AV Skvorcov, seorang ilmuwan Rusia, mengatakan:

"Tubuh manusia memiliki sel induk khusus yang terus-menerus terhubung dengan bidang bumi. Karena berbagai sebab, bidang ini terdeformasi, yang mempengaruhi aliran energi yang dibawa ke sel induk.  Aluminium foil memantulkan bidang bumi tersebut sama seperti kaca pembesar dengan fokus yang sangat besar, yang menjadikannya meningkat beberapa kali, yang memungkinkan memulihkan interaksi terganggu antara sel-sel dan bidang bumi tersebut. Selain itu, permukaan terang mencegah penetrasi radiasi eksternal yang buruk dalam tubuh manusia dan juga akumulasi radiasi."

Lebih lanjut tentang artikel2 kesehatan di http://ruangsehat.net/

Kujang, Senjata Tradisional Sunda

Kujang, Senjata Tradisional Sunda
Kujang, Senjata Tradisional Sunda
Kujang adalah senjata tradisional masyarakat Sunda yang dianggap memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Konon, kujang berasal dari kata Kudi-hyang. Kudi dan Hyang.

Kudi dalam bahasa Sunda Kuno berarti senjata sakti dan mempunyai kekuatan gaib.  Senjata ini disimpan sebagai pusaka.  Berfungsi sebagai jimat dan penolak bala. Misalnya untuk menghalau musuh atau melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur.

Hyang adalah kekuatan supra natural yang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam mitologi. Namun bagi masyarakat Sunda, Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa. Dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang disebut pada naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, Kujang dapat diartikan sebagai pusaka  dan senjata yang mempunyai kekuatan gaib yang berasal daripara dewa (=Hyang).

Sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

Di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Bentuk dan Fungsi Kujang

Kujang cenderung tipis. Bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Bentuknya unik. Memiliki sisi tajaman dan nama bagian, yaitu: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak).

Disebutkan dalam Pantun Bogor, kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat yaitu:
1. Kujang Pusaka yang merupakan lambang keagungan dan pelindungan keselamatan,
2. Kujang Pakarang yang digunakan untuk berperang,
3. Kujang Pangarak digunakan sebagai alat upacara, dan
4. Kujang Pamangkas yang digunakan sebagai alat berladang.

Sedangkan berdasarkan bentuk bilah, antara lain:
1. Kujang Jago, yaitu menyerupai bentuk ayam jantan,
2. Kujang Ciung, yaitu yang menyerupai burung ciung,
3. Kujang Kuntul, yaitu menyerupai burung kuntul/bango,
4. Kujang Badak,  yaitu menyerupai badak,
5. Kujang Naga, yaitu menyerupai binatang mitologi naga
6. Kujang Bangkong, yaitu menyerupai kodok.

Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Ini disebut dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda NgKaresian yang ditulis pada 1518 M. 

Beberapa tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah di antaranya di daerah Rancah, Ciamis juga memperkuat hal tersebut.  Kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna.

Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.  Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tenang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.

Sabtu, Juni 06, 2015

Apa Hubungan Kerajaan Panjalu Jawa Timur dengan Panjalu Ciamis?

Patung Ken Arok
Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa

Raja pertama dari Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi.

Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah.

Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga.

Kerajaan Panjalu (Kediri) di Jawa Timur

Airlangga

Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).

Berdasarkan Babad Arya Gajah Bali A Sri Airlangga memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri.

Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).

Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.

Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.

Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036. Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman. Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan. Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041. Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.

Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.

Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.

Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.

Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Maharaja Jayabhaya

Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.

Sri Maharaja Kertajaya/Prabu Dandhang Gendis

Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.

Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.

Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)

Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.

Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

Penulis: Yudhi S Suradimadja, Sumber: Salaka Nagara